Menggapai Target 23% Bauran Energi Terbarukan 2025

Jakarta, 16 Januari 2024 – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan realisasi bauran energi baru dan terbarukan (EBT) sekitar 13,1% pada 2023, hanya naik 0,8% dari realisasi pada 2022 sekitar 12,30%. Lambatnya pertumbuhan EBT di Indonesia ini beriringan dengan pemberian subsidi fosil yang masih berjalan. Berdasarkan laporan Bank Dunia yang berjudul Detox Development, Repurposing Environmentally Harmful Subsidies (Juni 2023), tercatat Indonesia  merupakan negara pemberi subsidi energi fosil terbesar di ASEAN, sekaligus terbesar ke-8 di skala global pada 2021.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa memaparkan, terdapat persoalan sistemik dalam mencapai target bauran energi terbarukan pada 2025. Hal ini berkaca dari perkembangan energi terbarukan yang setiap tahunnya tidak begitu signifikan. Salah satu persoalan sistemik tersebut, kata Fabby, yakni subsidi energi fosil. 

“Subsidi energi fosil ini memberikan insentif kepada PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk tetap mempertahankan operasi PLTU sehingga biaya listriknya menjadi murah. Adanya subsidi energi fosil membuat harga listrik PLTU tidak mencerminkan harga sebenarnya. Di sisi lain, sebenarnya harga energi terbarukan sudah semakin kompetitif, tetapi tidak bisa masuk ke dalam sistem PLN karena masih banyak bahan bakar PLTU yang disubsidi,” ujar Fabby di program acara Energy Corner CNBC Indonesia berjudul “Energi Fosil Masih Disubsidi, Bauran EBT 23% di 2025 Sulit Tercapai?” pada Selasa (16/1/2024).

Selain itu, Fabby menekankan, hal yang mempengaruhi perkembangan energi terbarukan yakni pengadaan pembangkit energi terbarukan di PLN. Fabby menilai, PLN tidak pernah sesuai dengan hal yang sudah direncanakan berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Menurut Fabby, koreksi mengenai hal tersebut juga tidak pernah dilakukan. 

“Adanya lelang pembangkit yang terlambat ataupun tidak dilakukan, membuat tidak siapnya pembangkit energi terbarukan saat ini. Beberapa faktor yang mempengaruhi lelang seperti regulasi, di mana kita ada perubahan dari Permen ESDM No 50 Tahun 2017, yang kemudian revisinya cukup lama, di mana menghasilkan Perpres No 112 Tahun 2022. Kemudian, adanya kondisi kelebihan listrik (overcapacity) di sistem kelistrikan Jawa-Bali. Ada juga faktor kapasitas internal PLN yang mempengaruhi hal tersebut,” papar Fabby Tumiwa. 

 

Draf CIPP Targetkan 44 Persen Bauran Energi Terbarukan pada 2030

Jakarta, 2 November 2023 – Pemerintah mempublikasikan draft dokumen perencanaan dan kebijakan investasi komprehensif (Comprehensive Investment and Policy Plan, CIPP) dalam kerja sama transisi yang adil (Just Energy Transition Partnership, JETP) untuk konsultasi publik pada Rabu (1/11/2023). 

Institute for Essential Services Reform (IESR) mencatat perubahan yang patut diapresiasi dalam dokumen CIPP tersebut, khususnya  peningkatan signifikan target bauran energi terbarukan sekitar 44% di tahun 2030, lebih tinggi dari 34% di joint statement JETP pada tahun lalu. Namun, CIPP ini memuat penetapan pencapaian target nir emisi karbon (net zero emissions, NZE) di sektor ketenagalistrikan pada 2050. Hal ini belum selaras dengan Persetujuan Paris yang mendorong pengakhiran penggunaan pembangkit fosil pada 2040. 

Tidak hanya itu, target penurunan emisi hanya difokuskan pada emisi pembangkit listrik pada jaringan PLN saja, dan bukan pada emisi sektor kelistrikan secara menyeluruh,  yang mencapai 250 juta ton karbon dioksida ekuivalen di tahun 2030. Angka ini belum termasuk target pengurangan emisi dari pembangkit  untuk kebutuhan sendiri (captive power). Jika dikombinasikan, maka target puncak emisi total menjadi jauh lebih tinggi daripada yang diproyeksikan pada saat negosiasi JETP tahun lalu. Selain itu, rencana pengakhiran operasional PLTU batubara dengan total kapasitas 5 GW yang ada di draf sebelumnya dihapuskan karena ketidakjelasan sumber pendanaan dari IPG. 

IESR menilai penghapusan rencana pengakhiran operasional PLTU batubara ini akan menyulitkan Indonesia untuk mencapai target net-zero di 2050 dan meningkatkan bauran energi terbarukan setelah 2030. Dalam skenario JETP sekarang, penurunan emisi didapatkan dengan penurunan utilisasi PLTU batubara. Sehingga, pencapaian target baru 44% bauran energi terbarukan pada 2030 dapat tercapai  apabila  adanya peningkatan fleksibilitas operasi PLTU batubara PLN, dan tinjauan kontrak PLTU batubara swasta, serta dukungan regulasi untuk percepatan pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Adapun rencana pembangunan energi terbarukan yang memberikan  porsi besar pada PLTP dan PLTA karena menyesuaikan prioritas PLN, dapat  menjadi risiko dalam mencapai target tersebut, mengingat masa pengembangan  proyek PLTP yang mencapai 8 hingga 12 tahun, dan PLTA yang bisa mencapai 6-10 tahun.

“Dihapuskannya  rencana pengakhiran operasional 5 GW PLTU batubara sebelum 2030  karena ketiadaan dukungan pendanaan sangat disesalkan. Ini membuat JETP Indonesia semakin jauh dari target Paris Agreement.  Berdasarkan hasil kajian IESR, untuk mencapai target puncak emisi sebelumnya sebesar 290 juta ton karbon dioksida, perlu mengakhiri 8,6 GW PLTU di jaringan listrik PLN pada tahun 2030. Untuk itu, perlu dilakukan dialog lanjutan dengan IPG untuk mengeksplorasi blended finance (pendanaan campuran) dengan skema matching fund (dana padanan) di mana pendanaan pensiun dini PLTU berasal dari tambahan dana di atas komitmen IPG dan disamakan dengan dana dari sumber APBN serta sumber lainnya,” jelas Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

IESR juga menyoroti dokumen CIPP yang belum mempertimbangankan pengakhiran operasional PLTU captive yang dioperasikan oleh perusahaan utilitas di luar PLN. 

“Tantangan PLTU captive memang beragam tergantung dari industri yang disuplai. Namun, sudah ada dasar Peraturan Presiden 112/2022 yang mewajibkan pengurangan emisi sebesar 35% dan pengakhiran operasi maksimal 2050. Sehingga strategi pengurangan emisi maupun pengakhiran operasi lebih awal untuk PLTU captive dan untuk wilayah usaha lainnya perlu segera ditinjau,” ungkap Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, IESR.

Reformasi kebijakan dan peningkatan komitmen pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan menjadi hal krusial dalam mengimplementasikan CIPP yang membidik target 44% bauran energi terbarukan pada 2030. Kapasitas energi terbarukan Indonesia sebesar 12,6 GW, perlu ditambah sebesar 62 GW sehingga mencapai sekitar 75 GW kapasitas energi terbarukan di tahun 2030.

“Proses pengadaan pembangkit energi terbarukan masih terkendala di beberapa hal. Acapkali hal ini terbentur dengan persiapan proyek, termasuk di dalamnya studi konektivitas jaringan, akuisisi lahan, dan penyelesaian izin-izin terkait sebelum proses lelang. Di Indonesia, hal ini masih menjadi tanggungan di pengembang, membuat prospek investasi terbarukan hanya bisa terjamah oleh ‘pemain-pemain’ tertentu saja. Reformasi kebijakan yang menitikberatkan pada efisiensi dan kemudahan di dalam proses pengadaan pembangkit energi terbarukan mutlak diperlukan jika nantinya target ekspansi kapasitas ingin tercapai,” terang Raditya Wiranegara, Analis Senior IESR.

Upaya penurunan emisi yang tercantum pada dokumen CIPP ini perlu pula menekankan aspek keadilan dengan mengikutsertakan partisipasi masyarakat. Berdasarkan berbagai kajian IESR tentang mitigasi dampak transisi energi di daerah penghasil batubara, pemerintah perlu meningkatkan kapasitas institusi pemerintah pusat dan daerah dalam mengimplementasikan transisi energi serta melakukan diversifikasi ekonomi ke ekonomi yang lebih berkelanjutan. 

Sinergi dan Investasi Nasional demi Energi Terbarukan

Jakarta, 6 Februari 2023 – Jalan menuju target Indonesia bebas emisi masih cukup berliku dan panjang. Salah satu aksi pemerintah dalam mendukung upaya ini adalah dengan membuat regulasi untuk mendorong implementasi energi terbarukan. Kenyataannya, antara target, regulasi, dan implementasi seringkali tidak selaras. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam segmen Market Review di kanal IDX (24/01/2023) menyatakan bahwa pada tahun 2022, terdapat target untuk perkembangan energi terbarukan sebesar 1000 MW yang tidak tercapai. 

“Terdapat beberapa faktor mengapa target ini tidak tercapai, yang pertama adalah faktor pelemahan ekonomi yang menyebabkan permintaan listrik belum tumbuh optimal. Faktor lain adalah pandemi, yang menyebabkan beberapa proyek mengalami keterlambatan,” jelas Fabby.

Lebih lanjut, Fabby menjelaskan bahwa Peraturan Pemerintah no. 79/2014 yang diturunkan pada Perpres 22/2017 telah menetapkan target bauran energi terbarukan nasional 23% pada tahun 2025. Untuk mencapai target ini, Fabby memperkirakan bahwa perlu ada pertumbuhan energi terbarukan sebesar 3-4 Gigawatt tiap tahunnya. Kenyataannya, sejak PP no. 79/2014 ditetapkan, rata-rata energi terbarukan hanya bertambah 15% dari 3-4 GW, yaitu sekitar 400-500 MW. 

Permasalahan ini juga kemudian mengakar dari infrastruktur energi negara itu sendiri. Sumber energi Indonesia masih bergantung pada fosil, yakni sekitar 86%. Untuk merubah struktur ini, penting pula untuk mempertimbangkan pertumbuhan permintaan energi di Indonesia. Permintaan energi yang semakin meningkat ini harus kemudian diupayakan memakai energi bersih. Menurut perhitungan IESR, transisi energi di Indonesia memerlukan pendanaan sekitar 1,4 miliar dolar. Dana ini mencakup energi terbarukan dan pembaruan infrastruktur energi. 

Mengenai persepsi ekonomis masyarakat, Fabby menilai bahwa energi fosil masih dipandang lebih hemat karena saat ini batubara masih disubsidi oleh pemerintah. Penetapan Domestic Market Obligation pada tahun 2017 membatasi harga batubara menjadi 70 dolar/ton meskipun harga di luar lebih tinggi dari itu. Insentif semacam inilah yang patutnya turut diberikan pada perkembangan energi terbarukan. Namun, hal ini juga terhalang oleh kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).

“PLTS telah menjadi sumber energi terbarukan yang paling hemat, namun di Indonesia justru menjadi mahal. Dibandingkan 10 tahun lalu, harga PLTS sudah menurun 90%. Kebijakan TKDN justru menjadi disinsentif yang bisa mencegah investor untuk berinvestasi dan membuat PLTS menjadi lebih terjangkau,” tutup Fabby.

Transisi Energi Indonesia di Mata Jurnalis

Peneliti Senior IESR, Raden Raditya Yudha Wiranegara di peluncuran laporan Indonesia Energy Transition Outlook 2023

Jakarta, 17 Januari 2023Transisi energi menuju energi terbarukan seakan keras mengaung dalam momentum G20 2022. Pasalnya, Pemerintah Indonesia menempatkan transisi energi sebagai salah satu isu prioritas di bawah kepemimpinannya di G20. Pemberitaannya di media massa, menggunakan kata kunci “transisi energi” di Brandwatch.com, meningkat dari 346 di 2017 menjadi lebih dari 79 ribu di 2022. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) senantiasa berupaya berkontribusi untuk mempopulerkan transisi energi dengan berbagai kajian dan kegiatan advokasinya. Salah satunya adalah dengan menerbitkan laporan utamanya yang mendorong dan mengukur proses transisi energi di Indonesia berjudul Indonesia Energy Transition Outlook (IETO). Dipublikasikan setiap tahun sejak 2017, IETO 2023 merupakan jilid ke-6. Sebelumnya laporan ini berjudul Indonesia Clean Energy Outlook di 2017, namun berubah nama menjadi Indonesia Energy Transition Outlook pada tahun 2020.  

Peluncuran IETO disambut baik oleh berbagai pihak, di antaranya para jurnalis di media massa yang mempunyai peran penting sebagai penyampai informasi kepada publik. 

Sugiharto, wartawan ANTARA, menuturkan IETO merupakan salah satu laporan  penting yang berkembang semakin baik dari tahun ke tahun dan menjadi  referensi dalam penulisan jurnalistik karena memuat berbagai data dan informasi tentang program transisi energi yang dijalankan oleh Indonesia.

“Dengan laporan IETO yang lengkap datanya maka kami sebagai jurnalis cukup sering menjadikannya sebagai referensi penulisan, terutama terkait keragaman data di luar pemerintahan,” terang Sugiharto. 

Di sisi lain, Sugiharto menilai, perkembangan transisi energi di Indonesia belum terlalu agresif. Padahal Indonesia punya banyak potensi energi terbarukan yang sangat mumpuni untuk memenuhi kebutuhan energi di dalam negeri. Hambatan regulasi dan pendanaan menjadi tantangan bagi pengembangan transisi energi di Indonesia yang perlu diatasi.

“Dilihat dari bauran energi terbarukan yang masih rendah, pemerintah perlu agresif merealisasikan ambisi transisi energi di Indonesia,” ujar Sugiharto. 

Aditya Putra, wartawan Harian Kompas, menjelaskan IETO yang menjabarkan tantangan transisi energi di Indonesia dan langkah strategis ke depannya. Menurutnya hal ini menarik untuk diketahui oleh publik.

“Data-data yang tersaji di dalam IETO bisa membuat publik semakin memperhatikan transisi energi, termasuk yang mungkin selama ini terlewat oleh jurnalis atau tidak diungkap secara berkala ke publik oleh pemerintah misalnya soal bauran energi terbarukan dalam energi primer yang menurun. Makin menjauh target yang telah ditetapkan,” jelas Aditya.

Aditya berharap keberadaan laporan seperti IETO 2023 dapat mengawal komitmen dan implementasi dari agenda dan rencana transisi energi pemerintah. Senada dengan Aditya, Vindry Florentin, wartawan Koran Tempo, memaparkan integrasi data yang komprehensif membahas transisi energi di laporan IETO menjadi rujukan bagi media. Terlebih, kata Vindry, data yang dibagikan pemerintah juga belum lengkap dan terintegrasi. 

Menyoal perkembangan transisi energi di Indonesia, Efri Ritonga, wartawan senior  Koran Tempo, memaparkan bahwa transisi energi terus berjalan walaupun masih lambat.  Aksi-aksi inisiatif masyarakat untuk memulai transisi energi, seperti penggunaan PLTS atap di hunian, maupun pengembangan energi terbarukan skala besar masih terkendala. Selain itu, penggunaan bahan bakar fosil masih menjadi primadona karena alasan harga, ketersediaan, dan keterjangkauan. Terlebih, sebagian masyarakat juga belum mengenal isu transisi energi. 

“Terdapat beberapa penyebab isu transisi energi belum begitu dikenal banyak masyarakat. Pertama, belum banyak informasi atau sosialisasi mengenai praktik transisi energi yang bisa dimulai dari diri sendiri, misalkan, dengan menggunakan kompor listrik, memasang PLTS atap, dan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi berbahan fosil atau beralih ke kendaraan listrik. Kedua,  soal kepraktisan dan biaya. Contohnya di sektor transportasi, harga mobil elektrik  masih sangat mahal, dan ketersediaan charging station masih minim,” ujar Efri dan Vindry.