Blok Rokan: Dari isu nasionalisasi hingga ‘beban berat’ Pertamina

Blok RokanHak atas foto ANTARA FOTO/FB ANGGORO

Walaupun pemerintah Indonesia menampik ada pertimbangan politik di balik penunjukan PT Pertamina sebagai pengelola Blok Rokan di Riau, pengamat menganggap keputusan itu membawa implikasi politik menjelang pemilu presiden.

“Masa jatuh temponya dekat atau berada di tahun politik, di mana isu nasionalisme itu menjadi isu politik yang sangat kental,” kata Fabby Tumiwa, pengamat energi dari ‎Institute for Essential Services Reform, kepada BBC News Indonesia, Kamis (02/08).

Pada Selasa (31/07) lalu, pemerintah mengumumkan secara resmi bahwa pengelolaan Blok Rokan akan diserahkan ke PT Pertamina mulai 2021 setelah masa kontraka dengan PT Chevron Pacific Indonesia berakhir.

Dan, menurut Fabby, pemerintahan Joko Widodo “sudah berhitung” bahwa keputusan memenangkan proposal PT Pertamina sebagai pengelola blok migas terbesar di Indonesia itu tidak sepenuhnya terlepas dari pertimbangan politik.

“Ini tidak hanya kasus Rokan, tapi juga kasus yang lain. yang memang secara bersamaan, seperti Freeport (di Papua),” ujarnya.

Blok RokanHak atas fotoANTARA FOTO/FB ANGGORO

Keterangan resmi pemerintah Indonesia sebelumnya menyebutkan proposal yang diajukan oleh Pertamina lebih mengungguli proposal Chevron, karena dianggap lebih menguntungkan pemerintah secara ekonomi.

“Arahan Bapak Presiden, Blok Rokan mau diperpanjang atau diberikan kepada Pertamina, berdasarkan pertimbangan satu-satunya adalah pertimbangan komersial,” ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (01/08).

Jonan mengatakan Pertamina mampu menawarkan proposal pengelolaan blok Rokan lebih baik dibandingkan proposal Chevron.

Blok RokanHak atas fotoTWITTER

Dalam akun Twitternya, Kamis (02/08), Presiden Joko Widodo juga mengatakan “Dengan mengelola Blok Rokan, Pertamina akan menguasai 60% produksi migas nasional tahun 2021”.

Presiden juga menulis: “Setelah 50 tahun dikelola Chevron, blok migas Rokan di Riau diserahkan ke Pertamina.”

Dia juga menambahkan: “Luas blok migas ini 6.220 km dengan 96 lapangan minyak di antaranya Duri, Minas dan Bekasap.”

Dalam keterangan terpisah, Staf Khusus Menteri Energi Sumber Daya Mineral, Hadi Djuraid -dalam cuitan di Twitter- menyebutkan‎ Pertamina menjanjikan “bonus tanda tangan” atas pengelolaan Blok Rokan sekitar Rp11,3 triliun.

Blok RokanHak atas fotoWWW.CHEVRON.COM

Bonus tanda tangan adalah dana yang harus dibayarkan kontraktor ke pemerintah sebelum kontrak ditandatangani.

“Ini bisa jadi PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) terbesar selama ini dalam satu kali transaksi,” kata ‎Hadi Djuraid, Rabu (01/08).

Pemerintah Indonesia sudah berhitung

Dalam cuitannya, Hadi menampik adanya pertimbangan politik, termasuk tekanan publik, terkait keputusan pemerintah menyerahkan pengelolaan blok migas kepada Pertamina.

“Parameter yang digunakan adalah ekonomi dan bisnis dalam kerangka kepentingan nasional, bukan parameter politik tekanan publik, dan lain-lain. Yang dipilih adalah proposal yang paling memberi nilai lebih dan keuntungan maksimal bagi negara,” jelasnya.

Blok RokanHak atas fotoKOMPAS/(DOKUMEN SKK MIGAS

Namun demikian, demikian analisa Fabby Tumiwa, pemerintahan Joko Widodo “sudah berhitung” bahwa keputusan memenangkan proposal PT Pertamina sebagai pengelola blok migas terbesar di Indonesia itu tidak sepenuhnya terlepas dari pertimbangan politik.

“Ini tidak hanya kasus Rokan, tapi juga kasus yang lain. yang memang secara bersamaan, seperti Freeport (di Papua),” ujarnya.

Fabby tidak memungkiri kenyataan bahwa keputusan itu dilatari aspek bisnis, tetapi menurutnya keputusan menyerahkan blok migas di Riau itu kepada PT Pertamina juga memiliki “pesan secara politik”.

“Artinya yang mau disampaikan ‘ini jatuh loh ke tangan Indonesia’,” tandas Fabby.

‘Bukan menjawab tantangan Amien Rais’

Dalam wawancara dengan BBC News Indonesia, juru bicara PT Pertamina, Adiatma Sardjito, menegaskan pula bahwa pihaknya ditunjuk oleh pemerintah karena kontrak Chevron atas Blok Rokan akan berakhir.

“Dan kemudian kami diminta mengajukan proposal kepada pemerintah. Jadi Pertamina menguikuti apa yang ditetapkan pemerintah,” kata Adiatma, Kamis (02/08), melalui sambungan telepon.

Blok RokanHak atas fotoJUSTIN SULLIVAN/GETTY IMAGES

“Kami tidak terlalu paham apa yang terjadi dengan politik… Yang penting penugasan pemerintah jelas supaya kami tetap menjaga produksi dan bisa meningkatkan produksi,” tegasnya.

Dihubungi secara terpisah, pengamat energi dari Fakultas Ekonomi UGM, Yogyakarta, Fahmy Radhi lebih meyakini bahwa penunjukan Pertamina untuk menjadi operator Blok Rokan lebih pada “indikator bisnis dan ekonomi”.

“Salah-satunya Pertamina berani memberikan ‘bonus signature’ yang lebih besar dari Chevron. Kemudian KKP (komitmen kerja pasti) yang diajukan oleh Pertamina itu lebih besar dari Chevron,” kata Fahmy Radhi saat dihubungi BBC News Indonesia, Kamis (02/08).

Karena itulah, tegasnya, “Keputusan memberikan 100% itu (pengelolaan Blok Rokan kepada Pertamina) bukan karena (isu) nasionalisasi, bukan pula karena ini mendekati pemilu, dan bukan pula karena menjawab tantangan Amien Rais.”

Pertamina menggandeng Chevron?

Lebih lanjut, Fahmy Radhi mengatakan, kemenangan PT Pertamina dalam tender pengelolaan Blok Rokan merupakan “tantangan berat” bagi perusahaan BUMN tersebut.

“Jangan sampai setelah ditangani Pertamina akan terjadi penurunan produksi. Kalau ini terjadi, saya kira tidak ada manfaat memberikan (pengelolaan Blok Rokan) 100 % bagi Pertamina,” kata Fahmy.

Blok RokanHak atas fotoANTARA FOTO/APRILLIO AKBAR

Fahmy mengatakan ada beberapa skenario yang dapat dilakukan Pertamina untuk mengelola blok migas tersebut, tetapi menurutnya yang paling realistis adalah mengajak kerjasama pihak lain dalam hal pendanaan dan teknis operasional.

“Kalau pengelolaannya 100%, maka dia harus membiayai sendiri, tapi itu terlalu berat dengan mengandalkan dana internal (Pertamina),” katanya.

Dia kemudian mengusulkan agar Pertamina menggandeng Chevron untuk bekerja sama. “Ini rekomendasi yang paling realistis,” tambah Fahmy. Dia mengusulkan kerja sama itu dalam bentuk share down principal.

“Artinya (Pertamina) tetap sebagai pengendali sebagai mayoritas pengelolaan, tetapi tetap melibatkan Chevron,” paparnya. Dia menganggap perusahaan migas dari AS itu memiliki teknologi yang dibutuhkan untuk menaikkan produksi Blok Rokan.

‘Gandeng perusahaan asing, bukan privatisasi’

Kerjasama seperti itu merupakan kelazimanan, menurut Fahmy, dan tidak bisa disebut sebagai privatisasi. “Banyak perusahaan melakukan share down juga.”

Blok RokanHak atas fotoANTARA FOTO/ADENG BUSTOMI

Dihubungi secara terpisah, pengamat energi dari ‎Institute for Essential Services Reform, Fabby Tumiwa, mengatakan Pertamina kini dihadapkan “beban berat” untuk memastikan produksinya di Blok Rokan tetap terjaga.

 

“Semua blok minyak, semua produksinya akan turun, tapi menjaga produksinya enggak anjlok, itu juga bukan tugas yang mudah,” tandasnya.

Dari kondisi inilah, Fabby juga mengusulkan agar Pertamina mencari mitra di bidang teknologi dan keuangan untuk sama-sama mengelola blok minyak tersebut. “Untuk mengurangi resiko, serahkan pada ahlinya.”

Siapkan tim transisi

Dimintai tanggapan atas usulan ini, juru bicara PT Pertamina, Adiatma Sardjito mengatakan pihaknya tidak menutup kemungkinan dengan bekerja sama dengan perusahaan asing.

“Di dunia migas kerja sama itu suatu hal yang lumrah, sejauh itu menguntungkan,” kata Adiatma kepada BBC News Indonesia, Kamis (02/08).

Blok RokanHak atas foto ANTARA FOTO/HUMAS KEMENTERIAN ESDM

Apakah sudah ada pihak yang ditunjuk? Adiatma mengatakan, “Ini masih tiga tahun ke depan (2021). Evaluasi masih dalam proses. Yang penting yang akan dilakukan pemerintah saat ini adalah membuat tim transisi.”

Sebelumnya, Pelaksana tugas (Plt) Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati, mengatakan Pertamina tidak menutup diri untuk menggandeng mitra untuk menggarap Blok Rokan, termasuk dengan PT Chevron Pacific Indonesia.

“Ini untuk memitigasi risiko dari segi pendanaan. Apalagi blok ini banyak peminat. Kami akan kirim surat ke Kementerian BUMN untuk share down principal. Kami susun prosedur, supaya aman minta saran dari BPKP,” ujar Nicke kepada wartawan, Rabu (01/08).

Untuk mempertahankan produksi, Pertamina akan memanfaatkan teknologi Enhance Oil Recovery (EOR) yang juga telah diterapkan di lapangan-lapangan migas Pertamina lainnya.

Sejak beroperasi pada 1971 hingga 31 Desember 2017, produksi minyak di Blok Rokan dilaporkan mencapai 11,5 miliar barel.

Saat ini Blok Rokan disebutkan memiliki cadangan minyak mencapai 500 juta hingga 1,5 miliar barel oil equivalent.

Pertamina Kelola Blok Rokan, Biaya Produksi Harus Lebih Murah

Jakarta-Tempo.co – Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform atau IESR, Fabby Tumiwa mengatakan pemerintah perlu memastikan setelah izin pengelolaan wilayah kerja minyak dan gas (migas) di Blok Rokan di Provinsi Riau diberikan kepada PT Pertamina (Persero). Jangan sampai, pengelolaan blok Rokan yang sudah semakin tua justru tak bisa optimal bagi keuntungan negara.

“Misalnya, mampukah Pertamina mempertahankan produksinya atau bahkan menaikkannya? Karena itu menjadi concern bagi energy security,” kata Fabby usai menjadi pembicara dalam launcing Indonesia Clean Energy Forum di Hotel Double Tree di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa, 31 Juli 2018.

Pertamina dan Chevron sebelumnya menyampaikan proposal pengelolaan Blok Rokan ke pemerintah. Tak sedikit kalangan telah meminta pengelolaan blok yang selama ini dikelola PT Chevron Pacific Indonesia dikembalikan lagi kepada negara. Pada akhirnya, tadi malam pemerintah lewat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM diminta memberikan izin pengelolaan Blok Rokan yang habis pada 2021 kepada Pertamina.

Menurut Fabby, kepastian kemampuan untuk memproduksi penting sebab sekarang usia blok ini semakin tua. Sehingga dibutuhkan teknologi yang relatif baru seperti ehance oil recovery untuk mempertahankan produksi. “Yang punya kemampuan ini kan Chevron, Pertamina kan ngga pernah menerapkan hal itu. Dan harus diingat biaya capital investment dan risikonya tinggi,” kata dia.

Kemudian, pemerintah juga harus memastikan bahwa dengan nantinya jika dikelola oleh Pertamina biaya produksi bisa menjadi lebih murah. Terutama bisa memberikan keuntungan bagi negara dan tentu bagi Pertamina.

Ke depan, jika memang bisa memberi keuntungan pastinya mampu memberi ruang bagi kegiatan pencarian sumur minyak baru yang juga membutuhkan biaya tidak sedikit. Hal ini penting, sebab jika Pertamina untung bisa memberikan keleluasaan untuk mencari sumber minyak lain untuk mengamankan produksi minyak dalam jangka panjang. “Sekarang dilihat aja dengan diserahkan ke Pertamina, apakah hal itu hisa dipenuhi? Ketimbang ini harus Pertamina, ini harus Chevron,” tutur Fabby.

Oleh karena itu, Fabby justru menyarankan supaya pengelolaan Blok Rokan bisa dikerjakan bersama-sama. Misalnya dalam hal ini, kombinasi antara Chevron dengan Pertamina. Kepemilikan blok oleh Pertamina tetapi teknologinya menggunakan milik Chevron. Tujuannya, supaya keuntungan bisa menjadi lebih optimal dan bisa tetap mejaga jumlah produksi serta memastikan energy security.

Fabby menuturkan, joint operation dalam industri migas adalah hal yang biasa. Dengan cara ini, juga bisa membagi beban biaya yang besar dan beban risiko yang mungkin muncul.

Apalagi dengan kondisi keuangan Pertamina, menurut Fabby, yang belum terlalu bagus untuk ekspansi. Ia menyatakan cara ini dalam mengelola Blok Rokan terlihat lebih optimal untuk memastikan jumlah produksi tak terganggu dan pasokan energi mencukupi.

Sumber Tempo.co