Transformasi Global Menuju Sistem Energi yang Lebih Bersih Harus Segera Diikuti PLN

Kendari, 7 Februari 2022 – Dunia sedang menghadapi perubahan besar merespon kenaikan suhu rata-rata bumi yang meningkat 1,1 derajat Celcius sejak masa pra-industri. Berbagai komitmen global disepakati untuk membatasi kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 2 derajat celcius pada pertengahan abad ini. Kenaikan suhu rata-rata bumi ini disebabkan oleh emisi karbon yang banyak dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil salah satunya pada sektor energi. 

Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisinya sebesar 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan bantuan asing, serta mencapai net-zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat. 

Dr. Kuntoro Mangkusubroto, pengamat energi senior, dalam Seminar Pertambangan, perayaan Hari Pers Nasional menyebutkan bahwa sektor energi memegang peran krusial untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

“Namun perlu diingat, bukan berarti urusan net-zero emission ini lantas menjadi beban PLN saja karena terkait dengan energi. Perlu kolaborasi berbagai pihak untuk memastikan target 2060 tercapai,” pungkasnya mengakhiri sambutan kunci.

PLN mempunyai peran besar dalam menciptakan pasar untuk energi terbarukan. Untuk mengejar target pemenuhan energi terbarukan perlu keterlibatan pihak swasta. Maka dari itu, kebijakan dan iklim investasi yang kondusif perlu untuk diupayakan.

Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM menyampaikan bahwa Indonesia masih selaras untuk memenuhi pencapaian komitmen perjanjian internasional, namun ada pilihan-pilihan untuk melakukan berbagai percepatan.

“Kita sudah menyusun peta jalan nasional untuk mencapai net-zero emission 2060, dan kita terus mengkaji pilihan-pilihan yang mungkin untuk diambil untuk mempercepat target-target yang ada,” tegasnya.

Khusus dari sektor ketenagalistrikan Evy Haryadi, Direktur Perencanaan Corporate PLN menyatakan bahwa pihaknya saat ini sedang berada dalam dilema. Di satu sisi, pembangkit listrik yang tersedia dengan harga terjangkau saat ini adalah pembangkit fosil (PLTU) yang menghasilkan emisi tinggi, untuk menggantinya dengan pembangkit energi terbarukan diperlukan investasi yang besar. 

“Kami melihat tren penurunan harga listrik dari energi terbarukan seperti surya dan angin saat ini berkisar antara 18-21 sen per kWh, dibanding dengan batubara (6-8 sen/kWh) untuk saat ini listrik dari energi terbarukan masih lebih mahal.”

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), mengingatkan bahwa PLN perlu cermat dalam melihat tren investasi di sektor kelistrikan. Sektor komersial dan industri menjadikan energi bersih sebagai kebutuhan utama dan prasyarat untuk berinvestasi di suatu negara.  

“PLTU batubara bukanlah pembangkit listrik termurah saat ini. Subsidi pemerintah melalui skema DMO (Domestic Market Obligation) yang membuat harga batubara tetap sebesar USD  70/ton, menjadikan harga listrik dari PLTU terlihat murah. Padahal harga batubara di pasar saat ini mencapai USD 150/ton,” jelasnya.

Fabby melanjutkan, jika harga batubara USD 150/ton diteruskan ke PLTU biaya pembangkitan listrik akan naik sebesar 32% – 61%. 

Disrupsi sistem energi sedang terjadi di seluruh dunia. Untuk menjamin kehandalan, keterjangkauan dan keberlanjutan sistem energi Indonesia, PLN harus melakukan transformasi. Transformasi ini juga akan mengurangi risiko aset terdampar bagi PLN dan IPP (Independent Power Producer). Seiring berkembangnya teknologi, diperkirakan dalam beberapa tahun ke depan biaya pembangunan PLTS beserta sistem penyimpanan energinya akan lebih murah daripada biaya operasional PLTU batubara. 

Untuk menuju tujuan bersama mencapai net-zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat, meningkatkan kapasitas energi terbarukan harus dilakukan. PLTU yang saat ini sedang beroperasi perlu dikelola dengan bijak dan secara bertahap dikurangi. Rencana pemerintah Indonesia untuk melakukan phase-down 9,2 GW PLTU batubara melalui skema Energy Transition Mechanism merupakan langkah tepat, namun pemerintah berkesempatan untuk membuat langkah yang lebih agresif.

Negara-Negara G20 Telah Memutakhirkan Ambisi Iklimnya Namun Belum Selaras dengan Target Persetujuan Paris

Tahun 2021 ditandai sebagai tahun kembali naiknya emisi terutama di negara-negara G20 seiring dengan dimulainya kembali aktivitas ekonomi dan sosial. Sebelumnya pada tahun 2020, emisi di negara-negara G20 tercatat mengalami penurunan karena adanya regulasi pemerintah tentang pembatasan kegiatan sosial untuk mengatasi wabah Covid-19. Laporan Transparansi Iklim (Climate Transparency Report) 2021 menemukan bahwa beberapa negara seperti Argentina, Cina, India, dan Indonesia diproyeksikan akan melampaui tingkat emisi 2019 mereka. Meski 14 negara G20 telah mengajukan target net-zero yang mencakup sekitar 61 persen emisi GRK di dunia, namun masih belum sejalan dengan jalur 1,5 derajat Celcius yang ditetapkan Paris Agreement. Dengan semakin sempitnya kesempatan untuk mengejar target Persetujuan Paris, negara-negara G20 perlu meningkatkan ambisi iklim mereka lebih tinggi lagi dan bergerak bersama untuk memerangi krisis iklim.

Laporan Transparansi Iklim merupakan laporan tahunan yang mengkaji ambisi dan kebijakan iklim negara-negara G20, mengungkapkan beberapa temuan kunci untuk laporan 2021 yang diluncurkan pada 14 Oktober 2021. Diantaranya adalah:

  • Ambisi Teranyar Belum Mematuhi Perjanjian Paris

Pada tahun 2021, 14 negara G20 memperbarui ambisi iklim mereka dan mengusulkan target net-zero emission. 13 NDC yang diperbarui telah diserahkan ke UNFCCC dan 6 dari negara-negara tersebut yaitu Argentina, Kanada, Uni Eropa (termasuk Prancis, Jerman dan Italia), Afrika Selatan, Inggris dan AS meningkatkan target NDC mereka. Sayangnya, semuanya belum cukup untuk memenuhi target 1,5 derajat. Dengan mengikuti ambisi saat ini, suhu global masih akan naik hingga 2,4 derajat. Upaya yang lebih menyeluruh dan melibatkan semua pihak sangat diperlukan untuk menjaga suhu global di level 1,5 derajat.

“Jika G20 menyelaraskan target dan kebijakannya dengan jalur satu setengah derajat dan menerapkan kebijakan tersebut, kesenjangan emisi global sekitar 23 gigaton dapat dikurangi secara signifikan,” kata Justine Holmes, Solutions For Our Climate menjelaskan.

  • Subsidi Bahan Bakar Fosil Masih Terus Dilakukan

Selama pemulihan ekonomi, sebagian besar negara G20 menyuntikkan subsidi untuk sektor bahan bakar fosil. Padahal, besaran subsidi BBM jauh lebih besar dari paket pemulihan hijau yang disiapkan pemerintah G20. Dari Januari 2020 hingga Agustus 2021 negara-negara G20 mengucurkan dana sebesar USD 298 miliar untuk mensubsidi industri bahan bakar fosil. USD 248 miliar dari USD 298 miliar mensubsidi sektor bahan bakar fosil tanpa syarat, artinya industri bahan bakar fosil tidak berkewajiban misalnya menurunkan emisinya, atau kesepakatan lain untuk mempertimbangkan lingkungan atau situasi perubahan iklim.


  • Emisi yang Kembali Naik

Saat aktivitas ekonomi dimulai kembali, emisi di negara G20 kembali meningkat. Total emisi pada tahun 2020 turun hingga 6% dan diproyeksikan meningkat 4% tahun ini. Negara-negara seperti Argentina, China, India, dan Indonesia bahkan diproyeksikan melampaui tingkat emisi 2019. Hal ini sebenarnya diprediksi, bahwa penurunan emisi pada tahun 2020 terkait erat dengan pembatasan aktivitas sosial selama wabah pandemi.

  • Penting untuk Segera Menghentikan Pembangkit Listrik Tenaga Batubara

Pembangkit listrik tenaga batu bara dikenal karena emisi karbonnya yang intens. Hingga 2020, China (163 GW), India (21 GW), Indonesia (18 GW), dan Turki (12 GW) masih memiliki pembangkit listrik tenaga batu bara. Semua anggota G20 perlu menghapus batubara antara tahun 2030 – 2040 untuk membatasi suhu rata-rata global hingga 1,5 derajat Celcius. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, dalam paparannya menjelaskan bahwa saat ini Indonesia masih didominasi oleh batubara dalam bauran energinya. Pada bulan Oktober, pemerintah Indonesia mengeluarkan RUPTL baru yang mengakomodasi lebih banyak porsi energi terbarukan daripada rencana pembangkit listrik termal, ditambah rencana PLN untuk menonaktifkan pembangkit listrik tenaga batubara superkritis mulai tahun 2030.

“Baru-baru ini kami juga membahas kemungkinan untuk melakukan moratorium batubara lebih awal sebelum tahun 2025 tetapi itu masih rencana, belum diselesaikan dan kami masih memberikan subsidi bahan bakar fosil. Penghapusan subsidi bahan bakar fosil akan membantu mempercepat transisi energi,” pungkasnya.

Krisis Energi di Inggris dan Eropa: Pembelajaran proses transisi energi di Indonesia

Siaran Tunda


Clean, Affordable, and Secure Energy (CASE) for Southeast Asia (SEA) adalah program regional yang berjalan di Indonesia, Thailand, Filipina, dan Vietnam. Tujuan CASE adalah untuk mengubah arah sektor energi di Asia Tenggara untuk secara substansial beralih ke transisi energi berbasis bukti, yang bertujuan untuk meningkatkan ambisi politik untuk mematuhi Perjanjian Paris.

Melalui CASE Indonesia, kami ingin mengadakan diskusi dengan pembicara dari Inggris, dan perwakilan Eropa untuk membahas apa yang terjadi dan apa pelajaran yang didapat. Indonesia tidak mengalami musim dingin dan ketergantungan pada gas alam. Namun, dengan lebih banyak pembangkit listrik intermiten (misalnya solar) yang direncanakan akan dipasang, pemerintah melihat untuk menggunakan pembangkit listrik berbahan bakar gas untuk menyeimbangkan intermittency ini. Kami juga berharap diskusi ini dapat membantu menentukan arah yang tepat untuk transisi energi Indonesia.


Materi Presentasi

Aquatera

Indonesia-briefing-on-UK-energy-prices-and-offshore-wind-prospects-rev-3.pptx

Download

Agora Energiewende

2021-10-11_Energy_crunch_pescia

Download

ECA

20211008_820_ECA-Energy-Crisis-Slides_v3

Download

 

Potensi Dampak Risiko Iklim dan Finansial pada Sektor Perbankan Indonesia, Apabila Batubara menjadi Aset Terdampar

Isu Krusial untuk dibahas pada KTT G20

 

Berdasarkan Gugus Tugas Pengungkapan Keuangan Terkait Iklim (Task Force on Climate-related Financial Disclosures/TCFD), risiko transisi merupakan salah satu risiko keuangan yang dapat timbul dari proses penyesuaian menuju ekonomi rendah karbon, baik dari sisi kebijakan/legalitas, teknologi, pasar, dan reputasi. Salah satu dampak finansial dari risiko tersebut adalah aset terdampar, di mana aset mengalami devaluasi bahkan menjadi tidak dapat digunakan. Sebagai negara penghasil batu bara, kajian ini dapat menjadi pengingat bagi Indonesia yang berisiko merugi jika tidak mempertimbangkan potensi nilai aset terdampar (stranded assets) di masa mendatang. Oleh karena itu, semua pihak terutama investor dan lembaga keuangan harus memperhatikan risiko ini dan berhati-hati dalam mengambil keputusan investasi. 

Kontribusi batubara dalam bauran energi nasional masih tinggi. Dengan sektor ketenagalistrikan yang masih menjadi konsumen batubara domestik terbesar, pemerintah masih enggan beranjak dari pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU). PLTU kemungkinan akan menjadi aset terdampar karena biaya investasi yang lebih kompetitif dari teknologi pembangkit listrik energi terbarukan. Dengan adanya prioritas harga termurah (merit order) maka utilisasi PLTU dalam sistem tenaga listrik akan berkurang.

Pemerintah juga masih melihat industri hilir batubara sebagai peluang yang menarik untuk meningkatkan nilai tambah batu bara. Padahal, industri ini kemungkinan akan menimbulkan risiko aset terdampar di masa depan, karena kelayakan ekonomi dari proyek-proyek ini masih diragukan dengan perlunya berbagai insentif dari pemerintah. Industri hulu/pertambangan batubara juga berpotensi menjadi aset terdampar dimana cadangan batubara yang ada seharusnya tidak lagi di eksploitasi. 

Aset terdampar dari industri batubara secara langsung akan berdampak negatif pada sektor keuangan yang terlibat dalam pembiayaan proyek-proyek tersebut. Tren global yang menjauh dari proyek pembiayaan batubara diperkirakan akan meningkatkan permintaan sumber pembiayaan dalam negeri, termasuk dari sektor perbankan. Hal ini dapat semakin meningkatkan risiko dan dampak terhadap sistem keuangan domestik. Lebih lanjut, jika risiko ini tidak dikelola dengan baik, dapat berdampak lebih luas pada stabilitas keuangan melalui berbagai mekanisme transmisi.

Menanggapi munculnya risiko terkait iklim (climate-related risk), pemerintah Indonesia telah mengembangkan kebijakan dan peraturan untuk mendorong keuangan berkelanjutan. Namun dalam pelaksanaannya masih difokuskan pada upaya memanfaatkan peluang yang muncul. Sementara itu, upaya mitigasi risiko masih rendah. Indonesia harus mulai menggali pelajaran dari respon yang telah dilakukan di tingkat global untuk meningkatkan pemanfaatan keuangan berkelanjutan menuju mitigasi iklim. 

Kajian ini merekomendasikan berbagai pemangku kepentingan untuk menghindari risiko aset terdampar dari proyek batubara. Pemerintah harus memberikan sinyal yang jelas dalam menerapkan kebijakan iklim agar pelaku ekonomi dapat mengantisipasinya. Bank sentral dan regulator keuangan harus melakukan penelitian komprehensif seperti penilaian risiko keuangan terkait iklim, dan mengungkapkannya dengan mengikuti rekomendasi TCFD. Sementara itu, lembaga keuangan/investor harus mengelola investasi dan portofolio yang terpapar risiko terkait iklim, serta mengungkapkan informasi risiko tersebut kepada publik. Informasi ini penting untuk menghindari kesalahan harga atau nilai aset, yang mengarah pada mis-alokasi modal.

Risiko transisi bukan merupakan masalah satu negara saja, sehingga perlu juga di arusutamaan melalui berbagai cara termasuk melalui forum diskusi internasional. Momentum kepemimpinan Indonesia pada KTT G20 2022 dan Menkeu RI sebagai co-chair Coalition of Finance Ministers for Climate Action 2021-2023 dapat digunakan sebagai media diskusi dan meningkatkan kesadaran negara-negara global terhadap masalah ini.

Are coal power plants the best option to provide electricity? A Climate perspective

The vice minister of Ministry of Environment and Forestry of Indonesia, Alue Dohong, leading the Indonesian delegation at COP 25 Madrid, 2-15 December 2019

The Government of Indonesia will stay committed to the implementation of the Paris Agreement. At least, it is the message that the Indonesian delegate wishes to communicate in the UNFCCC-COP25 in Madrid last December. Despite the critics that the COP 25 is not successful because the world has failed to come to an agreement, especially in article 6 of the Paris Agreement, Indonesia’s vice minister is positive that Indonesia as a country has gained success in the negotiation. One of the evidence he later provided is that Indonesia is among the countries that promote renewable energy as a key mitigation activity in the energy sector to fulfill the NDC[1].

But how does Indonesia contribute to the climate mitigation goal, especially in the energy sector? With the ratification of the Paris Agreement through Law no. 16/2016, Indonesia is committed to limit global warming below 20C. However, is our commitment explained in the Nationally Determined Contribution (NDC) target enough? Let us have a closer look at this document.

The latest report from Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)[2] states that the commitment to limit global warming below 1.50C means that the world should see a greenhouse gas (GHG) emission peak before 2030 and achieve the net-zero emission by 2050. Indonesia NDC targeted a 29% reduction of GHG emission by 2030 against Business as Usual (BAU) scenario and an additional 12% if there is international support toward mitigation efforts. In numbers, these targets are actually translated into an increase of total GHG emission from 1334 Mton CO2e in 2010 into 2034 and 1784 Mton CO2e in 2030 (without and with international support respectively). The energy sector contributes to 67-71% of the total GHG emission in 2030. Compared to its 2010 level, the energy sector emission grows by three times even if Indonesia achieved its NDC. The power sector shares the highest GHG emission in the energy sector, and the coal power plant is the source of 70% of the power sector GHG emission[3].

A quick assessment by distributing the 1.50C GHG emission limit proportionately to each sector show that Indonesia should limit their GHG emission from coal power plant into 182 Mton CO2e by 2020, 112 Mton CO2e by 2030 and achieve net-zero emission before 2050 (possibly by 2047). On the other hand, the current RUPTL is planning to add 27 GW of coal power plant up to 2028, which will increase the GHG emission from coal power plant from 192 Mton CO2e into 301.3 Mton CO2e[4]. The large gap between 1.50C GHG emission limit with PLN projection for coal power plant emission suggests that, contrary to current RUPTL, Indonesia should not build any new coal power plant and would need to carry out a phase-out plan in the next few years.

GHG emission from coal power plants with moratoria of new coal plant and coal phase out policies (based on 20 years of lifetime) implemented. Source: IESR

GHG emission from coal power plants with moratoria of new coal plant and coal phase-out policies (based on 20 years of lifetime) implemented. Source: IESR

So what is (are) the policy (policies) that can help Indonesia to meet climate goals in the power sector? By using a specific emission factor from IEA, we could estimate a GHG emission from the coal power plant. Using combination of phase-out policy, moratoria on new coal power plant, and efficiency improvement in our model, we found that a combination of moratoria on new coal plant and phase-out strategy (based on 20 years lifetime of coal power plant) are the policy options that could bring Indonesia back on track in achieving the 1.5 C climate target. Consequences of these policies are that PLN has to shut down their oldest coal power plant (Suralaya 1-4 & Paiton 1-2) by 2020. By 2030, PLN has to phase-out 30% of its current capacity while only allowing coal power plant that is currently under construction and has received PPA contract to be built, and by 2048 all coal power plant should not operate anymore[5]

Following through with this policy scenario will require multi-sectoral consideration. In the power sector, the government will have to build a strategy on integrating more renewable energy sources and mitigating economic losses in the coal power plant. It is a major task, as the current power system structure, and the market might not be able to support a quick transition. As a vertically integrated utility and a single off-taker of electricity, PLN would probably bear the majority of the losses. A moratorium on new coal plant would be necessary to cut the possible losses for PLN in the future.

In a broader sense, less coal power plant means less coal is needed. The coal industry, thus, will be impacted, as well as the provinces where this coal industry is located. The coal industry is the backbone of the economy in the four coal-producing provinces: East Kalimantan, South Kalimantan, Central Kalimantan, and South Sumatera. About 35% of GDP in East Kalimantan in 2017 is coming from the coal sector[6]. This is not counting the multiplier effect of the coal industry for other sectors.

On the national level, Indonesia would also have to diversify its economies so as not to rely on coal export to balance the trade deficit. The government should identify key potential industry/sector to be developed in the near futures, which could replace the possibly declining coal export revenue. It is a significant task for the government and Indonesia to pave a way that could minimize adverse impacts from such a plan. Ultimately, the decision will be in the hand of the government and has to be made soon.

 

[1] https://news.detik.com/berita/d-4842063/indonesia-bicara-keberhasilan-pada-konferensi-perubahan-iklim-di-madrid/1

[2] https://www.ipcc.ch/sr15/

[3] Analyzed from GHG Emission Inventory MEMR

[4] PLN RUPTL 2019/2028

[5] IESR Discussion paper 2019 https://iesr.or.id/pustaka/implikasi-paris-agreement-terhadap-masa-depan-pltu-indonesia/

[6] IESR Study report 2019 https://iesr.or.id/pustaka/indonesias-coal-dynamic-full-report/

JawaPos | IESR Dorong Pemanfaatan Batu Bara untuk Kebutuhan Domestik

20 Januari 2020, 18:23:46 WIB

JawaPos.com – Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menyebutkan bahwa saat ini banyak negara yang berlomba-lomba untuk memanfaatkan cadangan batu bara. Pasalnya, saat ini sedang terjadi transisi dari pemanfaatan energi fosil menjadi energi terbarukan.

“Ada transisi dari fosil fuel ke renewable (atau) energi terbarukan. Negara-negara yang menjadi tujuan ekspor kita beberapa juga punya batu bara, seperti Tiongkok dan India. Negara-negara tersebut juga ingin memanfaatkan batu bara mereka karena mereka tahu waktu pemanfaatan batu bara itu tinggal sedikit,” jelasnya di Balai Kartini, Jakarta, Senin (20/1).

Ia menyebutkan bahwa saat ini, dua negara tersebut tengah melakukan pembatasan ekspor. Tentu mereka ingin memanfaatkan batu bara sebagai energi alternatif di luar gas ataupun liquid natural gas (LNG).

“Jadi, mereka mencoba memodifikasi sumber daya alam, makanya sekarang Tiongkok atau India mengurangi ekspornya. Ini akan menjadi tren baru menurut saya,” tuturnya.

Indonesia diketahui sebagai salah satu pemain batu bara terbesar di dunia. Pada 2019 lalu produksi yang dihasilkan lebih dari 400 juta ton. Padahal, produksi untuk batu bara telah dibatasi oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

“Paling tidak kita bisa melihat dan regulasi itu tidak konsisten, seperti rencana energi nasional itu dengan tegas mengatakan membatasi produksi batu bara 400 juta ton di 2019. Kenapa perlu dibatasi? karena dampak pertambangan itu sangat dahsyat,” terangnya.

Di sisi lain, ada negara-negara yang terus menggenjot ekspor batu bara. “Rusia yang melakukan ekspor di sejumlah bagian di Asia Selatan. Afrika Selatan dan Kolombia juga masuk ke pasar Asia. Artinya produk batu bara Indonesia menghadapi saingan di pasar-pasar yang didominasi oleh Indonesia,” katanya.

Artikel asli

Reportase: Launching Coal Study with Climate Transparency, 1 April 2019

Sebagai mitra dari Climate Transparency – sebuah kemitraan Internasional yang terdiri dari lembaga think tank dan NGO dari negara-negara anggota G20, IESR meluncurkan laporan hasil studi mengenai batubara. Dengan bertajuk International Seminar on Global Energy Transition and The Future of Coal, studi yang berjudul Dinamika Batu Bara Indonesia: Menuju Transisi Energi yang Adil ini diluncurkan di Hotel Ashley Jakarta pada tanggal 01 April 2019.

Seminar ini terdiri dari tiga sesi:

  1. Transisi Energi yang Adil: Aspek Energi, Iklim dan Pembangunan Ekonomi
  2. Pengalaman Internasional dari Transisi Energi yang Adil
  3. Agenda Transisi Energi dan Perubahan Iklim dalam Konferensi Tingkat Tinggi G20D

Temuan Kunci

Dimoderatori oleh Dr. Suzanty Sitorus, sesi pertama dibuka oleh Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR yang memaparkan hasil studi IESR. Studi ini menyoroti dinamika batubara di Indonesia, yang menyimpulkan bahwa transisi batubara tidak dapat dihindari. Secara spesifik, studi ini ingin memotret apa saja tantangan transisi energi di Indonesia dari sudut pandang industri batu bara dan apa saja fakor pendorong agar Indonesia melakukan transisi energi, dari batubara khususnya.

Berikut adalah tantangan yang dihadapi Indonesia untuk dapat melakukan transisi energi:

  1. Industri batubara erat kaitannya dengan kepentingan politik.
  2. Adanya berbagai bentuk dukungan dari pemerintah, baik secara finansial ataupun regulasi yang dikeluarkan, untuk industri batubara dan PLTU.
  3. Adanya inkonsistensi pelaksanaan regulasi, dimana regulasi yang baru-baru ini diberlakukan cenderung mendorong pemanfaatan batubara sebagai sumber tenaga listrik negara.
  4. Adanya pemberian dukungan finansial, secara langsung maupun tidak langsung, yang kemudian dapat dikategorikan sebagai subsidi dari pemerintah.
  5. Pembuat kebijakan dan perusahaan pembangkit listrik menganggap batubara sebagai sumber energi yang murah untuk tenaga listrik negara.

Meskipun demikian, terdapat beberapa faktor pendukung agar Indonesia melakukan transisi energi, yaitu:

  1. Adanya risiko ketika Indonesia menggantungkan perekonomiannya terhadap ekspor batubara, mengingat harga batubara global yang berfluktuasi dan adanya volatilitas permintaan batubara secara global. Hal ini menjadi penting karena tren penggunaan batubara di negara-negara tujuan ekspor batubara Indonesia akan menurun untuk ke depannya.
  2. Levelized Cost of Electricity (LCOE) dari PLTA, PLTP dan PLTS pada tahun 2020 akan sama dengan LCOE dari PLTU dengan teknologi ultra-super critical.
  3. Adanya inefisiensi pertambangan batubara dan PLTU karena meningkatnya biaya yang dikeluarkan untuk mengekstraksi batubara.

Pada kesempatan ini IESR juga menghadirkan tim penanggap ahli dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia, mereka menyepakati bahwa memang tren ekspor batubara ke depannya akan menurun sehingga pada saat ini industri batubara sedang bertransformasi untuk meningkatkan nilai tambah dari produk batubara yang dihasilkannya. Menanggapi potensi produksi nasional batubara yang meningkat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan, ke depannya, penting untuk memasukkan jumlah emisi dari industri batubara ke dalam perhitungan NDC (Nationally Determined Contribution) Indonesia mengingat potensi peningkatan emisi dari industri batubara.

Studi di Tiga Negara: Afrika Selatan, India, China

Setelah melihat dinamika batubara di Indonesia, perlu untuk melihat bagaimana cerita dari negara lain terkait transisi energi yang adil dari batubara. Hannah Schindler dari Climate Transparency memandu diskusi di sesi kedua dengan menghadirkan panelis dari empat negara. Ursula F. Hutfilter dari Climate Analytics (Germany) memaparkan Paris Agreement sebagai latar belakang untuk melakukan transisi energi secara global. Transisi energi di sector ketenagalistrikan memiliki pengaruh yang besar dalam mencapai target yang tercantum dalam Paris Agreement, dimana sektor ini harus sepenuhnya di-dekarbonisasi sebelum 2050. Dengan kata lain, penggunaan batubara dalam pembangkit listrik harus dihentikan secara global sebelum 2050.

Alvin Lin dari Natural Resources Defence Council (China) menceritakan bahwa energi terbarukan saat ini sudah kompetitif dibandingkan dengan batubara di Cina. Bahkan Pemerintah China telah memiliki perencanaan dalam lima tahun untuk mengurangi kapasitas produksi batubara sebanyak 500 juta ton. Salah satu industri yang akan terkena dampaknya adalah industri besi baja yang harus mengurangi kapasitasnya sebanyak 150 juta ton. Situasi yang sama pun terjadi di India, dimana energi terbarukan sudah menarik secara keekonomian di India. Lebih lanjut, Thomas Spencer dari The Energy and Resources Institute (India) menyatakan bahwa India pun sedang mengalami surplus kapasitas produksi batubara. Transisi dari sector batubara pun saat ini terjadi di Afrika Selatan. Menurut Bryce McCall dari Energy Research Center (Afrika Selatan), Serikat Pekerja di Afrika Selatan justru mendorong pemerintah untuk melakukan banyak diskusi dengan mereka terkait transisi tenaga kerja dari sektor pertambangan.

Isu Transisi Energi di KTT G20

Sebagai kemitraan yang menilai aksi iklim dari negara G20, perlu dilihat bagaimana isu transisi energi ini dibicarakan dalam pertemuan-pertemuan G20, termasuk Konferensi Tingkat Tinggi G20 yang akan diadakan di Jepang pada tanggal 28-29 Juni 2019. Dengan demikian, Suzanty Sitorus memandu diskusi di sesi ketiga dengan menghadirkan panelis dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (sebagai tim G20 Sherpa) serta dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (sebagai perwakilan dari Indonesia dalam Energy Transition Working Group). Kedua panelis ini sepakat menyatakan bahwa green fuel adalah suatu bentuk alternatif energi dalam proses transisi energi dari bahan bakar fosil menjadi energi terbarukan. Indonesia tetap akan mempromosikan green fuel (bio-diesel dan green-diesel) dalam Konferensi Tingkat Tinggi G20 pada akhir Juni ini. Konteks green fuel di sini adalah untuk mempromosikan minyak kelapa sawit sebagai energi terbarukan.

Dengan adanya studi mengenai dinamika batubara ini, menurut Erina Mursanti, Program Manager Green Economy dari IESR, diharapkan Pemerintah Indonesia dapat memperhitungkan batubara dalam isu transisi energi di Indonesia. Dengan demikian, diharapkan pemerintah dapat menyiapkan seperangkat regulasi yang mendukung Indonesia untuk melakukan transisi energi yang adil dari batubara ke sumber energi yang terbarukan sehingga dapat meminimalisir konflik yang mungkin akan terjadi.

Clean Energy Poses Challenge to Coal-Reliant Indonesia

Stefanno Reinard Sulaiman
The Jakarta Post
Jakarta   /   Wed, April 17, 2019   /  08:01 am

The government, which is highly dependent on coal for power generation, will be facing challenges from consumers as more and more people are shifting to clean energy, an energy expert says.

Fabby Tumiwa, the executive director of local energy think tank the Institute for Essential Service Reform (IESR), made the statement after the institute published a report titled “Indonesia’s Coal Dynamics: Toward a Just Energy Transition” recently.

In its report, the IESR concludes that two types of renewable energy will be cheaper than coal-generated electricity by 2030 and wind power will be on par with coal by 2050.

“For example, the price of solar photovoltaic [PV] electricity in 2030 will stand at 4.69 US cents per kilowatt hours [kWh], while the price of coal will stand at 5.15 to 5.25 US cents per kWh,” he said.

“In other words, PLN [the state electricity firm] will lose customers soon even though the demand is growing.”

PLN’s latest 10-year electricity plan, which is called the electricity procurement plan (RUPTL), for the  2019 to 2028 period states that projected electricity consumption growth this year will stand at 6.4 percent, which is 0.46 percent lower than its previous plan.

Even though the procurement plan has been revised, it is still being seen as “too ambitious”, because a calculation from a global energy think tank, the Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), recorded that the average demand growth in the last five years (2013 to 2018) stood at only 4.6 percent.

Aside from losing customers, Fabby said, PLN also faced another problem related to its coal-fired power plants (PLTU) — assets that could not be operated optimally due to an electricity oversupply.

“In Indonesia, we calculated that in 10 years from now there will be an overcapacity of 13.3 gigawatts (GW) on the Java-Bali power grid with the total investment standing at US$12.7 billion,” he said, referring to a recent study by the IESR, Monash University Malaysia Campus and German energy think tank Agora Energiewende.

In its latest plan, PLN is also still heavily reliant on coal as the projection share in its electricity energy mix in 2025 will stand at 54.6 percent or 0.2 percent higher than the previous plan, while renewable energy remains at 23 percent.

It is contrary to the global movement to phase out coal, especially in Europe and even some Asian giants like China and India, which have slashed their coal consumption, including in the electricity sector.

“This is a [downward] trend [of phasing out coal power plants] that should have been anticipated by our government, especially in line with the agreement to cut greenhouse gas emissions to below 2 percent,” he said, adding that to reach that climate goal, Indonesia had to stop building new PLTUs starting next year.

A recent report from the International Energy Agency (IEA) stated that global coal demand will only increase slightly from this year until 2023, with China’s coal demand to decrease 2.8 percent from 2.7 billion tons to 2.6 billion tons in 2023 due to air pollution concerns.

China was Indonesia’s biggest coal export market with an annual output of around 110 to 120 million tons or around a 25 percent share of Indonesia’s export market, according to the Indonesian Coal Mining Association (APBI).

Meanwhile, India — Indonesia’s second biggest market — is predicted to cut coal imports from Indonesia due to higher domestic coal production because the IEA predicted that India’s coal import volume would be down 13.4 percent from total consumption in 2022 and 2023.

Therefore, the IEA predicted that coal exports from Indonesia would decrease 15.7 percent by 2023. It is well-known that 80 percent of Indonesia’s coal production is for the export market.

The APBI’s executive director, Hendra Sinadia, said the possibilities to expand coal exports, especially to Asian countries, were still wide open as some of the markets were only beginning to operate their PLTUs, which could last 25 to 30 years.

“Vietnam is currently developing massive PLTUs, of which 100 percent of the coal is from us. So, the government should have a perspective on the political side before taking any decision on cutting coal exports,” he said.

Hendra is criticizing one of the plans to cut coal exports gradually in the General Planning for National Energy (RUEN), which stipulates that Indonesia is committed to stopping coal exports no later than 2046.

The Energy and Mineral Resources Ministry’s mineral business supervision director, Muhammad Wafid, confirmed the coal export-termination plan by 2046, saying the government had been pushing since 2009 for an increase in domestic coal consumption.

“We still absorb coal for the electricity sector, but we are also pushing for a diversification program for coal, such as transforming it into gas as a substitute for liquefied petroleum gas [LPG],” he said, referring to a type of fuel called dimethyl ether.

The program was started last year by state coal miner PT Bukit Asam and state energy holding company Pertamina, which inked a partnership deal with United States-based chemical firm Air Products and Chemicals Inc. for coal gasification.

This Article originally Published at The Jakarta Post