Mengatasi Krisis Persampahan di Bali: Kurangi Sampah dari Sumbernya dan Pengembangan Infrastruktur Pengelolaan Sampah

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa

Bali, 11 Februari 2025 – Krisis pengelolaan sampah yang terjadi di Bali membutuhkan prioritas penanganan segera untuk mencegah dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi, yang merugikan masyarakat Bali. Demikian salah satu kesimpulan dari Diskusi Bali Bicara Darurat Sampah yang diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), yang tergabung dalam Koalisi Bali Emisi Nol Bersih, bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Bali pada Senin (10/2). Dalam jangka pendek, perlu ada solusi untuk mengatasi penuhnya Tempat Penampungan Akhir (TPA) Suwung sehingga tidak mengorbankan kepentingan publik yang lebih luas. Krisis Persampahan

Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), timbulan sampah di Provinsi Bali pada 2024 mencapai 1,2 juta ton. Kota Denpasar menjadi penyumbang terbesar  dengan jumlah sampah sekitar 360 ribu ton, dengan sampah organik yang berasal dari sisa makanan dan ranting kayu mendominasi, mencapai 68,32 persen. 

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa mengatakan dalam kurun waktu 2000-2024, timbulan sampah di Bali naik 30 persen. Penyebab meningkatnya timbulan sampah di antaranya kurangnya kesadaran pengelolaan sampah di sebagian besar masyarakat, termasuk kenaikan wisatawan ke Bali. Selain itu, meski pemerintah kabupaten dan kota memiliki aturan terkait sampah (seperti pemilahan sampah), penegakan aturan dan keterbatasan infrastruktur pengelolaan sampah, serta gaya hidup konsumtif dengan penggunaan kemasan plastik sekali pakai masih menjadi penyumbang meningkatnya volume sampah.

“Kenaikan timbulan sampah, tidak dibarengi dengan kemampuan pengelolaan dan ketersediaan infrastruktur persampahan di Bali, menyebabkan fasilitas ini tidak mampu lagi menampung volume sampah yang terus meningkat,” ujar Fabby. 

Fabby menuturkan penyelesaian masalah sampah memerlukan pendekatan holistik dan terpadu dengan menekankan pada ekonomi sirkuler yaitu penegakan hukum, pembangunan infrastruktur persampahan, khususnya TPA, pemberian insentif/disinsentif ekonomi yang mencerminkan biaya pengolahan sampah, serta memobilisasi partisipasi masyarakat untuk mengurangi sampah, dan mengolah sampah organik di sumber atau di tingkat komunitas. Hal ini mencakup dorongan bagi produsen untuk mengurangi penggunaan kemasan plastik. Sementara konsumen didorong untuk mengadopsi gaya hidup yang tidak bergantung pada plastik dan produk plastik sekali pakai lainnya dan melakukan pengurangan serta pemilahan sampah. Ia juga menjelaskan bahwa meskipun opsi pengolahan sampah menjadi energi tersedia, investasi waste to energy (WtE) sangat mahal dan dapat membebani keuangan pemerintah daerah. Oleh karena itu, mengurangi sampah dari sumbernya dan mengolahnya menjadi solusi yang paling ekonomis.

“Tidak ada satu solusi tunggal yang bisa menyelesaikan masalah sampah di Bali. Dibutuhkan pendekatan yang terpadu dan menyeluruh, melibatkan semua pihak dari masyarakat, pemerintah, hingga industri. Selain itu, perlu pula menanamkan pola pikir circular economy dan tanggung jawab pengelolaan sampah di masyarakat yang memahami bahwa  pengolahan sampah di Indonesia berbiaya sangat mahal, mencapai USD 100/ton. Oleh karenanya pengurangan sampah di sumber adalah pilihan yang paling murah,” ujar Fabby. 

I Made Dwi Arbani, Kepala Bidang Pengelolaan Sampah, Limbah B3, Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, DKLH Provinsi Bali menuturkan, Bali menghadapi tantangan serius dalam pengelolaan sampah, termasuk over kapasitas Tempat Penampungan Akhir (TPA), keterbatasan lahan, serta peningkatan volume sampah setiap tahunnya. Untuk mengatasinya, paradigma pengelolaan sampah di Bali mulai bergeser dari sistem linear berbasis TPA, menuju  ekonomi sirkular yang berkelanjutan. Dalam Peta Jalan Kerthi Ekonomi Bali 2045, salah satu indikator pengelolaan sampah adalah 100 persen sampah terkelola.

“Hal ini mencakup pengurangan sampah melalui gaya hidup berkelanjutan, seperti belanja dengan membawa wadah sendiri dari rumah, penggunaan kembali produk daur ulang dan mengusahakan pengolahan sampah menjadi kompos, termasuk pemanfaatan teknologi larva BSF (Black Soldier Fly) untuk mengolah sampah organik, waste to energy melalui pemanfaatan sampah menjadi biogas, serta peningkatan kapasitas fasilitas pengolahan sampah yang lebih dekat dengan masyarakat, termasuk pembangunan Tempat Pengolahan Sampah Reduce-Reuse-Recycle (TPS3R) dan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) di berbagai daerah,” ujar Dwi Arbani. 

Sementara itu, Direktur Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali, Catur Yudha Hariani menjelaskan berbagai solusi penanganan sampah. Secara jangka pendek, menurutnya perlunya peraturan yang memperjelas peran pemerintah, desa adat, masyarakat dan swasta dengan serta penegakan hukum terkait pengelolaan sampah. Selain itu, secara kolaboratif melakukan edukasi kepada masyarakat dengan melibatkan pemerintah, komunitas, LSM, akademisi, dan sektor swasta. 

Share on :

Leave a comment