Metodologi Evaluasi Implementasi Kebijakan: Mekanisme yang Sangat Dibutuhkan

New York, 21 September 2023 – Komunitas global mendesak para pemimpin dunia untuk mengambil tindakan serius guna mengatasi dampak perubahan iklim. Menjelang COP 27 di Mesir tahun lalu, beberapa negara memperbarui komitmen mereka untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan mencapai status emisi nol bersih. Namun demikian, masih terdapat kesenjangan antara komitmen dan implementasi kebijakan serta tindakan untuk mencapai target yang telah ditentukan.

Untuk mengamati, menilai, dan memantau kemajuan suatu negara dalam implementasi kebijakan, Climate Transparency, sebuah kemitraan global antara organisasi penelitian dan Organisasi Masyarakat Sipil di negara-negara G20, telah mengembangkan metodologi untuk meninjau implementasi kebijakan dalam empat kategori: status hukum, institusi & tata kelola, sumber daya, dan pengawasan.

Yvonne Deng, Pakar Strategi Energi dan Iklim dari 7Gen Consulting, menekankan pentingnya memiliki instrumen pemantauan untuk meninjau kebijakan saat ini dan perannya dalam mencapai target iklim.

“Kami (Climate Transparency) menganalisis kesenjangan dan mendalami pendekatan sektoral untuk merekomendasikan kebijakan sektoral apa yang harus diambil suatu negara untuk mencapai ambisi tersebut,” kata Yvonne.

Afrika Selatan, salah satu negara yang mendapat perhatian global akhir-akhir ini sebagai penerima pertama pendanaan Just Energy Transition Partnership. Guy Cunliffe, Peneliti Sistem Energi di Universitas Cape Town menjelaskan bahwa sebagai negara yang menerima bantuan internasional, Afrika Selatan perlu menunjukkan akuntabilitas dalam pelaksanaan proyeknya.

“Pemantauan implementasi sangat penting untuk menunjukkan keberhasilan implementasi dan sebagai negara penerima, hal ini juga merupakan cara untuk menampilkan kemajuan proyek yang berkomitmen,” katanya.

Guy menambahkan bahwa sebagai penerima JETP pertama, Afrika Selatan telah meningkatkan ambisi iklimnya dan mencoba mengintegrasikan kapasitas energi terbarukan secara signifikan ke dalam jaringan listriknya. Namun dalam implementasinya, negara tersebut mengalami kendala dalam hal pasokan listrik. Kendala ini ‘memaksa’ mereka untuk menyesuaikan rencana dan kebijakan sekaligus mengubah struktur pasar energi dengan cepat. Hal ini hanya mungkin terjadi dengan pemantauan kebijakan yang berkelanjutan.

Mirip dengan Afrika Selatan, Indonesia, sebagai salah satu produsen batubara terbesar, pembangkit listriknya didominasi oleh batubara. Pada tahun 2022, Indonesia memperbarui target penurunan emisi dalam enhanced NDC, dari 29% menjadi 31,89% (unconditional) dan 41% menjadi 43,2% (conditional).

Wira Agung Swadana, Manajer Program Ekonomi Hijau di Institute for Essential Services Reform (IESR), mencatat bahwa selama masa transisi dari batubara, masih terdapat konflik kepentingan di antara para pemangku kepentingan, terutama karena kurangnya panduan yang jelas dari pemerintah mengenai transisi meliputi indikator dan arahan strategi.

“Meskipun Indonesia telah meningkatkan ambisinya dan tertuang dalam target NDC-nya, ekosistem pendukung (enabling environment) bagi para pengembang energi terbarukan masih belum cukup menarik. Masih belum ada insentif yang jelas bagi investor serta prosesnya yang masih cukup panjang,” jelas Wira.

RUU Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBET) yang sedang dalam proses, meskipun diyakini akan memberikan kerangka kebijakan yang kuat, sampai batas tertentu masih berupaya untuk memperpanjang penggunaan bahan bakar fosil dengan memasukkan teknologi CCS ke dalam opsi energi terbarukan.

Transisi Energi di Tengah Kepungan Tambang Batubara

Samarinda, 7 September 2023 –  Transisi energi adalah sebuah keniscayaan yang tak terhindarkan. Tren dunia saat ini menunjukkan bahwa bumi semakin panas dan untuk membatasi meningginya temperatur bumi diperlukan solusi terstruktur di antaranya dengan transisi energi, yang melibatkan berbagai sektor dan multi-stakeholder.

Masyarakat dan komunitas menjadi salah satu aktor kunci dalam transisi energi yang dapat menginisiasi pengembangan energi terbarukan untuk menjawab kebutuhan energinya. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerjasama dengan proyek Clean Affordable and Secure Energy for Southeast Asia (CASE) dan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Kalimantan Timur mengadakan kegiatan Jelajah Energi Kalimantan Timur (Kaltim) untuk melihat secara langsung dan lebih dekat perkembangan berbagai inisiatif penggunaan energi terbarukan di Provinsi Kalimantan Timur.

Rangkaian kegiatan Jelajah Energi ini diawali dengan workshop, dilanjutkan dengan kunjungan pada sejumlah tempat. Pada hari pertama kunjungan, rombongan Jelajah Energi Kaltim melihat PLTS atap pada kantor Pertamina Hulu Mahakam, TPAS Manggar, dan PLTU Kariangau Teluk Balikpapan.

Perjalanan “Jelajah Energi Kalimantan Timur” berlanjut pada hari kedua dimulai dengan kunjungan ke Desa Mulawarman untuk melihat bagaimana masyarakat memanfaatkan kotoran ternak untuk membuat biogas. Biogas yang ada di desa Mulawarman ini merupakan biogas rumahan bantuan dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Kalimantan Timur. 

Desa Mulawarman berada di Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. Tambang batubara mengelilingi, Desa Mulawarman. Kondisi ini sempat membuat warga desa Mulawarman meminta untuk direlokasi.

Pemerintah Daerah Kalimantan Timur mulai memberikan perhatian pada desa Mulawarman untuk membantu perekonomian warga desa Mulawarman, salah satunya dengan mengembangkan kelompok ternak dan bantuan instalasi biogas.

Pada tahun 2021, Dinas ESDM Kalimantan Timur memberikan bantuan instalasi biogas kepada kelompok ternak (yang telah disurvey) yang berada di desa tersebut, yang berjumlah 20 peternak. Hal ini membuat masyarakat tidak perlu membayar iuran per bulan untuk penggunaan biogas ini. 

Masyarakat pengguna biogas ini segera merasakan dampak positif, seperti  adanya penghematan biaya untuk bahan bakar untuk memasak. Zaenal Abidin, warga Desa Mulawarman, yang juga merupakan penerima manfaat dari bantuan instalasi biogas, mengatakan, bahwa sebelumnya untuk memenuhi kebutuhan memasak, keluarganya bisa menghabiskan hingga 4 tabung LPG atau elpiji 3 kg dalam satu bulan. Kini, ia dapat memotong kebutuhan elpijinya menjadi hanya 1 tabung elpiji 3 kg saja.

“Untuk masak sehari-hari ini (biogas, red) sudah cukup. Tapi jika ada acara-acara seperti pengajian begitu masih harus menggunakan gas elpiji,” kata Zaenal Abidin.

Zaenal juga menambahkan bahwa proses memasak menggunakan bahan bakar biogas ini sedikit lebih lama dibandingkan menggunakan elpiji.

Bantuan instalasi biogas ini juga dibarengi dengan transfer pengetahuan tentang teknologi pada para peternak. Sehingga para penerima manfaat dapat mendeteksi kendala-kendala teknis yang berpotensi muncul dari penggunaan instalasi biogas rumahan ini.

Rombongan Jelajah Energi Kalimantan Timur melanjutkan perjalanan menuju Desa Menamang Kanan, Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara. Perjalanan menuju Desa Menamang Kanan memakan waktu hampir 3 jam dengan kondisi jalan berdebu berat yang mengakibatkan jarak pandang menjadi sangat terbatas.

Dalam satu tahun terakhir, warga Desa Menamang Kanan berhasil menikmati listrik dari PLTS terpusat bantuan dari Dinas ESDM Kalimantan Timur dengan kapasitas 87 kWp. PLTS ini menyuplai kebutuhan listrik dasar untuk 600 kepala keluarga Desa Menamang Kanan. 

Sebelumnya, warga Desa Menamang Kanan bergantung pada suplai listrik dari PLT Diesel yang disediakan oleh salah satu program CSR perusahaan yang beroperasi di sekitar desa Untuk operasional pembangkit diesel ini, dibutuhkan 70 liter BBM setiap harinya untuk menghidupkan listrik selama 4 jam. 

Zapir, Sekretaris Desa Menamang Kanan, menjelaskan meski listrik dari PLTS ini sudah menambah akses listrik  di Desa Menamang Kanan, namun penggunaannya masih terbatas untuk penerangan dan alat elektronik ringan saja.

“Jadi baru untuk penerangan saja, sama paling kipas angin. Kalau untuk TV atau kulkas masih belum bisa,” ujar Zapir.

Zapir berharap kapasitas PLTS atap terpusat ini dapat ditingkatkan ke depannya supaya warga desa dapat memanfaatkan listrik untuk aktivitas produktif yang berpotensi membawa nilai ekonomis. Bukan terbatas hanya pada penerangan.

Gerak Sinergis Segenap Pihak Diperlukan untuk Dorong Transisi Energi di Kalimantan Timur

Balikpapan, 5 September 2023 – Institute for Essential Services Reform (IESR) menggelar rangkaian acara Jelajah Energi Kalimantan Timur berkolaborasi bersama program Clean Affordable and Secure Energy in Southeast Asia (CASE) dan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Kalimantan Timur. Rangkaian Jelajah Energi Kalimantan Timur ini dimulai dengan penyelenggaraan workshop pada Selasa, 5 September 2023. 

Direktur Ketenagalistrikan, Telekomunikasi, dan Informatika, Kementerian PPN/Bappenas, Rachmat Mardiana memaparkan, pengembangan energi terbarukan melalui ekonomi hijau dan ekonomi biru dapat menjadi potensi penggerak ekonomi baru di wilayah Kalimantan. Hal ini bisa dilakukan melalui upaya pemanfaatan biodiesel, tenaga surya, dan energi alternatif lainnya yang tersebar di seluruh provinsi. Menurut Rachmat, secara regional, pemerintah daerah dapat mendukung melalui Rencana Umum Energi Daerah (RUED) sesuai dengan kewenangan daerah dalam pengembangan energi terbarukan sebagaimana UU 23/2014 tentang pemerintah daerah. 

“Terdapat beberapa isu kewilayahan di Kalimantan di antaranya produksi tenaga listrik didominasi energi fosil dengan bauran pembangkit listrik terbarukan relatif rendah, pembangunan ibu kota nusantara (IKN) membutuhkan penyediaan listrik yang terbarukan, infrastruktur ketenagalistrikan terdiri dari sistem interkoneksi Kalimantan yang belum terhubung seluruhnya, serta sistem transmisi tegangan ekstra tinggi belum tersambung untuk mengevakuasi daya energi yang tersebar di seluruh wilayah,” ujar Rachmat dalam pembukaan rangkaian Jelajah Energi Kalimantan Timur. 

Untuk mengatasi isu kewilayahan tersebut, lanjut Rachmat, beberapa arah kebijakan perlu diambil seperti pengambangan grid skala kecil terisolasi (isolated mini grid), penyediaan listrik IKN yang hijau, cerdas, dan berkelanjutan, pengembangan jaringan listrik cerdas (smart grid), pengembangan pasokan listrik terintegrasi dengan industri melalui pemanfaatan sumber energi primer, mendorong pemanfaatan energi terbarukan dan mengembangkan interkoneksi antar wilayah. 

Direktur Ketenagalistrikan, Telekomunikasi, dan Informatika, Kementerian PPN/Bappenas, Rachmat Mardiana

Kegiatan ini dilanjutkan dengan sesi lokakarya (workshop) pemaparan transisi energi oleh Irwan Sarifuddin, Koordinator Clean Energy Hub IESR. Irwan menjelaskan, untuk melakukan transisi energi berkeadilan, pemerintah daerah tidak boleh hanya memperhatikan nasib pekerja di pertambangan batubara atau Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) saja, melainkan juga perlu memperhatikan para pekerja di daerah-daerah penunjangnya. 

“Kita perlu mempersiapkan agar mereka tidak tertinggal, hal ini bisa diartikan sebagai proses transisi energi berkeadilan. IESR telah melakukan studi Redefining Future Jobs pada tahun 2022 yang menunjukkan keuntungan yang didapatkan oleh daerah penghasil batubara, tidak sebanding dengan kerugian yang dirasakan masyarakat di daerah tersebut. Misalnya saja kerugian degradasi lahan dan risiko kesehatan,” terang Irwan. 

Setali tiga uang, Penasihat Transisi Energi dari Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) Indonesia, Yudiandra Yuwono menekankan, dalam melakukan transisi energi perlu memastikan adanya kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, proses transisi energi mempunyai banyak elemen dengan beragam konstituensi sistemik. 

“Beberapa tantangan transisi energi seperti kesiapan teknologi, dukungan kebijakan, dan penerimaan masyarakat itu sendiri. Untuk itu, seluruh elemen berperan dalam transisi energi,” kata Yudiandra. 

Lokakarya berikutnya berkaitan co-firing dan biogas dari perwakilan IESR dan Dinas ESDM Kalimantan Timur. Rahmat Jaya Eka Saputra, Staff Program Transformasi Energi IESR menuturkan, PLN mengimplementasikan teknologi co-firing di 36 lokasi PLTU dari target 35 lokasi selama 2022. Program co-firing PLN tersebut mampu memproduksi energi bersih sebesar 575,4 GWh dan berhasil menurunkan emisi karbon sebesar 570 ribu ton CO2 dengan memanfaatkan biomassa sebanyak 542 ribu ton.

“Beberapa keuntungan memanfaatkan biomassa dalam co-firing yaitu signifikan menurunkan emisi pada komposisi perbandingan 20-50% proporsi bahan bakar pengganti batubara, serta penyeimbangan karbondioksida didapatkan melalui penanaman kembali tanaman baru yang akan menyerap karbon dioksida. Namun demikian, co-firing merupakan bahan bakar “transisi” dan tidak dapat dijadikan sebagai bahan bakar tumpuan energi masa depan,” jelas Rahmat. 

Sonny Widyagara Nadar, Analis Kebijakan Ahli Muda Dinas ESDM Kalimantan Timur menyatakan, potensi biomassa di Kalimantan Timur sekitar 936,14 MW serta biogas 150 MW. Dengan demikian, apabila ditotalkan potensi bioenergi berkisar 1.086,14 MW. Dengan potensi tersebut, beberapa pemanfaatan biomassa dan biogas telah dilakukan. Misalnya saja sekam padi sebagai pupuk atau biomassa. Ada juga pemanfaatan biogas dari kotoran hewan ternak. 

Workshop Jelajah Energi Kalimantan Timur

“Terdapat beberapa tantangan dalam pemanfaatan biogas dari kotoran hewan ternak yakni menjangkau daerah-daerah  terjauh yang mengalami kelangkaan LPG, peningkatan skala biogas untuk ternak komunal, dan hilirisasi pemanfaatan biogas untuk pemanfaatan ekonomi masyarakat,” papar Sonny. 

Sesi selanjutnya, Fadhil Ahmad Qamar, Staff Program CASE, IESR menjelaskan, limbah cair kelapa sawit (palm oil mill effluent/POME) memiliki potensi yang dapat diubah menjadi sumber energi alternatif yaitu energi listrik. Menurut Fadhil, 14 juta hektar mampu menghasilkan 146 juta ton setiap tahunnya, kemudian diolah menjadi 35 juta ton crude palm oil (CPO) dan 28,7 juta ton limbah cair. POME umumnya diolah di kolam terbuka dalam kondisi anaerobik dan menghasilkan biogas. 

“Pemanfaatan biogas dari POME ini bisa membantu pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK), seperti 26 juta ton CO2eq/tahun ketika 100 pabrik memanfaatkan biogas dari POME. Namun demikian, dukungan finansial dan kebijakan diperlukan untuk menciptakan iklim investasi yang baik untuk pengembangan pemanfaatan biogas dari POME,” tegas Fadhil. 

Rangkaian kegiatan Jelajah Energi Kalimantan Timur hari pertama ditutup dengan sesi workshop persiapan liputan transisi energi. Kurniawati Hasjanah, Staff Komunikasi IESR menekankan, dalam melakukan liputan transisi energi, jurnalis maupun jurnalisme warga bisa berpatokan pada sejumlah istilah kunci seperti bauran energi, karbon, dan energi alternatif. Berbagai peliputan transisi energi pada dasarnya berada dalam kerangka bagaimana cara mengurangi jejak karbon dalam konsumsi energi dan meningkatkan penggunaan energi alternatif.  

“Dalam mempersiapkan liputan transisi energi, biasanya jurnalis membuat kerangka acuan pemberitaan terlebih dahulu yang berisikan topik, angle pemberitaan yang akan diambil, narasumber serta dokumen sebagai referensi, seperti dokumen NDC, Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, Perpres 112/2022. Selain itu, perlu juga daftar video dan foto untuk menjadi panduan fotografer untuk melengkapi liputan,” ungkap Kurniawati Hasjanah.

Menakar Kesiapan Daerah Penghasil Batubara untuk Bertransisi

Jakarta, 1 September 2023 – Pada tahun 2022, Indonesia merupakan negara penghasil batubara terbesar ketiga di dunia. Hal ini membawa sejumlah dampak baik maupun buruk bagi Indonesia, khususnya daerah penghasil batubara, seperti Kabupaten Paser di Kalimantan Timur dan Kabupaten Muara Enim di Sumatera Selatan. Secara langsung sektor industri batubara berkontribusi pada Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). 

Kontribusi sektor batubara pada pendapatan daerah cukup besar. Di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur 70% PDRB-nya datang dari sektor batubara. Sektor batubara juga berkontribusi pada 20% APBD provinsi Kalimantan Timur. Sedangkan di Kabupaten Muara Enim, industri batubara berkontribusi pada 50% PDRB, dan 20% APBD Provinsi Sumatera Selatan. 

Julius Christian, Manajer Riset Institute for Essential Services Reform (IESR), menjelaskan bahwa tren penurunan penggunaan dan permintaan batubara global akan semakin cepat seiring dengan naiknya komitmen iklim negara-negara tujuan ekspor batubara Indonesia seperti Tiongkok, India, dan Vietnam. 

“Jika negara-negara ini meningkatkan komitmen iklimnya menjadi kompatibel dengan target Persetujuan Paris, akan ada penurunan drastis dari batubara Indonesia. Hal ini tentu akan berdampak secara ekonomi dan sosial bagi daerah-daerah penghasil batubara Indonesia,” kata Julius.

Ketergantungan ekonomi pada satu sektor ini sudah menjadi perhatian pemerintah daerah. Hal ini dipaparkan dalam peluncuran Studi IESR berjudul “Transisi Berkeadilan di Daerah Penghasil Batubara” (1/9) Disampaikan Analis Sosial dan Ekonomi IESR, Martha Jesica, pemerintah daerah penghasil batubara terkadang tidak memahami risiko dari transisi energi. Namun mereka memahami bahwa ketergantungan ekonomi pada satu sektor tidaklah baik.

“Sebagai salah satu upaya keluar dari ketergantungan ini pemerintah daerah ini mendukung inisiatif CSR perusahaan dan mulai mengidentifikasi peluang diversifikasi ekonomi,” jelas Martha.

Ditambahkan oleh Ilham Surya, Analis Kebijakan Lingkungan IESR, bahwa persiapan kapasitas sumber daya manusia menjadi satu poin penting dalam bertransisi secara berkeadilan ini. 

“Mengingat akan ada perubahan dari sektor ekonomi yang familiar dengan mereka seperti pertambangan, menuju energi bersih perlu ada peningkatan kapasitas yang mencakup pendidikan (meliputi-red) literasi keuangan dan kualitas kesehatan,” tambahnya.

Perbedaan tingkat pendidikan menjadi salah satu alasan mengapa masyarakat lokal di daerah penghasil batubara hanya dapat mengakses pekerjaan di tingkat sub-kontraktor. 

Dalam sesi tanggapan, Dedi Rustandi, Perencana Ahli Madya, Koordinator Energi Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian PPN/Bappenas, menyampaikan pentingnya untuk mempersiapkan masyarakat untuk bertransisi. 

“Transisi energi merupakan keniscayaan. Saat ini menjadi momentum yang tepat untuk meningkatkan awareness masyarakat pada isu transisi energi. Cadangan batubara kita sebenarnya tidak terlalu banyak lagi.”

Dalam kesempatan yang sama, Aris Munandar, Analis Kebijakan Ahli Muda Sub-Koordinator 1 Ditjen Bina Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri menambahkan bahwa transisi energi  di daerah penghasil batubara tidak hanya terkait dengan sektor ESDM saja.

“Dari kami akan mendukung melalui RPJMD. Visi daerah akan menjadi sangat penting untuk dimasukkan dalam dokumen-dokumen strategis ini sebab 2024 akan menjadi tahun politik. Kepala daerah harus jeli melihat hal-hal apa saja yang harus dimasukkan dalam RPJMD,” imbuhnya.

Verania Andria, selaku Senior Adviser for Renewable Energy Strategic Programme UNDP/Ketua Just Transition Working Group JETP Indonesia, berpendapat bahwa terdapat sejumlah hal yang perlu diperhatikan dalam proses transisi batubara, salah satunya diversifikasi ekonomi.

“Hal yang penting untuk diperhatikan dalam diversifikasi ekonomi ini terkait dengan sumber finansial yang harus terus dieksplor, tidak bisa hanya bergantung dari dana CSR perusahaan batubara (seperti yang menjadi temuan studi-red),” katanya.

Hal senada juga diungkapkan Uka Wikarya, Head of Regional and Energy Resources Policy Research Group, LPEM UI. 

“Kualitas SDM sangat perlu untuk terus ditingkatkan melalui pendidikan dan peningkatan kualitas kesehatan. Untuk sektor ekonomi perlu mencari kegiatan atau UMKM yang independen (tidak bergantung operasionalnya pada aktivitas industri batubara-red), supaya intervensi yang dilakukan dapat berkelanjutan,” terang Uka.

Warta Ekonomi | IESR Sebut Transisi Batu Bara ke Energi Terbarukan Berdampak ke Ekonomi Daerah Penghasil

Institute for Essential Services Reform (IESR) menyebut permintaan batu bara di Indonesia diperkirakan akan menurun mengingat adanya tren transisi energi menuju energi terbarukan dan komitmen Perjanjian Paris untuk mencegah kenaikan suhu di bawah 1.5°C. Dalam penelitian pada tahun 2022, IESR memperkirakan total permintaan batu bara Indonesia, baik domestik dan ekspor, akan menurun sekitar 10% setelah 2030 dengan komitmen Indonesia saat ini.

Baca selengkapnya di Warta Ekonomi.

Transformasi Ekonomi akan Mitigasi Dampak Transisi Energi di Daerah Penghasil Batubara

press release

Jakarta, 1 September 2023 – Institute for Essential Services Reform (IESR), lembaga think tank  terkemuka di bidang energi dan lingkungan yang  berbasis di Jakarta, Indonesia, merilis laporan mengenai potensi dampak transisi energi terhadap daerah penghasil batubara di Indonesia. Laporan berjudul Just Transition in Indonesia’s Coal Producing Regions, Case Studies Paser and Muara Enim ini menemukan bahwa diversifikasi dan transformasi ekonomi harus segera direncanakan untuk  mengantisipasi dampak sosial dan ekonomi dari penurunan industri batubara seiring dengan rencana pengakhiran operasi PLTU dan meningkatnya komitmen transisi energi dan mitigasi emisi dari  negara-negara yang jadi tujuan ekspor batubara selama ini.

IESR merekomendasi  pemerintah pusat dan daerah untuk menyadari potensi dampak transisi energi pada ekonomi dan pembangunan daerah-daerah penghasil batubara  dan mulai merencanakan transformasi ekonomi secepatnya di daerah penghasil batubara tersebut. 

Studi ini  mengambil lokasi penelitian di Kabupaten Paser, Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan, merekomendasikan untuk memanfaatkan Dana Bagi Hasil (DBH) batubara dan  program corporate social responsibility (CSR) untuk merencanakan dan mendukung proses transformasi ekonomi,  serta perluasan akses dan partisipasi publik untuk transisi yang berkeadilan.  DBH batubara menyumbang 20% dari total anggaran pendapatan pemerintah Muara Enim pada tahun 2023, dan 27% dari total pendapatan pemerintah Paser pada tahun 2013-2020.

“Perencanaan transformasi ekonomi pasca tambang batubara perlu mengedepankan kegiatan-kegiatan ekonomi yang lebih banyak memberikan multiplier effect (efek berganda) ke masyarakat lokal. Selain itu, perlu diperhatikan juga dampak potensi penurunan produksi batubara pada sektor ekonomi informal yang selama ini tidak terekam dalam analisis ekonomi makro,” jelas Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

Kajian ini juga menemukan meski industri pertambangan batubara rata-rata  menyumbang 50% dan 70% terhadap PDRB selama sepuluh tahun terakhir di Muara Enim dan Paser, tapi nilai ekonomi yang besar tersebut tidak berkontribusi signifikan pada pendapatan pekerja industri batubara. Sebanyak 78% dari nilai tambah menjadi surplus perusahaan, dan  hanya sekitar 20% dari nilai tambah dialokasikan untuk pekerja.

“Selain itu, industri pertambangan batubara menimbulkan dampak sosial dan lingkungan yang tidak sedikit pada masyarakat di sekitarnya, misalnya degradasi kualitas udara dan air, perubahan sumber penghidupan masyarakat, ketimpangan ekonomi, serta meningkatnya konsumerisme dan pencari rente,” ungkap Julius Christian, periset utama kajian ini, yang juga adalah Manajer Riset IESR.

Menurutnya, karena perbedaan kepentingan, pengetahuan, dan akses informasi, masing-masing pihak di daerah menyikapi tren transisi energi ini dengan perspektif yang beragam. Perusahaan batubara, misalnya, lebih menyadari risiko transisi energi terhadap bisnis mereka dibandingkan pemerintah dan masyarakat awam. 

Baik perusahaan maupun pemerintah daerah mulai melakukan berbagai inisiatif transformasi ekonomi. Akan tetapi, masyarakat lokal justru lebih skeptikal terhadap potensi penurunan batubara karena mereka melihat peningkatan produksi beberapa waktu belakangan,” kata Martha Jesica, Analis Sosial dan Ekonomi, IESR.

Namun, menurutnya, perubahan perspektif juga tengah berlangsung di masyarakat dan perusahaan industri batubara. Masyarakat mulai memiliki visi untuk diversifikasi ekonomi dan perusahaan batubara mulai mengembangkan bisnis di bidang lain. Ia berharap pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan dapat mendorong kesadaran yang lebih luas dan menginisiasi perubahan struktural terhadap upaya transformasi ekonomi.

IESR dalam laporan Just Transition in Indonesia’s Coal Producing Regions, Case Studies Paser and Muara Enim merekomendasikan untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan di daerah penghasil batubara memerlukan: pertama, perencanaan diversifikasi dan transformasi ekonomi yang menyeluruh dengan melibatkan para pemangku kepentingan dan partisipasi masyarakat. Kedua, menggunakan dana DBH dan program CSR untuk membiayai proses transformasi ekonomi yang mampu menarik lebih banyak investasi ke sektor ekonomi berkelanjutan. Ketiga, memperluas akses terhadap pendidikan dan pelatihan untuk mempersiapkan tenaga kerja yang berdaya saing di sektor yang berkelanjutan serta meningkatkan literasi keuangan bagi masyarakat. Keempat, meningkatkan partisipasi seluruh elemen masyarakat, terutama kelompok rentan, dalam perencanaan dan pembangunan daerahnya. 

“Semua hal terkait dengan transisi di daerah penghasil batubara ini perlu masuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) pemerintah pusat maupun provinsi masing-masing untuk memberikan dukungan dan arahan yang jelas bagi pemerintah daerah,” kata Ilham Surya, Analis Kebijakan Lingkungan, IESR.

Kesepakatan Batas Emisi Wajibkan Penurunan Kapasitas Batubara

Jakarta, 2 Agustus 2023 – Dalam rangkaian KTT G20 pada bulan November 2022, Indonesia mendapat komitmen pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP) dari negara-negara International Partners Group (IPG) sebesar USD 20 miliar. JETP merupakan mekanisme kerjasama pendanaan iklim, dan Indonesia merupakan negara kedua yang menerima komitmen pendanaan ini. Afrika Selatan menjadi negara pertama yang menerima JETP. 

Indonesia diwajibkan untuk menyusun Comprehensive Investment Policy Plan (CIPP) dan menyelesaikannya pada 16 Agustus 2023. Cakupan area yang dapat masuk dalam pendanaan JETP adalah sektor ketenagalistrikan meliputi pembangkit listrik yang dimiliki PLN juga swasta. 

Dijelaskan oleh Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam webinar “Transisi Energi JETP: Apa dan Bagaimana Dia Bekerja?” yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, bahwa momentum JETP ini adalah kesempatan untuk melakukan percepatan transisi energi dan policy reform khususnya sektor kelistrikan.

“Salah satu output yang diharapkan adalah adanya dokumen rencana investasi dan kebijakan yang komprehensif, harusnya dokumen ini dapat dijadikan panduan peta jalan transisi energi di Indonesia,” jelas Deon.

Deon juga menambahkan, kesepakatan JETP memasukkan pembahasan pembangunan industri energi terbarukan dan aspek keberlanjutan. Aspek keberlanjutan menjadi salah satu komponen penting dalam kemitraan ini sekaligus sebagai aspek yang memerlukan waktu untuk didesain karena diharapkan aspek keberlanjutan ini dapat memitigasi dampak negatif yang timbul pada komunitas terdampak transisi energi. 

Deon melanjutkan, untuk mencapai target pengurangan emisi sektor kelistrikan yang disepakati dalam JETP, yaitu maksimal sebesar 290 juta ton CO2 pada tahun 2030, Indonesia perlu memangkas kapasitas PLTU batubara sebanyak 8,6 GW sebelum 2030.

Ahmad Ashov Birry, Direktur Program Trend Asia, menegaskan pentingnya memperhatikan aspek keberlanjutan dalam skema Just Energy Transition Partnership. 

“Penting untuk tidak memperlakukan JETP dengan pendekatan proyek, namun harus dengan pendekatan kebijakan supaya memiliki legal binding yang kuat,” tambah Ashov.

Ashov menilai, meski JETP saat ini sudah menginduk pada Peraturan Presiden 112/2022, namun masih kurang kuat sebab Perpres 112/2022 sendiri masih belum mengirimkan sinyal kuat untuk penghentian operasional batubara.

Koalisi Bersihkan Indonesia merumuskan panduan aspek keadilan JETP meliputi untuk memastikan proses penyusunan rencana investasi berjalan dengan akuntabel, transparan partisipatif, memenuhi hak asasi manusia, berkeadilan secara ekologis & ekonomi, serta transformatif.