Jakarta, 4 Juli, 2024- Pemerintah perlu memacu transisi energi dengan beralih dari ketergantungan pada energi fosil yang padat emisi ke energi terbarukan untuk menurunkan emisi di sektor energi secara signifikan dan mencapai target netral karbon pada 2060 atau lebih cepat. Indonesia dapat belajar dari pengalaman negara seperti Norwegia yang telah berhasil mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan hampir mencapai 100 persen energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan. Untuk itu, Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), bekerja sama dengan Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Kedutaan Besar Norwegia, menyelenggarakan seminar “Norway and Indonesia Energy Seminar and Business Exchange on Green Transition” agar dapat saling berbagi pembelajaran, peluang dan tantangan dalam mempercepat transisi energi.
Terje Aasland, Menteri Energi Norwegia, menyatakan bahwa pemerintah Norwegia, sebagai anggota International Partners Group (IPG) untuk Just Energy Transition Partnership (JETP) sangat mendukung tujuan pengurangan emisi Indonesia yang ambisius untuk mencapai target NZE. Beliau menekankan bahwa selain menerapkan kebijakan dan kerangka kerja yang ketat mengenai emisi gas rumah kaca dan standar lingkungan, penting juga untuk menyoroti peran utama perusahaan dalam mengenali peluang untuk solusi ramah lingkungan dan berkelanjutan.
“Indonesia dan Norwegia telah menetapkan target NZE yang ambisius, dengan tujuan internasional yang aspiratif, seperti mewujudkan tujuan Persetujuan Paris. Saya menantikan ambisi pemerintah Indonesia untuk mencapai NZE pada tahun 2060 atau lebih cepat, dengan fokus pada sektor energi. Untuk mendekarbonisasi energi, Norwegia sedang mengembangkan teknologi ramah lingkungan yang baru, seperti CCUS, hidrogen, dan lainnya,” ujar Aasland.
Bambang Brodjonegoro, Ketua ICEF, menyatakan bahwa meskipun Indonesia bergantung pada energi batubara, peralihan ke energi terbarukan sangat penting karena Indonesia berkomitmen pada Persetujuan Paris. Ia berharap Indonesia dapat belajar dari Norwegia dalam mengelola cadangan batubara dan mempersiapkan transformasi ke energi terbarukan.
“Setidaknya ada tiga hal yang harus dipersiapkan untuk transisi energi, yaitu pengembangan energi terbarukan, pembangunan infrastruktur transmisi, dan menjadi produsen penyimpanan energi. Dengan Norwegia, Indonesia dapat mengembangkan teknologi, serta membangun kemitraan komersial dan bisnis di bidang energi terbarukan dengan menyediakan pendanaan jangka panjang dan lebih murah,” ujar Bambang.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, menyatakan bahwa transisi energi memiliki implikasi yang signifikan terhadap industri bahan bakar fosil, termasuk menurunnya permintaan bahan bakar fosil dan meningkatnya tekanan dari pemerintah, investor, pelanggan, dan masyarakat untuk mengurangi emisi. Selain itu, juga melibatkan inovasi untuk tetap kompetitif di pasar. Oleh karena itu, ia menekankan, para pelaku usaha, khususnya di sektor minyak dan gas, perlu memitigasi implikasi tersebut dengan menyesuaikan strategi operasi dan investasi mereka untuk mengatasi ketidakpastian permintaan dan teknologi saat ini dan di masa depan.
“Untuk membatasi suhu di bawah 1,5 derajat Celcius, negara-negara harus mengadopsi kebijakan dan langkah-langkah untuk mengurangi emisi dan meningkatkan ketahanan. Hal ini termasuk menerapkan pajak karbon, mensubsidi teknologi rendah karbon, dan menghapus infrastruktur bahan bakar fosil secara bertahap. Jika bisnis gagal melakukannya, maka membawa risiko terhadap reputasi mereka,” jelas Fabby.
transisi energi, energi terbarukan, energi fosil, net zero emission, Indonesia, Norwegia, bisnis rendah emisi, dekarbonisasi, investasi energi, bahan bakar fosil