Tahun Politik dan Tarif Listrik Ancam Energi Baru di 2019

Jakarta, CNBC Indonesia- Dalam kajian Institute for Essential Services Reform (IESR), yang bertajuk Indonesia Clean Energy Outlook: Reviewing 2018, Outlooking 2019 ini memperkirakan prospek energi terbarukan 2019 akan lebih suram, setidaknya hingga semester pertama 2019.

Ini salah satunya karena kebijakan pemerintah yang memutuskan tidak menaikkan tarif listrik di tahun politik. Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menjabarkan harga menjadi salah satu isu sentral dalam kampanye, akan sangat mungkin pemerintah akan berusaha untuk menjaga harga listrik tetap rendah.

Fabby menyebut, baru-baru ini, Menteri ESDM Ignasius Jonan menyatakan pemerintah tidak akan menaikkan harga listrik hingga akhir 2019. Menurutnya, hal ini berarti pemerintah akan mempertahankan kebijakan status quo untuk melindungi bunga PLN dan tarif energi terbarukan ditetapkan lebih rendah untuk mensubsidi biaya pembangkitan listrik PLN yang lebih tinggi.

Kedua, lanjut Fabby, meski Kementerian ESDM telah mengisyaratkan untuk merevisi Peraturan Menteri ESDM No. 50/2017 pada tahun depan, belum ada pernyataan resmi mengenai hal ini.

Demikian juga dengan ruang lingkup revisi Permen ini, karena kecenderungan menteri adalah untuk menjaga proses internal dan tidak transparan kepada publik atau pemangku kepentingan yang relevan.

“Berdasarkan revisi Peraturan Menteri ESDM No. 12/2017 jo 48/2017 dan kemudian menjadi Permen No.50/2017, perubahan peraturan saat ini tidak mengarah untuk perbaikan iklim investasi swasta di bidang energi terbarukan,” ujar Fabby dalam Indonesia Clean Energy Dialogue, di Jakarta, Rabu (19/12/2018).

Ketiga, mengingat kondisi politik pada 2019, sangat mungkin bahwa investor asing akan terus menunggu dan melihat hasil pemilihan dan arah kebijakan kabinet baru pada Oktober 2019.

“Kami mengantisipasi bahwa investasi terbarukan oleh sektor swasta akan mengalir di kuartal keempat tahun depan. Oleh karena itu, sebagian besar investasi tahun depan akan dilakukan oleh PLN dan BUMN lainnya,” imbuhnya.

Selain itu, dalam kajian IESR itu juga diperkirakan proyek energi terbarukan seperti panas bumi, angin, matahari dan biomassa akan tetap stagnan hingga tahun depan. Pengembangan panas bumi akan terbatas pada kegiatan survei dan pra-eksplorasi untuk mengumpulkan data. Pengembangan proyek energi terbarukan akan terbatas sektor tertentu.

Adapun, untuk PLTS atap (Solar PV) yang berpotensi untuk dikembangkan hingga 1 GW per tahun akan tumbuh secara melambat terutama untuk pelanggan kalangan rumah tangga. Fabby menilai, keluarnya Peraturan Menteri ESDM No. 49/2018 telah menurunkan minat pelanggan PLN yang potensial khususnya perumahan dan industri.

“Untuk pembangkit listrik tenaga angin, utilitasnya juga akan melambat tahun depan, karena kerangka peraturan, masalah jaringan dan kesiapan PLN untuk mengatasi daya intermiten,” pungkas Fabby.

IESR juga mendesak pemerintah untuk membentuk Dana Energi Bersih Indonesia untuk mendukung pembiayaan energi terbarukan untuk skala kecil, terutama proyek dibawah skala 10 MW. Insentif fiskal perlu disiapakan untuk meningkatkan keekonomian proyek energi terbarukan.

Dengan rekomendasi ini, diharapkan pengembangan energi bersih akan mendapatkan daya dorong yang lebih kuat selama berlangsungnya tahun politik dan di masa depan,” tandas Pamela.

Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said pun ikut menanggapi hal ini. Menurutnya, Indonesia perlu untuk mengembangkan ekosistem clean energy.

“Begitu terbentuk, ini akan jadi magnet menambah pemain energi terbarukan. Begitu pemain bertambah, harga akan semakin lama semakin turun. Jadi sekarang tidak apa kalau jumlahnya masih kecil tetapi butuh konsistensi dan payung hukumnya juga,” pungkas Sudirman. (gus)

Sumber: cnbcindonesia.com.

Pertumbuhan Energi Bersih di Indonesia Mandek

Jakarta, Gatra.com – Pertumbuhan dan perkembangan energi terbarukan atau energi bersih (clean energy) di Indonesia pada tahun 2018 dianggap mandek, sedangkan pada 2019 diprediksi tidak akan banyak berubah.

Hal itu mengemuka dalam dialog ‘Indonesia Clean Energy Outlook: Reviewing 2018, Outlooking 2019’ yang digelar Institute for Essential Services Reform (IESR) di Graha Bimasena, Jakarta Selatan, Rabu (19/12/2018) pagi.

Mantan Menteri ESDM era Presiden SBY Purnomo Yusgiantoro mengatakan mandeknya pertumbuhan energi bersih merupakan hal yang disayangkan, apalagi pertumbuhan serupa di negara lain seperti Tiongkok sangat tinggi.

“Saya harus mengatakan, perlu adanya political will yang besar dari Presiden RI. Kalau kita serius ingin melakukan konversi ke energi bersih, ya para pemimpin kita harus memimpin. Ini perlu teladan dari atas,” kata Purnomo.

Sudirman Said mengamini pendapat Purnomo. Sudirman mengatakan bahwa pemerintah harus mengadopsi ‘technocratic approach’.

“Technocratic Approach yang saya maksud siapapun presiden kita, ia harus mendengarkan pendapat Menteri ESDM. Demikian juga sebaliknya, Menteri ESDM juga harus mengerti bidangnya. Mari kembalikan masalah energi kepada para teknokrat kita,” jelas Sudirman yang juga pernah menjadi Menteri ESDM.

Sudirman juga menyoroti kondisi dalam 20 tahun terakhir yang menjadi salah satu sebab inkonsistensi kebijakan dalam bidang energi.

“Dalam 20 tahun terakhir ada 5 presiden dan 10 menteri ESDM. Pak Purnomo Yusgiantoro jadi menteri selama 9 tahun, sisanya dibagi ke 9 menteri yang lain. Jadi bisa dibayangkan konsistensi kebijakan dalam bidang energi selama 11 tahun terakhir seperti apa,” tutup Sudirman.

Sementara, Kepala Divisi Riset IESR Pamela Simamora mengatakan pengembangan energi bersih butuh investasi. Agar menarik, perlu ada oerubahan menyeluruh terhadap regulasi.

“Untuk menghilangkan hambatan dalam investasi energi bersih, Permen ESDM No 48/2017, 50/2017, 10/2017 jo 49/2017 perlu diperbaiki. Kejelasan mengenai sistem paralel dalam Permen ESDM No 1/2017 juga perlu ditinjau ulang untuk disempurnakan,” terang Pamela.

Turut hadir pula dalam acara dialog tersebut mantan Sekjen OPEC Prof Dr Soebroto, Direktur Eksekutif Fabby Tumiwa dan puluhan peserta dialog yang terdiri atas akademisi dan teknokrat dalam bidang energi.

Sumber: gatra.com.

Pilpres 2019 Diprediksi Bakal Hambat Investasi di Sektor Energi Terbarukan

Presiden Joko Widodo membuat video blog (vlog) didampingi Direktur Utama PLN Sofyan Basyir (kiri), Presiden Direktur PT Binatek Energi Terbarukan Erwin Yahya (kanan), dan Bupati Sidrap Rusdi Masse (kedua kiri) saat peresmian pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) di Desa Mattirotasi, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, Senin, 2 Juli 2018. ANTARA

TEMPO.CO, Jakarta – Institute for Essential Services Reform atau IESR memperkirakan investasi di sektor energi terbarukan pada 2019 bakal terhambat terkait Pilpres. Pasalnya kata Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa, isu mengenai harga listrik dan bahan bakar minyak atau BBM rendah masih sentral dalam kegiatan kampanye 2019.

“Ujungnya, kepentingan politik ini ditransaksikan dalam kebijakan yang salah satunya berimplikasi pada harga energi terbarukan yang sangat murah dan dipaksa mensubsidi energi fosil,” kata Fabby yang ditemui dalam acara “lndonesia Clean Energy Outlook: Reviewing 2018, Outlooking 2019” di Graha Bimasena, Jakarta Selatan, Rabu, 19 Desember 2018.

Saat ini pemerintah memiliki target bauran energi terbarukan secara nasional sebesar 23 persen dalam Rencana Umum Energi Nasional atau RUEN hingga 2025. Adapun, nilai investasi dari energi terbarukan baru mencapai sekitar 51 persen atau senilai US$ 1,16 miliar hingga Oktober 2018. Padahal pemerintah mematok investasi harus mencapai angka US$ 2 miliar sepanjang 2018.

Sementara itu, hari ini IESR telah merilis hasil studi mengenai outlook 2019 dan juga perkembangan energi terbarukan sepanjang 2018. Dalam laporan tersebut, IESR memperkirakan pada 2019, prospek perkembangan energi terbarukan masih akan suram.

Sebabnya, karena sepanjang 2018 tidak ada kemajuan yang berarti untuk pengembangan energi terbarukan. Salah satunya terlihat dari mandeknya pembangunan kapasitas terpasang baru dari pembangkit listrik energi terbarukan dalam tiga tahun terakhir.

Menurut Fabby, hambatan investasi tersebut tidak hanya datang akibat dari kondisi berlangsungnya pemilihan presiden atau Pilpres pada 2019. Prakiraan tersebut juga disumbang oleh banyaknya kualitas regulasi yang tidak memenuhi kebutuhan dari investor.

Realisasi Energi Terbarukan Hanya 7,7 Persen

Selain itu, konsistensi pemerintah sebagai regulator dalam mengimplementasi kebijakan juga menjadi faktor yang ikut menghambat invetasi. Apalagi, kata Fabby, selama ini banyak regulasi yang hanya menguntungkan PLN. Belum lagi kebijakan juga lebih banyak diarahkan untuk menjaga supaya listrik tetap murah.

“Padahal kita tahu investasi di sektor ini berisiko tinggi dan butuh waktu untuk tumbuh. Tentunya kondisi itu, membuat investor melihat bahwa risiko semakin besar untuk masuk ke sektor ini tahun depan,” kata dia.

Kemudian, lanjut Fabby, bagi investor yang lebih banyak memiliki akses pemodalan dan asing diperkirakan masih akan melakukan wait and see. Khususnya investor tersebut masih akan memantau kondisi paska pemilu termasuk kebijakan dan susunan kabinet pemerintah. Ia memperkirakan investasi baru akan masuk pada kuartal keempat 2019.

Sumber: tempo.co.

Pengamat Sebut Masa Depan Energi Terbarukan 2019 Masih Suram

Presiden Joko Widodo membuat video blog (vlog) didampingi Direktur Utama PLN Sofyan Basyir (kiri), Presiden Direktur PT Binatek Energi Terbarukan Erwin Yahya (kanan), dan Bupati Sidrap Rusdi Masse (kedua kiri) saat peresmian pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) di Desa Mattirotasi, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, Senin, 2 Juli 2018. ANTARA

TEMPO.CO, Jakarta – Institute for Essential Services Reform atau IESR merilis laporan yang memperkirakan bahwa pada 2019, prospek perkembangan energi terbarukan masih akan suram. Dalam laporan itu disebutkan bahwa kondisi ini setidaknya akan berlanjut hingga semester pertama 2019.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan bahwa laporan ini memberikan peringatan kepada pemerintah bahwa pengelolaan dan pelaksanaan program pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan tidak berada dalam jalan yang benar. Khususnya untuk mencapai bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2025 seperti dalam Kebijakan Energi Nasional.

“Situasi telah memburuk dalam dua tahun terakhir karena kebijakan dan regulasi yang gagal menciptakan kondisi yang memungkinkan untuk memobilisasi investasi sektor swasta,” kata Faby dalam acara “lndonesia Clean Energy Outlook: Reviewing 2018, Outlooking 2019” di Graha Bimasena, Jakarta Selatan, Rabu, 19 Desember 2018.

Adapun hari ini, Rabu 19 Desember 2018 IESR merilis laporan mengenai outlook 2019 dan juga perkembangan energi terbarukan sepanjang 2018. Dalam laporan tersebut IESR mengukur kondisi perkembangan proyek bauran energi terbarukan dari berbagai aspek mulai dari regulasi, investasi, pembiayaan hingga faktor kepemimpinaan.

Dalam laporan IESR tersebut disebutkan bahwa sepanjang 2018, tidak ada kemajuan yang berarti untuk pengembangan energi terbarukan. Salah satunya terlihat dari mandeknya pembangunan kapasitas terpasang baru dari pembangkit listrik energi terbarukan dalam tiga tahun terakhir.

Menurut catatan IESR, hingga kuartal kedua 2018 penambahan kapasitas terpasang pembangkit listrik energi terbarukan baru mencapai 320 megawatt (MW). Sementara total kapasitas terpasang pembangkit energi terbaru kan on-grid dan off-grid saat ini mencapai 9,4 gigawatt (GW) sementara Rencana Strategis Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM 2015-2019 menargetkan 15,5 GW.

Sementara itu, dalam laporan IESR itu juga menyoroti regulasi pemerintah yang justru menghambat investasi di sektor energi terbarukan. Kepala Divisi Riset IESR, Pamela Simamora dalam presentasinya menyatakan Kementerian ESDM masih perlu meningkatkan kualitas kebijakan untuk mendukung di sektor energi terbarukan.

“Ini berarti dibutuhkan upaya perbaikan yang menyeluruh terhadap peraturan khususnya untuk menghilangkan hambatan investasi dan meningkatkan kepercayaan investor,” kata Pamela.

Beberapa peraturan yang dinilai ikut menghambat investasi di sektor energi terbarukan adalah dalam bentuk Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Beberapa diantaranya adalah Permen ESDM Nomor 48/2017, Nomor 50/2017, dan Nomor 10/2017 jo 49/2017 serta peraturan Nomor 1/2017.

Sumber: tempo.co.

Banyak Tantangan, Pengembangan Energi Terbarukan Lambat

JAKARTA – Program pengembangan kelistrikan tahun depan diperkirakan masih akan dihadapkan sejumlah tantangan. Salah satunya di sektor energi baru terbarukan (EBT) yang diprediksi sulit mencapai target akibat kebijakan kerap berubah.

Pemerintah telah menargetkan bauran energi terbarukan sebesar 23% pada 2025. Namun, progres pengembangan EBT hingga saat ini dinilai masih lambat. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, melihat realisasi bauran EBT pada tahun lalu yang hanya 6% dan tahun ini di kisaran 7%, akan berat mencapai target seperti yang ditetapkan pemerintah.

”Dinamika kebijakan EBT ini cepat sekali. Tahun ini saja terdapat perubahan kebijakan pemerintah yang dampaknya tidak selalu positif bagi pengembang energi terbarukan,” ujar Fabby di sela-sela Indonesia Clean Energy Outlook 2018 & Stakeholder Dialogue di Jakarta, kemarin. Berdasarkan catatan IESR, sepanjang tahun ini terdapat 16 aturan, baik berupa peraturan menteri maupun perpres terkait EBT. Kebijakan tersebut terkait penetapan tarif tenaga listrik, pokok-pokok perjanjian jual beli listrik, dan pemanfaatan energi terbarukan.

Kendati dari sisi kebijakan banyak mengalami perubahan, tapi IESR mengapresiasi sejumlah keberhasilan di sektor kelistrikan seperti terkait rasio elektifikasi yang meningkat signifikan. Menurut dia, rasio elektifikasi sudah sejalan dengan target pemerintah tahun 2019 yang ditargetkan 97%. Adapun berdasarkan data PT PLN (Persero) rasio elektrifikasi sepanjang 2017 telah mencapai 93,08% atau lebih tinggi dibandingkan target 92,75%. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Rida Mulyana mengatakan, banyaknya perubahan kebijakan terkait pengembangan EBT merupakan upaya merespons masukan dari para pemangku kepentingan.

”Semua kerangka kebijakan EBT pada prinsipnya untuk ketahanan energi. Kalaupun ada ketidaksamaan visi, kami harus mengambil jalan tengahnya,” ujar Rida. Dia menambahkan, saat ini pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla menekankan pada pemerataan dan keadilan energi bagi masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, salah satunya diterjemahkan melalui penyediaan listrik dengan harga terjangkau terutama di daerah timur Indonesia. ”PR-nya adalah bagaimana kesejahteraan meningkat harga listrik bisa turun,” ujar dia.

Sementara itu, Kepala Divisi EBT PLN Tohari Hadiat mengatakan, PLN selaku perusahaan listrik milik negara terus berupaya meningkatkan kontribusi dalam mengembangkan EBT. Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2017–2026, PLN ditargetkan membangun 21.000 MW dari pembangkit EBT. ”Setiap tahun kita targetkan membangun 2.000 MW, namun untuk di awal-awal kita akan bangun 500 MW,” ujar dia.

Sumber: okezone.com.

IESR Prediksi Pemanfaatan Energi Terbarukan Makin Suram Pada 2019

JAKARTA, KOMPAS.com – Institute for Essential Service Reform (IESR) memaparkan hasil kajian mereka soal prospek energi terbarukan di 2019. Laporan tersebut memperkirakan prospek energi terbarukan tahun depan akan lebih suram, setidaknya hingga semester pertama.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan, ada beberapa faktor yang menghambat pengembangan energi di Indonesia. Salah satunya soal kualitas kebijakan soal energi yang tak terlihat dampaknya.

“Laporan ini memberikan peringatan keras bahwa pemerintah tidak berada di jalur untuk mencapai 23 persen target energi terbarukan sebagaimana ditetapkan dalam Kebijakan Energi Nasional 2014 dan 2017,” ujar Fabby di Jakarta, Rabu (19/12/2018).

Fabby mengatakan, situasi telah memburuk dalam dua tahun terakhir karena kebijakan dan regulasi yang dianggap hanya menguntungkan Perusahaan Listrik Negara. Di sisi lain, kebijakan tersebut gagal menciptakan kondisi yang memungkinkan untuk memobilisasi investasi sektor swasta.

“Akibatnya investasi energi terbarukan terus turun sejak 2015,” kata Fabby.

Faktor penghambat lainnya adalah akses pembiayaan bunga rendah, kapasitas jaringan, dan terbatasnya proyek energi terbarukan yang bankable. Laporan IESR juga menyoroti mandeknya kapasitas terpasang baru dari pembangkit listrik energi terbarukan dalam tiga tahun terakhir.

Selain itu, kajian ini juga memperkirakan situasi di 2019 tak mungkin membaik. Alasannya, pertama, tahun depan sudah memasuki tahun Pemilu dan harga menjadi suatu hal yang sentral dalam kampanye. Kemungkinan besar pemerintah akan berusaha menjaga harga tetap rendah.

Fabby menyebutkan, belakangan Menteri ESDM Ignasius Jonan menyatakan bahwa harga listrik tak akan naik hingga akhir 2019.

“Ini berarti bahwa pemerintah akan mempertahankan kebijakan status quo untuk melindungi bunga PLN dan tarif energi terbarukan ditetapkan leboh rendah untuk mensubsidi biaya pembangkitan listrik PLN yang lebih tinggi,” kata Fabby.

Alasan kedua yakni tak ada kejelasan soal rencana merevisi peraturan soal energi terbatukan untuk mempercepat pengembangannya ke depan. Selain itu, di tahun politik, kemungkinan investor asing akan wait and see hasil pemilihan dan arah kebijakan pemerintah untuk sektor ini.

Laporan IESR juga memperkirakan proyek energi terbarukan seperti angin, panas bumi, matahari, dan biomassa akan stagnan pada 2019. Oleh karena itu, IESR mendesak Presiden Joko Widodo untuk mengambil posisi tegas dalam pengembangan energi bersih di Indonesia.

Presiden juga diminta memberi panduan yang jelas kepada kementerian sektoral untuk mempercepat pengembangannya. IESR juga mendesak pemerintah membentuk Dana Energi Bersih Indonesia untuk mendukung pembiayaan energi terbarukan. Insentif fiskal juga perlu disiapkan untuk meningkatkan keekonomian proyek ini.

“Dengan rekomendasi ini diharapkan pengembangan energi bersih akan mendapatkan daya dorong yang lebih kuat selama berlangsungnya tahun politik,” kata Fabby.

Sumber: kompas.com.

IESR: Pilpres 2019 Hambat Pengembangan Energi Terbarukan

Para narasumber dalam acara ‘Indonesia Clean Energy Outlook: Reviewing 2018, Outlook 2018’ di Jakarta, Rabu (19/12). (Foto: VOA/Ghita).

Institute Essentials Services Reform (IESR) mencatat tidak ada kemajuan yang berarti dalam pengembangan energi terbarukan di tahun 2018. Diperkirakan 2019 laju energi terbarukan akan semakin terhambat, karena merupakan tahun politik.

JAKARTA (VOA) — Perkembangan energi terbarukan di Indonesia berjalan stagnan, setidaknya dalam dua tahun terakhir. Pemerintah masih terus mengeksploitasi energi fosil, untuk membangun pembangkit tenaga listrik, padahal ada banyak potensi sumber energi yang bisa digunakan, yang jauh lebih ramah lingkungan.

Direktur Eksekutif Institute Essentials Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan hal ini terjadi karena regulasi yang tidak cukup menarik para investor, untuk mau menanamkan modal dalam pengembangan energi terbarukan. Selain itu terbatasnya proyek energi terbarukan yang bankable, menyebabkan sulitnya akses pendanaan karena pihak perbankan yang tidak mau mengambil resiko tinggi. Ditambahkannya, pemerintah seringkali tidak konsisten dalam implementasi kebijakan sehingga ada banyak proyek energi terbarukan yang mandek atau bahkan dihentikan.

Hal itu disampaikannya dalam acara Indonesia Clean Energy Outlook 2019, di Jakarta, Rabu (19/12).

Pada tahun 2019, Fabby pesimis pengembangan energi terbarukan akan lebih baik. Pasalnya, pada tahun politik isu energi merupakan isu yang sensitif, sehingga ia tidak melihat bahwa pemerintah akan membuat suatu gebrakan yang bisa mendorong perkembangan energi terbarukan kedepannya.

Padahal pemerintah – lewat Kebijakan Energi Nasional 2014 dan Rencana Energi Nasional 2017 – menargetkan pencapaian 23 persen energi terbarukan pada tahun 2025 nanti.

“2019 diperburuk ini dengan tahun politik, kita nggak melihat adanya terobosan, inovasi, dan ini memang membuat kondisi 2019 ya tidak terlalu menarik. Bisa menarik, kalau apa? Perlu ada re-afirmasi komitmen dari pemerintah khususnya ini dari Presiden yang mengatakan kita komit untuk melaksanakan renew, PLN harus dorong penggunaan energi terbarukan, regulasi yang menghambat investasi harus disingkirkan, itu semangatnya Presiden mendorong investasi khususnya FDI, yang memang diperlukan,” ungkap Fabby.

Pembangkit Listrik Tenaga Surya di Desa Oelpuah, Kupang (Foto: Antara). Pemerintah dinilai belum mempunyai komitmen kuat dan kesiapan dalam mengembangkan energi terbarukan di Indonesia.

Dalam kesempatan yang sama, mantan Menteri ESDM Sudirman Said pun mengatakan bahwa Indonesia memang tidak siap untuk mengembangkan energi terbarukan. Ini terlihat dari kebijakan pemerintah yang tidak memberi insentif pada investor, serta tidak kompaknya para stakeholder yang terkait.

Menurutnya, pemerintah harus mulai dari sekarang membangun infrastruktur energi terbarukan karena hal itu akan memakan waktu yang cukup lama dan biaya yang cukup besar. Dengan begitu, jalan menuju transisi energi fosil ke renewable energi akan semakin terbuka lebar di masa depan, sehingga resiko pemanasan global pun bisa berkurang.

“Tapi yang paling penting bagi kita, kita segera memulai membangun yang saya sebut ekosistem, dari renewable, clean energy yang itu jelas lebih sustainable, berdampak pada jangka panjang dan juga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi, ini yang menjadi tantangan kita sekarang,” kata Sudirman.

Kepala Divisi Energi Baru dan terbarukan PT PLN (Persero) Zulfikar Manggau mengatakan pihaknya tetap pada komitmen untuk membangun pembangkit tenaga listrik dari energi terbarukan. Saat ini, kata Zulfikar, sudah sebanyak 11 persen pembangkit tenaga listrik dari energi terbarukan yang mengalirkan listrik kepada masyarakat yang terdiri dari pembangkit listrik tenaga air (PLTA), panas bumi atau geothermal, lalu pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan juga pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB).

Kedepan, pihaknya berencana untuk lebih mengembangkan PLTB karena Indonesia punya potensi tersebut, salah satunya ada di wilayah Kalimantan.

“Pengembangan EBT tetap kita konsisten, kita sudah membuat rencana 10 tahun RUPTL bahwa tahun depan kita mengupayakan untuk mengoperasikan pembangkit yang saat ini sedang dibangun itu mendekati 1.000 MW. Saat ini yang existing angkanya masih 6.000 MW yang operasi dibandingkan memang masih kurang lebih 11 persen dari total pembangkit PLN yang kurang lebih 56 ribu saat ini, 10 tahun kedepan kita juga total pembangkit 6.000 MW, 15 ribu di antaranya EBT, jadi kita tetap fokus membangun EBT tapi tentu banyak kendala yang harus diselesaikan sama-sama,” ujar Zulfikar.

Zulfikar mengatakan dibutuhkan regulasi dari hulu ke hilir yang akan mendukung implementasi dari perkembangan energi terbarukan ini, seperti subsidi langsung contohnya. Agar masyarakat pun mau beralih untuk menggunakan energi yang lebih ramah lingkungan tersebut sehingga akan ada demand dalam penggunaan energi ini. (gi/em)

Sumber: voaindonesia.com.