Latar Belakang
Sektor energi Indonesia sangat bergantung pada batu bara, dengan pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) menghasilkan lebih dari separuh listrik nasional. Hingga tahun 2023, batu bara menyumbang sekitar 60% dari total kapasitas pembangkit listrik negara ini, dengan 86 pembangkit listrik tenaga batu bara menghasilkan sekitar 40 GW listrik. Namun, terlepas dari upaya pemerintah untuk beralih ke energi terbarukan (ET), kemajuannya lambat. Saat ini, ET hanya menyumbang sekitar 12% dari bauran energi nasional, jauh dari target 23% pada tahun 2025. Lambatnya adopsi energi terbarukan ini disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk ketergantungan ekonomi pada batu bara, hambatan regulasi, dan infrastruktur yang tidak memadai untuk mendukung perluasan ET.
Rencana Kebijakan dan Investasi Komprehensif (CIPP), yang diperkenalkan pada tahun 2023, menggarisbawahi kebutuhan mendesak untuk penghentian bertahap penggunaan batu bara guna mempercepat adopsi energi terbarukan. CIPP menekankan bahwa penghentian penggunaan batu bara sangat penting bagi Indonesia untuk memenuhi komitmen iklimnya berdasarkan Perjanjian Paris dan mencapai emisi nol bersih pada tahun 2060. Pemerintah telah berencana untuk menghentikan secara bertahap sejumlah pembangkit listrik tenaga batu bara pada tahun 2030, tetapi kenyataannya rumit karena banyak pembangkit listrik tenaga batu bara baru masih dalam tahap pembangunan. Selain itu, sejumlah besar pembangkit listrik tenaga batu bara melayani kebutuhan industri yang bersifat tanggungan, yang semakin mempersulit upaya untuk mengurangi ketergantungan pada batu bara dan mengintegrasikan sumber energi terbarukan ke dalam jaringan listrik.
Munculnya Energi Terbarukan Variabel (VRE), seperti angin dan matahari, membawa tantangan tambahan terkait stabilitas jaringan listrik. VRE pada dasarnya bersifat intermiten, dengan produksi energi bergantung pada kondisi cuaca, yang menyebabkan fluktuasi pasokan listrik. Untuk mengakomodasi fluktuasi ini dan memastikan pasokan listrik yang stabil, jaringan listrik Indonesia harus menjadi lebih fleksibel. Fleksibilitas jaringan listrik mengacu pada kemampuan sistem untuk menanggapi perubahan cepat dalam penawaran dan permintaan, baik dengan menyesuaikan tingkat pembangkitan, menyimpan energi, atau mengalihkan beban. Fleksibilitas ini adalah kunci untuk memungkinkan porsi VRE yang lebih tinggi sambil menjaga stabilitas jaringan listrik.
Seiring dengan semakin banyaknya energi terbarukan yang mulai beroperasi, peran PLTU harus berubah dari pemasok daya beban dasar menjadi penyedia yang lebih fleksibel yang dapat menambah atau mengurangi daya tergantung pada permintaan. Membuat pembangkit listrik tenaga batu bara lebih fleksibel melibatkan pengurangan beban minimum, peningkatan laju peningkatan dan penurunan daya, serta perbaikan waktu mulai dan tutup. Institute for Essential Services Reform (IESR) melalui proyek Green Energy Transition Indonesia (GETI), yang didukung oleh Kedutaan Besar Inggris di Jakarta, bertujuan untuk mengidentifikasi modifikasi teknologi yang diperlukan untuk meningkatkan fleksibilitas pembangkit listrik tenaga batu bara di Indonesia dan mengembangkan model untuk mengevaluasi dampak perubahan ini pada transisi energi.
Proposal Timeline:
Peserta lelang harus mengirimkan salinan proposal dan semua berkas melalui email ke Project Manager GETI IESR di erina@iesr.or.id dan cc ke warih@iesr.or.id dan alifiadarmayanti@iesr.or.id paling lambat pukul 17:00 Waktu Indonesia Barat (WIB) pada hari Rabu, 14 Mei 2025. Mohon cantumkan “RFP Response – Research Consultant for Coal Flexibility” pada baris subjek.
RFP-Research-Consultant-for-Coal-Flex-Technological-Assessment
Download