Kendaraan Listrik Bisa Jadi Solusi Reduksi Emisi Karbon di Sektor Transportasi

WhatsApp Image 2024-06-07 at 14.34.01

Author :

Jakarta, 7 Juni 2024 –  Pemerintah perlu semakin serius untuk mendorong reduksi emisi karbon pada sektor transportasi darat. Pasalnya, transportasi menjadi salah satu sektor penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar di Indonesia. Hal ini diungkapkan Faris Adnan Padhilah, Koordinator Riset Bagian Manajemen Permintaan Energi, Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam acara Edutalk on Green Mobility and Transportation yang diselenggarakan oleh Universitas Bakrie pada Kamis (6/6/2024).

Mengutip studi IESR berjudul Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2024, sektor transportasi telah menghasilkan emisi sebesar 150 juta ton CO2e pada tahun 2022, menjadikannya kontributor ketiga terbesar setelah sektor energi dan industri. Dari jumlah tersebut, sekitar 135 juta ton CO2e atau 90 persen berasal dari transportasi darat, di mana kendaraan penumpang berkontribusi sekitar 106 juta ton CO2e atau 78 persen.

“Peningkatan jumlah kendaraan penumpang setiap tahunnya juga berbanding lurus dengan meningkatnya kebutuhan bahan bakar minyak (BBM), yang sebagian besar masih diimpor. Setidaknya sekitar 52 persen dari total konsumsi BBM di Indonesia merupakan BBM impor sejak tahun 2015 hingga 2020. Pada periode yang sama, pemerintah rata-rata mengeluarkan subsidi BBM sebesar Rp64 triliun per tahun atau sekitar Rp175 miliar per hari. Ketergantungan yang tinggi pada BBM impor ini tidak hanya berdampak pada anggaran negara tetapi juga mengancam keamanan energi nasional,” ujar Faris.

Faris menilai, ketergantungan BBM impor ini tak lepas dari perkembangan kendaraan terjual setiap tahunnya. Setidaknya ada 6 juta motor dan 750 ribu mobil terjual setiap tahunnya di Indonesia berdasarkan data Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) dan Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI).

“Dengan kondisi tersebut, upaya reduksi emisi GRK di bidang transportasi perlu digalakkan, seiring dengan komitmen net zero pada 2050  sesuai Persetujuan Paris, atau mencapai net zero emission (NZE) pada 2060 sesuai target Pemerintah Indonesia,” kata Faris.  

Faris mengatakan, terdapat skenario net zero untuk menurunkan 48 persen emisi GRK sektor transportasi pada 2050 berdasarkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Beberapa langkah yang dirancang, di antaranya pemanfaatan hidrogen dan bioenergy yang berkontribusi pada sepertiga kebutuhan energi transportasi, mendorong elektrifikasi transportasi darat, peningkatan efisiensi bensin dan perpindahan moda. 

Upaya mendorong elektrifikasi transportasi darat, kata Faris, salah satunya melalui penggunaan kendaraan listrik. Mengutip studi IETO 2024, biaya total kepemilikan kendaraan listrik lebih murah sekitar 7 persen untuk kendaraan roda dua dan 14 persen untuk kendaraan roda empat meskipun kendaraan listrik memiliki harga jual yang lebih mahal. Penghematan ini berasal dari biaya operasional yang lebih murah dan memiliki lebih sedikit komponen yang memerlukan perawatan, serta harga baterai yang diprediksi akan terus menjadi lebih murah akan membuat harga jual kendaraan listrik lebih terjangkau.

“Penggunaan kendaraan listrik berdampak signifikan dalam mengurangi polusi akan tetapi kondisi saat ini tidak ideal dikarenakan listrik yang digunakan untuk bahan bakar kendaraan listrik masih berasal dari PLTU yang berpolusi tinggi. Oleh karenanya, transisi menggunakan energi yang lebih bersih perlu dilakukan oleh kendaraan dengan kendaraan listrik dan disaat yang bersamaan juga mengganti PLTU ke energi baru terbarukan. Penggunaan kendaraan listrik tanpa dibarengi dengan transisi pasokan energi akan mengurangi karbon dioksida (CO2) akan tetapi tidak mengurangi NOx dan bahkan menambah sulfur dioksida (SO2) dan partikulat matter (PM),” imbuh Faris. 

Faris menegaskan, untuk itu, dekarbonisasi jaringan listrik juga diperlukan agar semakin memperkecil emisi kendaraan. Pada tahun 2023, emisi jaringan listrik sekitar 0,873 gram CO2/kWh dan akan turun menjadi 0,754 gram CO2/kWh pada 2030. Kemudian,  emisi kendaraan listrik per km lebih rendah sebesar 18% untuk roda dua dan 25% untuk roda empat jika dibandingkan kendaraan konvensional, angka ini akan menjadi 24% untuk roda dua dan 33% untuk roda empat. Jika listrik yang digunakan untuk mengisi daya motor listrik tidak menghasilkan emisi karbon sama sekali, emisi kendaraan per km lebih rendah sebesar 48 persen  untuk kendaraan roda dua dan 80 persen untuk kendaraan roda empat.

“Saat ini adopsi kendaraan listrik terhambat oleh harga performa, infrastruktur dan harga purna jual. Pemerintah juga telah memberikan skema bantuan dan insentif fiskal untuk meningkatkan adopsi kendaraan listrik. Namun demikian, rata-rata kendaraan mobil listrik yang tersedia di 2023 masih lebih mahal dibanding rata-rata harga jual mobil konvensional. Sementara untuk motor listrik,  adanya keterbatasan performa terutama dalam hal jarak tempuh menjadi salah satu penghambat adopsinya,” imbuh Faris. 

Faris menilai, motor listrik yang ada di pasaran didominasi oleh motor yang memiliki performa lebih rendah dalam hal jarak tempuh, top speed, max power dengan harga tidak jauh berbeda dengan motor listrik di India. Sedangkan, motor listrik di India memiliki jarak tempuh yang lebih jauh.

“Selain itu, rendahnya tingkat penggunaan stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) memperlambat titik impas investasi bisnis. Analisis IESR menemukan, pada tahun 2023, rasio SPKLU terhadap mobil listrik sebesar 1:25. Akan tetapi berdasarkan data dari Jakarta dan Jawa barat, rata rata penggunaan SPKLU hanya 1,24 dan 0,26 transaksi per hari. Faris menilai,  tingkat penggunaan yang rendah ini menyebabkan bisnis SPKLU masih sangat sulit untuk mencapai balik modal (break even point, BEP),” tutur Faris.  

Menurut Faris, untuk lebih mendorong dekarbonisasi di sektor transportasi darat, terdapat strategi  avoid, shift, and improve. Strategi avoid berkaitan dengan mengurangi permintaan pergerakan atau jarak tempuh manusia. Salah satu kebijakan yang terkenal dalam strategi ini yakni kebijakan bekerja dari rumah (work from home), atau kebijakan kota terintegrasi (compact city), di mana individu cukup berjalan sekitar 15 menit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. 

“Selanjutnya, strategi shift yang berarti berpindah menggunakan kendaraan transportasi massal yang bisa mengurangi emisi secara kumulatif. Yang terakhir, strategi improve, yang artinya meningkatkan efisiensi energi dari kendaraan yang digunakan,” papar Faris. 

Share on :

Leave a comment

0.0/5

Related Article

Mendorong Transisi Energi Melalui Riset

Jakarta, 24 Juni 2024 –  Transisi energi menuju penggunaan sumber daya energi yang lebih ramah lingkungan menjadi tantangan besar yang dihadapi oleh banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Dalam upaya

Selengkapnya >