Upaya Memperkuat Komitmen Transisi Energi Indonesia-Tiongkok dalam Kerjasama BRI

Jakarta, 18 Oktober 2023 – Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo (Jokowi) dalam pidatonya di upacara pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-3 Belt Road Forum (BRF) di Great Hall of The People, Beijing, menyebutkan bahwa sinergi belt and road initiative (BRI) perlu diperkuat seiring dengan satu dekade berjalannya inisiatif tersebut. Dalam pidatonya, Presiden menegaskan agar BRI harus berlandaskan prinsip kemitraan yang setara dan saling menguntungkan, sistem pendanaan yang transparan, penyerapan tenaga kerja lokal serta pemanfaatan produk dalam negeri.  Presiden Jokowi juga merencanakan untuk mensinergikan pembangunan ibu kota baru, transisi energi dan hilirisasi industri dalam kerjasama BRI.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) yang turut hadir pada acara tersebut mengemukakan baik pemerintah Tiongkok maupun Indonesia perlu mempertegas komitmen pengembangan energi terbarukannya untuk mempercepat transisi energi melalui kerangka Belt and Road Cooperation. Tidak hanya itu, komitmen tersebut harus terangkum pada strategi dan program jangka menengah maupun jangka panjang sehingga dapat menarik lebih banyak dukungan teknologi dan pendanaan transisi energi

“Transisi energi Indonesia memerlukan pendanaan USD 100 miliar hingga 2030, dan USD 1 triliun hingga 2060. Selain itu kita harus membangun 35 hingga 40 GW kapasitas energi terbarukan, mengakhiri operasi 9 GW PLTU, membangun ribuan kilometer transmisi dan interkoneksi, serta energy storage hingga 2030. Oleh karena itu, kerja sama transisi energi Indonesia dan Tiongkok seharusnya fokus untuk mencapai target-target ini. Area lain yang penting adalah menghijaukan (greening) proses ekstraksi mineral pada program hilirisasi Indonesia, yang banyak melibatkan pelaku usaha dari Tiongkok. Kami berharap adanya satu program komprehensif,” kata Fabby.

Pada rangkaian BRI ketiga ini pula, IESR diundang oleh Kementerian Ekologi dan Lingkungan Hidup Republik Rakyat Tiongkok, untuk mendukung peluncuran Green Investment and Finance Partnership (GIFB) bersama dengan Pemerintah Hong Kong, Bank Pembangunan Nasional Tiongkok, Sino Hydro Corporation, China International Capital Corp dan Children’s Investment Fund Foundation. GIFP merupakan inisiatif kolaboratif untuk membangun fasilitas perencanaan proyek  yang membantu meningkatkan kesiapan proyek-proyek pembangunan hijau Tiongkok di luar negeri.

“Indonesia dapat memanfaatkan GIFP ini untuk mempersiapkan pipeline proyek energi terbarukan, menstrukturkan pendanaan dan menurunkan risiko proyek dalam rangka mempercepat transisi energi di Indonesia,” jelas Fabby.

Lebih jauh, Fabby menuturkan kerjasama BRI dapat menjadi strategi untuk pengembangan proyek percontohan energi terbarukan berskala besar. Seiring dengan meningkatnya proyek energi terbarukan skala besar, maka akan menjadi peluang untuk menggerakkan industri manufaktur energi terbarukan lainnya.

Selain pengembangan energi terbarukan, Pemerintah Indonesia dan Tiongkok dapat pula membicarakan upaya intervensi PLTU batubara di Indonesia yang didukung oleh pengembang Tiongkok dengan total kapasitas 7,6 GW, dengan rincian 3,8 GW yang sudah beroperasi, 2,9 GW dalam tahap konstruksi dan 0,9 GW yang sudah ditandatangani Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL)-nya.

“Dari kajian IESR, minimal 9,2 GW PLTU perlu dipensiunkan dekade ini dan membangun energi terbarukan sebagai penggantinya untuk mendukung upaya penurunan emisi yang sesuai Persetujuan Paris. Kemitraan Indonesia dan Tiongkok ke depannya perlu mengeksplorasi bagaimana memfasilitasi pemilik aset 7,6 GW PLTU dari Tiongkok dengan PLN dan pelaku bisnis Indonesia untuk mendiskusikan cara untuk mempensiunkan aset PLTU atau bahkan langsung menggantinya dengan energi terbarukan,” ujar Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, IESR. 

 

Indonesia – Tiongkok Perlu Rumuskan Kemitraan Pembiayaan Transisi Energi di KTT Belt and Road Initiative

press release

Jakarta, 17 Oktober 2023 – Menandai 10 tahun peluncuran Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative, BRI), Tiongkok kembali menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi Kerjasama Internasional BRI atau Belt and Road Forum yang ketiga di Beijing pada tanggal 17-18 Oktober 2023. Tiongkok mengusung tema “Kerja Sama BRI yang Berkualitas Tinggi: untuk Pembangunan dan Kemakmuran Bersama” pada KTT tahun ini. Institute for Essential Services Reform (IESR) yang turut diundang dalam rangkaian agenda KTT BRI tersebut, mengharapkan adanya terobosan baru dalam kemitraan BRI Indonesia-Tiongkok, terutama untuk pembiayaan transisi energi, di antaranya untuk energi terbarukan, pengakhiran dini operasional PLTU batubara, industri hijau serta kolaborasi teknologi energi terbarukan yang erat untuk  mempercepat transisi energi.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa dalam sambutannya pada Seminar Tingkat Tinggi  Membangun Visi Baru untuk Jalur Sutera Hijau di Beijing yang diselenggarakan oleh BRI International Green Development Coalition (BRIGC) and Foreign Environmental Cooperation Center (FECO), Kementerian Ekologi dan Lingkungan Tiongkok, mengungkapkan Indonesia membutuhkan sokongan pendanaan yang besar, sekitar USD 1 triliun, dari negara-negara maju dan negara lainnya, salah satunya Tiongkok, untuk mencapai net-zero emission pada 2060.

“Pembiayaan merupakan hal yang krusial, yang berperan sebagai tulang punggung transisi ini. Opsi pembiayaan yang mudah diakses dan terjangkau dapat mempercepat transisi rendah karbon secara global, meningkatkan penerapan teknologi hijau, menghentikan penggunaan aset padat emisi, dan mengoptimalkan portofolio aset energi,” ungkap Fabby.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa

IESR memandang Tiongkok dapat mendukung Indonesia dalam memenuhi kebutuhan pendanaan untuk mempercepat transisi energi. 

“Melalui BRI ini, Tiongkok dan Indonesia dapat membentuk kemitraan pembiayaan transisi energi. Kemitraan ini perlu melibatkan lembaga keuangan, penyedia teknologi, dan pemerintah,  sehingga dapat membuka lebih banyak lagi pembiayaan domestik, memacu inovasi, dan mendorong kemakmuran ekonomi bersama,” jelas Fabby. 

Fabby meyakini bahwa pengembangan energi terbarukan menjadi tiket untuk memuluskan upaya penurunan emisi global yang akan berkontribusi dalam mencegah krisis iklim yang lebih parah. Tidak hanya itu, pemanfaatan energi terbarukan secara masif juga akan meningkatkan keamanan energi Indonesia. 

Dari sisi teknologi, Tiongkok juga memimpin dunia dalam pengembangan energi terbarukan, terutama PLTS. Pada peta jalan dekarbonisasi sistem energi Indonesia untuk mencapai target Persetujuan Paris yakni bebas emisi pada 2050, IESR menemukan Indonesia memerlukan pemanfaatan energi surya melalui PLTS hingga 80% dari sistem energi di Indonesia pada 2050.

“Menurut kajian Deep Decarbonization IESR pada 2030, kapasitas energi terbarukan perlu mencapai 138 GW, di mana PLTS mendominasi. Di sisi lain, Tiongkok menguasai sekitar 90% kapasitas manufaktur panel surya global dan setengah dari kapasitas manufaktur turbin angin global. Oleh karena itu, potensi pasar energi terbarukan yang masif di Indonesia dapat dipenuhi oleh perusahaan Tiongkok dan di saat bersamaan perlu terjadi pembangunan kapasitas manufaktur energi terbarukan serta transfer teknologi ke Indonesia. Kerjasama bilateral kedua negara dapat memfasilitasi dan mengakselerasi terwujudnya hal tersebut,” terang Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, IESR.

Deon menambahkan bahwa Tiongkok sudah aktif berinvestasi di sektor energi, industri, dan infrastruktur di Indonesia. Hal ini menjadi peluang bagi kedua negara untuk memperkuat kerjasamanya dengan mengalihkan rencana investasi yang saat ini masih berpusat pada dukungan terhadap energi fosil, menjadi pembangunan industri energi terbarukan.

Peluang BRI China untuk Mendorong Percepatan Transisi Energi di Indonesia

FT

Beijing, 27 Maret 2023 – Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menyampaikan keberadaan Inisiatif Sabuk dan Jalur Sutra (Belt and Road Initiative/BRI) memberikan peluang bagi China untuk berperan dalam mendorong percepatan transisi energi di Indonesia. Hal ini diungkapkannya ketika menjadi narasumber di seminar on promoting green and low carbon transition in BRI participating countries and seminar on CCICED special policy study on green BRI pada Senin (27/3/2023).

“Indonesia harus meningkatkan ambisinya untuk membuat pengurangan emisi yang kompatibel dengan Persetujuan Paris. Di bawah rencana saat ini, net zero emission (NZE) sektor energi akan tercapai setelah tahun 2060, tetapi sektor listrik akan mencapai nol bersih pada tahun 2050. Untuk itu, diperlukan lebih banyak upaya untuk dekarbonisasi sektor transportasi dan industri,” jelas Fabby. 

Dalam mendorong dekarbonisasi tersebut, kata Fabby, Indonesia membutuhkan investasi kumulatif sekitar USD 1,3 triliun yang tersebar di berbagai teknologi. Dengan kondisi tersebut, Fabby menjelaskan, China dapat berperan mendukung transisi energi di Indonesia melalui kerjasama teknologi, manufaktur dan investasi, mengingat, terdapat potensi pasar dalam peningkatan permintaan energi terbarukan di Indonesia. 

“Tenaga surya akan berperan penting dalam transisi energi Indonesia. Berdasarkan RUPTL 2021-2030, PLN berencana untuk menambah 3,9 GW energi surya pada 2025. Untuk itu, investasi BRI pada tahun 2023 perlu difokuskan pada proyek-proyek yang layak secara finansial, seperti pembangkit listrik tenaga surya dan energi angin yang dapat diskalakan,” ujar Fabby Tumiwa.

Di lain sisi, keberadaan BRI bisa memungkinkan terjadinya investasi untuk industri komponen energi terbarukan. Hal ini bisa dilakukan dengan mempertimbangkan kompleksitas rantai pasokan. Fabby menegaskan, dorongan untuk transisi energi dibarengi dengan industrialisasi di Asia Tenggara, seperti penyimpanan energi (energy storage), kendaraan listrik dan panel surya.

“Saat ini Indonesia sudah mulai mengembangkan industri baterai dan kendaraan listrik (electric vehicle) karena kandungan nikelnya yang melimpah. Biaya produksi yang rendah dan ketersediaan sumber daya merupakan beberapa peluang untuk mengembangkan industri modul surya lokal di Indonesia,” terang Fabby. 

Dalam kesempatan yang sama, Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, Institute for Essential Services Reform (IESR), memaparkan berbagai rencana dan proyeksi sistem tenaga diperkirakan dapat menghasilkan percepatan penyebaran energi terbarukan di Indonesia. Misalnya saja perencanaan energi sistem tenaga terbaru menetapkan sekitar 20,9 GW terbarukan yang akan dibangun pada tahun 2030. Jumlah ini akan meningkat setidaknya 5-6 GW jika Indonesia mempertimbangkan target JETP dari 34% bauran energi terbarukan pada tahun 2030.

Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, Institute for Essential Services Reform (IESR)
Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, Institute for Essential Services Reform (IESR) menjadi narasumber di seminar on promoting green and low carbon transition in BRI participating countries and seminar on CCICED special policy study on green BRI pada Senin (27/3/2023)

“Untuk mencapai target kebijakan nasional pada tahun 2025, IEA memproyeksikan penambahan kapasitas energi surya sebesar 17,7 GW di atas yang direncanakan dalam RUPTL. Sementara itu, berdasarkan skenario IESR, kapasitas pembangkit listrik berbasis energi terbarukan harus digenjot menjadi 140 GW demi membatasi pemanasan global hingga 1,5°C,” jelas Deon. 

Namun demikian, kata Deon, secara historis, kapasitas terpasang energi terbarukan hanya tumbuh berkisar 500 MW per tahun. Hal ini terjadi karena terdapat beberapa tantangan utama, di antaranya kelebihan kapasitas pada pembangkit listrik Jawa-Bali. Selain itu, dominasi kapasitas PLTU batubara dengan mekanisme take or pay, membuat tidak adanya ruang untuk integrasi energi terbarukan. Tidak hanya itu, tantangan lainnya adalah, terdapat proses pengadaan energi terbarukan dan persyaratan penggunaan konten lokal yang menempatkan risiko yang tidak perlu terhadap pengembangan energi terbarukan.