GEB: Mangrove Menjadi Bukti Tekad Menurunkan Emisi Pribadi

Jakarta, 27 Maret 2024– Iring-iringan rombongan berbaju hijau lumut terlihat memadati jalan di sekitar Gambir, Jakarta Pusat. Tulisan di baju mereka menandakan identitas mereka sebagai Generasi Energi Bersih. Beberapa dari mereka membawa papan ajakan untuk siapapun yang melihat, agar mengurangi emisi pribadi. Raut muka mereka tampak segar dengan usia yang rata-rata belia. Sekitar 350 orang muda berkumpul untuk bertindak mengurangi emisi sebagai biang penyebab krisis iklim di dunia.

Didukung oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), Generasi Energi Bersih (GEB) Jakarta Selatan bekerja sama dengan GEB Jakarta, dan UKM Riset dan Karya Ilmiah Heuri Cosmos Universitas Pertamina, menggerakkan anak-anak muda di sekitar Jakarta. Mereka ambil andil dalam jalan santai dan upaya pengurangan emisi dengan penanaman mangrove. Beranjak dari Gambir, serentak rombongan menuju kawasan ekowisata mangrove di Pantai Indah Kapuk.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR,  yang turut dalam gerakan penanaman mangrove ini mengungkapkan kegiatan ini diprakarsai oleh GEB yang telah menggunakan jejakkarbonku.id untuk menghitung emisi yang mereka hasilkan sehari-hari. Para anak muda yang tergabung di GEB lalu mengumpulkan uang dan donasi untuk melakukan penyeimbangan karbon atau carbon offset. Salah satu cara yang mereka lakukan ialah dengan menanam mangrove. 

“Penanam mangrove ini merupakan bentuk nyata dari kepedulian generasi muda kita bahwa kegiatan  yang mereka lakukan sehari-hari punya dampak terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca. Selain kesadaran mengurangi emisi gas rumah kaca, melalui kegiatan sehari-hari, seperti mematikan lampu dan mengurangi sampah, mereka juga melakukan offset. Diharapkan dengan menanam mangrove bisa menyerap emisi gas rumah kaca yang ada di atmosfer,” jelas Fabby.

Fabby berharap, kegiatan serupa dapat pula dilakukan di tempat lain, karena GEB telah tersebar di sembilan kota, termasuk Bandung, Yogyakarta, Bali, and Bogor.

“Kesadaran untuk melakukan penurunan emisi dimulai dari diri sendiri bisa dimiliki oleh semua anggota GEB. Mereka juga dapat menjadi sumber informasi atau bisa menginspirasi peers (rekan sebaya-red) mereka untuk melakukan hal serupa, sehingga kita punya generasi yang punya kesadaran untuk penurunan emisi GRK untuk  mencegah terjadinya krisis iklim,” imbuh Fabby.

Senada, Ketua GEB Jakarta Selatan, Riko Andriawan menuturkan penanaman 350 bibit mangrove akan mampu berkontribusi terhadap penyerapan emisi. 

“Pengurangan emisi tidak perlu biaya mahal, tapi bisa dimulai dari kesadaran diri sendiri misalnya dengan menggunakan kendaraan umum untuk wilayah perkotaan, tidak menggunakan plastik sekali pakai, selalu menggunakan tumbler, tidak menggunakan listrik secara berlebihan di rumah. Generasi muda perlu menyadari pemanasan global dan mengerti caranya dalam mengurangi emisi,” tutur Riko.

Ketua GEB Indonesia, Maya Lynn melanjutkan bahwa tantangan terbesar bisa jadi berasal dari diri sendiri.

“Penyadaran tentang jejak karbon perlu dimulai dari diri sendiri. Kita dapat menghitungnya menggunakan jejakkarbonku.id sehingga dapat melihat berapa besar jejak emisi yang kita tinggalkan di bumi.”

Kolaborasi dengan GEB Jakarta Selatan, diakui oleh Nur Azizah dari UKM Riset dan Karya Ilmiah Heuri Cosmos Universitas Pertamina merupakan kesempatan baik. Pihaknya telah mendukung energi terbarukan dan penurunan emisi melalui riset dan karya ilmiah. Keterlibatannya di penanaman mangrove menjadi aksi nyata untuk membuat bumi lebih hijau.

Road to Youth Climate Conference Webinar: Perubahan Iklim, Industri, dan Gaya Hidup


Tayangan Tunda


Latar Belakang

Dampak perubahan iklim telah menjadi ancaman serius bagi kehidupan anak-anak dan pemuda. Studi yang dilakukan oleh Save the Children pada tahun 2020 menemukan bahwa anak-anak yang lahir pada tahun 2020 mengalami bencana sebanyak 3.4 kali lebih sering daripada kakek-nenek mereka yang lahir pada tahun 1960. Bencana tersebut melibatkan perubahan iklim seperti gelombang panas, kekeringan, kebakaran hutan, banjir, dan kegagalan panen, memberikan tekanan tambahan pada lingkungan yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perlindungan anak-anak. Studi lain yang dilakukan oleh UNICEF menyoroti bahwa perubahan iklim merupakan ancaman terbesar terhadap kesehatan, nutrisi, pendidikan, dan masa depan anak-anak. 

Di sisi lain, perkembangan sektor industri dalam beberapa dekade terakhir telah merubah gaya hidup masyarakat dari berbagai sisi. Mulai dari barang-barang elektronik hingga pakaian sehari-hari. Sayangnya, aktivitas produksi dan konsumsi yang tidak berwawasan lingkungan kerap kali memiliki dampak buruk terhadap perubahan iklim. Misalnya, penggunaan sumber daya alam yang berlebihan, deforestasi akibat aktivitas industri, serta berkembangnya tren fast fashion yang mendorong konsumsi yang tidak berkelanjutan. Bahkan, sektor industri sendiri telah menyumbang 25% dari emisi karbon global (UNEP, 2023). Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan dalam pola pikir dan perilaku sehari-hari, terutama generasi muda, untuk mengurangi dan memitigasi dampak perubahan iklim dari sektor industri dan gaya hidup.

Webinar ini bertujuan untuk menggali lebih dalam tentang bagaimana perubahan iklim disebabkan oleh industri dan gaya hidup masyarakat umum, termasuk yang dilakukan oleh orang muda. Melalui diskusi mendalam, diharapkan dapat tercipta pemahaman yang lebih baik mengenai tantangan dan peluang yang dihadapi generasi muda dalam konteks perubahan iklim. Selain itu, webinar ini juga diarahkan untuk merumuskan solusi dan tindakan konkret yang dapat diambil oleh anak muda dalam membangun gaya hidup yang berkelanjutan serta merumuskan inovasi dalam industri untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.

Tujuan

  • Mendiskusikan dampak perubahan iklim pada sektor industri dan gaya hidup.
  • Mendiskusikan peran orang muda dalam menanggulangi dampak perubahan iklim dari gaya hidup.

 

 


Presentasi

 

Peran Anak Muda dalam Mendorong Arah Perkembangan Industri Indonesia yang Berkelanjutan – Faricha Hidayati

Peran-Anak-Muda-dalam-Mendorong-Arah-Perkembangan-Industri-Indonesia-yang-Berkelanjutan-Faricha-Hidayati

Download

Webinar Peluang Dekarbonisasi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia dan Pembelajaran dari Pengalaman Global


Tayangan Tunda


Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara dengan perekonomian terbesar di dunia dan terus mengalami pertumbuhan. Di antara kegiatan ekonomi lainnya, sektor industri sebagai tulang punggung perekonomian juga diharapkan dapat terus tumbuh untuk mendukung terwujudnya Indonesia Emas di tahun 2045. Seiring dengan pertumbuhan tersebut, pertumbuhan sektor industri yang diharapkan akan memberikan kontribusi terhadap total emisi gas rumah kaca Indonesia yang pada tahun 2021 telah mencapai sekitar 420 MtCO2 dan diperkirakan akan meningkat dua kali lipat jika tidak dilakukan langkah-langkah yang diperlukan. Oleh karena itu, komitmen untuk bertransisi menuju praktik bisnis dan industri yang lebih berkelanjutan menjadi keharusan untuk mengendalikan dan membatasi emisi hingga 31,89-43,2% lebih rendah dari tingkat business-as-usual di tahun 2030, sekaligus memastikan daya saing global industri Indonesia.

Usaha kecil dan menengah (UKM) memiliki posisi yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia dan merupakan bagian terbesar dari industri manufaktur di Indonesia. Menurut Bank Pembangunan Asia, pada tahun 2019, UKM menyumbang sekitar 99% dari bisnis formal dan hampir 97% dari lapangan kerja di Indonesia. Di tingkat lokal, UKM juga mendorong pembangunan dan pemerataan sosial, berkontribusi pada pembangunan pedesaan, pemberdayaan masyarakat, dan pengentasan kemiskinan. Terlepas dari perannya sebagai mesin pertumbuhan ekonomi secara lokal dan nasional, manajemen keuangan dan kapasitas teknis UKM seringkali tertinggal dibandingkan dengan bisnis besar. Selain itu, dengan adanya peraturan yang lebih longgar terhadap pelaku UKM, emisi dari sektor ini seringkali terabaikan dan dapat menghasilkan emisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan sektor industri yang lebih besar. Berdasarkan studi terbaru IESR, ditemukan bahwa estimasi emisi terkait energi dari UKM mencapai 216 MtCO2 pada tahun 2023, setara dengan emisi yang dihasilkan dari sektor industri secara nasional.

Webinar ini diselenggarakan untuk menyebarluaskan temuan studi terbaru dari IESR dan LBNL yang berfokus pada eksplorasi peluang dekarbonisasi yang sesuai untuk UKM di Indonesia. Wawasan utama bagi para pelaku UKM, pembuat kebijakan, dan lembaga keuangan akan dibuka untuk membuka potensi efisiensi energi dan dekarbonisasi yang belum dimanfaatkan oleh UKM sekaligus meningkatkan daya saing bisnis mereka dalam menghadapi perubahan pasar saat ini. Selain itu, pengalaman global dalam dekarbonisasi UKM akan dibagikan untuk menunjukkan praktik-praktik terbaik yang telah diterapkan di Tiongkok, Amerika Serikat, dan negara-negara ekonomi penting lainnya di dunia, sehingga dapat menjadi referensi terbaik dalam melakukan retrofit untuk lanskap UKM di Indonesia. Webinar ini akan diselenggarakan secara daring melalui Zoom dan disiarkan melalui kanal YouTube IESR. Diharapkan webinar ini dapat memberikan wawasan yang berharga dan memicu inisiatif inovatif di antara para pemangku kepentingan di Indonesia untuk memulai perjalanan dekarbonisasi bagi UKM.

Tujuan Acara 

Ada beberapa tujuan dari lokakarya ini:

  1. Menyebarluaskan dan berbagi informasi mengenai lanskap Usaha Kecil Menengah (UKM) di Indonesia dalam hal ekonomi, energi, dan pengelolaan limbah,
  2. Menerima umpan balik dari rekomendasi dekarbonisasi UKM dari para pemangku kepentingan utama yang relevan,
  3. Mendiskusikan langkah-langkah penting dan dapat ditindaklanjuti yang diperlukan untuk mengimplementasikan inisiatif dekarbonisasi bagi UKM Indonesia, dan
  4. Mendiskusikan tantangan dan peluang, serta menginisiasi kolaborasi untuk mendorong dekarbonisasi dan pertumbuhan berkelanjutan pada UKM terpilih di Indonesia.

 


Presentation

Exploring Decarbonization Opportunities in Indonesia’s Small-to-Medium Enterprises (SMEs) – Abyan Hilmy Yafi

Exploring-Decarbonization-Opportunities-in-Indonesias-Small-to-Medium-Enterprises-SMEs-Abyan-Hilmy-Yafi

Download

Unlocking Energy Efficiency – Decarbonization Potentials in SMEs – Bo Shen

Unlocking-Energy-Efficiency-Decarbonization-Potentials-in-SMEs-Bo-Shen

Download

Decarbonization of Small and Medium Industries (SMIs) in Indonesia – Achmad Taufik

DECARBONIZATION-OF-SMALL-AND-MEDIUM-INDUSTRIES-SMIs-IN-INDONESIA-Achmad-Taufik

Download

Peluncuran Laporan Nusa Penida 100% Energi Baru Terbarukan

Tayangan Tunda


Latar Belakang

Pemerintah Provinsi Bali menetapkan visi menuju emisi nol bersih atau Bali Net Zero Emissions pada 2045 pada Agustus 2023 yang didukung oleh mitra-mitra lembaga non-pemerintah. Visi ini mencakup sektor ketenagalistrikan, transportasi, dan pengembangan kewirausahaan iklim. Target ambisius ini dapat dicapai Pemprov Bali melalui strategi yang efektif dan kolaboratif serta peta jalan yang terarah dan akuntabel. Dalam memastikan tercapainya target tersebut, peta jalan menuju Bali NZE disusun untuk merumuskan kebijakan yang mendukung tumbuhnya ekosistem pengembangan energi terbarukan yang optimal serta menyiapkan tenaga kerja hijau yang akan menjadi motor transisi tersebut.

Menurut Kemenko Marves, Pulau Nusa Penida yang terletak di selatan pulau Bali menyandang lima predikat nasional, yakni sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), salah satu Pulau Terluar, Kawasan Konservasi Perairan, Pusat Pembibitan Sapi Bali, dan Kawasan Wisata Pengembangan Energi Terbarukan. Peran strategis Nusa Penida tersebut dapat didorong sebagai pilot project atau percontohan penyediaan listrik bertenaga energi terbarukan untuk memasok seluruh kebutuhan listrik secara mandiri dalam satu pulau. Adanya pilot project dan predikat strategis Nusa Penida tersebut diharapkan dapat mengubah paradigma penyediaan energi berbasis energi terbarukan pada lingkup yang lebih luas.

Untuk mendukung inisiatif tersebut, IESR bekerjasama dengan mitra menganalisis potensi energi terbarukan (ET) di Nusa Penida yang dapat dikembangkan. Berdasarkan hasil analisis tersebut, potensi ET di Nusa Penida meliputi PLTS atap senilai lebih dari 10,9 MWp, PLTD biodiesel (tanaman jarak dan rumput laut) lebih dari 2 MW, Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) ukuran kecil, serta Pump Hydro Energy Storage (PHES) yang mampu mencapai lebih dari 120 MW. Selain dari energi terbarukan, potensi energi di Nusa Penida juga dapat memanfaatkan limbah (Waste to Energy/WtE) sebesar 700 kW.

Setelah mengetahui potensi energi terbarukan yang dimiliki Nusa Penida, IESR juga melakukan analisis sistem ketenagalistrikan Nusa Penida secara lebih mendalam untuk mendapatkan konfigurasi sistem pembangkitan, transmisi dan distribusi yang optimal untuk menyuplai kebutuhan energi daerah, diantaranya kapasitas pembangkit listrik energi terbarukan yang potensial, usulan lokasi, hingga kebutuhan penyesuaian jaringan. Hasil dari analisis dan kajian ini dapat didorong dan diharapkan dapat menjadi cetak biru pengembangan pulau berbasis energi terbarukan dan menjadi bagian dari peta jalan Bali NZE 2045.

Tujuan Acara 

Acara ini diselenggarakan dengan tujuan untuk diseminasi hasil kajian Nusa Penida 100% energi terbarukan kepada berbagai pemangku kepentingan di Nusa Penida dan Provinsi Bali.

Lemahnya Kebijakan dan Aksi Iklim Indonesia

Jakarta, 30 Januari 2024 – World Meteorological Organization (WMO) menobatkan tahun 2023 sebagai tahun terpanas. Catatan sejarah menunjukkan bumi terus mengalami peningkatan suhunya dari tahun ke tahun. Untuk menjaga kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 1,5 derajat para ahli telah merekomendasikan sejumlah aksi iklim, salah satunya untuk memastikan dunia mencapai puncak emisi global pada tahun 2030 dan harus turun pada tahun-tahun berikutnya. 

Penggunaan energi fosil menjadi salah satu kontributor emisi terbesar di dunia. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengatakan Indonesia membutuhkan  aksi yang terukur dan riil untuk kita bertransisi dari energi fosil.

“Berdasarkan penilaian Climate Action Tracker (CAT), Indonesia tidak menunjukan penurunan emisi, bahkan mengalami kenaikan emisi pada tahun 2022 dan salah satu penyebabnya adalah peningkatan konsumsi batubara yang digunakan untuk hilirisasi. Rating Indonesia bahkan turun dari “highly insufficient” menjadi “critically insufficient”. Yang terpenting adalah langkah riil untuk akselerasi transisi pada dekade ini,” tegas Fabby.

Indonesia, sebagai salah satu 10 besar negara penghasil emisi di dunia justru mendapatkan catatan buruk dengan turunnya peringkat iklim Indonesia ke level terbawah menurut kerangka penilaian Climate Action Tracker (CAT).

Delima Ramadhani, Koordinator Proyek Climate Policy IESR, menyampaikan dalam peluncuran laporan Climate Action Tracker CAT, sepanjang tahun 2023 Indonesia menyampaikan sejumlah inisiasi dan kebijakan yang secara normatif mendukung adanya percepatan transisi energi, namun hal ini tidak berimplikasi pada upaya penurunan emisi.

“Rating Indonesia turun dari “highly insufficient ” menjadi “critically insufficient”. “Critically insufficient” berarti jika negara-negara memiliki komitmen iklim seperti Indonesia, laju pemanasan global akan ada di level 4 derajat,” kata Delima.

Mustaba Ari Suryoko, Analis Kebijakan Madya, Koordinator Pokja Penyiapan Program Aneka EBT, menanggapi bahwa penilaian terhadap upaya penurunan emisi menjadi i suatu pengingat bagi seluruh pihak untuk terus bekerja mencapai target penurunan emisi.

“Angka capaian adalah akumulasi dari berbagai variabel, maka kami berharap dalam perencanaan bukan hanya menentukan target yang ambisius namun juga harus dikerjakan upaya pencapaian,” katanya.

Anna Amalia, Fungsional Perencana Madya Bappenas, mengatakan bahwa untuk mengejar target iklim Indonesia yang lebih ambisius terdapat beberapa kesempatan.

“Pemerintah mulai bergerak progresif, dalam 20 tahun ke depan kita akan punya RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional-red) yang fokus pada penurunan emisi GRK, bagaimana kita mendorong pertumbuhan ekonomi melalui koridor yang rendah emisi dan tentu saja kebijakan lainnya akan mengikuti,” kata Anna.

Laporan tahunan Climate Transparency juga menyertakan Implementation Check untuk melihat efektivitas pelaksanaan kebijakan iklim.

Akbar Bagaskara, Analisis Sektor Ketenagalistrikan IESR, menjelaskan sektor ketenagalistrikan Indonesia ada pada kategori medium sebab implementasi kebijakan yang mendukung adanya transisi di sektor ketenagalistrikan belum berjalan dengan efektif.

“Secara historis, dalam lima tahun terakhir kita tidak mencapai target tahunan energi terbarukan. Perlu penguatan kebijakan untuk memperkuat ekosistem pendukung energi terbarukan Indonesia, serta pelibatan berbagai kelompok dalam proses perencanaan, procurement, hingga evaluasi,” jelas Akbar.

Yosi Amelia, Staff Program Hutan & Iklim, Yayasan Madani Berkelanjutan, menyoroti adanya ketidaksinkronan strategi lintas kementerian dan lembaga pemerintah yang menciptakan ketidakjelasan dokumen yang dijadikan pedoman. 

“Terdapat ketidaksinkronan antar dokumen misalnya tentang kuota deforestasi Indonesia. Dalam strategi FOLU Net Sink 2030, tidak ada lagi kuota deforestasi sementara pada E-NDC masih memberikan kuota deforestasi,” kata Yosi.

Metodologi Evaluasi Implementasi Kebijakan: Mekanisme yang Sangat Dibutuhkan

New York, 21 September 2023 – Komunitas global mendesak para pemimpin dunia untuk mengambil tindakan serius guna mengatasi dampak perubahan iklim. Menjelang COP 27 di Mesir tahun lalu, beberapa negara memperbarui komitmen mereka untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan mencapai status emisi nol bersih. Namun demikian, masih terdapat kesenjangan antara komitmen dan implementasi kebijakan serta tindakan untuk mencapai target yang telah ditentukan.

Untuk mengamati, menilai, dan memantau kemajuan suatu negara dalam implementasi kebijakan, Climate Transparency, sebuah kemitraan global antara organisasi penelitian dan Organisasi Masyarakat Sipil di negara-negara G20, telah mengembangkan metodologi untuk meninjau implementasi kebijakan dalam empat kategori: status hukum, institusi & tata kelola, sumber daya, dan pengawasan.

Yvonne Deng, Pakar Strategi Energi dan Iklim dari 7Gen Consulting, menekankan pentingnya memiliki instrumen pemantauan untuk meninjau kebijakan saat ini dan perannya dalam mencapai target iklim.

“Kami (Climate Transparency) menganalisis kesenjangan dan mendalami pendekatan sektoral untuk merekomendasikan kebijakan sektoral apa yang harus diambil suatu negara untuk mencapai ambisi tersebut,” kata Yvonne.

Afrika Selatan, salah satu negara yang mendapat perhatian global akhir-akhir ini sebagai penerima pertama pendanaan Just Energy Transition Partnership. Guy Cunliffe, Peneliti Sistem Energi di Universitas Cape Town menjelaskan bahwa sebagai negara yang menerima bantuan internasional, Afrika Selatan perlu menunjukkan akuntabilitas dalam pelaksanaan proyeknya.

“Pemantauan implementasi sangat penting untuk menunjukkan keberhasilan implementasi dan sebagai negara penerima, hal ini juga merupakan cara untuk menampilkan kemajuan proyek yang berkomitmen,” katanya.

Guy menambahkan bahwa sebagai penerima JETP pertama, Afrika Selatan telah meningkatkan ambisi iklimnya dan mencoba mengintegrasikan kapasitas energi terbarukan secara signifikan ke dalam jaringan listriknya. Namun dalam implementasinya, negara tersebut mengalami kendala dalam hal pasokan listrik. Kendala ini ‘memaksa’ mereka untuk menyesuaikan rencana dan kebijakan sekaligus mengubah struktur pasar energi dengan cepat. Hal ini hanya mungkin terjadi dengan pemantauan kebijakan yang berkelanjutan.

Mirip dengan Afrika Selatan, Indonesia, sebagai salah satu produsen batubara terbesar, pembangkit listriknya didominasi oleh batubara. Pada tahun 2022, Indonesia memperbarui target penurunan emisi dalam enhanced NDC, dari 29% menjadi 31,89% (unconditional) dan 41% menjadi 43,2% (conditional).

Wira Agung Swadana, Manajer Program Ekonomi Hijau di Institute for Essential Services Reform (IESR), mencatat bahwa selama masa transisi dari batubara, masih terdapat konflik kepentingan di antara para pemangku kepentingan, terutama karena kurangnya panduan yang jelas dari pemerintah mengenai transisi meliputi indikator dan arahan strategi.

“Meskipun Indonesia telah meningkatkan ambisinya dan tertuang dalam target NDC-nya, ekosistem pendukung (enabling environment) bagi para pengembang energi terbarukan masih belum cukup menarik. Masih belum ada insentif yang jelas bagi investor serta prosesnya yang masih cukup panjang,” jelas Wira.

RUU Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBET) yang sedang dalam proses, meskipun diyakini akan memberikan kerangka kebijakan yang kuat, sampai batas tertentu masih berupaya untuk memperpanjang penggunaan bahan bakar fosil dengan memasukkan teknologi CCS ke dalam opsi energi terbarukan.

Memahami Konteks Transisi yang Adil di Daerah Penghasil Batubara

Jakarta, 10 Mei 2023 – Upaya global untuk beralih dari sumber daya listrik berbasis fosil akan mengarah pada peralihan dari batu bara. Transisi ini tidak hanya membawa perubahan drastis pada sektor hulu yaitu produksi batubara, tetapi juga mata pencaharian dan aktivitas ekonomi di daerah penghasil batubara.

Srestha Banerjee, direktur program Just Transition iForest India, selama webinar berjudul “The Just Transition Toolbox for Coal Regions — Knowledge needs in the South-East-Asian context” menekankan bahwa masalah transisi lebih merupakan masalah politik daripada masalah teknis.

“India telah menunjuk gugus tugas untuk merancang solusi yang berpusat pada manusia untuk transisi batubara. Selain menggali kebutuhan masyarakat melalui dialog dan diskusi, kita perlu contoh praktik transisi yang baik untuk meningkatkan kepercayaan diri masyarakat,” jelas Srestha.

Indonesia, negara eksportir batu bara terbesar, mengalami ketidakpastian transisi batu bara yang mendukung agenda transisi energi berkeadilan. Seiring melonjaknya harga batubara dunia tahun lalu, Indonesia menghadapi dilema antara mengurangi produksi batubara atau tetap menjalankan bisnis seperti biasa.

Marlistya Citraningrum, manajer program Akses Energi Berkelanjutan, Institute for Essential Services Reform mengatakan, sejak tahun lalu pemerintah Indonesia mulai lebih mengandalkan energi terbarukan dalam perencanaan ketenagalistrikan PLN yaitu dokumen RUPTL, namun implementasinya masih menghadapi tantangan.

“Meninggalkan batu bara secara total dipandang sebagai pilihan yang jauh lebih sulit karena secara langsung akan berdampak pada situasi ekonomi dan pendapatan daerah,” katanya.

Citra, demikian ia biasa disapa, menambahkan bahwa pada tahap perencanaan, pemerintah perlu memahami konteks transisi dan dampaknya terhadap aspek sosial ekonomi. Mendengarkan secara aktif diperlukan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif.

Chalie Charoenlarpnopparut, associate professor, Sirindhorn International Institute of Technology, Thammasat University Thailand sepakat bahwa dialog akan menjadi kunci untuk menjembatani kesenjangan antara kebutuhan untuk mencapai target pengurangan emisi dan dampak sosial ekonomi dari meninggalkan batubara.

“Kita perlu memberi tahu masyarakat bahwa perubahan ini mutlak akan terjadi, dan kita perlu bersiap atau kita akan mengalami dampak negatif yang lebih besar dari transisi batubara,” kata Charlie.

Menyadari bahwa transisi energi dan transisi batubara khususnya merupakan masalah yang banyak bersifat teknis dan teknokratis, pengarusutamaan gender selama proses tersebut menjadi sangat penting. Chalie menambahkan, di Thailand, keterlibatan perempuan dalam masa transisi sudah mulai terlihat.

“Perempuan lebih memiliki sense of sustainability sehingga mereka lebih bersemangat untuk terlibat dalam suatu aksi. Sedangkan laki-laki lebih banyak terlibat dalam sisi penelitian dan akademik dalam transisi ini,” ujarnya.

Belajar Bagaimana AS Berupaya Meraih Peluang Menahan Laju Krisis Iklim

Jakarta, 13 September 2022 – Untuk memerangi krisis iklim, tindakan kita hari ini akan menentukan ekonomi, dan keberlanjutan umat manusia dalam jangka panjang. Laporan IPCC telah memberitahu kita bahwa waktu yang tersisa untuk kita dapat berupaya menahan suhu global pada 1,5 derajat celcius terbatas. Komitmen global untuk mengatasi perubahan iklim telah didorong melalui forum internasional.

Setelah bergabung kembali dengan Perjanjian Paris selama pemerintahan Biden – Harris, Amerika Serikat (AS) secara aktif mendorong warga dunia untuk mengatasi perubahan iklim melalui kebijakan dan perencanaan pembangunan strategis. Baru-baru ini, AS baru saja mengeluarkan peraturan baru yaitu Inflation Reduction Act (IRA) untuk mendorong pemanfaatan teknologi energi bersih. Target AS adalah mengurangi 50-52% emisi GRK pada tahun 2030 dan menggunakan 100% listrik bersih pada tahun 2035 sebelum menjadi nol emisi karbon pada tahun 2050.

Nathan Hultman, direktur Center for Global Sustainability University of Maryland, dalam sesi kuliah umum yang terselenggara atas kerja sama  Kantor Staf Presiden Indonesia, dan Institute for Essential Services Reform mengatakan bahwa ia yakin bahwa kita dapat mencapai tingkat 1,5 derajat.

“Kita telah membuat beberapa kemajuan dan masih di jalur 1,5 derajat. Namun bukan berarti pekerjaan kita telah selesai. Kita memiliki lebih banyak pekerjaan yang harus dilakukan terutama melalui kebijakan,” kata Nathan.

Nathan menekankan perlunya pendekatan multi-stakeholder dalam menangani keadaan darurat iklim melalui transisi energi. Ia menjelaskan, pemerintah pusat merupakan pemangku kepentingan penting dalam menentukan arah transisi energi. Namun, dalam transisi energi kita tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah nasional karena gagasan transisi energi harus dipahami dan dilaksanakan oleh banyak aktor termasuk pemerintah tingkat daerah dan bahkan sektor swasta.

“Misalnya di AS pada masa pemerintahan Trump tidak begitu banyak terjadi kemajuan (kebijakan iklim), tetapi ada beberapa kemajuan di tingkat sub-nasional yang mendorong kebijakan nasional di pemerintahan mendatang,” jelasnya.

Menyadari bahwa sebagian besar negara demokratis memiliki pemangku kepentingan yang sama, pendekatan ‘All in’ ini dapat diduplikasi di negara lain. Setiap negara berbeda, tetapi masing-masing dari kita memiliki kesempatan untuk berbuat lebih banyak.

Memainkan peran strategis sebagai pemimpin G20 tahun ini, Indonesia memiliki peran krusial dalam mencapai tujuan iklim global. Dengan mengajukan komitmen iklim yang lebih ambisius, mempercepat energi terbarukan ke dalam sistem, dan mengadopsi kendaraan listrik dalam jumlah besar, Indonesia dapat menginspirasi negara lain untuk menunjukkan tindakan nyata dalam mengatasi krisis iklim.

Setiap negara perlu mencari cara strategis untuk melakukan transisi, perlu untuk belajar dan menggali inspirasi dari negara lain. Komitmen global untuk mendukung pendanaan transisi energi harus dipenuhi untuk membantu negara-negara berkembang dalam menjalankan transisi dengan lancar.

Hageng Nugroho, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden menekankan peran kolaborasi global untuk mencapai target net zero.

“Indonesia berencana untuk menjadi net zero pada 2060, dan dalam mencapainya kita menghadapi beberapa kendala dari teknologi hingga pendanaan. Setidaknya ada empat hal yang harus dilakukan oleh suatu negara untuk menghindari dampak fatal krisis iklim. Pertama, memenuhi target NDC, mendorong partisipasi warga dan pemangku kepentingan potensial dalam transisi energi,   memperkuat kemitraan global, dan mendorong pembangunan ekonomi hijau,”

Hageng menambahkan, poin terpenting adalah memastikan komitmen itu diwujudkan dalam tindakan, bukan hanya pada level kebijakan.

Negara ASEAN Butuh Bergotong Royong untuk Transisi Energi

Jakarta, 29 Juli 2022 – Kawasan Asia Tenggara merupakan satu kawasan strategis dengan pertumbuhan ekonomi terbesar kedua di Asia setelah Cina. Asia Tenggara diprediksi akan terus berkembang secara ekonomi. Permintaan energi diprediksi juga akan terus naik. Dengan kondisi energi fosil masih banyak terdapat di kawasan Asia Tenggara diperlukan upaya bersama antar negara-negara di Asia Tenggara untuk mencapai dekarbonisasi tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi. 

Korea Selatan dan Cina yang menjadi investor berbagai proyek fosil khususnya PLTU batubara di kawasan Asia Tenggara telah berkomitmen untuk tidak lagi membiayai proyek PLTU di luar negeri pada tahun 2021. Komitmen ini diharapkan menjadi sinyal yang menggiring investasi energi terbarukan semakin masif.

Dongjae Oh, program lead for climate finance, Solutions for Our Climate (SFOC) dalam webinar bertajuk “The State of Southeast Asia Energy Transition” menyatakan bahwa komitmen Korea Selatan untuk tidak lagi membiayai PLTU batubara memang cukup mengejutkan namun ada hal lain yang patut diwaspadai terkait preferensi investasi Korea Selatan.

“Meski sudah menarik pendanaan untuk PLTU batubara, namun Korea Selatan tetap berinvestasi pada sektor minyak dan gas di kawasan Asia Tenggara dengan nilai 10 kali lipat yaitu sebesar $127 miliar dari investasi batubara yang hanya sebesar $10 miliar. Indonesia merupakan penerima investasi migas terbesar dari Korea Selatan,” jelas Dongjae.

Dongjae menambahkan bahwa gas dianggap oleh pemerintah Korea sebagai energi alternatif yang bersih untuk masa transisi. 

Cina juga mengumumkan tidak akan lagi membiayai proyek batubara di luar negeri pada September 2021. Sejumlah kebijakan baik luar maupun dalam negeri Cina mengalami perubahan sejak saat itu. Isabella Suarez, peneliti Center for Research on Energy and Clean Air, menjelaskan pemerintah Cina mulai memasukkan klausul tentang penghentian pembiayaan batubara pada UU mereka.

“Sejumlah bank lokal Cina juga mulai menyatakan bahwa mereka tidak akan lagi membiayai proyek batubara,” tambah Isabella.

Mundurnya Korea Selatan dan Cina dalam pembiayaan PLTU batubara diharapkan mendesak negara-negara ASEAN untuk mengembangkan energi terbarukan secara lebih masif. 

Sementara itu, situasi transisi energi di beberapa negara Asia Tenggara masih perlu banyak dorongan, dan insentif.

Handriyanti Diah Puspitarini, peneliti senior Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan situasi perkembangan transisi energi di Indonesia saat ini cukup lambat dan belum cukup untuk mengejar target mitigasi iklim untuk membatasi kenaikan suhu global pada level 1,5 derajat. 

“Jika Indonesia tidak melakukan sesuatu untuk mempercepat penetrasi energi terbarukan, menurut hitungan IESR pada tahun 2025 kita hanya akan mencapai 15% energi terbarukan pada bauran energi dan 23% pada tahun 2030,” jelas Handriyanti.

Handriyanti menekankan pentingnya pemerintah Indonesia untuk mencari model pendanaan dan memiliki political will yang konsisten dalam proses transisi energi Indonesia, mengingat proses transisi terjadi dalam waktu panjang dan membutuhkan dana yang tidak sedikit.

Mirip dengan situasi sektor ketenagalistrikan Indonesia, Filipina juga masih didominasi oleh energi fosil pada sektor kelistrikannya. Albert Dalusung, penasihat transisi energi, Institute for Climate and Sustainable Cities (ICSC) menyatakan saat ini pemerintah Filipina sedang fokus untuk mengurangi penggunaan minyak pada sektor transportasi dan mengembangkan energi terbarukan. 

“Presiden telah menyatakan bahwa energi terbarukan menjadi garda terdepan untuk agenda iklim, tingginya harga energi fosil juga membuat pemerintah mengubah kebijakan energi,” jelas Albert.

Negara tetangga Indonesia, Malaysia, memiliki target 31% energi terbarukan pada tahun 2025 dan mencapai status netral karbon pada 2050. Antony Tan, executive officer (Sustainability & Finance), All Party Parliamentary Group Malaysia on Sustainable Development Goals (APPGM – SDG), menyatakan bahwa saat ini Malaysia optimis dapat mencapai target tersebut.

“Namun ada hal yang perlu diperbaiki dalam kebijakan energi di Malaysia, yaitu perlu adanya kementerian energi secara spesifik serta kebijakan yang lebih holistik untuk mendesain sistem transportasi yang lebih berkelanjutan,” jelas Antony.