Jakarta, 27 November 2025 – Indonesia telah menetapkan pembatasan pembangunan PLTU baru untuk mendukung target net zero emission (NZE) 2060. Namun, pemerintah masih memberi pengecualian bagi proyek yang terintegrasi dengan kawasan industri, proyek strategis nasional, atau yang sudah terlanjur direncanakan. Ketentuan ini tertuang dalam Perpres No. 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan, yang saat ini sedang direvisi.
Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai pembatasan PLTU perlu disertai percepatan pensiun dini seluruh PLTU batubara (early phase-out) sebelum 2050. Bahkan, dengan instruksi Presiden Prabowo, pensiun ini perlu dilakukan sebelum 2040. Penundaan pensiun PLTU batu bara hanya akan meningkatkan resiko bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia, akibat sinyal negatif untuk investasi seiring menguatnya tren transisi global. Untuk mendorong pergeseran dominasi batu bara ke energi yang ramah lingkungan, IESR menyelenggarakan Brown to Green Conference: Unlocking Enabling Environments for Indonesia to Transition Beyond Coal, yang berlangsung pada 2–3 Desember 2025. Acara ini diselenggarakan oleh IESR dan didukung oleh British Embassy Jakarta melalui proyek Green Energy Transition Indonesia (GETI). Acara ini dapat diikuti secara daring dengan mendaftar di s.id/BrowntoGreen.
Langkah menuju pensiun dini PLTU di tahun 2050 dapat dimulai dengan hanya mengoperasikan PLTU tertentu, yang umur ekonomisnya panjang, secara fleksibel untuk mendukung integrasi energi terbarukan variabel ke dalam jaringan listrik. Hal ini dapat dilakukan pada PLTU yang beroperasi di dalam jaringan ketenagalistrikan milik PLN (on-grid). Selain itu, infrastruktur PLTU dapat dialihfungsikan menjadi sebuah pembangkit listrik panas bumi dengan menanggalkan tungku bakarnya dan memanfaatkan panas bumi untuk menghasilkan uap. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh konsorsium IESR bersama Purnomo Yusgiantoro Centre, UGM, Universitas Brawijaya, Project InnerSpace, dan Geoenergies, Indonesia memiliki potensi teknis panas bumi 2.160 GW. Potensi teknis ini memasukkan sumber-sumber panas bumi generasi berikutnya (next generation geothermal), di mana sumber panas bumi berasal dari lapisan batuan panas (hot rock) yang dijumpai pada kedalaman 3.000 meter ke atas.
Raditya Wiranegara, Manajer Riset IESR, menjelaskan bahwa operasi fleksibel PLTU penting untuk mengakomodasi meningkatnya bauran energi terbarukan, menekan biaya pembangkitan seiring terus turunnya biaya energi terbarukan, menyediakan fungsi penyeimbang sistem (balancing resources), dan memenuhi regulasi emisi yang semakin ketat.
“Kajian kami menunjukkan bahwa pengoperasian PLTU secara fleksibel, dengan faktor kapasitas 40–65 persen dan menggunakan acuan harga batu bara internasional, dapat menghemat biaya pembangkitan secara signifikan. Kekurangan energi akibat penurunan operasi tersebut dapat digantikan oleh PLTS,” ujar Raditya.
Raditya menambahkan bahwa tantangan juga muncul dari pembangkit listrik yang beroperasi di luar jaringan ketenagalistrikan milik PLN, atau yang seringkali disebut sebagai pembangkit listrik captive. Di masa lalu, pembangkit listrik captive didominasi oleh pembangkit listrik berbahan bakar solar. Namun, dengan semakin menguatnya agenda hilirisasi nasional, jumlah PLTU batu bara captive menjadi pilihan utama sehingga jumlah yang terus meningkat. IESR menilai bahwa pemerintah perlu mendorong para pemilik aset captive ini untuk dapat memanfaatkan energi terbarukan langsung di lokasinya. Opsi lainnya, tentu dapat diperluas hingga penggunaan listrik dari jaringan ketenagalistrikan milik PLN.
Sementara itu, Deon Arinaldo, Manajer Transformasi Sistem Energi IESR, menilai bahwa selain energi surya dan angin yang bersifat variabel, potensi panas bumi Indonesia yang mencapai hingga 2.160 GW dapat menjadi alternatif untuk pasokan listrik dan panas industri.
“Kebutuhan industri tertentu akan listrik dan energi panas rendah karbon dapat dipenuhi melalui pemanfaatan panas bumi, terutama untuk industri yang membutuhkan panas di bawah 200 derajat Celsius. Selain itu, pemanfaatan langsung panas bumi masih sangat minim sehingga menjadi peluang besar. Indonesia juga memiliki pengalaman panjang di sektor minyak dan gas, yang seharusnya dapat mempermudah pengembangan panas bumi,” ungkap Deon.