Jakarta, 26 Juli 2025 – “Kalau Indonesia ingin ekonomi tumbuh di atas enam persen, maka kita harus mengintegrasikan penurunan emisi dan pemanfaatan energi terbarukan. Sesederhana itu,” tegas Fabby Tumiwa, Chief Executive Officer (CEO) Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam seminar “Menemukan Keseimbangan antara Ketahanan dan Kelestarian Lingkungan” yang dilaksanakan oleh FPCI (26/7/2025) di Jakarta.
Fabby merujuk pada kajian Low Carbon Development Initiative (LCDI), oleh Bappenas yang menyatakan bahwa untuk keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah dan menjadi negara maju, Indonesia harus mendorong pertumbuhan ekonomi yang sejalan dengan perlindungan lingkungan dan penurunan emisi gas rumah kaca.
Fabby menyanggah anggapan bahwa komitmen iklim yang ambisius dalam Second Nationally Determined Contribution (SNDC) akan mengganggu pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, justru sebaliknya. Peningkatan target penurunan emisi menjadi prasyarat untuk mendorong ekonomi yang lebih hijau dan berkelanjutan. Selanjutnya, menopang pertumbuhan ekonomi dengan investasi yang lebih hijau.
“Polusi udara di Jakarta itu menyebabkan penurunan produktivitas dan kerugian ekonomi puluhan triliun per tahun. Studi Bappenas menyatakan dampak perubahan iklim itu bisa mengurangi pendapatan ekonomi kita sekitar Rp550 triliun. Artinya, kita perlu mengarahkan investasi ke sektor yang lebih hijau,” jelas Fabby.
Untuk menarik lebih banyak investasi hijau, pemerintah perlu membangun kepercayaan investor melalui pemberantasan korupsi, kepastian kebijakan, dan kemampuan dalam menyediakan energi terbarukan, yang kini menjadi pertimbangan penting untuk industri manufaktur dan pusat data.
“Jika Indonesia tidak mampu memenuhi kebutuhan energi terbarukan, investor akan memilih negara lain seperti Malaysia atau Vietnam, yang intensitas emisinya lebih rendah dibandingkan Indonesia,” imbuh Fabby.
Fabby juga menekankan pentingnya menelaah semua solusi penurunan emisi secara keekonomian dan dampak lingkungannya, termasuk untuk pembangkit energi berbasis biomassa, panas bumi, hingga PLTS atap.
“Bicara penggantian bahan bakar di PLTU dari batubara ke biomassa, perlu dilihat sumber biomassanya. Jika menggunakan pohon, sebaiknya ditanam di lahan kritis dan diproses menjadi wood chip untuk mempermudah distribusi. Selain itu, transportasi jarak jauh justru akan meningkatkan emisi akibat konsumsi BBM,” jelas Fabby.
Menurutnya, jarak paling optimal antara bahan baku (feed stock) dengan PLTU adalah kurang dari 30 km.
Sementara, terkait panas bumi, Fabby mengungkapkan Indonesia mempunyai sekitar 40 persen cadangan dunia. Hanya saja,banyak lokasinya berada di kawasan hutan. Ia mendorong perlu adanya keselarasan antara regulasi dengan pelaksanaan agar kelestarian lingkungan tetap terjaga dan tidak merusak hutan.
Fabby juga menyoroti pentingnya pelaksanaan regulasi untuk mendorong adopsi PLTS atap. Ia menyebut bahwa Peraturan Presiden No. 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) telah mewajibkan bangunan pemerintah memanfaatkan 30 persen atapnya dan bangunan mewah 25 persen atapnya untuk PLTS.
“Kalau aturan ini dilaksanakan Indonesia itu bisa menyediakan energi terbarukan yang murah dari matahari. Kita bisa dengan cepat melakukan transisi energi dengan harga yang murah dan tanpa subsidi pemerintah. Pemilik bangunan rumah mewah di atas 100 meter persegi cukup banyak dan potensinya itu ratusan giga watt. Jadi sebenarnya transisi energi itu tidak susah, asal aturannya dijalankan,” tutup Fabby.