Revisi Aturan Bangun PLTU Berisiko Hambat Pertumbuhan Ekonomi

Jakarta, 14 November 2025 – Pemerintah sedang menggodok perubahan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Beberapa usulan revisi di antaranya pelonggaran syarat pembangunan PLTU batu bara baru dengan tujuan menjaga keandalan sistem. Selain itu, terdapat penambahan dengan memasukkan pengaturan pembangkit listrik tenaga hibrida (PLT hibrida) yang memungkinkan kombinasi energi fosil dengan energi terbarukan.

Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai dua usulan perubahan tersebut berpotensi meningkatkan harga tenaga listrik, melemahkan daya saing,  dan menambah risiko aset fosil yang mangkrak (stranded), serta mengancam transisi energi .

Alasan membangun PLTU batu bara baru demi menjaga keandalan sistem juga bertentangan dengan ambisi dan perintah Presiden Prabowo yang menargetkan penggunaan 100% energi terbarukan dalam sepuluh tahun ke depan.

IESR menegaskan bahwa keandalan sistem dapat dipertahankan tanpa menambah PLTU batu bara. Ekspansi jaringan dan transmisi serta pengembangan panas bumi, hidro, dan energi terbarukan yang variabel seperti energi surya, dan angin yang dipadukan dengan sistem penyimpanan energi (energy storage), dapat menggantikan peran PLTU untuk menjaga keandalan.

Selain itu, berbagai bukti menunjukkan bahwa keberadaan PLTU batu bara tidak selalu menjamin keandalan sistem. Salah satunya terlihat dari pemadaman listrik di Pulau Timor pada November 2025 yang disebabkan gangguan pada unit PLTU Timor, meskipun PLTU 2 x 50 MW ini beroperasi pada 2023. 

Chief Executive Officer (CEO) IESR, Fabby Tumiwa mengungkapkan dengan derasnya laju transisi energi global, revisi Perpres ini seharusnya memperkuat ketentuan pengakhiran operasi PLTU di 2050 dan juga melarang pembangunan PLTU batu bara baru termasuk diperluas untuk PLTU yang terintegrasi dengan industri, mulai 2025.

“Indonesia telah menyepakati Just Energy Transition Partnership (JETP) yang menargetkan 34 persen bauran energi terbarukan pada 2030 oleh pemerintah sebelumnya. Di berbagai kesempatan Presiden Prabowo kerap menyebutkan komitmennya untuk mengakhiri PLTU batu bara dalam 10-15 tahun ke depan. Adanya rencana kebijakan yang permisif terhadap pembangunan PLTU akan menurunkan kredibilitas Indonesia dan memberikan sinyal negatif investasi karena tidak konsisten dengan aspirasi transisi energinya,” jelas Fabby.

Lebih jauh, skema mencampurkan energi terbarukan dengan energi fosil dalam PLT hibrida berisiko memperpanjang penggunaan energi fosil dan meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK). IESR mendesak agar PLT hibrida seharusnya hanya digunakan untuk menggabungkan sesama energi terbarukan.

Manajer Program Transformasi Sistem Energi IESR, Deon Arinaldo menyebutkan bahwa PLT hibrida antara pembangkit fosil dengan energi terbarukan akan membuat Indonesia semakin terjebak pada aset fosil dan risiko aset terlantar. Emisi ketenagalistrikan juga berpotensi melonjak dari rata-rata saat ini (0,85–0,87 kgCO₂e/kWh) jika pembangunan PLTU batu bara dilonggarkan.

“Lonjakan emisi di sektor ketenagalistrikan akan berimbas pada turunnya daya saing industri yang sedang dituntut melakukan efisiensi dan elektrifikasi untuk menurunkan jejak karbon produknya. Produk Indonesia berisiko kalah bersaing di pasar global, termasuk ekspor Uni Eropa yang telah menerapkan standar emisi ketat. Kondisi ini bisa menghambat target pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8%,” kata Deon.

Deon juga mengungkapkan kekhawatirannya jika Indonesia bersikeras mempertahankan dominasi energi fosil, maka banyak perusahaan multinasional, terutama anggota RE100 yang menargetkan 100% energi terbarukan, memilih menahan ekspansi bisnisnya, bahkan hengkang dari Indonesia.

Untuk itu, IESR mendesak pemerintah untuk tetap berkomitmen mengakhiri operasi PLTU pada 2050, melanjutkan opsi pengakhiran operasi PLTU dini khususnya yang sudah tua dan tidak lagi efisien, serta melarang pembangunan PLTU baru, termasuk untuk industri pengolahan dan hilirisasi. Tidak hanya itu, pemerintah perlu pula mempercepat pengembangan energi terbarukan dengan sistem penyimpanan energi dan pengembangan jaringan tenaga listrik sebagai langkah menjaga keandalan listrik selama proses transisi.

Share on :