Masa Depan Cerah Energi Surya Butuh Dukungan Penuh Pemerintah

“Surya akan menjadi komoditas unggulan yang diperebutkan banyak pihak di masa depan, seperti minyak saat ini,” tutur Fabby Tumiwa dalam forum REinvest Indonesia – China (25/5/2021).

Forum tersebut bertujuan untuk menjembatani kedua negara dalam kolaborasi investasi energi terbarukan. Indonesia secara aktif sedang mencari cara untuk menyediakan sumber energi yang lebih bersih, lebih murah, dan lebih handal untuk merevitalisasi sistem energinya yang saat ini sangat bergantung pada fosil. Sementara itu, China menghadapi desakan global untuk mengurangi emisi karbon, dan telah berjanji untuk mencapai netral karbon pada tahun 2060. Karena kedua negara memiliki kesamaan untuk mengurangi emisi karbon, maka dialog untuk menjembatani kebutuhan tersebut diadakan.

Fabby Tumiwa, Ketua Indonesia Solar Association dan Direktur Eksekutif IESR, mengatakan bahwa Indonesia perlu mempercepat pemanfaatan energi terbarukan untuk mengejar target RUEN yaitu 23% energi terbarukan dalam bauran energi nasional dan selanjutnya menjadi nol emisi pada tahun 2050. Walaupun pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkan target net emisi pada tahun 2070.

PLTS dapat menjadi penggerak utama dan kunci untuk mencapai target dekarbonisasi. Hal ini sejalan dengan urgensi global untuk menerapkan dekarbonisasi secara menyeluruh. Disebutkan oleh IEA dalam laporan terbarunya bahwa tenaga surya dan angin akan mendominasi sistem energi di masa depan hingga 78% pembangkit listrik pada tahun 2050, dimana tenaga surya harus meningkat dari 160 GW sekarang menjadi 650 GW pada tahun 2030. Pada kesempatan yang sama, IEA menekankan pentingnya peningkatan energi terbarukan dalam dekade ini untuk mencapai emisi nol pada tahun 2050. Dari segi strategis, tenaga surya sedikit lebih mudah didorong pemanfaatannya karena dapat dipasang secara modular. Kedepannya, energi surya akan menjadi komoditas yang populer seperti minyak bumi saat ini.

Namun, masa depan yang tampak cerah dan menjanjikan ini bukannya tanpa kekurangan. Ada banyak situasi yang menghambat percepatan industri PLTS di Indonesia.

Kondisi kelebihan pasokan listrik yang dialami PLN adalah salah satu hambatan terbesar untuk penggunaan tenaga surya. Situasi tersebut membuat pemerintah dan pengusaha swasta sulit untuk memasukkan energi terbarukan ke dalam sistem kelistrikan.

Sementara itu Eka Satria, CEO Medco Power Indonesia, menyoroti beberapa hal antara lain preferensi pemerintah dan pasar Indonesia untuk memilih sumber energi berbiaya rendah jangka pendek, ketidakpastian kebijakan dan regulasi, persyaratan BPP vs kandungan lokal, serta masalah pembebasan lahan untuk PLTS skala utilitas.

Selaku Ketua Umum Asosiasi Produsen Panel Surya Indonesia (APAMSI) Linus Sijabat menyampaikan hal-hal yang harus disiapkan investor asing dalam kesempatan kali ini China, sebelum menembus pasar Indonesia. Manajemen rantai pasok, terutama terkait dengan kebutuhan konten lokal menjadi poin utamanya.

“Diperlukan kerja sama luar dan dalam negeri untuk produk lebih dari 60% yang harganya kompetitif, kualitasnya bersertifikat internasional, dan pasarnya berkelanjutan,” tuturnya.

Dukungan pemerintah dalam pengembangan energi surya atau secara umum energi terbarukan harus tersurat dalam regulasi seperti RUPTL (Rencana Umum Pemenuhan Tenaga Listrik) agar investor swasta bisa melihat potensi pasar energi terbarukan di Indonesia. Apalagi di Indonesia PLN merupakan pembeli tunggal listrik, maka calon investor harus sungguh memperhitungkan potensi pasar yang ada. Selain peluang yang harus terlihat dalam dokumen perencanaan resmi, lingkungan pendukung lain seperti kejelasan regulasi, dan skema insentif untuk investasi energi terbarukan juga harus dipastikan tersedia. 

Indonesia Solar Potential Report

Siaran Tunda


 

Report Launch and Round Table Discussion

Bringing Indonesia to The Gigawatt Club:  Unleashing Indonesia’s Solar Potential

With energy transition becoming a global trend following action to mitigate climate crisis, many countries have integrated low-carbon energy systems into their national development agenda. Indonesia has the highest energy demand among ASEAN members, and fossil fuel resources still dominate Indonesia’s energy and electricity mix: less than 12% primary energy supply was from renewable sources, and the renewables only provided ~14.9% of Indonesia’s electricity generation in 2020 (IESR, 2021). Although Indonesia has established its renewable energy targets, i.e., 23% of primary energy mix by 2025, renewables growth in the country is slow, even stagnant over the years.

Indonesia is often called a frontier market for renewable energy, and that includes solar energy. While the technical potential is high, up to 207 GW according to Ministry of Energy and Mineral Resources, solar generation in the country is less than 1% – this slow growth is a combination of several inhibiting factors: lack of consistent and supportive policies, the absence of attractive tariff and incentives, as well as concerns on grid readiness. Solar energy will be key to open the doors for other renewables in Indonesia; along with the current government’s plan to issue presidential regulations on renewable energy pricing and deployment.

To support accelerated solar deployment in Indonesia, in March 2020, the Institute for Essential Services Reform (IESR) signed an MoU with the Global Environmental Institute (GEI) to collaborate on renewable energy development. To this end, we conducted two training sessions and technical exchanges on technical potential analysis of renewable energy resources by applying the Renewable Energy Implementation (REI) toolkit.

To date, with the supports from GEI, IESR has completed a GIS-based nationwide solar PV technical potential assessment in Indonesia. The assessment report is produced to provide detailed information for related stakeholders in identifying prospective locations for solar power plants at any scale, feeding energy planners and driving more ambitious solar development in Indonesia. The interests and growth need to be nurtured, yet the big question remains: what more Indonesia can do to enter the gigawatt solar installations?

Presenters:
Dr. Xu Shengnian (GEI) on Renewable Energy Implementation (REI) Toolkit
Daniel Kurniawan (IESR) on IESR’s Report “Beyond 207 Gigawatts”

Panelist:

SESSION 1: Moderated by Marlistya Citraningrum (IESR)

  • Dr. Ir. Dadan Kusdiana, M.Sc., Director General of New, Renewable Energy, and Energy Conservation, Ministry of Energy and Mineral Resources
  • Darmawan Prasodjo, Deputy CEO, PT PLN (Persero)
  • Andhika Prastawa, Chairman of Indonesia Solar Energy Association
  • Yi Wang, Member of China’s National People’s Congress Standing Committee, Vice President of Institutes of Science and Development, Chinese Academy of Sciences
  • Prof. Cuiping Liao, Research Director, Guangzhou Institute of Energy Conversion, Chinese Academy of Sciences

SESSION 2: Moderated by Xinran Yan (GEI)

  • Viktor Laiskodat, Governor of East Nusa Tenggara
  • Ir. Sudjarwanto Dwiatmoko, M.Si., Head of Energy and Mineral Resources Department, Provincial Government of Central Java
  • Ir. Herman Darnel Ibrahim M.Sc. IPU, Member of Indonesian National Energy Council
  • Wirawan, Interim President Director, PT PJB Investasi
  • Jianhua Liu, Professor, Beijing University of Civil Engineering and Architecture
  • Rudy Sembiring, Indonesia Country Head, Vena Energy

Presentation Materials

Daniel Kurniawan

Unduh

GEI

Unduh

ESDM Central Java

Unduh

2021 Round Table Solar IESR HDI

Unduh

Liujianhua

Unduh