Interkoneksi Jaringan ASEAN Menjadi Awal Capai Ketahanan Energi Terbarukan di Regional

Jakarta, 13 Juni 2023 –  Dalam rangka mencapai keamanan energi yang berkelanjutan dan menghadapi tantangan perubahan iklim global, Indonesia dalam keketuaan di ASEAN pada 2023 perlu memainkan peran kepemimpinan yang kuat dalam upaya dekarbonisasi sektor energi di kawasan Asia Tenggara. Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang Indonesia dapat mempererat kerja sama dan kolaborasi regional dalam hal inovasi, teknologi, dan penelitian di bidang energi terbarukan serta mendorong kebijakan yang jelas dan menarik untuk peningkatan investasi di sektor energi terbarukan.

Sebagai kawasan, ASEAN telah berkomitmen untuk mencapai target 23% bauran energi terbarukan dalam energi primer dan 35% kapasitas energi terbarukan terpasang pada 2025. Selain itu, untuk memperluas perdagangan listrik regional, mengintegrasikan jaringan listrik kawasan dan memperkuat keandalan jaringan listrik, ASEAN sedang membangun ASEAN Power Grid (APG).

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, memaparkan bahwa proyek interkoneksi jaringan ASEAN melalui ASEAN Power Grid (APG) dapat menjadi titik mula bagi negara-negara ASEAN untuk dapat meningkatkan kapasitas energi terbarukan dalam sektor kelistrikan dan mulai beralih dari ketergantungan energi fosil. Kepemimpinan Indonesia di ASEAN 2023 dengan salah satu fokus utama ketahanan energi berkelanjutan (sustainable energy security) hendaknya dimanfaatkan untuk mendorong negara-negara anggota ASEAN untuk mulai fokus pada upaya dekarbonisasi sistem energinya. 

“Indonesia memiliki kesempatan memimpin ASEAN untuk melakukan transisi energi, meningkatkan bauran energi terbarukan dan mengurangi energi fosil. Indonesia telah memberikan contoh bagi negara-negara ASEAN lainnya untuk memiliki target transisi energi yang lebih ambisius selaras dengan dengan Paris Agreement. Salah satunya adalah mendorong negara-negara ASEAN untuk melakukan pengakhiran operasi PLTU batubara sebelum 2050 dan juga mendorong kesepakatan antara dengan negara-negara ASEAN untuk membangun industri sel dan modul surya dan penyimpan energi (battery),” terang Fabby Tumiwa. 

ASEAN sendiri telah memiliki kapasitas sekitar 7.645 MW pada jaringan interkoneksi yang ada dalam proyek ASEAN Power Grid,  berdasarkan paparan dari Sub Koordinator Program Gatrik Kementerian ESDM, Yeni Gusrini dalam webinar IESR berjudul Toward a Decarbonized ASEAN. Ke depannya jaringan interkoneksi tersebut akan ditambah kapasitasnya menjadi sekitar 19.000 sampai dengan 22.000 MW dan mencakup area yang lebih luas. 

“ASEAN Power Grid berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi di ASEAN untuk membantu memenuhi permintaan energi di ASEAN dan untuk mengembangkan pertumbuhan pemain industri regional. Pada tahap pertama, jaringan listrik di Laos, Thailand, Malaysia, dan Singapura telah terkoneksi melalui Lao PDR, Thailand, Malaysia, Singapore Power Integration Project (LTMS-PIP), yang telah menjadi pelopor mekanisme perdagangan daya yang ditransmisikan 100MW dari Laos ke Singapura dengan memanfaatkan interkoneksi yang ada,” jelas Yeni. 

IESR memandang pembangunan jaringan interkoneksi yang mengakomodasi integrasi energi terbarukan di Indonesia perlu dipercepat agar selaras dengan Persetujuan Paris untuk mencapai net zero emission (NZE) pada 2050.

“Interkoneksi antar pulau di Indonesia dan juga antar negara di ASEAN merupakan salah satu faktor enabler dari integrasi energi terbarukan. Keberadaan interkoneksi akan membantu atasi masalah intermiten serta juga memaksimalkan pemanfaatan energi terbarukan, jadi jika ada kelebihan listrik energi terbarukan seperti PLTS di siang hari yang dibangun di suatu lokasi, bisa di transfer listriknya ke lokasi lain. Namun, sebelum itu, negara ASEAN harus tetap berbenah diri dan menjadikan prioritas pertama untuk memperbaiki iklim investasi energi terbarukan di negara masing-masing dan juga di regional dengan kerangka regulasi yang lebih menarik,” jelas Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi IESR. 

Deon menuturkan, Indonesia merupakan negara dengan ekonomi dan konsumsi energi terbesar di ASEAN serta mempunyai sumber daya energi terbarukan yang masif. Dengan tampuk kepemimpinan ASEAN tahun ini serta proses dan regulasi yang suportif pada transisi energi di level nasional seperti JETP dan juga RUU EBET, hal tersebut akan membuat Indonesia bisa menjadi teladan dan memicu akselerasi proses transformasi kawasan ASEAN.

IESR meyakini bahwa upaya dekarbonisasi ini tidak hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga melibatkan partisipasi dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk sektor swasta, masyarakat sipil, dan lembaga internasional. Dalam semangat kolaborasi ini, Indonesia perlu mengundang semua pihak untuk bergabung dalam upaya mengatasi perubahan iklim dan menciptakan masa depan yang berkelanjutan bagi ASEAN.

Enlit Asia : Memperkuat Kesiapan ASEAN dalam Transisi Energi

Latar Belakang

Transisi energi memiliki karakteristik yang berbeda di setiap wilayah, namun cerita keseluruhannya sama: bagaimana kita memanfaatkan, memasarkan, menyebarkan, dan menggunakan energi dalam dunia yang berubah secara cepat. Sebagai negara terbesar di ASEAN, Indonesia menyumbang sekitar dua perlima dari konsumsi energi di kawasan ini. Permintaan energi di lebih dari 17.000 pulau di Indonesia dapat meningkat hingga empat per lima dan permintaan listrik meningkat tiga kali lipat antara tahun 2015 dan 2030. Untuk memenuhi permintaan ini, Indonesia tidak hanya mengalihkan ketergantungan pada batu bara domestik dan minyak bumi impor, tetapi juga menambahkan lebih banyak energi terbarukan ke dalam bauran energinya.

Indonesia telah menetapkan untuk mencapai 23% penggunaan energi terbarukan pada tahun 2025, dan 31% pada tahun 2050. Memanfaatkan potensi energi terbarukan diperkirakan akan membutuhkan investasi lebih dari USD 16 miliar per tahun selama periode hingga 2030.

Institute for Essential Services Reform (IESR) terlibat sebagai supporting association dalam kegiatan Enlit Asia 2023 di Indonesia.

 

Tujuan

  • Mendorong transisi energi di Indonesia dan jelajahi peluang yang ada.
  • Memenuhi kebutuhan listrik yang terus meningkat dengan memanfaatkan sumber daya energi terbarukan.
  • Mengembangkan energi terbarukan untuk industri, bangunan, dan transportasi.

Mendorong Peran Organisasi Masyarakat Sipil dalam Transformasi ASEAN

Jakarta, 16 Mei 2023 – Peran Indonesia dalam diplomasi internasional berlanjut setelah sukses menjadi tuan rumah pertemuan G20 pada November 2022. Tahun ini, Indonesia memegang keketuaan ASEAN. ASEAN sendiri merupakan kawasan penting karena menyumbang pertumbuhan ekonomi yang cukup besar. Dalam hal pertumbuhan ekonomi, ASEAN diproyeksikan akan memiliki pertumbuhan ekonomi sebesar 4,3% menurut ADB. Tantangan yang masih ada di sekitar ASEAN saat ini adalah efek dari perubahan iklim dan transisi energi.

Negara-negara ASEAN selain Vietnam masih memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap bahan bakar fosil terutama batubara dalam sistem energinya. Dibutuhkan lebih banyak upaya serta pembiayaan untuk mengubah seluruh sistem energi di ASEAN menjadi rendah karbon dan berkelanjutan.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), saat webinar bertajuk “Making Energy Green and Low Carbon to Support Sustainable Growth” through Advancing the Role of Civil Society in Southeast Asia Energy Transition During Indonesia ASEAN Chairmanship 2023” menyebutkan bahwa semua pemangku kepentingan termasuk pemerintah dan sektor swasta perlu bekerja bahu membahu untuk memastikan transformasi menuju sistem energi bersih terjadi di ASEAN.

“Kami juga membutuhkan kolaborasi lebih lanjut di tingkat akar rumput dan peran CSO ASEAN yang semakin signifikan di kawasan dan bagaimana CSO ASEAN baik sebagai entitas individu maupun kelompok dapat berkontribusi untuk “Membuat Energi Hijau dan Rendah Karbon untuk Mendukung Pertumbuhan Berkelanjutan” melalui Memajukan Peran Masyarakat Sipil dalam Transisi Energi Asia Tenggara Selama Keketuaan Indonesia ASEAN 2023,” ujarnya.

Kemudian, Ridwan Budi Santoso, Koordinator Pokja Kerja Sama Investasi dan Ketenagalistrikan, Ditjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM menjelaskan, keketuaan ASEAN Indonesia akan berupaya mendapatkan kesepakatan kerja sama regional termasuk interkonektivitas ketenagalistrikan yang diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi regional. Dia mengatakan bahwa pihaknya akan memiliki deklarasi bersama Menteri ASEAN ke-41 tentang Pertemuan Energi tentang energi berkelanjutan melalui interkonektivitas, dan pernyataan bersama untuk Proyek Integrasi Listrik Brunei Darussalam – Indonesia – Malaysia – Filipina (BIMP – PIP) sebagai penyampaiannya.

“Kami berharap perusahaan utilitas (di negara-negara tersebut-red) menandatangani MoU untuk interkonektivitas,” kata Ridwan.

Dalam agenda penetapan kebijakan, Indonesia bertujuan untuk memiliki pernyataan bersama terkait dampak perubahan iklim di kawasan.

“Selain pernyataan bersama ASEAN tentang perubahan iklim, kami juga akan memiliki kajian tentang aksi iklim berbasis komunitas ASEAN, yang berisi pembelajaran dan praktik baik untuk diterapkan di tingkat komunitas,” Wisnu Murti, Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Hutan dan Lingkungan dijelaskan.

Menanggapi pemaparan Indonesia sebagai ketua ASEAN tahun ini, Antony Tan, Executive Officer All Party Parliamentary Group Malaysia on Sustainable Development Goals (APPGM-SDGs), menyoroti kehadiran ASEAN di komunitas internasional masih kurang. Sedikit berbeda dengan, misalnya, Uni Eropa yang memiliki kehadiran khusus dalam pertemuan-pertemuan internasional.

“Kita lihat itu misalnya saat COP 27 lalu. Kita (ASEAN) duduk terpisah-pisah dan bersama-sama hanya saat pembahasan loss and damage,” imbuhnya.

Terkait pengembangan energi terbarukan di Malaysia, Antony mengatakan saat ini Malaysia fokus pada PLTS dan hydro power. Malaysia bertujuan untuk meningkatkan pangsa energi terbarukannya, tidak termasuk tenaga air hingga 20% dari bauran energi pada tahun 2025.

“Kami mencabut larangan ekspor energi terbarukan. Langkah ini disambut baik oleh Singapura, karena akan menguntungkan negara tetangga dan mendorong sektor energi terbarukan lokal,” pungkasnya.

Ketua ASEAN sebelumnya, Kamboja menghadapi berbagai tantangan untuk membawa dekarbonisasi ke negara tersebut. Dalam mengatasi tantangan tersebut, lembaga swadaya masyarakat berperan sebagai jembatan untuk memperjelas visi dalam mempercepat transisi energi.

“Ketika kita berbicara tentang dekarbonisasi, itu berarti kita perlu berbicara tentang reformasi pasar energi seperti apa, pendukung apa yang dapat diimplementasikan, dan kita perlu memahami bahwa konteks antara satu tempat dan tempat lain sangat berbeda dan kita perlu mencari jalan keluarnya. pendekatan yang berbeda,” jelas Direktur Eksekutif Energy Lab, Kamboja, Natharoun Ngo Son.

Chariya Senpong, Ketua Tim Transisi Energi, Greenpeace Thailand menyoroti peran menjadi “jembatan” bagi banyak pemangku kepentingan. Organisasi masyarakat sipil harus memberdayakan masyarakat untuk mampu bergerak melampaui tingkat lintas batas.

“Penting untuk mengkomunikasikan isu terkait iklim tidak hanya kepada masyarakat tetapi juga kepada pemerintah, terutama di tingkat ASEAN. Tentang bagaimana kita bisa mendapatkan perubahan kebijakan yang cepat untuk mencapai tingkat emisi nol bersih. OMS juga perlu bekerja di berbagai tingkat advokasi untuk mempengaruhi dan menggerakkan para pemangku kepentingan ke jalur yang lebih berkelanjutan,” jelasnya.

Aryanne De Ocampo, Advocacy, Networking, and Communications Officer, Center for Energy, Ecology and Development menambahkan bahwa ASEAN memiliki kekuatan untuk mendorong dekarbonisasi secara global.

“Sebagai ASEAN, kita harus menjadi yang terdepan dalam menuntut perubahan dari pemerintah dan industri untuk berkomitmen pada target iklim yang ambisius. Agar ASEAN memiliki identitasnya, ia juga perlu mewakili bagian masyarakat yang paling rentan, mulai dari komitmen iklimnya.”

Setiap tahun ASEAN mengeluarkan ratusan pernyataan bersama dan ASEAN perlu memastikan bahwa pernyataan terkait perubahan iklim itu terwujud. Hal ini dikemukakan oleh Esther Tamara, Direktur Unit Iklim, Komunitas Kebijakan Luar Negeri Indonesia.

“ASEAN perlu memastikan bahwa pernyataan bersama terkait perubahan iklim tidak hanya sebatas pernyataan. Visi ASEAN pasca-2025 harus fokus pada iklim untuk menciptakan dunia yang hijau. Ada juga kata-kata dari pemerintah Kamboja khususnya untuk membuat Green Deal, tapi belum banyak gerakan ke arah itu,” ujarnya.

Esther menambahkan, seharusnya ada mekanisme resmi organisasi masyarakat sipil yang memungkinkan terjadinya diskusi dari bawah ke atas di ASEAN.

Bangun Kolaborasi Antar CSO di ASEAN untuk Akselerasi Transisi Energi

press release

Jakarta, 16 Mei 2023 – Sebagai Ketua ASEAN pada 2023, Indonesia dapat melibatkan peran masyarakat sipil dalam meningkatkan relevansi ASEAN di berbagai aspek yang selaras dengan tantangan pembangunan global, termasuk meningkatkan ambisi target iklim kawasan, pengembangan energi terbarukan  dan pembangunan yang berkelanjutan.

Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang bahwa setelah sukses dengan agenda transisi energi di G20, Indonesia dapat mendorong kerja sama negara-negara ASEAN melakukan transisi energi yang selaras dengan target Persetujuan Paris dan membangun upaya bersama memperkuat resiliensi menghadapi berbagai ancaman dan dampak perubahan iklim melalui pembangunan berkelanjutan.  

ASEAN sendiri telah memiliki Kelompok Kerja ASEAN untuk Perubahan Iklim (ASEAN Working Group on Climate Change/ AWGCC and ASEAN Working Group on Forest and Climate Change/AWGFCC) dan ASEAN Energy Cooperation. Namun untuk mencapai target  mitigasi iklim dan pengembangan energi terbarukan dibutuhkan upaya ekstra dan kerja sama antara kelompok kerja, serta kolaborasi  dengan organisasi masyarakat sipil dan komunitas lintas negara agar dapat meningkatkan kontribusi mereka di kawasan.

IESR berpendapat Indonesia dapat memainkan peranannya sebagai Ketua ASEAN untuk memberi ruang kepada masyarakat sipil di tingkat regional, agar terlibat dalam proses agenda keketuaannya di tahun 2023, khususnya untuk isu energi dan iklim

“Sebagai salah satu organisasi regional yang diproyeksikan mengalami pertumbuhan ekonomi 4,7% di 2023 di tengah permintaan global yang melemah, menunjukkan bahwa ASEAN menjadi kawasan yang menjanjikan untuk berinvestasi, khususnya di sektor energi terbarukan. Memanfaatkan kepemimpinannya di ASEAN, Indonesia dapat mendorong dan merangkul organisasi masyarakat sipil di ASEAN untuk  berfokus pada transisi energi, serta menginisiasi kolaborasi konkret dalam waktu dekat dan bersama-sama dapat berkontribusi dalam mempercepat transisi energi di kawasan dan mengatasi perubahan iklim,” ungkap Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR pada diskusi publik “Making Energy Green and Low Carbon to Support Sustainable Growth: Advancing the Role of Civil Society in Southeast Asia Energy Transition During Indonesia ASEAN Chairmanship 2023” yang diselenggarakan oleh IESR.

Pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN perlu selaras dengan komitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sesuai dengan Persetujuan Paris. ASEAN sendiri mempunyai target untuk  mengejar 23% bauran energi terbarukan pada tahun 2025. Di sisi lain, menurut IEA, 80% bauran energi primer negara di kawasan Asia Tenggara masih berasal dari energi fosil.  Penurunan biaya energi energi terbarukan diprediksi oleh IEA dapat meningkatkan penetrasi energi terbarukan di ASEAN hingga 70% pada 2040. Hal ini akan mampu terwujud jika tercipta koordinasi dan kolaborasi yang intensif antara pemangku kepentingan (pemerintah, masyarakat sipil, dan pemangku bisnis) di ASEAN khususnya dalam proses pembuatan kebijakan regional.

Hanya saja, menurut Arief Rosadi, Koordinator Proyek Diplomasi Iklim IESR, hingga saat ini, ASEAN tidak memiliki jalur formal bagi masyarakat sipil untuk menyampaikan aspirasi, khususnya untuk isu iklim dan energi. Untuk itu, Indonesia perlu memimpin ASEAN agar menyediakan ruang dialog yang inklusif dan konstruktif bagi masyarakat sipil dalam proses pengambilan keputusan di regional. 

“Langkah nyata yang dapat dilakukan sekarang adalah meningkatkan intensitas komunikasi antar masyarakat sipil di kawasan, untuk berbagi informasi serta perkembangan terbaru di masing-masing negara terkait isu energi dan iklim. Hal ini bertujuan untuk memperkokoh, solidaritas dan rasa kepemilikan terhadap ASEAN sebagai kawasan bersama,” ungkap Arief.

Menurutnya, Indonesia dapat mendorong lebih banyak diskusi publik yang menitikberatkan pada pertukaran pengetahuan, rekomendasi kebijakan berbasis data yang mendukung percepatan transisi energi melalui pengembangan energi terbarukan di tingkat kawasan dan menyediakan peluang pengembangan kapasitas SDM di sektor energi terbarukan.

“Hal lain yang perlu dilakukan adalah penguatan kolaborasi akar rumput dan jaringan masyarakat sipil di tingkat regional. Adanya kolaborasi tersebut dapat membantu dapat pencapaian agenda iklim dan transisi energi di kawasan melalui berbagi praktik baik dan pengetahuan teknis.” kata Arief.

Potensi Indonesia jadi Pemain Utama Kendaraan Listrik di ASEAN

Jakarta, 12 Mei 2023 – Pada Konferensi Tingkat Tinggi ke-42 yang diselenggarakan di Labuan Bajo, NTT,  ASEAN bertekad untuk membangun ekosistem kendaraan listrik. Di ASEAN sendiri, sudah terdapat negara-negara yang memiliki industri kendaraan listrik, seperti Thailand dan Indonesia. Indonesia memproduksi 1,2 juta kendaraan listrik per tahun, dan sudah mampu melakukan ekspor dan impor di pasar ASEAN. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan untuk mendukung berkembangnya ekosistem kendaraan listrik, salah satunya adalah industri untuk menghasilkan komponen kendaraan listrik, terutama baterai yang harganya mencapai 40% dari harga kendaraan listrik. Menurutnya, membahas baterai artinya harus membahas mengenai industri critical mineral, seperti lithium, nikel, mangan, dan kobalt. Tidak semua negara di ASEAN memiliki critical mineral ini, sehingga Indonesia sebagai pemilik nikel dan kobalt berpotensi menjadi pusat jaringan pengembangan industri baterai. 

“Namun, negara lain seperti Thailand memiliki keuntungan strategis yang berbeda, yaitu iklim investasinya yang lebih mendukung akan perkembangan kendaraan listrik. Sehingga, tidak heran bahwa China lebih memilih untuk membangun pabrik di Thailand dibandingkan Indonesia,” terang Fabby.

Selain baterai, Fabby melihat potensi bahwa Indonesia dapat memasok mesin kendaraan listrik, dan material lain seperti baja. Baja seperti alloy diperlukan untuk rangka kendaraan listrik, yang Indonesia bisa pasok karena memiliki industri bijih besi. Secara domestik pula, industri otomotif Indonesia sudah lumayan menyerap tenaga kerja, sehingga diharapkan apabila kendaraan bahan bakar fosil sudah mulai ditinggalkan, Indonesia tidak akan menjadi pengimpor kendaraan listrik. Melihat situasi pasar Indonesia, Fabby beranggapan bahwa kendaraan tipe menengah (sekitar Rp 400-600 juta) akan paling cocok dan berpotensi di pasar Indonesia. 

“Selain itu, besar pula kemungkinan Indonesia memiliki peran dalam global supply chain kendaraan listrik, karena kita memiliki keuntungan strategis seperti sumber daya alam, sudah mengembangkan industri kendaraannya, dan industri menengahnya seperti sel baterai,” jelas Fabby.

Fabby juga berpendapat bahwa insentif yang kini perlu digelontorkan adalah untuk riset dan pengembangan dalam membuat baterai jenis baru. Ia menimbang bahwa nikel akan habis jika terus digali untuk baterai, dengan cadangannya tidak sampai 20 tahun, begitu pula dengan lithium. 

Lebih jauh Fabby menjelaskan bahwa strategi yang dapat dilakukan adalah upaya mencari baterai generasi baru yang memakai jenis metal yang banyak tersedia di Indonesia. Insentif juga diperlukan untuk industri hilir demi menstimulasi pasar kendaraan listrik di Indonesia hingga 2030. Sehingga, dengan meningkatnya pembelian kendaraan listrik, diharapkan Indonesia akan menarik investor yang dapat meningkatkan rantai pasok domestik. 

“Harapan kedepannya, kita memiliki rangkaian industri dari hulu ke hilir yang lengkap, terintegrasi tidak hanya dari produksi baterai, namun juga manufaktur kendaraan. Maka dari itu, stimulus perlu diberikan di sisi permintaan,” tutup Fabby.

Foto oleh dcbel di Unsplash

Implementasi Taksonomi ASEAN Edisi Kedua Perlu Didorong untuk Mendukung Pembangunan Berkelanjutan

press release

Jakarta, 4 Mei 2023 –  ASEAN Taxonomy Board (ATB) telah menerbitkan ASEAN Taxonomy for Sustainable Finance versi kedua (ATSF v2) pada Maret 2023. Taksonomi ini menjadi panduan dalam mengklasifikasi kegiatan ekonomi, khususnya yang berkaitan dengan pembiayaan hijau. Institute for Essential Services Reform (IESR) menyambut baik terbitnya taksonomi hijau edisi kedua sebagai langkah strategis untuk menarik investasi global ke ASEAN dalam mendukung pembangunan berkelanjutan.

Salah satu hal yang baru dan pertama kalinya dipertimbangkan dalam ASEAN Taksonomi versi kedua ini adalah pengakhiran operasional PLTU batubara secara bertahap sebagai upaya pengurangan emisi gas rumah kaca secara signifikan untuk mencapai target Persetujuan Paris. Masuknya penghentian operasional PLTU ini diharapkan dapat memfasilitasi ragamnya pemahaman negara anggota ASEAN terhadap transisi energi yang berkeadilan. ATSF v2 ini juga menyertakan kriteria penyaringan teknis (Technical Screening Criteria, TSC) terhadap pembiayaan transisi energi, termasuk pengakhiran operasional PLTU batubara, ke dalam kategori Hijau dan Kuning. TSC merupakan kriteria kuantitatif atau kualitatif yang menjadi dasar penilaian klasifikasi apakah suatu aktivitas termasuk dalam kegiatan Green (Hijau, berkontribusi sangat penting terhadap tujuan lingkungan), Amber (Kuning, belum memenuhi kriteria untuk Hijau, namun menunjukkan langkah progresif untuk mencapai pembangunan ASEAN yang berkelanjutan) atau Red (Merah, tidak sesuai dengan tujuan lingkungan).

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR mengatakan IESR menyambut baik kehadiran ATSF v.2 sebagai standar bersama ASEAN untuk pembiayaan hijau. Menurutnya, masuknya pendanaan untuk pengakhiran PLTU secara dini merupakan indikasi bahwa pemerintah di kawasan ini mendukung pencapaian net-zero emission pada pertengahan abad ini. 

“Lebih dari separuh listrik di ASEAN berasal dari PLTU batubara. Sedangkan untuk mencapai target Persetujuan Paris, seluruh PLTU harus dipensiunkan pada 2040. Fakta bahwa lebih dari 50% PLTU yang beroperasi di kawasan Asia Tenggara berusia kurang dari 10 tahun memiliki konsekuensi bahwa pengakhiran dini PLTU membutuhkan sumber pembiayaan yang cukup besar, yang dikombinasi dengan pembiayaan untuk pembangunan pembangkit energi terbarukan untuk memastikan keamanan pasokan energi di kawasan yang ekonominya tumbuh pesat. Dalam konteks ini ATSF v.2 dapat mengakselerasi pengakhiran operasi PLTU di ASEAN melalui pendanaan hijau,” ungkap Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa dalam keterangan tertulis Media Luncheon: Mengenal Taksonomi Hijau dan Perkembangan Transisi Energi di ASEAN. 

IESR menilai implementasi taksonomi ASEAN ini perlu dioptimalkan seiring keketuaan Indonesia di ASEAN 2023. Indonesia dapat memperkuat kerja sama di antara negara-negara ASEAN dalam mengatasi tantangan transisi energi, di antaranya rendahnya investasi di sektor energi terbarukan dan pengakhiran operasional PLTU batubara. Indonesia telah memiliki beberapa peluang pendanaan internasional untuk pengembangan energi terbarukan dan pengakhiran operasional PLTU batubara melalui Just Energy Transition Partnership (JETP),  Energy Transition Mechanism (ETM), dan Clean Investment Fund-Accelerated Coal Transition (CIF-ACT) dengan total USD 24,05 miliar. Namun, IESR mengkaji setidaknya diperlukan USD 135 miliar hingga 2030 untuk biaya transisi energi di Indonesia, termasuk pengakhiran operasi PLTU. 

Masuknya pembiayaan pengakhiran operasional PLTU ke dalam kategori kuning dan hijau menjadi akan memperbesar peluang untuk melakukan pendanaan terkait transisi energi atau transition finance. Perlu adanya komunikasi yang jelas dari pihak regulator kepada pelaku usaha dan lembaga keuangan untuk memperbolehkan pembiayaan untuk kegiatan tersebut. Sebab, beberapa lembaga keuangan sudah melakukan komitmen untuk tidak lagi mendukung pendanaan terkait batubara. Namun, tentunya kategori kegiatan ini berbeda,” jelas Farah Vianda, Koordinator Proyek Pembiayaan Berkelanjutan, Ekonomi Hijau, IESR.

Berdasarkan analisis  IESR, selama lima tahun terakhir, rata-rata investasi energi terbarukan hanya mencapai USD 1,6 miliar per tahun atau 20 persen dari total investasi yang dibutuhkan untuk mencapai target bauran energi terbarukan 23% di 2025. Sementara itu, menyoroti dukungan internasional, berdasarkan hitungan IESR, terdapat potensi pendanaan dari internasional sebesar USD 13,1 miliar atau 35,4% dari total proyeksi kebutuhan pembiayaan sebesar USD 36,95 miliar pada tahun 2025 untuk mencapai target bauran energi terbarukan 23%.

“Transisi energi penting diakselerasi untuk menarik investasi, meningkatkan daya saing industri, dan memastikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Oleh karena itu perlu diakselerasi dengan cara membangun ekosistem pengembangan teknologi emisi bersih seperti energi terbarukan. Taksonomi hijau merupakan langkah awal. Selanjutnya, pemerintah bisa memformulasikan kebijakan jangka panjang yang memberikan kepastian investasi energi terbarukan dan menciptakan kerangka regulasi yang minimal setara antara energi terbarukan dan energi fosil,” papar Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, IESR. 

Deon menerangkan, kedua faktor tersebut menjadi penting untuk mengurangi resiko investasi di energi terbarukan dan menarik pendanaan untuk proyek energi terbarukan. Lainnya, insentif untuk industri teknologi energi bersih perlu dibangun agar Indonesia dan negara ASEAN lain juga mendapat manfaat pertumbuhan ekonomi yang lebih optimal dari transisi energi.