Peran Strategis Keketuaan Malaysia dalam Memimpin Transisi Energi di ASEAN

Putrajaya, 20 Februari 2025 – Institute for Essential Services Reform (IESR) melalui Koalisi Transisi Energi di Asia Tenggara  (Southeast Asia Energy Transition Coalition, SETC) mendorong Malaysia, sebagai Ketua Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) 2025 mendorong dan melaksanakan agenda transformasi energi di ASEAN sebagai kontribusi kawasan dalam mitigasi krisis iklim.  Beberapa langkah strategis yang Malaysia dapat lakukan di antaranya memperkuat komitmen, kolaborasi dan kebijakan regional, meningkatkan investasi energi bersih, dan membangun ekosistem industri energi terbarukan.

IESR menilai ASEAN, sebagai kawasan dengan pertumbuhan ekonomi tercepat, masih tertinggal dalam transisi energi terbarukan. Kondisi ini berisiko menaikkan emisi karbon, meningkatkan kerentanan ekonomi, memperlemah ketahanan energi dan menghambat pencapaian target Persetujuan Paris untuk  membatasi suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius. 

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa mengatakan saat ini, porsi energi terbarukan dalam total pasokan energi primer ASEAN masih berada di angka 15,6 persen, jauh di bawah target 23 persen pada 2025. Padahal, kawasan ini memiliki potensi energi terbarukan lebih dari 17 terawatt. Sayangnya, investasi yang masuk masih minim. ASEAN hanya menerima 2 persen dari investasi energi terbarukan global, meski menyumbang 6 persen dari PDB dunia dan 5 persen dari permintaan energi global.

“Ketergantungan pada bahan bakar fosil masih sangat kuat. Tanpa intervensi besar, bahan bakar fosil diperkirakan akan memasok  hingga 75 persen kebutuhan energi ASEAN di masa depan. Dampaknya tidak hanya pada peningkatan emisi karbon, tetapi juga meningkatkan kerentanan ekonomi kawasan,” kata Fabby pada Seminar National “Accelerating Energy Transition in Southeast Asia and the Role of ASEAN Chairmanship Malaysia”, Kamis (20/2/2025) di Putrajaya, Malaysia. Acara ini diselenggarakan oleh IESR dalam SETC, bekerja sama dengan Institute for Energy Policy and Research (IEPRe) dan Solar Energy Research Institute (SERI).

Fabby menjelaskan ketergantungan pada bahan fosil semakin membebani ekonomi kawasan. Pada 2023, negara-negara ASEAN menghabiskan lebih dari USD 130 miliar untuk impor minyak, hampir empat kali lipat dari investasi dalam energi berkelanjutan. Selain itu, subsidi bahan bakar fosil mencapai lebih dari USD 105 miliar pada 2022. 

Fabby mengingatkan bahwa tanpa perubahan kebijakan, ASEAN berisiko menjadi importir bersih gas alam pada 2027. Hal ini diprediksi dapat meningkatkan pengeluaran impor bahan bakar fosil hingga lebih dari USD 140 miliar pada 2030, yang dapat membebani anggaran nasional dan meningkatkan risiko geopolitik. 

Untuk menjawab tantangan tersebut, IESR mendorong agenda transformasi energi ASEAN (ASEAN Energy Transformation Agenda) yang bertumpu pada empat pilar utama. Pertama, percepatan pengembangan dan integrasi energi bersih, seperti membentuk ASEAN Just Energy Transition Partnership (ASEAN-JETP) untuk membuka pendanaan hingga USD 130 miliar per tahun hingga 2030. Kedua, menjadikan ASEAN sebagai pusat manufaktur dan perdagangan energi bersih, misalnya dengan meluncurkan ASEAN Clean Energy Industrial Strategy untuk menarik lebih dari USD 100 miliar investasi dalam sektor sel surya, kendaraan listrik, baterai, turbin angin, dan hidrogen hijau. Ketiga, memperkuat investasi hijau dan mekanisme pembiayaan, dengan memperluas taksonomi hijau ASEAN dan kerangka keuangan berkelanjutan untuk menarik investor global dan penerbitan obligasi hijau. Keempat, meningkatkan koordinasi kebijakan dan pengembangan tenaga kerja, seperti mendirikan ASEAN Clean Energy Workforce Initiative guna menciptakan lebih dari 3 juta lapangan kerja di sektor manufaktur, teknik, dan inovasi digital, dan membentuk ASEAN Clean Energy Research and Development Center untuk mendorong riset dan inovasi teknologi energi bersih.

Dr. Norasikin Ahmad Ludin, Deputi Direktur Solar Energy Research Institute (SERI), Universiti Kebangsaan Malaysia menegaskan, ASEAN berada di titik krusial dengan permintaan energi yang meningkat tajam dan kebutuhan mendesak untuk mengatasi perubahan iklim. 

“Malaysia memiliki peluang strategis untuk memimpin integrasi dan inovasi dalam transisi energi kawasan.Selama masa kepemimpinan ini, kami berharap Malaysia dapat memprioritaskan perluasan energi terbarukan, penguatan kerangka kebijakan, dan peningkatan kerja sama regional,” ujarnya.

Dr. Nora Yusma Binti Mohamed Yusoff, Direktur Institute of Energy Policy and Research (IEPRe), menegaskan bahwa transisi energi bukan hanya tentang memastikan keterjangkauan (affordability) dan keberlanjutan pasokan energi, tetapi juga perlu didukung oleh transformasi teknologi. Ini mencakup peralihan dari ketergantungan pada teknologi luar negeri ke pengembangan teknologi mandiri. 

“ASEAN harus bekerja sama dalam mengembangkan teknologi buatan regional serta mengusulkan pembentukan perdagangan kolektif untuk memanfaatkan skala ekonomi secara optimal. Selain itu, fokus juga perlu diberikan pada investasi langsung asing (Foreign Direct Investment, FDI) hijau, mengingat penelitian terbaru menunjukkan bahwa FDI merupakan salah satu kontributor utama emisi karbon di ASEAN. Oleh karena itu, kebijakan perdagangan hijau (green trade policy) perlu dirancang untuk mengurangi dampak emisi karbon serta memastikan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan di kawasan ini,” katanya.

Share on :

Leave a comment