Jakarta, 22 Agustus 2024 – Pemerintah baru saja memutakhirkan dua aturan mengenai tingkat kandungan komponen dalam negeri (TKDN). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) telah menerbitkan Permen ESDM No. 11/2024 tentang Penggunaan Produk Dalam Negeri untuk Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan. Aturan ini memuat relaksasi penerapan tingkat kandungan komponen dalam negeri (TKDN) untuk pembangkit listrik energi terbarukan. Khusus untuk pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) memperoleh relaksasi sementara yang diberikan dengan syarat proyek tersebut menandatangani PJBL paling lambat 31 Desember 2024 dan beroperasi secara komersial paling lambat tanggal 30 Juni 2026, sesuai rencana usaha penyediaan tenaga listrik.
Selain itu Kementerian Perindustrian merilis Permenperin No. 34/2024 tentang Tata Cara Penghitungan Nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) Produk Modul Surya yang digunakan sebagai komponen pembuatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Aturan ini tidak menyertakan batasan minimal TKDN untuk modul surya yang harus dipenuhi oleh industri pembuatan modul surya. Selain bahan, komponen lokal yang dihitung pada aturan Permenperin No. 34/2024 termasuk tenaga kerja dan biaya produksi di dalam negeri.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa pada Pojok Energi, Menakar Pengaruh Relaksasi TKDN Terhadap Industri PLTS Lokal pada Senin (19/8/2024), menyatakan bahwa Permenperin No.34/2024 dan Permen ESDM No. 11/2024 dimaksudkan untuk mempercepat pelaksanaan proyek PLTS di Indonesia yang selama tiga tahun terakhir terkendala pelaksanaannya dan untuk menarik investasi.
“Pada aturan TKDN modul surya yang diterbitkan oleh Kementerian Perindustrian, pengembang PLTS hanya dianjurkan untuk menggunakan komponen dalam negeri untuk mendapatkan nilai TKDN yang lebih tinggi. Sementara, dalam Permen ESDM No 11 Tahun 2024 ini tidak hanya mengatur penggunaan produk dalam negeri untuk PLTS saja tetapi mengatur pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan energi terbarukan keseluruhan. Selama ini proyek PLTS mengalami kendala implementasi karena aturan TKDN tidak sesuai perkembangan industri modul surya dalam negeri dan kebutuhan dan ketentuan lembaga keuangan yang memberikan pendanaan untuk proyek PLTS,” jelas Fabby.
Analisis IESR menunjukkan terdapat beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya saing industri manufaktur PLTS lokal. Pertama, mendorong insentif fiskal dan non-fiskal untuk mengurangi biaya produksi. Kedua, kerjasama dengan produsen global untuk transfer teknologi. Ketiga, kepastian regulasi dan pasar domestik.
Keberadaan industri manufaktur PLTS domestik ke depannya dapat menjadi andalan dalam memasok kebutuhan PLTS di Indonesia. Berdasarkan pada draft Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024 menunjukkan bahwa kontribusi energi surya dalam bauran energi nasional diproyeksikan akan mencapai 13 persen pada tahun 2060, dengan kapasitas energi terbarukan sebesar 14 GW pada tahun 2030 dan meningkat hingga 134 GW pada tahun 2060. Ini menandakan kebutuhan pemasangan pembangkit surya sebanyak kurang lebih 2 GW per tahun.
Fabby mengingatkan bahwa penguatan industri lokal tidak hanya bergantung pada aturan TKDN semata, tetapi juga pada upaya pemerintah untuk menciptakan permintaan yang stabil dan signifikan bagi produk-produk lokal.
“Kebijakan yang konsisten dan dukungan terhadap riset dan pengembangan teknologi energi terbarukan sangat diperlukan untuk memastikan industri dalam negeri dapat bersaing di pasar global. Selain itu, pemerintah perlu mengawal implementasi aturan ini dengan cermat, memastikan bahwa relaksasi TKDN tidak hanya menjadi alat untuk mengejar target jangka pendek, tetapi juga sebagai langkah strategis untuk mendorong pertumbuhan industri energi terbarukan yang berkelanjutan di Indonesia,” tegas Fabby.