Berbagai Opsi Intervensi untuk Kurangi Emisi Sektor Energi

Jakarta, 30 Mei 2023 – Mentransformasi sektor ketenagalistrikan menjadi sistem energi berbasis energi bersih yang rendah karbon menjadi kebutuhan mutlak. Salah satunya untuk mengejar target penurunan emisi demi menjaga kenaikan rata-rata suhu global untuk  berada pada level 1,5. Disebutkan dalam IPCC AR6 Synthesis Report bahwa sejak tahun 2011 – 2020, rata-rata suhu global telah mengalami kenaikan sebesar 1,1, di tengah berbagai aktivitas manusia yang terus menghasilkan emisi. Sektor energi menjadi salah satu kontributor terbesar emisi di Indonesia setelah kehutanan dan penggunaan lahan. Rencana pengembangan pembangkit energi berbasis fosil menjadi ganjalan dalam upaya pengurangan emisi dari sektor ketenagalistrikan.

Indonesia menduduki peringkat tiga besar sebagai negara dengan proyek perencanaan PLTU setelah Cina dan India. Sebanyak 13,8 GW PLTU dengan berbagai status pengerjaan telah masuk dalam dokumen RUPTL (Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik) PLN 2021 – 2030.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam peluncuran laporan dan diskusi publik ‘Delivering Power Sector Transition’ mengatakan bahwa salah satu penyebab naiknya rata-rata temperatur global adalah pembakaran bahan bakar berbasis fosil. 

“Maka, mengurangi kapasitas batubara dalam sistem ketenagalistrikan menjadi salah satu tindakan kunci dalam upaya mencapai target Persetujuan Paris, yakni menjaga kenaikan suhu global pada level 1,5 derajat Celsius,” katanya. 

Dalam konteks Indonesia, isu komersial menjadi salah satu faktor pemberat penghentian operasi PLTU batubara. Disampaikan Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal Energi Baru dan Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM, bahwa penghentian operasi PLTU batubara masih memerlukan dorongan bersama dari semua pihak.

“Kita masih harus berjuang untuk hal ini (penghentian operasi PLTU batubara dan penambahan kapasitas energi terbarukan). Karena, secara regulasi mereka tidak menjadi satu paket kesatuan (terpisah). Namun saya ingin mendorong bahwa prosesnya harus dilakukan dalam satu tarikan nafas untuk keduanya,” kata Dadan. 

IESR memandang penghentian operasi PLTU batubara di Indonesia merupakan hal yang penting, sebab sebagai salah satu penerima komitmen pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP), Indonesia memiliki kewajiban untuk mencapai puncak emisi sebesar 290 juta ton CO2 pada 2030, dan menaikkan bauran energi terbarukan sebanyak 34% pada 2030. 

“Untuk mengejar target Persetujuan Paris, target yang ditentukan oleh JETP sebenarnya belum cukup. Namun hal ini dapat menjadi titik awal percepatan pengembangan energi terbarukan di Indonesia,” jelas Raditya Wiranegara, Peneliti Senior IESR yang tergabung dalam tim penulis kajian.

Raditya menambahkan dalam laporan Delivering Power Sector Transition, IESR menemukan bahwa dari 13,8 GW PLTU yang direncanakan pembangunannya dalam RUPTL 2021-2030 sebanyak 2,9 GW dapat dibatalkan,  10,6 GW perlu diakhiri operasinya secara dini, dan 220 MW  dipertimbangkan untuk diganti dengan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan seperti biomassa. 

Akbar Bagaskara, peneliti bidang ketenagalistrikan IESR menambahkan bahwa penurunan emisi akan berbanding lurus dengan biaya sistem ketenagalistrikan.

“Pembatalan pembangunan PLTU yang dibarengi dengan pensiun dini untuk PLTU existing akan menjadi skenario terbaik untuk penurunan emisi. Pembatalan PLTU yang berada di dalam pipeline akan mengurangi emisi dengan signifikan. Namun hal ini dirasa masih kurang optimal untuk mengejar target JETP pada tahun 2030,” tambahnya. 

IESR menghitung untuk mengejar target JETP setidaknya sebanyak 8,6 GW PLTU batubara harus dipensiunkan sebelum 2030 diikuti dengan pengakhiran operasi 7,6 GW PLTU sebelum 2040.

Gigih Udi Utomo, Direktur Konservasi Energi Kementerian ESDM, menanggapi bahwa penghentian operasi PLTU dan pembatalan PLTU perlu dilihat sebagai dua hal yang berbeda.

“Jika kita bicara mengenai early retirement road map (peta jalan pengakhiran operasi PLTU secara dini-red), kita mengacu dengan amanat dari Perpres 112/2022. Early retirement itu untuk PLTU yang sudah beroperasi, sementara topik 13,8 GW ini merupakan PLTU yang belum beroperasi dan telah ada di RUPTL sehingga masing-masing opsi dan skenario yang ditawarkan dalam kajian perlu dieksplor lagi dan perlu berdialog dengan stakeholder terkait,” jelasnya.

Pengembang listrik swasta (Independent Power Producers) sebagai tandem PLN dalam memenuhi kebutuhan listrik nasional menyatakan bahwa para pelaku usaha energi pada dasarnya bersedia mendukung pemerintah dalam bertransisi. 

“Namun yang perlu menjadi catatan adalah keikutsertaan proyek yang akan dibatalkan ataupun unit PLTU yang akan dipercepat masa pensiunnya harus berdasarkan prinsip voluntarily (sukarela) bukan mandatory (kewajiban) karena pada dasarnya pemilik proyek telah mengamankan komitmen pembangunan dan memiliki kesepakatan kerjasama dengan PLN,” kata Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI), Arthur Simatupang. 

Kirana Sastrawijaya, Senior Partner Umbra, mengingatkan bahwa penting untuk meninjau dokumen PPA (Power Purchase Agreement) antara IPP dan PLN terutama untuk usulan pembatalan pembangunan PLTU. 

“Perpres 112/2022 dapat dijadikan basis penghentian operasi PLTU batubara namun perlu ada kriteria yang dipenuhi untuk suatu unit PLTU dipercepat pengakhiran operasinya. Perpres ini juga dapat menjadi basis hukum pembatalan PLTU meski tidak secara spesifik berbicara pembatalan PLTU,” katanya.

Dalam konteks legal hukum, Karina menekankan bahwa potensi perselisihan secara hukum dapat terjadi. Maka selain aturan pemerintah yang berlaku, kesepakatan kerjasama (PPA) harus menjadi dokumen referensi karena secara detail mengatur berbagai pembatasan para pihak dan pemilik modal (funders).

Memahami Konteks Transisi yang Adil di Daerah Penghasil Batubara

Jakarta, 10 Mei 2023 – Upaya global untuk beralih dari sumber daya listrik berbasis fosil akan mengarah pada peralihan dari batu bara. Transisi ini tidak hanya membawa perubahan drastis pada sektor hulu yaitu produksi batubara, tetapi juga mata pencaharian dan aktivitas ekonomi di daerah penghasil batubara.

Srestha Banerjee, direktur program Just Transition iForest India, selama webinar berjudul “The Just Transition Toolbox for Coal Regions — Knowledge needs in the South-East-Asian context” menekankan bahwa masalah transisi lebih merupakan masalah politik daripada masalah teknis.

“India telah menunjuk gugus tugas untuk merancang solusi yang berpusat pada manusia untuk transisi batubara. Selain menggali kebutuhan masyarakat melalui dialog dan diskusi, kita perlu contoh praktik transisi yang baik untuk meningkatkan kepercayaan diri masyarakat,” jelas Srestha.

Indonesia, negara eksportir batu bara terbesar, mengalami ketidakpastian transisi batu bara yang mendukung agenda transisi energi berkeadilan. Seiring melonjaknya harga batubara dunia tahun lalu, Indonesia menghadapi dilema antara mengurangi produksi batubara atau tetap menjalankan bisnis seperti biasa.

Marlistya Citraningrum, manajer program Akses Energi Berkelanjutan, Institute for Essential Services Reform mengatakan, sejak tahun lalu pemerintah Indonesia mulai lebih mengandalkan energi terbarukan dalam perencanaan ketenagalistrikan PLN yaitu dokumen RUPTL, namun implementasinya masih menghadapi tantangan.

“Meninggalkan batu bara secara total dipandang sebagai pilihan yang jauh lebih sulit karena secara langsung akan berdampak pada situasi ekonomi dan pendapatan daerah,” katanya.

Citra, demikian ia biasa disapa, menambahkan bahwa pada tahap perencanaan, pemerintah perlu memahami konteks transisi dan dampaknya terhadap aspek sosial ekonomi. Mendengarkan secara aktif diperlukan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif.

Chalie Charoenlarpnopparut, associate professor, Sirindhorn International Institute of Technology, Thammasat University Thailand sepakat bahwa dialog akan menjadi kunci untuk menjembatani kesenjangan antara kebutuhan untuk mencapai target pengurangan emisi dan dampak sosial ekonomi dari meninggalkan batubara.

“Kita perlu memberi tahu masyarakat bahwa perubahan ini mutlak akan terjadi, dan kita perlu bersiap atau kita akan mengalami dampak negatif yang lebih besar dari transisi batubara,” kata Charlie.

Menyadari bahwa transisi energi dan transisi batubara khususnya merupakan masalah yang banyak bersifat teknis dan teknokratis, pengarusutamaan gender selama proses tersebut menjadi sangat penting. Chalie menambahkan, di Thailand, keterlibatan perempuan dalam masa transisi sudah mulai terlihat.

“Perempuan lebih memiliki sense of sustainability sehingga mereka lebih bersemangat untuk terlibat dalam suatu aksi. Sedangkan laki-laki lebih banyak terlibat dalam sisi penelitian dan akademik dalam transisi ini,” ujarnya.

Mendefinisikan Adil dan Memastikan Komitmen JETP

Jakarta, 18 April 2023 – Mengatasi masalah perubahan iklim tidak hanya membutuhkan komitmen tetapi juga membutuhkan sumber daya yang sangat besar. Pembiayaan telah menjadi salah satu tantangan terbesar bagi negara-negara seperti Indonesia yang bergantung pada pembangkit batubara dan perlu mengubahnya menjadi pembangkit listrik berbasis terbarukan untuk mengurangi emisi dari sektor ketenagalistrikan. Ini pasti membutuhkan pembiayaan yang sangat besar.

Kelompok negara-negara maju berkomitmen untuk mendistribusikan dana ke beberapa negara untuk mempercepat transisi energi. Pendanaan itu disebut Just Energy Transition Partnership (JETP). Hingga April 2023, dua negara yaitu Afrika Selatan dan Indonesia menerima komitmen pendanaan.

Vietnam, salah satu negara Asia yang berkembang pesat dalam energi terbarukan beberapa tahun terakhir, sedang menjalin komunikasi intensif untuk menerima pendanaan JETP selanjutnya. Minh Ha Duong, ketua Dewan Anggota VIETSE, dalam webinar bertajuk “Between Vision and Reality: Navigating JETP in South Africa, Indonesia, and Vietnam” mengatakan bahwa JETP akan kembali menggeliatkan pengembangan energi terbarukan di Vietnam.

“Selama beberapa tahun, kami dapat mengatakan bahwa pengembangan energi terbarukan di Vietnam sedang booming hingga kami dapat memiliki beberapa gigawatt energi terbarukan, tetapi akhir-akhir ini terhenti. Dengan adanya pendanaan JETP ini akan memanaskan kembali pembangunan energi terbarukan,” ujarnya.

Afrika Selatan, yang menjadi negara pertama penerima JETP, mencatat poin-poin yang patut dipertimbangkan bagi negara lain dan anggota IPG dalam mereplikasi proyek di negara lain.

“Pembiayaan JETP bertindak sebagai katalis selama proses transisi energi. Tentu saja tidak cukup untuk menutupi seluruh dana yang dibutuhkan untuk mengubah sektor listrik dan dampak sosial dan ekonominya, tetapi itu masih dapat mempercepat transisi,” kata Tracy Ledger, pimpinan program transisi energi di Public Affairs Research Institute (PARI). Tracy juga menyoroti bahwa partisipasi publik selama negosiasi JETP sangat terbatas.

Mengamankan komitmen JETP sebesar USD 20 miliar selama pertemuan G20 November lalu, Indonesia telah membentuk sekretariat khusus untuk JETP di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Institute for Essential Services Reform (IESR), yang secara aktif terlibat dan meninjau sektor energi di Indonesia dan terus memberikan masukan kepada pembuat kebijakan tertentu, menunjukkan bahwa komitmen USD 20 miliar, tetapi pencairannya dapat bergantung pada banyak hal. Oleh karena itu Indonesia perlu menyiapkan ekosistem untuk menyambut pendanaan tersebut.

Pemerintah Indonesia setidaknya perlu menangani masalah-masalah berikut: ketersediaan proyek-proyek yang bankable, lelang pembangkit listrik energi terbarukan yang terjadwal, dan lingkungan yang memungkinkan bagi para pengembang untuk memulai proyek mereka di Indonesia.

“Kita juga perlu mendefinisikan apa yang dimaksud dengan ‘adil’ atau ‘just’ dalam konteks JETP. Konteks kami (IESR) yang dimaksud ‘adil’ melibatkan tenaga kerja dan transisi ekonomi terutama mereka yang berada di provinsi penghasil batubara,” jelas Fabby Tumiwa, direktur eksekutif IESR.

JETP Indonesia menangani target pengurangan emisi sebesar 290 juta ton CO2 dan campuran energi terbarukan sebesar 34% pada tahun 2030. Target ini memerlukan penghentian penggunaan batu bara sebagai prasyarat untuk mengurangi emisi dari sektor ketenagalistrikan. Sebagai salah satu dampaknya, produksi batu bara akan turun drastis dan berdampak pada daerah penghasil batu bara seperti Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan.

Kegiatan ekonomi lokal pasti akan bergeser karena provinsi-provinsi tersebut sangat bergantung pada produksi batubara untuk produk domestik brutonya. Kualitas akses energi yang berbeda dari satu tempat ke tempat lain menjadi tantangan implementasi JETP di Indonesia.

“Target 34% energi terbarukan pada 2030 tidak cukup untuk mendekarbonisasi sistem energi Indonesia tetapi ini adalah awal yang baik untuk mempercepat pemanfaatan energi terbarukan, apalagi USD 20 miliar. Namun, itu dapat membuka lebih banyak peluang untuk transisi energi,” kata Fabby.

Fabby menambahkan, pendirian industri energi terbarukan seperti manufaktur baterai dan panel surya menjadi salah satu kunci keberhasilan transisi energi.

Pilihan untuk PLTU di Tengah Pengembangan Energi Terbarukan

Transisi energi telah menjadi kebutuhan global sebagai upaya mitigasi perubahan iklim. Pembakaran energi fosil terbukti berkontribusi besar pada kenaikan emisi gas rumah kaca (GRK) yang menyebabkan naiknya rata-rata suhu global. Bagi negara-negara yang sistem energinya banyak ditopang oleh energi fosil, hal ini memerlukan perhatian khusus, sebab mereka juga harus  mengambil langkah yang tepat di tengah  pilihan-pilihan yang tersedia untuk melakukan dekarbonisasi sistem energi yang berarti berujung pada pengakhiran masa operasional PLTU batubara.

Raditya Wiranegara, peneliti senior Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam webinar bertajuk “Financing Indonesia’s Coal Phase-Out: A Just and Accelerated Retirement Pathway to Net-Zero” Sabtu, 19 November 2022, menjelaskan dua skenario yang dapat diambil untuk PLTU batubara. Kedua skenario ini bertujuan untuk memberikan ruang yang lebih lega pada energi terbarukan supaya dapat masuk pada jaringan PLN.

Pilihan yang pertama adalah dengan mempensiunkan PLTU-PLTU yang sudah tua dan tidak lagi efektif dan efisien secara operasional. Untuk mengkaji pilihan ini, IESR bekerjasama dengan Center of Global Sustainability, University of Maryland, Amerika Serikat. 

“Hasil penelitian kami menunjukkan, terdapat 9,2 GW PLTU batubara yang dapat segera dipensiunkan mulai dari 2022-2030,” kata Raditya.

Dengan melakukan pensiun pada seluruh pembangkit batubara, dan membangun pembangkit berbasis energi terbarukan, Indonesia dapat mencapai status net zero emission pada tahun 2050 sesuai dengan Persetujuan Paris. 

Selain itu terdapat berbagai dampak sosial-ekonomi serta lingkungan yang dapat dihindari. Hingga tahun 2050 diperkirakan akan ada 168.000 kematian yang dapat dihindari dengan skenario pensiun seluruh PLTU.

Pilihan kedua yaitu dengan mengoperasikan PLTU secara fleksibel. Operasi PLTU fleksibel adalah pengubahan pola operasi PLTU dari yang awalnya beroperasi 24 jam dalam sehari untuk menopang beban dasar sistem ketenagalistrikan (baseload), menjadi hanya menopang beban puncak pada jam-jam tertentu saja (peak load).

“Pola operasi fleksibel ini memungkinkan penambahan pasokan energi terbarukan, terutama sumber energi yang bergantung pada kondisi tertentu seperti surya dan angin,” jelas Raditya.

Ditambahkan oleh Raditya, pola operasi fleksibel ini cocok untuk PLTU yang masih berusia muda seperti yang banyak terdapat di Indonesia. Dalam laporan studi “Flexible Thermal Power Plant: An Analysis of Operating Coal-fired Power Plant Flexibly to Enable the High-Level Variable Renewables in Indonesia’s Power System” dijelaskan bahwa secara teknis PLTU-PLTU yang berada di sistem Sumatra, Jawa-Bali, dan Sulawesi dapat dioperasikan secara fleksibel. Akan terdapat perbedaan level efisiensi, besaran emisi, serta biaya investasi yang dibutuhkan dari satu unit PLTU ke PLTU yang lain tergantung pada usia PLTU. PLTU yang berusia muda relatif membutuhkan biaya retrofit yang lebih rendah karena infrastrukturnya masih relatif kuat untuk mendukung pola operasional PLTU fleksibel.

Untuk itu, diperlukan perencanaan matang untuk mengoperasikan PLTU secara fleksibel maupun melakukan pensiun PLTU dan menambah kapasitas energi terbarukan dalam jaringan. Pemerintah melalui PLN juga dapat memasukkan pola operasi PLTU fleksibel dalam dokumen perencanaan penyediaan tenaga listrik untuk memberikan kepastian regulasi pada investor.

Paparan tentang operasi PLTU fleksibel dapat disaksikan melalui kanal berikut ini.

Peluncuran Studi Indonesia Sustainable Finance Outlook 2023

Jakarta, 17 Oktober 2022 – Institute for Essential Services Reform meluncurkan laporan unggulan terbarunya bertajuk Indonesia Sustainable Finance Outlook (ISFO) 2023. Laporan ini merupakan bagian dari Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) yang akan diluncurkan bulan Desember 2022. ISFO 2023 secara khusus membahas perkembangan pembiayaan transisi energi di Indonesia. Dalam sambutan pembukanya, Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menyatakan bahwa Indonesia membutuhkan langkah transformasi yang masif dan drastis untuk memastikan kita sesuai dengan target Persetujuan Paris yaitu untuk membatasi suhu bumi pada level 1,5 derajat. 

“Pada 2030 kita harus memangkas 45% emisi di tingkat 2010. Untuk itu upaya-upaya transformasi secara masif dan drastis harus dilakukan. Khususnya oleh negara-negara G20 yang bertanggung jawab terhadap 85% total emisi GRK dunia. Indonesia berada di peringkat ke-7 sebagai negara penghasil emisi yang bersumber dari sektor hutan dan lahan, dan energi,”  jelas Fabby.

Kajian IESR dan University of Maryland menunjukkan bahwa untuk selaras dengan pembatasan kenaikan temperatur 1,5 derajat, maka seluruh kapasitas PLTU di Indonesia, sebanyak 44 GW, harus diakhiri pada 2045. Pada periode 2022 – 2030, sebanyak 9,2 GW PLTU harus dipensiunkan. Kapasitas selebihnya dipensiunkan secara bertahap hingga 2045. 

IESR memperkirakan biaya pengakhiran 9,2 GW PLTU sepanjang 2022-2030 sebesar $4,6 milyar. Pensiun dini seluruh PLTU pada 2045 dengan usia rata-rata 20 tahun memerlukan $28 milyar, biaya ini untuk kompensasi stranded asset dan biaya decommissioning pembangkit. 

Farah Vianda, Program Officer Green Economy IESR dan salah satu penulis ISFO 2023 menjelaskan bahwa situasi pembiayaan transisi energi di Indonesia masih sangat minim.

“Kita masih kekurangan pendanaan untuk mencapai target energi terbarukan pada tahun 2025, untuk melakukan penghentian operasi batubara, dan untuk memitigasi risiko transisi,” katanya.

Farah menambahkan secara teknis ketersediaan pendanaan publik (APBN) yang terbatas dan masih adanya kebijakan pemerintah yang mendukung penggunaan sumber energi fosil membuat mobilisasi keuangan dan investasi untuk transisi energi cukup sulit, dari sisi institusi finansial sendiri masih sedikit kebijakan yang mendukung institusi keuangan untuk mendukung pembiayaan transisi energi.

Ichsan Hafiz Loeksmanto, Penulis Utama ISFO 2023, menyoroti salah satu instrumen pembiayaan berkelanjutan yaitu pajak karbon. Menurut Ichsan, meski sudah merencanakan untuk menerapkan pajak karbon, dan mekanisme cap & trade (batasi dan dagangkan) pada 92 unit PLTU batubara pada 2022, namun penerimaan pajak karbon tersebut bersifat tidak earmarked. Artinya, penggunaan penerimaan pajak karbon belum dikhususkan untuk pembiayaan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

“Pemerintah perlu memastikan alokasi pendapatan pajak karbon untuk mitigasi & adaptasi iklim, dan jaring pengaman sosial. Selain itu, perlu pula transparansi publik mengenai pembayaran pajak karbon dan transaksi karbon,” jelas Ichsan.

Fransiska Oei, Ketua Bidang Pengembangan Kajian Hukum & Peraturan Perbanas, menyatakan pihak institusi keuangan lokal memerlukan setidaknya dua dukungan. Pertama, untuk manajemen risiko pembiayaan dan dukungan penguatan kapasitas untuk menganalisis risiko untuk proyek-proyek energi terbarukan. 

“Kapabilitas bank untuk menganalisa feasibility terkait proyek EBT masih kurang, kami mencoba bekerjasama dengan organisasi lainnya (ex: USAID) untuk memahami risiko dan mitigasinya, selain itu mungkin kami juga perlu dukungan regulator untuk keringanan prudential banking regulation untuk proyek EBT ini,” tutur Fransiska.

Lutfyana Larasati, Analis Senior Climate Policy Initiatives menyatakan ke depannya perlu diperbanyak proyek-proyek yang eligible untuk masuk dalam green bond atau green sukuk. PBI 24 tahun 2022 sudah memberikan ruang yang lebih besar kepada perbankan dan institusi keuangan untuk berkontribusi pada pembiayaan hijau terutama di proyek yang didanai green bond dan green sukuk.

“Kita perlu sinkronisasi kriteria indikator untuk taksonomi hijau sehingga semakin banyak proyek (hijau)  yang layak untuk mendapat pendanaan publik baik melalui green bond atau green sukuk,” kata Lutfyana.

Radian Nurcahyo, Asisten Deputi Hukum dan Perjanjian Maritim, Kementerian Maritim dan Investasi menekankan bahwa energi adalah penggerak ekonomi. Maka investasi untuk transisi energi ini pun harus terus dimobilisasi. 

“Kementerian Keuangan telah menerbitkan skema blended finance seperti energy transition mechanism dan country platform untuk sumber pendanaan phasing down PLTU batubara, platform SDG Indonesia one sebagai pembangunan green energy untuk mencapai NZE 2060,” jelas Radian.

Bisnis | Pendanaan Program Pensiun Dini PLTU Masih Seret, Ini Usulan IESR

Institute for Essential Services Reform (IESR) mengusulkan struktur pembiayaan untuk program pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batubara digabungkan dengan rencana investasi energi baru dan terbarukan (EBT). Usulan itu disampaikan untuk mengakomodasi kebijakan sejumlah negara dan lembaga keuangan internasional yang tidak dapat mendanai program pensiun dini PLTU berbasis energi fosil tersebut.

Baca selengkapnya di Bisnis.com.

Peta Jalan Mempercepat Pensiun PLTU Batubara pada 2045

press release

Strategi akselerasi pensiun dini PLTU batubara sangat mungkin dilakukan untuk mencapai target penghentian seluruh PLTU batubara pada tahun 2045.

Penghentian PLTU batubara secara bertahap dengan bantuan internasional serta koordinasi nasional yang terencana akan mendukung pencapaian target bebas emisi Indonesia pada 2050 dan sesuai dengan peta jalan pembatasan suhu global di bawah 1,5ºC.

Jakarta, Indonesia; Maryland, Amerika Serikat, 3 Agustus 2022—Analisis terbaru yang pertama kali dirilis hari ini oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Center for Global Sustainability (CGS) di University of Maryland yang didukung oleh Bloomberg Philanthropies,  menunjukkan bahwa Indonesia dapat mempercepat penghentian pengoperasian PLTU batubara pada tahun 2045 dengan dukungan internasional. Analisis tersebut menunjukkan bahwa Indonesia harus menghentikan operasi 72 PLTU batubara di Indonesia yang dimulai dengan mengurangi pembangkitan listrik dari PLTU batubara sebesar 11% selama delapan tahun ke depan dan selanjutnya meningkatkan jumlah PLTU batubara yang dipensiunkan menjadi 90% sebelum tahun 2040.

“Analisis kami menemukan bahwa melalui transisi batubara yang berkeadilan, sekarang adalah saat dimana Indonesia dapat mengambil tindakan kritis yang akan menyiapkan negara untuk mengakselerasi pensiun dini batubara dan memperkuat komitmen iklim internasional sebelum COP27,” ujar Ryna Cui, dari Center for Global Sustainability, Universitas Maryland, yang juga merupakan salah satu penulis kajian berjudul”Financing Indonesia’s coal phase-out: A just and accelerated retirement pathway to net-zero”

“Sementara itu, kebutuhan pembiayaan untuk menerapkan penghentian PLTU batubara dengan transisi energi berkeadilan diperkirakan mencapai USD 27,5 miliar, yang membutuhkan upaya dalam negeri yang kuat dan dukungan internasional,”lanjut Ryna.

Meskipun Indonesia telah berkomitmen pada tujuan ambisius untuk mencapai bebas emisi pada tahun 2060 atau lebih cepat dan menghapus batubara secara bertahap pada tahun 2040-an dengan bantuan internasional, ketergantungan Indonesia pada batubara di sistem energi dalam negeri bahkan mengekspor ke luar negeri menjadi tantangan dalam mencapai tujuan tersebut. Namun dengan penjadwalan pensiun per unit PLTU batubara yang dirincikan dalam laporan ini, Indonesia, menuju COP27 November ini, dapat memberikan sinyal kepada dunia terhadap komitmennya dengan menetapkan target yang kuat dan layak untuk menghentikan PLTU batubara pada tahun 2045.

Kerangka kerja di laporan ini diawali dengan mengembangkan jalur untuk bebas emisi nasional pada 2050, yang dilanjutkan dengan menyusun peta jalan penghentian per unit PLTU batubara secara jelas melalui pendekatan pemodelan yang terintegrasi. Jadwal pensiun dibangun berdasarkan kinerja teknis, ekonomi, dan lingkungan masing-masing PLTU batubara.

“Kajian ini menawarkan tenggat waktu penghentian per unit PLTU batubara secara terperinci yang layak secara finansial berdasarkan penilaian sistematis kami tentang manfaat dan biaya implementasi transisi energi batubara ke energi bersih yang berkeadilan serta cepat,” imbuh Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR. “Pertama, kami menemukan bahwa Indonesia dapat dengan cepat berhenti menggunakan batubara dan memenuhi tujuan pengurangan emisi domestik dan internasional, namun yang terpenting adalah kajian ini menunjukkan bahwa Indonesia dapat melakukannya dengan cara yang menguntungkan kesehatan dan ekonomi masyarakat.”  

Mempercepat pensiun dini PLTU batubara akan menelan biaya lebih dari $32 miliar hingga tahun 2050. Akan tetapi, pensiun dini PLTU batubara mempunyai manfaat positif dari terhindarnya biaya subsidi listrik yang diproduksi dari PLTU batubara dan biaya kesehatan yang masing-masing berjumlah $34,8 dan $61,3 miliar—2-4 kali lebih besar—dari biaya aset terbengkalai, penghentian pembangkit (decommissioning), transisi pekerjaan, dan kerugian penerimaan negara dari batubara.

“Indonesia telah secara legal mengadopsi target iklim sejalan dengan komitmen internasional. Laporan ini menyajikan peta jalan untuk membantu mengurangi lebih dari 2.600 emisi MtCO2 melalui penghentian penggunaan PLTU batubara,” ungkap Nathan Hultman, Direktur Center for Global Sustainability, Universitas Maryland. “Kontribusi ini akan menuai manfaat yang signifikan tidak hanya bagi masyarakat Indonesia tetapi juga dunia. Pendekatan yang baru dalam hal bantuan finansial internasional menjadi komponen kritikal untuk mencapai kemungkinan transisi yang lebih cepat.”

“Untuk mewujudkan pemberhentian penggunaan PLTU batubara di tahun 2045 dan meraih manfaat ekonomi dan sosialnya, pemerintah Indonesia harus mengadopsi kebijakan yang kuat yang terbangun dari momentum politik dan sosial menuju transisi energi bersih,” kata Raditya Wiranegara, Peneliti Senior IESR yang juga merupakan salah satu penulis dari kajian ini. “Namun, implementasi percepatan pensiun dini PLTU batubara tidak dapat hanya dilakukan Indonesia sendiri saja. Menyambut COP27 di Mesir, di mana fokus pertemuan akan tertuju pada keuangan, adaptasi, dan kerugian dan kerusakan dampak dari krisis iklim, komunitas keuangan internasional harus melangkah untuk membantu mewujudkan tujuan-tujuan ini.” 

Merespon kajian ini, Andriah Feby Misna, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan menyebutkan bahwa pensiun dini PLTU sudah menjadi perhatian pemerintah untuk menuju NZE 2060. 

“Menurut hasil simulasi pemodelan pemerintah, PLTU batubara masih akan terakhir beroperasi pada 2056, sementara mendorong pensiun dini PLTU batubara di luar PLN untuk bisa pensiun di 2050. Jika ingin mempercepatnya di 2045, maka diperlukan perhitungan yang lebih mendalam lagi,” ungkapnya.

Feby menuturkan bahwa saat ini pemerintah sedang merancang peta jalan pensiun dini PLTU batubara (early retirement). Menurutnya, kajian IESR dan CGS Universitas Maryland ini dapat diselaraskan dengan kajian yang saat ini dilakukan pemerintah. Ia melanjutkan, jika ada bantuan internasional maka diharapkan penghentian penggunaan PLTU batubara dapat dipercepat.

Pembahasan lanjutan tentang keuangan untuk mempercepat pensiun PLTU batubara ini dapat disaksikan pada webinar CGS dan IESR pada hari Rabu, 10 Agustus 2022.

Unduh laporan ”Financing Indonesia’s coal phase-out: A just and accelerated retirement pathway to net-zero” untuk mempelajari lebih lanjut tentang strategi pembiayaan untuk pensiun dini PLTU batubara Indonesia.

Riset yang telah dilakukan dan tertulis di laporan ini mendapatkan pendanaan dari Bloomberg Philanthropies. ***

Perkembangan Transisi Energi di Kawasan Asia Tenggara

press release

Jakarta, 1 Agustus 2022- Mengejar target bauran energi terbarukan 23% pada tahun 2025 di kawasan Asia Tenggara, memerlukan kerjasama yang kuat antar negara di kawasan untuk mendorong transisi energi yang berkelanjutan serta mengalihkan investasi dari bahan bakar fosil di kawasan ini ke energi terbarukan. 

Hal tersebut ditekankan oleh Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam webinar berjudul Status Transisi Energi di Asia Tenggara (29/7). Menurutnya, Asia Tenggara tengah berkembang menjadi kawasan dengan kekuatan ekonomi terbesar kedua di Asia setelah Cina sehingga permintaan energi akan terus meningkat ke depannya.

“Banyak negara di kawasan Asia Tenggara yang masih bergantung pada energi fosil seperti batubara, gas dan minyak. Sementara Asia Tenggara merupakan kawasan yang rentan terhadap dampak krisis iklim. Upaya kolaboratif untuk beralih dari energi fosil ke energi terbarukan di kawasan ini dapat memberikan kontribusi yang signifikan pada usaha global mencapai tujuan Persetujuan Paris,” ujarnya.

Indonesia sendiri mempunyai target 23% bauran energi baru terbarukan di tahun 2025 dan 31% di 2030. Namun menurut Handriyanti Puspitarini, berdasarkan kajian IESR jika tidak ada perbaikan kebijakan, maka Indonesia hanya akan mencapai 15% bauran energi terbarukan di 2025 dan 23% di 2030. 

“Jika melihat tren dari 2013-2021, pangsa energi terbarukan meningkat meski lambat. Padahal berdasarkan kajian IESR, Indonesia punya potensi teknis energi terbarukan lebih dari 7.000 GW. Sedangkan yang sudah dimanfaatkan hanya 11,2 GW saja,” papar Handriyanti. Ia menilai lamanya pengurusan izin dan rumitnya mekanisme pengadaan proyek energi terbarukan di Indonesia membuat para investor enggan berinvestasi di Indonesia. 

“Indonesia perlu meningkatkan aspek politik, aturan kebijakan dan finansial untuk mendorong pengembangan energi terbarukan yang lebih masif, terutama berdasarkan hasil kajian IESR, kesadaran publik terhadap transisi energi dan perubahan iklim mulai meningkat,”jelasnya. 

Di sisi lain, pada 2021, komitmen untuk meningkatkan target bauran energi terbarukan Malaysia disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Malaysia melalui Rencana Transisi Energi Malaysia hingga tahun 2040. 

“Malaysia meningkatkan target bauran energi terbarukan dari semula 20% di tahun 2025 menjadi 31% di 2025 dan 40% di 2030. Malaysia juga berkomitmen untuk tidak lagi membangun PLTU batubara baru untuk mencapai netral karbon secepatnya pada 2050,” urai Anthony Tan, Executive Officer (Sustainability & Finance), All Party Parliamentary Group Malaysia on Sustainable Development Goals (APPGM-SDG) pada kesempatan yang sama.

Namun, menurutnya, pemerintah Malaysia perlu pula mendorong upaya efisiensi energi dan transportasi yang berkelanjutan secara holistik.

“Malaysia membutuhkan kebijakan energi nasional yang holistik. Selain itu, Malaysia perlu mengembangkan atau mengubah Kebijakan Otomotif Nasional menjadi Kebijakan Transportasi Nasional holistik untuk mengurangi penggunaan energi fosil di sektor transportasi,” imbuh Antony.

Komitmen Vietnam untuk mencapai bebas emisi pada 2050 juga disampaikan oleh Nguyen Thi Ha, Sustainable Energy Program Manager Green Innovation and Development Centre (GREENID). Ia menuturkan Vietnam berkomitmen untuk menghentikan pengoperasian 7-8 GW PLTU untuk mendukung dekarbonisasi sistem energi dengan peningkatan bauran energi terbarukan di PLTB lepas pantai sebesar 11,7 GW (9,7%) di tahun 2030 dan PLTB daratan sebesar 30 GW (10,5) di 2045. Taman panel surya (solar park) sendiri  , sementara akan mencapai 8,7  GW (7,2%) di 2030, dan akan meningkat 20.6% di 2045. 

Demi mencapai bebas emisi, membutuhkan investasi yang signifikan pada sektor energi, transportasi, pertanian, dan industri.

“Berdasarkan kajian World Bank, total pembiayaan yang dibutuhkan untuk dekarbonisasi sekitar USD 114 miliar pada 2022-2040,” ujar Thi Ha.

Vietnam pun telah mengeluarkan strategi terbaru untuk mengembangkan sistem transportasi yang ramah lingkungan.

“Bahkan mulai 2025, Vietnam berkomitmen untuk mengganti 100 persen busnya dengan bus listrik dan memperlengkapi infrastruktur yang mendukung elektrifikasi sistem transportasi di Vietnam,” paparnya.

Pembangkit listrik di Filipina didominasi 57% oleh batubara pada 2020, dengan bauran energi terbarukan mencapai 21% pada 2020.

Bert Dalusung, Energy Transition Advisor Institute for Climate and Sustainable Cities (ICSC) menuturkan bahwa untuk pertama kalinya Filipina mempunyai rencana yang fokus pada pengembangan energi terbarukan.

“Di skenario energi bersih ini, Filipina menargetkan 30% dan 50% pangsa energi terbarukan di bauran pembangkit listrik pada 2030 dan 2040,” ungkap Bert

Bert menambahkan pemerintah Filipina menyadari bahwa energi terbarukan akan menjadi kunci utama dalam agenda perubahan iklim. Dengan demikian, mengutip pernyataan Presiden Ferdinand Marcos, pemerintah akan memeriksa seluruh sistem transmisi dan distribusi untuk mengakomodasi pengembangan energi terbarukan dan menurunkan biaya energi bagi konsumen dan industri.  ***

Siaran ulang dari Webinar “The State of Southeast Asia’s Energy Transition” dapat disaksikan di YouTube IESR Indonesia.