Kenaikan Emisi Membayangi Ambisi Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen

Jakarta, 20 November 2025 – Hingga akhir 2025 transisi energi Indonesia masih sekedar retorika dan gagal mencapai tujuan yang dicanangkan. Meski komitmen terhadap energi terbarukan tampak menguat dalam satu dekade terakhir, dominasi energi fosil justru semakin besar dan memperdalam ketergantungan pasokan energi. Wacana transisi energi yang mulai dicanangkan dari pemerintah sebelumnya, belum dapat diterjemahkan dalam aksi konkret. Di sisi lain, janji Presiden Prabowo untuk menghentikan energi fosil dalam 10-15 tahun dan mencapai 100 persen energi terbarukan masih menyisakan jurang implementasi yang lebar. 

IESR merilis Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2026, Rhetoric or Reality: Aligning Economic Growth with Energy Transition pada Kamis (20/11). Laporan yang terbit sejak 2018 ini memantau perkembangan transisi energi Indonesia dan kondisi pendukungnya. Selama sembilan tahun berturut-turut, Indonesia  gagal mencapai target bauran energi terbarukan, yang awalnya pada 2014 ditetapkan sebesar 23 persen pada 2025, tetapi baru tercapai  sekitar 16 persen pada pertengahan 2025. Tanpa mengubah arah, IESR memproyeksikan, jika masih berbasis fosil, maka target ekonomi 8 persen pada 2029, justru akan menaikkan emisi hingga 17 persen pada 2040 dan membuat pencapaian net-zero emission 2060 akan lebih berat dan mahal.

IESR menilai Indonesia perlu membuktikan kredibilitasnya dengan keluar dari retorika dan memperbaiki kebijakan, memperkuat infrastruktur jaringan, serta menutup kesenjangan pembiayaan. Perkembangan yang baik dari biaya energi terbarukan yang semakin murah, tumbuhnya industri pendukung seperti kendaraan listrik dan baterai serta tersedianya data proyek energi terbarukan yang siap dibangun merupakan modal besar yang harus dimanfaatkan agar Indonesia menjadi kekuatan energi terbarukan di kawasan.

Chief Executive Officer (CEO) IESR, Fabby Tumiwa, menyatakan adanya paradoks Indonesia yang tidak mau melepaskan diri dari energi fosil padahal memiliki sumber daya energi terbarukan yang sangat besar. Selain itu, keinginan untuk mempertahankan PLTU justru berlawanan dengan tren global di mana PLTU mulai ditinggalkan oleh negara-negara maju. Selain itu, investasi energi bersih dunia pada 2024 bahkan meningkat hingga sepuluh kali lipat dibandingkan investasi fosil. 

“Transisi energi Indonesia berjalan lambat yang disebabkan oleh tiga hambatan struktural, yaitu kerangka peraturan yang tidak koheren, kebijakan fiskal yang memberikan insentif penggunaan energi fosil, dan fragmentasi institusi dan prioritas. Ketidakmampuan pemerintah mengatasi hambatan-hambatan membuat pengembangan energi terbarukan dan efisiensi energi terhambat, seiring memburuknya iklim investasi energi bersih,” ujar Fabby.

Fabby menekankan bahwa pemerintah perlu bekerja ekstra keras untuk memangkas hambatan transisi energi yang terus bertahan. Terdapat beberapa area utama yang membutuhkan transformasi segera, di antaranya koordinasi kebijakan dan prioritas antar lembaga yang selama ini lemah dan kerap bertabrakan, restrukturisasi industri kelistrikan, keputusan untuk menghentikan pembangunan PLTU baru dan pensiun PLTU, serta pemberian insentif dan instrumen pendanaan energi bersih. 

Analis Sistem Ketenagalistrikan IESR, Abraham Octama Halim, menjelaskan bahwa kebutuhan listrik Indonesia tumbuh sangat cepat, antara 3 hingga 10 persen setiap tahun. Pertumbuhan ini seharusnya diisi oleh energi terbarukan sehingga bauran energi terbarukan dapat naik cepat. Di luar sistem Jawa-Bali, pembangkit energi terbarukan dapat mengganti PLTD dan PLTU yang akan memberikan dampak penurunan biaya produksi tenaga listrik. Simulasi 100 persen energi terbarukan, yang dilakukan di Pulau Timor dan Sumbawa, dengan dominan PLTS dan baterai menunjukkan bahwa biaya pembangkitan dapat turun 3 hingga 21 persen, dengan keandalan sistem yang baik. Sayangnya, potensi ini masih jauh dari direalisasikan. 

“Alih-alih meningkat, bauran energi terbarukan di sistem on-grid justru turun dalam 5 tahun terakhir. Dari 13 persen di 2020, menjadi hanya 11,5 persen di 2024. Angka ini meleset dari target RUPTL 2021-2030 yang seharusnya 15 persen. Kami mengidentifikasi adanya kesenjangan lebar antara potensi energi terbarukan yang melimpah, perencanaan sistem, hingga realisasi di lapangan. Ini menunjukkan adanya tantangan yang terus-menerus dalam menerjemahkan ambisi pemerintah menjadi proyek nyata,” tambahnya. 

Berdasarkan Transition Readiness Framework (TRF), indeks yang dikembangkan IESR sejak 2022 untuk mengukur kesiapan kondisi pendukung (enabling environment) transisi energi Indonesia, empat dari sebelas faktor yaitu kebijakan, kepemimpinan, dan investasi masih dinilai rendah (low), dan tidak berubah dari hasil 2024. 

Kontras dengan investasi energi terbarukan yang tidak mencapai target yang ditetapkan untuk tahun ini, subsidi fosil mengalami peningkatan di tahun ini dan  tahun depan  hingga akumulasinya pada periode 2022-2026 mencapai Rp1.023 triliun. Sementara itu, partisipasi publik dan penerimaan komunitas terhadap transisi energi masih berada pada tingkat sedang yang artinya kesadaran meningkat, tetapi belum berujung pada partisipasi yang bermakna.

Putra Maswan, Analis Finansial dan Ekonomi IESR menambahkan bahwa anggaran energi terbarukan di tingkat provinsi untuk 2025 relatif kecil, hanya Rp 426,7 miliar dari 33 provinsi. Minimnya anggaran membuat kemampuan pemerintah daerah membangun infrastruktur energi terbarukan terkendala, dengan demikian  bauran energi terbarukan tetap rendah. Ia mencontohkan Bali yang baru mencapai kurang dari tiga persen dari target 11 persen energi terbarukan pada 2025, meski memiliki potensi surya hingga 21 GW.

Untuk mendorong Indonesia bergerak lebih jauh menuju era energi terbarukan, IESR merekomendasikan enam langkah utama yaitu pertama, menyusun rencana pensiun energi fosil yang jelas dan terukur. Kedua, melakukan reformasi kelembagaan dan regulasi. Ketiga, memperluas pemanfaatan PLTS, PLTB, dan baterai. Keempat, mendorong relokasi atau pembangunan industri di wilayah yang memiliki pasokan energi bersih (low-carbon powershoring). Kelima, memperkuat pembiayaan energi terbarukan dan mengurangi subsidi fosil. Keenam, memastikan keterlibatan publik yang lebih bermakna.

Share on :