Jakarta, 26 Juni 2024 – Negara anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) perlu mulai merencanakan untuk berpindah dari energi fosil, khususnya dari batubara. Selain telah menjadi komitmen global untuk membatasi kenaikan suhu bumi di 1,5° Celcius, sebagaimana hasil Perundingan Perubahan Iklim Global (COP) ke-28, langkah ini juga akan melindungi negara anggota ASEAN (ASEAN Member States, AMS) dari risiko guncangan ekonomi akibat impor energi fosil yang terus meningkat. Sejak 2017, impor batubara negara Asia Tenggara naik dari 60 juta ton menjadi 120 juta ton. Adapun polusi udara dari aktivitas PLTU berpotensi meningkatkan risiko angka kematian dini hingga 70,000 per tahun di 2030.
ASEAN memiliki potensi energi terbarukan sekitar 17 TW, dan cukup untuk memenuhi kebutuhan energi jika dikembangkan secara konsisten. Pengembangan energi terbarukan juga dapat membuka peluang investasi, meningkatkan daya saing di pasar internasional, menurunkan biaya produksi tenaga listrik, dan menurunkan kerugian ekonomi dan sosial akibat polusi udara, dan menghindari risiko ekonomi akibat aset mangkrak (stranded asset) dari infrastruktur energi fosil yang beroperasi dan sedang dibangun.
Namun, laporan terbaru ASEAN Centre for Energy (ACE) on the Role of Coal yang dirilis pada Mei 2024 malah merekomendasikan untuk tetap mempertahankan batubara sebagai salah satu sumber energi yang penting dengan penggunaan Carbon Capture and Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS).
Berdasarkan kajian-kajian terbaru, teknologi CCS/CCUS tidak dipandang sebagai teknologi yang handal dan berbiaya murah untuk menekan emisi karbon dari PLTU. Pengalaman sejumlah proyek di berbagai negara menunjukan penggunaan CCS/CCUS di PLTU tidak efektif menangkap karbon, berbiaya tinggi dan berisiko tinggi secara finansial.
Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang mempertahankan PLTU batubara akan membuat AMS dalam siklus jebakan karbon (carbon lock-in) dalam jangka panjang dan menyulitkan transisi energi ke energi bersih dan , meningkat emisi karbon, peningkatan risiko aset mangkrak (stranded asset) dari energi fosil, dan potensi ekonomi biaya tinggi
“Merekomendasikan teknologi ini, semata-mata untuk mempertahankan operasi PLTU dan melanggengkan ketergantungan sejumlah negara ASEAN untuk mengimpor batubara merupakan saran yang tidak bijak. Implikasinya adalah terhambatnya akselerasi energi terbarukan yang lebih murah, terjangkau dan rendah risiko untuk menurunkan emisi karbon dalam rangka mencegah kenaikan temperatur di atas 1,5°C,” kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.
Tidak hanya itu, Fabby mengatakan, keinginan untuk mempertahankan PLTU batubara justru bertentangan dengan pandangan lebih dari 60 persen warga di AMS yang menolak pembangunan PLTU baru dan menginginkan untuk pengakhiran secara bertahap (phase out) PLTU, sesuai survei ISEAS di 2022.
“Temuan dari First Global Stocktake mendorong komunitas global untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil dan meningkatkan tiga kali lipat energi terbarukan pada tahun 2030. Memperlengkapi PLTU batubara dengan CCS/CCUS hingga saat ini belum terbukti signifikan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Selain itu secara ekonomi kurang layak dan tidak efisien secara finansial dengan risiko aset mangkrak yang lebih besar. Jika ASEAN tetap bergantung batubara, jelas akan menimbulkan keraguan terhadap komitmen kepemimpinan ASEAN dalam mitigasi perubahan iklim,” jelas Fabby.
Raditya Wiranegara, Manajer Riset IESR mengungkapkan ASEAN perlu serius mengejar target pengembangan energi terbarukan, dengan bauran energi terbarukan sebesar 57 persen pada 2030 dan 90-100 persen bauran energi terbarukan pada 2050.
“Manfaat ekonomi dari batubara akan tergerus seiring dengan berjalannya transisi energi yang mengedepankan energi terbarukan di berbagai negara. Komitmen pengakhiran operasional PLTU batubara secara dini dan terencana yang diambil AMS justru akan menarik investasi terhadap pengembangan energi terbarukan,” jelas Raditya.
Selain itu, Raditya menilai usulan laporan ACE yang menempatkan batubara sebagai bahan bakar transisi dalam sistem energi ASEAN dapat mengaburkan komitmen AMS di dalam komitmen bersama terhadap Persetujuan Paris dan mengirimkan sinyal campuran ke iklim investasi energi terbarukan di kawasan ini sehingga dapat mengurangi minat investasi dalam pengembangan energi terbarukan.
Koordinator Proyek Diplomasi Iklim, Arief Rosadi menyatakan, pengembangan energi terbarukan di kawasan ASEAN lebih bermanfaat bagi perekonomian. Mengacu studi IESR, Asia Tenggara merupakan eksportir modul panel surya dengan kapasitas 64 GW pada tahun 2023. Vietnam, Malaysia, dan Thailand memproduksi sekitar 11 persen pasokan global. Dengan peningkatan permintaan PLTS di Asia Tenggara untuk mendukung transisi energi bersih, dapat memberikan kesempatan berkembangnya manufaktur rantai pasok sel dan modul surya di Indonesia untuk memasok permintaan di kawasan ini. .
“Tren permintaan terhadap modul PLTS di kawasan Asia Tenggara semakin meningkat. Momentum tersebut dapat dimanfaatkan oleh negara ASEAN untuk menjadikan Asia Tenggara sebagai pusat rantai pasok PLTS (solar hub) regional dengan mempertimbangkan keunggulan ekonomi masing-masing negara. Pemanfaatan potensi dan proses kolaboratif tersebut pada akhirnya akan mendorong pengembangan industri transisi energi di kawasan dan dapat berkontribusi terhadap penguatan fondasi ekonomi ASEAN untuk mewujudkan pusat pertumbuhan (epicentrum of growth) dunia,” papar Arief.
Kerugian Ekonomi di ASEANenergi terbarukan, batubara, ASEAN, transisi energi, net zero emission, CCS, CCUS, PLTU, stranded asset, energi fosil, IESR, COP28, Persetujuan Paris