Peluang Menguntungkan Pemanfaatan Bersama Jaringan Transmisi untuk Energi Terbarukan

Jakarta, 29 April 2025 –  Pemerintah menerbitkan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2025  yang menargetkan bauran energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan sebesar 15,9 persen pada 2025 dan 21 persen pada 2030. Namun, pengembangan energi terbarukan terbilang lambat. Saat ini, bauran energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan baru mencapai 15 persen. Selain itu, investasi energi terbarukan juga stagnan di kisaran USD 1,5–1,8 miliar per tahun, di bawah target USD 2,6 miliar pada 2024. Tanpa ada strategi baru, Indonesia akan kesulitan mencapai target bauran energi dan meningkatkan investasi di sektor kelistrikan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan industri manufaktur.

Salah satu kendala pengembangan energi terbarukan di Indonesia adalah struktur industri kelistrikan yang membuat PLN menguasai seluruh rantai pembangkitan, transmisi, distribusi dan penjualan tenaga listrik. Sebagai pembeli tunggal (single buyer), PLN terbatas dalam mengembangkan energi terbarukan secara agresif untuk memenuhi permintaan pasar, khususnya dari konsumen bisnis dan industri.

RE100, Institute for Essential Services Reform (IESR), dan IEEFA melihat skema pemanfaatan bersama jaringan transmisi (PBJT) khusus untuk energi terbarukan yang disalurkan kepada konsumen bisnis dan industri sebagai sebuah solusi menguntungkan kedua belah pihak (win-win). Skema ini disesuaikan dengan struktur ketenagalistrikan Indonesia, yang dapat mendukung pencapaian target energi bersih yang dicanangkan pemerintah, dan penambahan penerimaan bagi PLN dari jasa sewa jaringan listrik dan layanan tambahan (ancillary service). 

Penjabaran pemanfaatan peran PBJT dalam menarik investasi dan adopsi energi terbarukan ini terangkum dalam kajian kebijakan yang berjudul Mempercepat Investasi Energi Terbarukan di Indonesia – Pemanfaatan Bersama Jaringan Transmisi

Ollie Wilson, Head of RE100, Climate Group mengungkapkan bahwa pemanfaatan jaringan listrik bersama telah menjadi praktik umum di banyak negara. Skema ini memberikan akses bagi industri anggota RE100, yang menargetkan 100% energi terbarukan dalam rantai pasoknya selambatnya pada 2050, untuk memperoleh listrik hijau.

“Penggunaan bersama jaringan transmisi dan distribusi memiliki potensi besar untuk mempercepat investasi swasta dalam masa depan energi terbarukan Indonesia. Dengan lebih dari 130 anggota RE100 yang beroperasi di Indonesia, permintaan akan listrik terbarukan sudah ada. Yang kini dibutuhkan adalah pasar energi yang memungkinkan Indonesia bersaing dengan negara-negara tetangga, serta mewujudkan posisinya sebagai pemimpin dalam pengakhiran dini operasional PLTU batu bara dan visi Indonesia Emas 2045. Bersama PLN, anggota RE100 siap memperluas jaringan listrik dan menciptakan solusi yang saling menguntungkan bagi dunia usaha dan pemerintah,” ujar  Ollie Wilson.

Kajian ini menawarkan skema pemanfaatan bersama jaringan transmisi (PBJT) energi terbarukan yang tetap mengacu pada regulasi yang ada dan empat prinsip utama. Pertama, akses dan penyaluran langsung dari pembangkit ke konsumen industri. Kedua, penerapan tarif yang adil dan transparan. Ketiga, proyek energi terbarukan terhubung ke jaringan dalam waktu dan biaya wajar. Keempat, ada landasan kontrak yang jelas mencakup komitmen pasokan, aturan jaringan dan kontribusi pada biaya penyeimbangan jaringan jika diperlukan. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, menekankan skema PJBT dapat membuka sumber pendapatan baru bagi PLN. Meski demikian, PLN juga harus meningkatkan kapasitasnya untuk memastikan bahwa peranannya sebagai pusat transaksi dalam penggunaan jaringan listrik bersama dapat berjalan secara optimal.

“PJBT akan memberikan manfaat jangka panjang yang lebih besar bagi Indonesia. Ketentuan ini akan dapat meningkatkan daya tarik investasi asing untuk membangun industri yang berorientasi ekspor dan investasi pada pembangkit listrik terbarukan. Seharusnya manfaat untuk kepentingan bangsa ini yang dilihat oleh pemerintah, DPR dan segenap pihak,” ujar Fabby.

Kajian IESR menunjukkan bahwa dengan potensi teknis energi terbarukan lebih dari 3,7 TW, terdapat sekitar 333 GW proyek energi terbarukan yang secara ekonomi menguntungkan dengan regulasi tarif yang berlaku saat ini. Dengan adanya skema PJBT, sektor swasta dapat berinvestasi langsung dalam proyek-proyek baru di luar RUPTL PLN, sekaligus mendukung penguatan infrastruktur jaringan listrik nasional.

Selain itu, IEEFA mencatat bahwa PLN dapat memperoleh manfaat finansial yang signifikan dari skema PJBT, termasuk USD 5 miliar per tahun untuk investasi pembangkit listrik.  Mutya Yustika, Spesialis Keuangan Energi IEEFA, Indonesia, menjelaskan skema PJBT juga dapat membantu menutup celah pendanaan infrastruktur kelistrikan yang diperkirakan mencapai USD 146 miliar.

Kajian kebijakan ini merekomendasikan agar pemerintah memasukkan dukungan terhadap skema PJBT dalam RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) serta mengintegrasikan mekanisme ini ke dalam RUPTL PLN. Untuk memastikan implementasinya, terdapat beberapa langkah yang perlu dilakukan. Pertama, pemerintah perlu menetapkan biaya tambahan di awal bagi pengembang energi terbarukan atau pihak yang ingin menggunakan jaringan listrik. Biaya ini bertujuan untuk mendanai peningkatan dan pengembangan infrastruktur jaringan sebelum proyek mulai beroperasi.

Kedua, pemerintah perlu membentuk anak perusahaan PLN yang khusus menangani transmisi di bawah PLN guna meningkatkan transparansi biaya.  Ketiga, PLN perlu menetapkan sistem kuota tahunan dan rencana pengembangan listrik terbarukan yang komprehensif. Langkah ini akan memberikan kepastian bagi pengembang dan konsumen, sekaligus mendukung stabilitas jaringan listrik nasional.

Penerapan rekomendasi ini dapat menjadikan PJBT sebagai solusi yang menguntungkan bagi pemerintah, PLN, pembangkit listrik swasta dan industri. 

Share on :

Leave a comment