Sinergi dan Investasi Nasional demi Energi Terbarukan

Jakarta, 6 Februari 2023 – Jalan menuju target Indonesia bebas emisi masih cukup berliku dan panjang. Salah satu aksi pemerintah dalam mendukung upaya ini adalah dengan membuat regulasi untuk mendorong implementasi energi terbarukan. Kenyataannya, antara target, regulasi, dan implementasi seringkali tidak selaras. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam segmen Market Review di kanal IDX (24/01/2023) menyatakan bahwa pada tahun 2022, terdapat target untuk perkembangan energi terbarukan sebesar 1000 MW yang tidak tercapai. 

“Terdapat beberapa faktor mengapa target ini tidak tercapai, yang pertama adalah faktor pelemahan ekonomi yang menyebabkan permintaan listrik belum tumbuh optimal. Faktor lain adalah pandemi, yang menyebabkan beberapa proyek mengalami keterlambatan,” jelas Fabby.

Lebih lanjut, Fabby menjelaskan bahwa Peraturan Pemerintah no. 79/2014 yang diturunkan pada Perpres 22/2017 telah menetapkan target bauran energi terbarukan nasional 23% pada tahun 2025. Untuk mencapai target ini, Fabby memperkirakan bahwa perlu ada pertumbuhan energi terbarukan sebesar 3-4 Gigawatt tiap tahunnya. Kenyataannya, sejak PP no. 79/2014 ditetapkan, rata-rata energi terbarukan hanya bertambah 15% dari 3-4 GW, yaitu sekitar 400-500 MW. 

Permasalahan ini juga kemudian mengakar dari infrastruktur energi negara itu sendiri. Sumber energi Indonesia masih bergantung pada fosil, yakni sekitar 86%. Untuk merubah struktur ini, penting pula untuk mempertimbangkan pertumbuhan permintaan energi di Indonesia. Permintaan energi yang semakin meningkat ini harus kemudian diupayakan memakai energi bersih. Menurut perhitungan IESR, transisi energi di Indonesia memerlukan pendanaan sekitar 1,4 miliar dolar. Dana ini mencakup energi terbarukan dan pembaruan infrastruktur energi. 

Mengenai persepsi ekonomis masyarakat, Fabby menilai bahwa energi fosil masih dipandang lebih hemat karena saat ini batubara masih disubsidi oleh pemerintah. Penetapan Domestic Market Obligation pada tahun 2017 membatasi harga batubara menjadi 70 dolar/ton meskipun harga di luar lebih tinggi dari itu. Insentif semacam inilah yang patutnya turut diberikan pada perkembangan energi terbarukan. Namun, hal ini juga terhalang oleh kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).

“PLTS telah menjadi sumber energi terbarukan yang paling hemat, namun di Indonesia justru menjadi mahal. Dibandingkan 10 tahun lalu, harga PLTS sudah menurun 90%. Kebijakan TKDN justru menjadi disinsentif yang bisa mencegah investor untuk berinvestasi dan membuat PLTS menjadi lebih terjangkau,” tutup Fabby.

Transisi Energi Indonesia di Mata Jurnalis

Peneliti Senior IESR, Raden Raditya Yudha Wiranegara di peluncuran laporan Indonesia Energy Transition Outlook 2023

Jakarta, 17 Januari 2023Transisi energi menuju energi terbarukan seakan keras mengaung dalam momentum G20 2022. Pasalnya, Pemerintah Indonesia menempatkan transisi energi sebagai salah satu isu prioritas di bawah kepemimpinannya di G20. Pemberitaannya di media massa, menggunakan kata kunci “transisi energi” di Brandwatch.com, meningkat dari 346 di 2017 menjadi lebih dari 79 ribu di 2022. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) senantiasa berupaya berkontribusi untuk mempopulerkan transisi energi dengan berbagai kajian dan kegiatan advokasinya. Salah satunya adalah dengan menerbitkan laporan utamanya yang mendorong dan mengukur proses transisi energi di Indonesia berjudul Indonesia Energy Transition Outlook (IETO). Dipublikasikan setiap tahun sejak 2017, IETO 2023 merupakan jilid ke-6. Sebelumnya laporan ini berjudul Indonesia Clean Energy Outlook di 2017, namun berubah nama menjadi Indonesia Energy Transition Outlook pada tahun 2020.  

Peluncuran IETO disambut baik oleh berbagai pihak, di antaranya para jurnalis di media massa yang mempunyai peran penting sebagai penyampai informasi kepada publik. 

Sugiharto, wartawan ANTARA, menuturkan IETO merupakan salah satu laporan  penting yang berkembang semakin baik dari tahun ke tahun dan menjadi  referensi dalam penulisan jurnalistik karena memuat berbagai data dan informasi tentang program transisi energi yang dijalankan oleh Indonesia.

“Dengan laporan IETO yang lengkap datanya maka kami sebagai jurnalis cukup sering menjadikannya sebagai referensi penulisan, terutama terkait keragaman data di luar pemerintahan,” terang Sugiharto. 

Di sisi lain, Sugiharto menilai, perkembangan transisi energi di Indonesia belum terlalu agresif. Padahal Indonesia punya banyak potensi energi terbarukan yang sangat mumpuni untuk memenuhi kebutuhan energi di dalam negeri. Hambatan regulasi dan pendanaan menjadi tantangan bagi pengembangan transisi energi di Indonesia yang perlu diatasi.

“Dilihat dari bauran energi terbarukan yang masih rendah, pemerintah perlu agresif merealisasikan ambisi transisi energi di Indonesia,” ujar Sugiharto. 

Aditya Putra, wartawan Harian Kompas, menjelaskan IETO yang menjabarkan tantangan transisi energi di Indonesia dan langkah strategis ke depannya. Menurutnya hal ini menarik untuk diketahui oleh publik.

“Data-data yang tersaji di dalam IETO bisa membuat publik semakin memperhatikan transisi energi, termasuk yang mungkin selama ini terlewat oleh jurnalis atau tidak diungkap secara berkala ke publik oleh pemerintah misalnya soal bauran energi terbarukan dalam energi primer yang menurun. Makin menjauh target yang telah ditetapkan,” jelas Aditya.

Aditya berharap keberadaan laporan seperti IETO 2023 dapat mengawal komitmen dan implementasi dari agenda dan rencana transisi energi pemerintah. Senada dengan Aditya, Vindry Florentin, wartawan Koran Tempo, memaparkan integrasi data yang komprehensif membahas transisi energi di laporan IETO menjadi rujukan bagi media. Terlebih, kata Vindry, data yang dibagikan pemerintah juga belum lengkap dan terintegrasi. 

Menyoal perkembangan transisi energi di Indonesia, Efri Ritonga, wartawan senior  Koran Tempo, memaparkan bahwa transisi energi terus berjalan walaupun masih lambat.  Aksi-aksi inisiatif masyarakat untuk memulai transisi energi, seperti penggunaan PLTS atap di hunian, maupun pengembangan energi terbarukan skala besar masih terkendala. Selain itu, penggunaan bahan bakar fosil masih menjadi primadona karena alasan harga, ketersediaan, dan keterjangkauan. Terlebih, sebagian masyarakat juga belum mengenal isu transisi energi. 

“Terdapat beberapa penyebab isu transisi energi belum begitu dikenal banyak masyarakat. Pertama, belum banyak informasi atau sosialisasi mengenai praktik transisi energi yang bisa dimulai dari diri sendiri, misalkan, dengan menggunakan kompor listrik, memasang PLTS atap, dan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi berbahan fosil atau beralih ke kendaraan listrik. Kedua,  soal kepraktisan dan biaya. Contohnya di sektor transportasi, harga mobil elektrik  masih sangat mahal, dan ketersediaan charging station masih minim,” ujar Efri dan Vindry. 

Kenaikan Target Penurunan Emisi di NDC Indonesia Masih Jauh untuk Mencegah Krisis Iklim

Jakarta, 6 Desember 2022- Indonesia telah menyampaikan dokumen Enhanced Nationally Determined Contributions (NDCs) dengan meningkatkan  target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) hanya sekitar 2%. Institute for Essential Services Reform (IESR) yang merupakan anggota dari  Climate Action Tracker (CAT), konsorsium tiga think tank yang melakukan pemantauan dan penilaian terhadap kebijakan perubahan iklim di 39 negara dan Uni Eropa, menemukan bahwa kenaikan tipis target NDC Indonesia tersebut masih  tidak mencukupi untuk mencegah  kenaikan suhu global 1,5°C. 

Pada Enhanced NDC, target penurunan emisi dengan upaya sendiri  (unconditional) meningkat dari 29% di dokumen Updated NDC menjadi 31,89% pada 2030, dan dengan bantuan internasional (conditional) naik dari 41% menjadi 43,2%. IESR dan CAT memandang seharusnya Indonesia dapat menetapkan target lebih ambisius lagi, terutama setelah dirilisnya Peraturan Presiden (Perpres) No 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyedian Tenaga Listrik.

“Indonesia masih ragu-ragu menetapkan target penurunan emisi yang ambisius dan bermain di zona aman. Target penurunan yang ditetapkan dalam Enhanced NDC (E-NDC) sangat mudah dicapai karena referensinya adalah proyeksi peningkatan emisi business as usual di 2030. Target penurunan emisi seharusnya berdasarkan tingkat emisi absolut berdasarkan tahun tertentu. Untuk selaras dengan ambisi 1,5°C, emisi dari sektor energi di 2030 harus setara dengan tingkat emisi dari sektor energi 2010,”  kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR pada peluncuran hasil penilaian CAT terhadap aksi dan kebijakan iklim Indonesia.

Agar mencapai penurunan emisi yang signifikan, Indonesia perlu melakukan mitigasi yang lebih ambisius pada sektor yang penghasil emisi dominan yakni sektor energi, dan sektor hutan dan lahan. Mempunyai potensi energi terbarukan yang melimpah, bahkan hingga lebih dari 7 TW, Indonesia dapat memanfaatkannya menjadi sumber energi yang minim emisi.

Namun, hingga 2021, bauran energi terbarukan pada sistem energi di Indonesia masih 11,5%. IESR memandang dengan beberapa perkembangan dukungan internasional dan komitmen pemerintah terhadap pensiun dini PLTU batubara akan memberikan ruang yang leluasa bagi pengembangan energi terbarukan sehingga dapat mencapai target 23% energi terbarukan pada 2025, bahkan mencapai 40% di 2030. Dalam kajian Deep Decarbonization of Indonesia Energy System (2021), IESR menyimpulkan pada 2050,  pemanfaatan 100% energi terbarukan dalam sistem energi  Indonesia layak secara teknis dan ekonomis. 

“Status aksi iklim Indonesia dapat ditingkatkan dengan memastikan kebijakan iklim pada dekade ini diimplementasikan untuk memenuhi kontribusi yang adil berdasarkan upaya global (fairshare). Target NDC dengan bantuan internasional juga harus konsisten, setidaknya dengan  jalur optimal dengan biaya terendah untuk ambisi 1,5°C (global least cost pathways),”  jelas Delima Ramadhani, Koordinator Climate Action Tracker, IESR.

Menurutnya, dominasi PLTU batubara yang saat ini sekitar 61% di sistem energi Indonesia, perlu dikurangi secara signifikan  menjadi  hanya 10% PLTU batubara yang tidak menggunakan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (unabated coal-fired power plan)  pada 2030 dan diakhiri operasinya secara bertahap hingga berhenti seluruhnya pada 2040.  Untuk itu, Indonesia harus meningkatkan komitmen iklimnya, dan bantuan internasional berperan besar untuk implementasi penghentian batubara yang sesuai dengan Persetujuan Paris.

Beberapa mekanisme pendanaan pengakhiran operasi batubara juga telah dibahas dan disepakati oleh Indonesia seperti dalam skema Energy Transition Mechanism, dan  Just Energy Transition Partnerships (JETP). IESR menganggap, walaupun masih belum selaras dengan target 1,5°C, kesepakatan JETP merupakan langkah maju dalam transisi energi di Indonesia. Komitmen pendanaan USD 20 miliar belum cukup untuk mencapai dekarbonisasi sektor energi yang setidaknya membutuhkan total investasi sebesar USD 135 miliar pada 2030.

“Porsi dana hibah dalam pendanaan JETP perlu diperbesar, yang dapat dipakai untuk mempercepat penguatan ekosistem transisi energi dan penyiapan proyek. Selain itu, langkah selanjutnya setelah JETP disepakati adalah penyusunan rencana investasi yang dilakukan secara transparan serta mengarusutamakan prinsip berkeadilan dalam bertransisi energi dengan melibatkan partisipasi masyarakat, pemerintah daerah dan kelompok terdampak,” tutup Fabby. Climate Action Tracker adalah sebuah inisiatif yang melakukan analisis ilmiah independen yang melacak aksi iklim negara dan mengukurnya terhadap tujuan Paris Agreement yang disepakati secara global untuk menahan pemanasan jauh di bawah 2°C, dan mengejar upaya untuk membatasi pemanasan hingga 1,5°C. CAT telah memberikan analisis independen terhadap sekitar 40 negara sejak 2009. Anggota CAT terdiri dari Climate Analytics, New Climate Institute, dan Institute for Essential Services Reform (IESR) yang bergabung sebagai mitra sejak 2022.