Jakarta, 22 Oktober 2024 – Indonesia resmi memiliki pemimpin baru dengan dilantiknya Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, dan pembentukan kabinet pada 21 Oktober 2024. Sederet pekerjaan rumah menanti pemerintahan yang baru, terutama untuk mempercepat transisi energi di Indonesia. Upaya ini bertujuan mencegah memburuknya dampak krisis iklim dan menarik investasi untuk mendukung pencapaian target pertumbuhan ekonomi delapan persen. Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong Presiden Prabowo Subianto untuk memperkuat kerja sama internasional, terutama kerja sama Selatan-Selatan, untuk mempercepat transisi energi dan memobilisasi investasi dan pendanaan agar dapat mewujudkan net zero emission (NZE) 2060 atau lebih cepat. Salah satu peluangnya adalah memperkokoh kolaborasi teknologi dan investasi energi terbarukan dengan Tiongkok yang sudah dimulai sebelumnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada 2023, Tiongkok menjadi investor terbesar kedua di Asia setelah Singapura, dengan nilai investasi mencapai USD 7,44 miliar (sekitar Rp111, 6 triliun). Sementara, menurut American Enterprise Institute, khusus untuk sektor energi terbarukan, total investasi Tiongkok ke Indonesia dari 2006 hingga 2022 mencapai USD 12,6 juta (sekitar Rp18,7 miliar). IESR mencermati adanya potensi untuk meningkatkan investasi Tiongkok yang dapat mendukung pembangunan infrastruktur energi terbarukan di Indonesia.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa memandang kerja sama dengan Tiongkok dapat dilakukan di tiga sektor utama: pertama, investasi infrastruktur energi terbarukan dan penyimpan energi, kedua, manufaktur dan rantai pasok teknologi energi terbarukan, dan ketiga, dekarbonisasi industri, termasuk industri pengolahan mineral. Hal ini diungkapkannya pada lokakarya IESR berjudul “The Energy Transition Workshop: Potential Collaboration between Indonesia and China for Green Development and Clean Energy Cooperation” (21/10) di Jakarta.
Fabby menilai, pemerintah Prabowo-Gibran memerlukan strategi yang tepat untuk keluar dari tren rendahnya investasi di sektor energi terbarukan dalam lima tahun terakhir. Investasi di sektor energi baru terbarukan dan konservasi energi Indonesia pada 2023 tercatat hanya USD 1,5 miliar. Angka ini masih jauh dari total investasi yang dibutuhkan untuk mencapai target NZE 2050 berdasarkan perhitungan IESR, yaitu sekitar USD 1,3 triliun pada 2050, atau sekitar USD 40 – 50 miliar per tahun mulai 2025.
Untuk itu, sinergi antar kementerian seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), Kementerian Investasi dan Hilirisasi, Kementerian BUMN, Bappenas dan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) diperlukan untuk mendorong harmonisasi kebijakan yang menciptakan iklim investasi yang menarik bagi pelaku usaha dan investor.
“Pemerintah harus melakukan tinjauan kebijakan dan regulasi serta proses perijinan yang membuat investasi energi terbarukan tidak bankable. Pemerintah juga perlu menyiapkan kerangka kerja sama strategis dengan Tiongkok yang difokuskan pada tiga aspek: investasi, pembangunan rantai pasok industri energi bersih, dan dekarbonisasi industri khususnya penurunan emisi dari PLTU captive (captive coal power plant). Dalam jangka pendek, pemerintah bisa mencari sumber pendanaan lunak (concessional) untuk implementasi Just Energy Transition Partnership (JETP) dan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dari Tiongkok, dengan mengedepankan kepentingan nasional dan asas saling menghormati (mutual respect),” ujar Fabby.
Arief Rosadi, Manajer Program Diplomasi Iklim dan Energi, IESR, mengungkapkan Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok memiliki banyak potensi untuk mengembangkan kerjasama transisi energi yang dapat memberikan nilai tambah ekonomi bagi kedua negara mulai dari dukungan untuk pengembangan infrastruktur energi terbarukan di Indonesia hingga potensi akses pendanaan dari Tiongkok.
“Kerjasama transisi energi antara Indonesia dan Tiongkok termasuk low hanging fruit (strategis). Untuk dapat mengakses pendanaan berkelanjutan dari Tiongkok, kedua negara dapat menyelaraskan standar investasi hijau untuk pembangunan berkelanjutan. Misalnya di Indonesia ada taksonomi hijau dan panduan investasi lestari, sementara di Tiongkok ada Green Investment Principle (Prinsip Investasi Hijau),” jelas Arief.