Meredupnya Komitmen Pensiun Dini PLTU Batu Bara Akan Hambat Transisi Energi Hijau

Jakarta, 4 Desember 2025 – Meski Indonesia telah menerbitkan Permen ESDM No. 10/2025 yang seharusnya mengatur peta jalan pengakhiran operasi PLTU untuk mencapai target net-zero emission (NZE) 2060 atau lebih cepat, pelaksanaannya belum menunjukkan progres konkret. Walaupun Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyampaikan komitmen terus mendukung pensiun PLTU Cirebon-1 (660 MW), namun hingga kini belum ada tindak lanjut komitmen tersebut.

Di sisi lain, muncul  wacana PLN akan membatalkan pensiun dini PLTU Cirebon-1 karena biaya penalti yang harus dibayarkan selama lima tahun dinilai terlalu besar, mencapai sekitar Rp60 triliun. Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang keputusan PLN dilandasi oleh ketidakpastian akibat persetujuan tidak kunjung diberikan oleh pemerintah. Rencana pensiun dini PLTU Cirebonn-1 dimulai di 2021 saat Indonesia menjadi bagian dari Energy Transition Mechanism (ETM) yang diluncurkan ADB bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani di Conference of Parties (COP26) di Glasgow.  

Rencana tersebut dilanjutkan saat Indonesia menjadi Presiden G20 dan menyepakati Just Energy Transition Partnership (JETP) di tahun yang sama. Rencana pensiun dini PLTU Cirebon-1 telah melalui proses kajian kelayakan teknis dan ekonomis, dan sejumlah kesepakatan antara PLN dan PT Cirebon Electric Power. Asian Development Bank (ADB) juga telah menyiapkan dukungan pembiayaan untuk pensiun dini ini, tetapi masih dinilai belum memadai oleh pemerintah Indonesia.   

IESR menilai bahwa apabila pemerintah tidak segera memfinalkan keputusan pensiun PLTU Cirebon, maka akan mengurangi kredibilitas negara dan memperburuk iklim investasi di Indonesia, karena langkah tersebut tidak selaras dengan komitmen yang dibuat Indonesia sendiri. Selain itu, pembatalan rencana pensiun dini PLTU Cirebon-1 akan memperlambat transisi energi menuju dekarbonisasi di sektor kelistrikan Hal ini bertentangan dengan tujuan Presiden Prabowo yang ingin meninggalkan energi fosil sepuluh tahun dari sekarang, sebagaimana disampaikan pada pidato kenegaraan di DPR pada 15 Agustus 2025 lalu.

Chief Executive Officer (CEO) IESR, Fabby Tumiwa, menilai keengganan pemerintah dan PLN untuk mewujudkan pensiun dini PLTU batu bara menunjukkan kemunduran komitmen transisi energi. Adanya kekhawatiran terhadap biaya pensiun dini yang dianggap tinggi hanya melihat dari biaya kompensasi kontrak belaka dan tidak mempertimbangkan manfaat ekonomi yang lebih besar dari penurunan biaya polusi dan kesehatan publik. Selain itu, biaya yang tinggi tersebut muncul karena kebijakan dan regulasi yang dibuat oleh pemerintah sendiri, yang hingga kini enggan dikoreksi. 

Kajian yang dilakukan IESR menunjukkan bahwa pensiun dini PLTU sebelum 2050 justru memberikan keuntungan ekonomi jangka panjang dibandingkan membiarkan PLTU beroperasi hingga usia pensiun alami.

“Secara umum, biaya pensiun dini PLTU menjadi mahal karena struktur Purchase Power Agreement (PPA) PLTU, di mana terdapat klausul take or pay (TOP) yang membuat PLN harus membayar listrik pada tingkat kapasitas dan tinggi dan kontrak PPA selama 30 tahun, tiga kali dari waktu normal pengembalian investasi (payback period). Selain itu kebijakan domestic market obligation untuk batubara, membuat risiko harga bahan bakar ditanggung oleh PLN dan negara sehingga seolah-olah biaya pembangkitan listrik PLTU murah. Kebijakan ini juga membuat pembangkit energi terbarukan tidak dapat berkompetisi secara adil,” kata Fabby . 

Fabby juga menambahkan bahwa listrik dari PLTU sejatinya tidak murah karena ada eksternalitas yang tidak pernah dihitung, yaitu dampak kesehatan dan biaya akibat polusi udara yang harus ditanggung oleh masyarakat dan pemerintah dalam bentuk kenaikan beban BPJS. Selain itu kajian IESR menemukan bahwa manfaat pensiun dini PLTU ditinjau dari penghematan subsidi, penurunan risiko dan biaya kesehatan, justru 2 hingga 4 kali lebih besar dibandingkan biaya pensiun dini itu sendiri. 

Studi IESR di tahun 2022, memperkirakan biaya pensiun dini PLTU di sistem PLN yang sesuai dengan target Persetujuan Paris, yaitu 9,2 GW di 2030,  memerlukan biaya mencapai USD 4,6 miliar (Rp73,6 triliun). Nilainya akan  meningkat menjadi USD 27,5 miliar (Rp440 triliun) untuk mempensiunkan PLTU sisanya hingga 2045. Namun, potensi penghematan yang diperoleh jauh lebih besar. Subsidi listrik batu bara yang dapat dihindari diperkirakan mencapai USD 34,8 miliar (Rp556 triliun), sementara penghematan biaya kesehatan publik mencapai USD 61,3 miliar (Rp980 triliun) pada periode yang sama. 

Selain itu, kebutuhan investasi energi terbarukan, jaringan listrik dan penyimpan energi untuk menggantikan energi dari pengakhiran operasi PLTU dan memenuhi penambahan permintaan tenaga listrik baru sekitar USD 1,2-1,3 triliun hingga 2050. Namun yang perlu dicatat bahwa biaya tersebut sesungguhnya merupakan investasi kelistrikan, tidak dinikmati oleh pemilik aset dan aset seluruh infrastruktur tersebut akan menjadi aset PLN dan negara di masa depan. 

Keputusan pembatalan pensiun dini PLTU Cirebon I, akan menjadi pionir bagi percepatan penghentian PLTU lainnya di Indonesia dengan menggunakan skema ETM atau blended finance, dan memperkuat transisi energi hijau di Indonesia.

Share on :