Krisis Energi atau Krisis Energi Fosil?

Jakarta, 11 Oktober 2021 – Dalam beberapa bulan belakangan banyak media memberitakan krisis energi di Eropa. Di Inggris contohnya, banyak perusahaan utilitas listrik dan gas bangkrut dan terpaksa tutup. Masyarakat juga terlihat mengantri di SPBU untuk membeli bahan bakar. Fenomena ini menunjukan kepada kita bahwa negara-negara dengan ekonomi yang kuat pun ternyata masih cukup rentan terhadap isu keamanan energi. 

CASE for Southeast Asia Project mengadakan sebuah diskusi bertajuk “Energy Crisis in UK and Europe: Lessons Learned for Indonesia’s Energy Transition” yang mengundang narasumber dari Inggris dan Eropa (11/10/2021). Pada diskusi ini, publik di Indonesia diajak untuk berdiskusi dan mengetahui berbagai fakta dan temuan penting terkait isu krisis energi yang sedang melanda Inggris dan Eropa. 

Di Inggris sektor industri dan rumah tangga cukup bergantung pada gas alam. Dengan  musim dingin yang semakin dekat, permintaan gas menjadi semakin meningkat karena kebutuhan untuk menghangatkan rumah juga meningkat. Kondisi ini, yakni ketika  suatu negara sangat bergantung pada sumber energi yang rentan terhadap pasar global, menimbulkan pertanyaan: apakah ini benar-benar krisis energi, atau krisis energi fosil? 

William Derbyshire, Direktur dari Economic Consulting Associates (ECA) Inggris pada kesempatan ini memberikan paparan terkait fakta bahwa bauran energi primer di Inggris bergantung pada gas alam sebanyak 42%. Lebih lanjut, William juga menunjukkan data yang memberi gambaran bahwa sejak 2017, harga gas alam berangsur naik hingga 2021 yang mengakibatkan harga jual listrik yang juga naik. 

“Jika harga bahan bakar fosil yang tinggi adalah masalahnya, maka jawabannya adalah mengurangi ketergantungan pada batu bara dan gas, bukan menambah lebih banyak bahan bakar fosil,” tutur William.

Atas kesimpulan tersebut, energi terbarukan menjadi solusi yang baik untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil. Namun bukan tanpa tantangan, Inggris yang memiliki pembangkit listrik tenaga bayu sebanyak 16% di bauran pembangkitnya ternyata memiliki beberapa catatan. Misalnya, Gareth Davies, Managing Director dari Aquatera memaparkan bahwa PLTB di Inggris memiliki skala variabilitas yang cukup tinggi.

Menanggapi tantangan ini, Gareth menyampaikan perlunya melakukan analisis dan perencanaan spasial terkait daerah yang memiliki potensi hembusan angin yang cukup, dengan memperhitungkan data iklim historis. 

“Dengan mendistribusikan produksi tenaga angin di wilayah geografis yang lebih luas, akan membantu meningkatkan ketahanan energi dan menyeimbangkan pasokan energi Inggris melalui energi terbarukan,” ujar Gareth. 

Senada dengan pernyataan William terkait pentingnya untuk segera melakukan transisi energi, Dimitri Pescia, Program Manager Southeast Asia dari Agora Energiewende memaparkan fakta bahwa sebagai contoh di Jerman, biaya investasi untuk membangun pembangkit listrik energi terbarukan sudah jauh lebih murah dibandingkan untuk membuat pembangkit listrik fosil. Dalam konteks ini, Dimitri menjelaskan bahwa investasi pada energi terbarukan merupakan strategi lindung nilai (hedging strategy) atas penggunaan energi fosil dalam masa transisi energi beberapa tahun mendatang. 

Dari diskusi ini, publik dibantu untuk memahami keadaan riil dan pelajaran yang bisa diambil untuk proses transisi energi di Indonesia. Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menyampaikan bahwa Indonesia perlu secara cepat mengadopsi penggunaan energi terbarukan untuk meminimalisir resiko krisis energi akibat bergantung kepada energi fosil. Fabby menambahkan, pengembangan potensi EBT yang melimpah di Indonesia perlu dibarengi dengan efisiensi energi, pengembangan teknologi penyimpanan energi, juga interkonektivitas antar pulau. 

“Perlu diingat bahwa krisis energi yang terjadi saat ini merupakan krisis energi fosil. Volatilitas harga energi fosil sangat tinggi. Kenaikan harga masing-masing energi fosil saling mempengaruhi,” ujar Fabby menegaskan penyebab krisis energi di Inggris dan Eropa.

Menutup diskusi ini, Fabby menyampaikan urgensi untuk publik bisa mengetahui isu ini secara kontekstual sehingga tidak timbul kepanikan di masyarakat. “Indonesia sendiri tidak perlu khawatir terhadap krisis energi yang terjadi di Eropa, China, Inggris, India, karena Indonesia mempunyai keunggulan untuk merancang transisi energi menuju dekarbonisasi lebih awal dengan lebih baik,” tutup Fabby.


Indonesia Perlu Siapkan Rencana Pensiun Dini dari PLTU: Batu bara

Energy Transition Sharing Session, Episode 4

Dalam rangka memenuhi komitmen Indonesia terhadap perjanjian Paris (Paris Agreement) untuk menjaga target suhu tidak melebihi dua derajat Celcius, maka proses transisi energi menuju energi rendah karbon perlu dilakukan.  Dominasi penggunaan energi di Indonesia bersumber dari batu bara. Namun, hal itu tentu bukanlah perkara sederhana, ada banyak pertimbangan yang dilakukan pemerintah, utamanya di bidang ekonomi. Untuk mengetahui bagaimana cara agar Indonesia bisa segera pensiun dini menggunakan energi batu bara, maka IESR berkolaborasi dengan Carbon Tracker Initiative mengadakan webinar dengan tema “Membuat Transisi Batu Bara Layak: Wawasan Tentang Cara Pensiun Dini Pembangkit Listrik Berbahan Bakar Batu Bara dan Konteksnya di Indonesia.” (Making Coal Transition Feasible: Insights on How to Early Retire Coal-Fired Power Plants and Its Context in Indonesia.) Selasa, 4 Agustus 2020 lalu.

Webinar yang diadakan oleh IESR bersama Carbon Tracker Initiative mengundang pembicara baik dari sektor pemerintahan maupun swasta, dengan Pembicara utama Fabby Tumiwa, Executive Director IESR dan Matthew Gray, Managing Director of Carbon Tracker Initiative. Selain itu, hadir pula panelis; Husni Safrudin, Kepala Subdit Program Penyiapan Ketenagalistrikan, KESDM dan Arthur Simatupang, Chairperson of Indonesian Private Electricity Producers Association (APLSI).

Berbicara tentang batu bara dalam konteks di Indonesia maka tak lepas dengan politik ekonominya. Kondisi politik ekonomi yang ada di Indonesia menjadikan batu bara sebagai komoditas perdagangan.  Banyak pihak yang mendesak pemerintah untuk segera beralih ke energi terbarukan. Namun, pemerintah perlu menimbang dengan seksama kaitannya dengan beberapa aspek seperti aspek sosial, ekonomi, keadilan, dan lingkungan.  Menurut Fabby Tumiwa, transisi energi batu bara ke energi terbarukan tidak hanya susah dalam perspektif politik ekonomi, tetapi juga ada pandangan skeptis dari para pembuat kebijakan. Sebagian pembuat kebijakan di Indonesia masih percaya bahwa batu bara memiliki peran besar dalam perekonomian negara, sehingga susah digantikan.

Batu bara di Indonesia menjadi komoditas utama untuk ekspor. Hal ini menjadikan batu bara sebagai salah satu sumber pendapatan pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah. Ada empat provinsi yang sebagian besar pendapatan daerahnya berasal dari batu bara ini, empat provinsi tersebut yakni Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Selatan. Apabila pendapatan dari batu bara menurun, maka akan berimplikasi pada kondisi ekonomi provinsi tersebut. Tak hanya ekonomi yang terdampak, tetapi juga sektor lain seperti properti, transportasi, konsumsi, dan sektor lainnya.

Ekspor batu bara yang dilakukan Indonesia sebanyak 60% ditujukan ke India dan China, sedangkan 40% sisanya ditujukan ke negara ASEAN lainnya dan Asia Timur. Sementara itu, pada tahun 2019 China sudah mulai melakukan transisi energi karena China telah mencapai keseimbangan dari jaringan listrik tenaga surya. Hal ini membuat harga listrik dari tenaga surya menjadi kompetitif dan lebih rendah dibandingkan harga listrik dari tenaga batu bara. Hal ini patut diwaspadai. Indonesia harus siaga bahwa di masa mendatang ekspor batu bara ke China akan berkurang, tahun ini saja dengan terjadinya sebuah fenomena global, pandemi COVID 19, permintaan sudah menurun. Diprediksikan pada tahun 2030 pembangkit listrik tenaga batu bara akan lebih mahal dibandingkan pembangkit energi terbarukan. Tak ayal, membangun energi terbarukan diprediksi akan lebih murah dibanding menjalankan industry batu bara mulai tahun 2029.

Prediksi bahwa energi terbarukan akan menggantikan energi batu bara dibenarkan oleh Matt Gray selaku Managing Director of Carbon Tracker Initiative. Carbon Tracker Initiative berdiri tahun 2012 untuk memberikan saran dan pengaruh kepada pasar finansial terkait resiko dan kesempatan yang berhubungan dengan transisi energi. Carbon Tracker Initiative juga menghasilkan riset yang diberikan kepada investor untuk mengidentifikasi resiko dan peluang berhubungan dengan karbon tertinggi.

Matt Gray menunjukkan data proyeksi  dari International Energy Agencies (IEA) bahwa permintaan energi utama di tahun 2020 didasarkan pada permintaan yang terjadi di tahun 2019. Fakta yang ditemukan adalah permintaan energi fosil baik berupa gas, minyak, maupun batu bara mengalami deflasi. Justru permintaan akan energi terbarukan yang meningkat.

Berbicara tentang harga, apakah lebih mahal listrik dari energi batu bara atau energi terbarukan? Nyatanya justru harga listrik dari energi terbarukan lebih kompetitif dan rendah dibandingkan harga listrik dari baru bara. Alasannya adalah ada tren harga yang menurun pada energi terbarukan. Tren deflasi energi terbarukan seperti teknologi surya, angin, penyimpanan baterai itu diprediksikan berdasarkan data dan observasi yang sudah dilakukan dalam sepuluh tahun terakhir.

Mengganti energi batu bara yang tidak kompetitif dengan energi angin atau energi surya plus baterai penyimpanan akan menghemat empat puluh miliar dolar. Empat puluh miliar dolar dapat mematikan kurang lebih  843 GW batu bara yang membutuhkan banyak uang dibandingkan dengan membangun energi angin dan solar dengan baterai penyimpanan.

Bila alasan susahnya transisi energi batu bara di Indonesia dikarenakan faktor ekonomi. Maka tiga fase pendekatan yang direkomendasikan oleh Matt Gray bisa ditiru dan diterapkan di Indonesia. Tiga fase pendekatan itu adalah sebagai berikut:

  1. Pembiayaan kembali. Ada insentif yang diperlukan untuk melakukan transisi energi listrik batu bara. Pembiayaan kembali ini merupakan komponen signifikan untuk membantu pembiayaan transisi dari energi batu bara.
  2. Investasi kembali dengan menggunakan tekonologi yang lebih murah.
  3. Membiayai transisi bagi mereka yang terdampak seperti para pekerja dan komunitas yang bergantung dari energi listrik batu bara.

Tak hanya itu, Matt Gray memberikan skenario pembiayaan kembali yang bisa dicoba oleh Indonesia. Skenario itu dinamai dengan sekuritisasi portofolio aset. Skenario ini mengizinkan PPA untuk dimodifikasi sehingga menghasilkan situasi yang menguntungkan satu sama lain yakni bagi pemilik pembangkit tenaga listrik atau pun konsumen.

Dalam skenario sekuritisasi portofolio aset ada yang dinamakan dengan special purpose vehicle. Special purpose vehicle dibuat untuk mematikan energi batu bara dan mengembalikan pemerintahan untuk menerbitkan obligasi. Obligasi tersebut akan memberikan modal harga rendah kepada pemilik pembangkit listrik. Sehingga mereka bisa menggunakan uang itu untuk mengganti batu bara dengan alternatif karbon yang lebih rendah seperti energi surya dan penyimpanan baterai dan angin. Hal ini akan mengarahkan kepada ketenagalistrikan yang lebih murah bagi konsumen. Sedangkan sisa tambahan uang yang dimiliki pemilik pembangkit listrik dapat digunakan untuk bantuan transisi. Sehingga uang sisa itu bisa digunakan untuk individu-individu yang bekerja di pembangkit listrik atau komunitas yang bergantung dengan batu bara.

Pemerintah Indonesia pun sangat terbuka dengan adanya transisi energi batu baru menuju energi terbarukan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Husni Safrudin selaku Kepala Subdit Program Penyiapan Ketenagalistrikan, KESDM (Head of Electricity Program Preparation Sub Directorate Ministry of Energy and Mineral Resources,) bahwa pemerintah mendukung adanya transisi energi ini melalui Peraturan Menteri ESDM No. 50 Tahun 2017 tentang pemanfaatan sumber energi terbarukan. Saat ini untuk meningkatkan bauran energi terbarukan pemerintah Indonesia sedang menyusun roadmap untuk  pemanfaatan co-firing dalam rangka meningkatkan energi terbarukan.

Transisi energi menuju energi terbarukan memang sedang sangat tren di belahan dunia manapun. Namun, menurut Arthur Simatupang selaku Chairperson of Indonesian Private Electricity Producers Association (APLSI) hal yang menjadi tantangan bagi Indonesia adalah dari segi geografis. Indonesia merupakan negara kepulauan sehingga perlu dipertimbangkan cara mengintegrasi dan menyeimbangkan penerapan energi terbarukan di daerah terpencil.

Adanya COVID-19 bisa menjadi titik balik transisi energi, dari energi tinggi karbon menjadi rendah karbon. Transisi energi ini tidak hanya tentang lingkungan, tetapi juga tentang ekonomi. Dengan adanya transisi energi ini maka akan muncul peluang pertumbuhan lapangan kerja dan udara bersih. Tantangannya tentu ada pada pengelolaan pertambangan batu bara. Adanya energi terbarukan bukan berarti meniadakan batu bara, itu perspektif yang harus diluruskan dan ini menjadi pekerjaan runah yang besar bagi pemerintah Indonesia.

Bisa dikatakan sekarang ini batubara ada di persimpangan jalan dan transisi batu bara ke energi terbarukan bukan hal yang mudah dalam jangka waktu panjang, tetapi perlu tetap diupayakan karena energi terbarukan memiliki harga listrik yang kompetitif di masa depan. Sehingga mematahkan asumsi bahwa energi terbarukan itu mahal dan tidak bisa diandalkan. Oleh karena itu, IESR merekomendasikan pemerintah untuk melakukan riset transisi energi terbarukan.


Simak siaran tundanya di: