‘Maju Mundur’ Kenaikan Harga Premium Negatif ke Ekonomi

Jakarta, CNN Indonesia — Keputusan pemerintah untuk mengumumkan kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium lalu membatalkannya kembali dinilai memberikan dampak negatif ke perekonomian.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan pengumuman ini merupakan cermin koordinasi dan komunikasi yang kurang baik dari pemerintah. Hal itu tentu dibaca masyarakat untuk melakukan tindakan spekulasi atas BBM jenis Premium.

Menurut pengamatannya, banyak masyarakat yang antre membeli Premium di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) selepas pemerintah mengumumkan kenaikan BBM jenis Premium dari Rp6.450 per liter menjadi Rp7 ribu per liter. Ia menduga, beberapa diantaranya akan memanfaatkan momen untuk mencari keuntungan.

“Memang ada pihak-pihak yang membeli BBM di SPBU sebelum pengumuman berlaku tapi tidak banyak. Itulah buah dari tidak adanya perencanaan dan koordinasi,” jelas Fabby kepada CNNIndonesia.com, Kamis (11/10).

Untuk mencegah aksi spekulasi, sebaiknya pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM di tengah malam, dan harganya naik saat itu juga. Namun, meski ada celah spekulasi dengan memborong Premium, ia yakin jumlahnya tidak signifikan.

Setidaknya, ada dua alasan yang mendasari hal tersebut. Pertama, distribusi BBM jenis Premium dianggap sangat ketat dengan kuota yang sudah ditetapkan pemerintah.

Untuk tahun ini, pemerintah melalui Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas) sudah menetapkan kuota 12,5 juta kiloliter (kl) Premium untuk disalurkan tahun ini. Sehingga, distribusinya per periode tentu akan disesuaikan dengan kuotanya.

Alasan kedua, lanjut dia, adalah konsumsi Premium yang kian menipis, sehingga spekulan tidak merasa terinsentif untuk melakukan spekulasi.

Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), konsumsi bensin non-Premium mencatat 21,08 juta kiloliter (kl) sepanjang tahun 2017 atau melesat 82,66 persen dibanding tahun sebelumnya 11,54 juta kl.

Sementara itu, konsumsi Premium pada 2017 tercatat 12,49 juta kl atau menurun drastis 42,39 persen ketimbang tahun sebelumnya 21,68 juta kl.

“Saya kira kalau ada spekulasi pun, volume yang bocor di tingkat SPBU tidak terlalu tinggi,” papar dia.

Inflasi Semu

Selain penimbunan BBM jenis Premium, pengumuman “gamang” pemerintah secara tidak langsung juga membuat inflasi terkerek. Sebab, hal ini memberikan efek psikologis bagi pelaku usaha.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengungkapkan sikap pemerintah yang menarik keputusan mengerek harga BBM akan ditangkap pelaku usaha untuk menaikkan harga kebutuhan pokok terlebih dulu. Jika bahan pokok sudah naik sebelum harga BBM melonjak, maka yang terjadi adalah inflasi semu.

“Dan itu tentu berlaku untuk barang-barang kebutuhan pokok baik makanan dan nonmakanan,” kata Bhima.

Inflasi semu ini, lanjut dia, dianggap cukup berbahaya di penghujung tahun ini. Sebab berdasarkan tren, inflasi di bulan November dan Desember akan melonjak seiring musim liburan natal dan tahun baru.

Inflasi akhir tahun diperkirakan juga makin tertekan lantaran pelemahan nilai tukar yang menembus Rp15 ribu. Selain itu, tingginya bunga pinjaman (cost of borrowing) yang diemban pelaku usaha sebagai imbas dari kenaikan suku bunga acuan juga akan berdampak ke harga barang dan jasa.

Oleh sebab itu, inflasi semu yang disebabkan oleh pengumuman BBM jenis Premium ini berpotensi mengerek inflasi melebihi targetnya. Bhima memprediksi, inflasi di akhir tahun bisa mendekati 3,7 persen, atau melonjak dari inflasi secara tahunan (year-on-year) September kemarin yakni 2,88 persen.

“Akhir tahun, permintaan barang dan transportasi naik. Harga pangan juga perlu dicermati seiring tekanan imported inflation karena kurs melemah. Jadi jangan anggap enteng ada deflasi di bahan makanan karena sifatnya temporer,” pungkas dia.

Untuk itu, Anggota Komisi XI DPR Hendrawan Supratikno mengimbau menteri Kabinet Kerja berkoordinasi lebih baik sebelum mengemukakan kebijakan.

“Saya kira harus dibuat lebih rapi karena memang dibutuhkan koordinasi antara Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, dan Kementerian BUMN,” kata Hendrawan.

Selain itu, menurut dia, pemerintah juga masih memiliki tugas mengedukasi masyarakat agar tak terus menggunakan BBM bersubsidi.

“Saya melihat kecenderungan konsumsi BBM, kadang proses edukasi yang panjang dan kesadaran masyarakat terhadap efek emisi. Misal, driver saya pergi ke pertamax, tidak mau gunakan premium atau pertalite karena edukasi,” kata Politikus PDI Perjuangan ini.

Sumber CNN Indonesia