Jakarta, 1 Februari 2023 – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyampaikan capaian kinerja tahun 2022 serta rencana program 2023 di sektor ESDM, Subsektor Ketenagalistrikan dan EBTKE. Berbeda jauh dengan batubara yang produksinya naik 3% dari target mencapai 687 juta ton pada 2022, capaian bauran energi terbarukan di energi primer dan pembangkitan listrik naik hanya sekitar 0,1% dan 0,45% secara berurutan dari tahun sebelumnya. Tidak hanya itu, investasi di sektor energi terbarukan pun masih jauh dari target. Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang bahwa perkembangan ini menjadi lampu kuning bagi pemerintah untuk segera merombak strateginya dalam mencapai target 23% bauran energi terbarukan pada 2025, dan mencapai net zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat.
Bauran energi terbarukan di pembangkitan listrik tercatat sebesar 14,5% dengan kapasitas energi terbarukan yang terpasang sebesar 12.542 MW. Kapasitas terpasang ini melebihi target 2022, namun masih jauh dari target minimal 24 GW di 2025. Rendahnya bauran energi terbarukan di pembangkitan listrik merefleksikan capaian bauran energi terbarukan di energi primer yang hanya mencapai 12,3% (data sementara KESDM) pada 2022.
“Ketertinggalan pembangunan energi terbarukan di sektor kelistrikan dalam 3 tahun terakhir menunjukan ada kekeliruan dan minimnya terobosan dalam strategi pengembangan energi terbarukan. Sejak 2019, kapasitas pembangkit energi terbarukan hanya tumbuh 2 GW, hanya 25% dari kapasitas yang diperlukan untuk mencapai target 23%, sesuai amanat PP No. 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Pengembangan energi terbarukan tersandera dengan dilanjutkannya pembangunan PLTU di program 35 GW padahal target pertumbuhan permintaan listrik tidak tercapai, dan keengganan PLN untuk meningkatkan bauran energi terbarukan dengan dalih over capacity,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.
Pemanfaatan energi surya secara masif dan gotong royong seharusnya menjadi langkah strategis pemerintah untuk mencapai target bauran energi terbarukan. Tahun 2021, PLTS atap menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN) dengan target 3,6 GW hingga 2025 tapi terganjal oleh keengganan PLN menerapkan Permen ESDM No. 26/2021. Dari target kapasitas terpasang energi surya 893 MW di 2022, yang tercapai hanya 270 MW. Bukannya lebih ambisius, di 2023, pemerintah justru menurunkan target pegembangan energi surya hingga separuhnya dari 2022 menjadi 430 MW. Ketegasan dan kejelasan aturan yang mendorong adopsi PLTS sudah selayaknya pemerintah tunjukkan.
“Perkembangan energi terbarukan, khususnya PLTS atap terhadang kepentingan PLN untuk mengejar pertumbuhan penjualan listrik untuk menyerap kelebihan pasokan. Rencana didieselisasi 500 MW PLTD hingga 2024 juga terkendala oleh proses lelang PLN dan minimnya minat investor sehingga realisasinya masih belum ada. Oleh karenanya, pemerintah harus mencari terobosan untuk mengakselerasi PLTS atap. Diperlukan dukungan langsung dari Presiden Jokowi dalam bentuk perintah tegas kepada PLN untuk mengakselerasi perkembangan energi terbarukan dengan sisa dua tahun ini, mengejar 10 GW target di RUPTL dan mengintegrasikan PLTS atap untuk mencapai target PSN,” lanjut Fabby.
Selain itu, pemerintah perlu menyegerakan pelaksanaan Perpres No. 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, terutama dengan merilis peta jalan penghentian pengoperasian PLTU batubara dan penyusunan rencana investasi yang dimaktubkan dalam kemitraan transisi energi berkeadilan (Just Energy Transition Partnership/JETP).
Fabby Tumiwa menambahkan bahwa dari hasil kajian IESR, ada potensi 4,5 GW kapasitas PLTU yang bisa dipensiunkan sebelum 2025, dan tambahan 3 GW dari daftar proyek PLTU di RUPTL 2021-2030 yang punya kemungkinan dibatalkan. Pengakhiran operasi PLTU tua dan tidak efisien sebelum 2025 memungkinkan masuknya energi terbarukan yang lebih besar.
“Kontras dengan janji pemerintah untuk mengurangi PLTU batubara sebelum 2030, produksi batubara justru ditargetkan menjadi 695 juta ton tahun ini. Kenaikan produksi ini berasal dari peningkatan kebutuhan domestik/DMO yang naik menjadi 177 juta ton. Salah satu faktor yang mendorong kenaikan ini adalah permintaan domestik yang berasal dari pembangkitan listrik, termasuk PLTU captive dan PLTU yang terintegrasi dengan kawasan industri (PPU) di luar sistem PLN. Kenaikan permintaan ini menjadi jalan terjal bagi pemerintah untuk mencapai target emisi puncak sektor kelistrikan 290 juta ton CO2 di 2030, seperti yang disepakati di JETP,” jelas Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi IESR.
Selanjutnya pemerintah merencanakan untuk menerapkan B35 pada Februari 2023 dengan alokasi kebutuhan biodiesel sebesar 13 juta kl. Sementara, untuk meningkatkan 40% rasio pencampuran biodiesel diperkirakan membutuhkan produksi 15 juta kl biodiesel. IESR berpandangan Indonesia bahkan bisa mengimplementasikan B40 di akhir 2023.
“Kapasitas produksi biodiesel saat ini sudah mencapai 17,5 juta kl dan akan meningkat terus mendekati angka 19,5 juta kl di akhir 2023 seiring dengan pertambahan beberapa pabrik baru. Jadi, produksi biodiesel bisa dioptimalkan untuk peningkatan campuran biodiesel menjadi B35, bahkan hingga B40. Apalagi jika harga minyak dunia masih cenderung tinggi seperti saat ini. Namun, harus tetap menyeimbangkan keberlanjutan dari produksi CPO-nya,” urai Deon.
IESR memandang pemerintah harus lebih berani dalam memimpin proses transisi energi dan melaksanakan janji dalam Bali Compact, hasil presidensi Indonesia pada G20 2022, dan menunjukkan pengaruhnya dalam kepemimpinan di ASEAN tahun ini untuk menarik lebih banyak investasi di sektor energi terbarukan. Capaian investasi energi terbarukan yang hanya di angka 1,6 miliar USD tergolong kecil.
“Political will untuk pengembangan energi terbarukan perlu ditingkatkan dan juga didukung dengan kekonsistenan regulasi (seperti regulasi PLTS atap) yang memberikan dukungan lebih pada energi terbarukan dibandingkan energi fosil. Sebagai contoh political will ini dapat berkaca dari target pengembangan energi terbarukan pemerintah yang malah turun di tahun ini dibanding sebelumnya. Lainnya seperti perkembangan RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) yang masih memberikan dukungan pada energi fosil sehingga tidak memberikan sinyal yang jelas ke pasar. Kepercayaan investor dalam berinvestasi ke energi terbarukan di Indonesia perlu dibangun karena merupakan prasyarat mutlak untuk menarik investasi, ” imbuh Deon.
Energi Terbarukan