Setelah Inventarisasi Global COP28: Mendekarbonisasi Sektor Energi di Asia Tenggara Menuju Pasca Visi ASEAN 2025

Jakarta, 26 April 2024 – COP28 telah mengadopsi hasil Global Stocktake Pertama (GST1) di proses UNFCCC yang menilai progres Persetujuan Paris (2015) melalui inventarisasi dan menilai kebijakan iklim negara Nationally Determined Contributions (NDCs). Hasilnya, jika semua komitmen iklim negara pihak UNFCCC dilaksakan, temperature suhu global akan mencapai 2.1 to 2.8 derajat Celsius. Meskipun saat ini kebijakan iklim tidak cukup untuk mengatasi permasalahan iklim globa, mendorong dekarbonisasi sektor industri termasuk sektor pembangkit, transportasi, dan bangunan hingga pertengahan abad ini dapat berkontribusi terhadap aksi mitigasi perubahan iklim, mempertimbangkan sektor energi berkontribusi terhadap emisi global sebesar 79% (IPCC AR6 Report, 2023).

Sebagai negara pihak UNFCCC, Negara Anggota ASEAN (AMS) juga telah sepakat untuk mendukung transisi yang adil, teratur dan terukur dari bahan bakar fosil dalam sistem energi. Termasuk meningkatkan energi terbarukan hingga tiga kali lipat dan menggandakan efisiensi energi pada tahun 2030, menghentikan penggunaan batu bara secara bertahap, menghapus subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien, dan mengurangi emisi dari sektor transportasi. Hasil GST Pertama ini dapat digunakan sebagai titik tolak untuk memperkuat progres regional menuju target energi terbarukan yang lebih ambisius dalam Visi ASEAN Pasca 2025.

Meskipun negara-negara AMS telah menunjukkan komitmen mereka terhadap isu-isu transisi iklim dan energi, dukungan AMS terhadap agenda transisi energi yang sejalan dengan Perjanjian Paris dapat lebih diperkuat dengan ambisi yang lebih besar (Eco, 2022-24). Merujuk laporan IRENA (2022), ASEAN memiliki potensi energi terbarukan yang signifikan yaitu sekitar 17 Terawatt. ASEAN dapat mencapai kondisi net-zero dengan 90% – 100% energi terbarukan pada tahun 2050 (IRENA dan ACE, 2022). 

Meskipun Asia Tenggara ini memiliki potensi energi terbarukan yang signifikan, perlu dicatat bahwa Rencana Aksi Kerja Sama ASEAN di Bidang Energi (APAEC) (2016-2025) menetapkan target relatif mudah dicapai yaitu 35% kapasitas terpasang (installed capacity) dan 23% bauran energi (energy mix) pada tahun 2025. Saat ini, hanya 28,2 GW tenaga surya dan angin skala utilitas yang dihasilkan di ASEAN (GEM, 2024), yang menunjukkan bahwa potensi energi terbarukan di kawasan ini sebagian besar masih belum dimanfaatkan.

Perlu juga dicatat bahwa beberapa Negara Anggota ASEAN (AMS), seperti Vietnam, Singapura, Indonesia, Filipina, dan Thailand, memiliki kebijakan yang memberi ruang bagi bahan bakar fosil terus berkembang (Climate Action Tracker, 2024), termasuk pengembangan pembangkit listrik tenaga batu bara, yang menyumbang sekitar 13 GW dari 18,8 GW PLTU baru yang ada di project pipeline (Mongabay, 2023), dan tetap mengizinkan pembangunan PLTU hingga tahun 2030 (Climate Home News, 2023). Meskipun demikian, masih terdapat ruang untuk perbaikan dan percepatan dalam implementasi transisi energi ASEAN. 

Sebagai tambahan, Asia Tenggara sedang mengembangkan visi ASEAN yang lebih terintegrasi (ASEAN, 2025) dan untuk selaras dengan Perjanjian Paris, gagasan mengenai target energi terbarukan yang lebih ambisius dapat bermanfaat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Transisi energi di kawasan dapat menghasilkan kemanfaatn ekonomi bagi kawasan USD 90 hingga 100 miliar dari produksi yang terkait transisi energi dan sekaligus menciptakan lapangan kerja (ADB, 2023).

Dalam Visi ASEAN 2025, istilah “perubahan iklim” hanya disebut satu kali dan masih dinilai belum menjadi prioritas. Harapannya, pada Visi ASEAN yang baru, isu perubahan iklim dan transisi energi dapat dinilai sebagai isu strategis dan prioritas, mengingat urgensi dan damapak yang dapat diberikan kepada pertumbuhan ekonomi kawasan (IRENA, 2023). Visi ASEAN yang baru akan menjadi panduan untuk mengembangkan kebijakan di tingkat Kawasan atau nasional.

Di sisi lain, pengembangan ASEAN Long-Term Renewable Energy Roadmap (ACE, 2023) merupakan langkah positif untuk menyelaraskan pencapaian target energi terbarukan kolektif yang lebih terarah dan ambisius. Namun, perlu dicatat bahwa dalam dokumen perencanaan energi regional masih terdapat ruang untuk Clean Coal Technology (termasuk CCUS) yang keekonomian, keefektifan, dan keamanannya masih dipertanyakan (CNBC, 2021) dan berpotensi menyebabkan carbon lock-in.

Jalan menuju percepatan transisi energi dan peningkatan target energi terbarukan di ASEAN masih panjang, dengan banyak tantangan yang harus diselesaikan baik dari sisi desain kebijakan, implementasi, termasuk sumber pendanaan. Namun, terdapat potensi besar untuk pertumbuhan ekonomi dari sector energi, termasuk pasar penyimpanan energi (Mordor Intelligence, 2023), pasar kendaraan listrik (FDI Intelligence, 2023), dan manufaktur PV surya (REGlobal, 2023). Akan sangat bermanfaat bagi ASEAN untuk mempertimbangkan memasukkan hasil GST1 ke dalam visi regional yang menekankan pembangunan hijau dan rendah karbon, serta target energi terbarukan yang lebih ambisius. Hal ini dapat membantu mencapai manfaat ekonomi yang optimal pada saat yang penting ini.

Jakarta Post | Seruan Dukungan Indonesia di COP28 Menunjukkan Komitmen ‘Tidak Ada yang Baru’

Seruan Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk lebih banyak dukungan dari negara-negara kaya bagi negara-negara berkembang dalam mengatasi krisis iklim telah membuat para pencinta lingkungan tidak terkesan. Mereka mengkritik pidato tersebut karena “tidak memberikan sesuatu yang baru” meskipun dunia telah memberikan tekanan kepada negara-negara untuk melakukan lebih banyak hal untuk menghindari dampak terburuk dari krisis tersebut.

Baca selengkapnya di Jakarta Post.

Ambisi Penurunan Emisi Indonesia Perlu Semakin Meningkat

press release

Jakarta, 4 Desember 2023 – Institute for Essential Services Reform (IESR) mengharapkan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (Conference of the Parties, COP-28) dapat memperkuat  komitmen semua negara, termasuk Indonesia, untuk memangkas emisi gas rumah kaca di 2030. Sesuai hasil Global Stocktake, janji dan realisasi penurunan emisi masih jauh untuk mencapai target Paris Agreement. Untuk itu, pasca COP-28 semua negara perlu meninjau kembali Nationally Determined Contribution (NDC)-nya serta membuat target mitigasi krisis iklim yang lebih ambisius.  

Presiden Joko Widodo (Jokowi), dalam sambutannya di COP-28 menyampaikan Indonesia berkomitmen untuk mencapai net zero emission (NZE) di 2060 atau lebih awal. Untuk itu, Jokowi berharap melalui COP-28 dapat terbangun kerjasama dan kolaborasi inklusif untuk mendukung pencapaian NZE tersebut. Ia menjelaskan Indonesia sedang mempercepat transisi energi, dengan pengembangan energi terbarukan, dan menurunkan penggunaan PLTU batubara. Upaya mencapai target NZE 2060 membutuhkan pembiayaan yang besar, lebih dari USD 1 triliun. Ia mengundang lebih banyak kolaborasi dan investasi untuk menyokong pembiayaan transisi energi yang berbunga rendah. Menurutnya, menuntaskan masalah pendanaan transisi energi merupakan cara menyelesaikan masalah dunia.

Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang investasi yang besar untuk bertransisi energi perlu didukung dengan kebijakan yang mendukung. Indonesia semestinya dapat mengeluarkan kebijakan dan komitmen yang lebih ambisius dengan semakin sempitnya waktu untuk membatasi suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius sesuai Persetujuan Paris. Berdasarkan laporan diskusi Inventarisasi Global atau Global Stocktake UNFCCC tahun 2023, komitmen negara-negara di dunia yang tercantum pada NDC-nya tidak sejalan dengan Persetujuan Paris. Hal ini akan menyulitkan upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca global sebesar 43 persen di 2030 dari tingkat emisi 2010  dan 60 persen di 2035 dan nir emisi pada 2050. Tidak hanya itu, dengan target NDC yang disampaikan pada COP27, suhu bumi pada 2050 diperkirakan melampaui target Persetujuan Paris.

“Indonesia perlu menyampaikan target penurunan emisi yang lebih ambisius dan peningkatan resiliensi terhadap perubahan iklim dalam Second NDC (SNDC) yang rencananya akan disampaikan 2025. Agar selaras dengan target 1,5°C, tingkat emisi pada 2030 harus maksimal 850 juta ton untuk seluruh sektor. Sementara itu, di sektor kelistrikan, transisi energi ditandai dengan target 44% bauran energi terbarukan di 2030. Meskipun target bauran energi terbarukan tersebut tercapai, belum dapat membuat emisi sektor kelistrikan mencapai level di bawah 200 juta ton CO2, sesuai dengan jalur 1,5°C. Untuk itu, selain penambahan energi terbarukan, masih diperlukan pengakhiran operasi PLTU, 8 sampai 9 GW sebelum 2030 untuk menurunkan emisi pada level tersebut,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR. 

Pada 2025, Indonesia perlu meningkatkan ambisinya dalam Enhanced NDC yang saat ini hanya membidik target penurunan emisi sebesar 31,89% dengan upaya sendiri  (unconditional) dan 43,2% dengan bantuan internasional (conditional) pada tahun 2030. Target ini dibuat dengan membandingkan proyeksi business as usual (BAU) 2010. Sementara,  IESR, dengan menggunakan proyeksi dari data emisi tahun 2020, menemukan bahwa Indonesia dapat menetapkan target ambisi iklim tanpa syarat (unconditional NDC) sebesar 26% hingga 2030. Peningkatan target ambisi ini lebih tinggi dari target saat ini dan bertujuan agar Pemerintah Indonesia dapat tetap menetapkan target ambisi iklim yang lebih relevan untuk sejalan dengan target Persetujuan Paris agar pemanasan global tidak melebihi 1,5°C.

“Banyak peluang yang Indonesia dapat lakukan agar meningkatkan pencapaian target bauran energi terbarukan yang sejalan dengan Persetujuan Paris. Misalnya dengan menyesuaikan penyusunan SNDC dengan prinsip-prinsip NDC dalam Article 4 Line 13 dari Persetujuan Paris yakni mempromosikan integritas lingkungan hidup, transparansi, akurasi, keutuhan, keterbandingan, konsistensi, dan memastikan terhindar penghitungan ganda, menggunakan metode-metode yang layak untuk mencapai upaya dekarbonisasi, dan mempercepat dekarbonisasi keluar dari penggunaan bahan bakar fosil,” ujar Wira A Swadana, Manajer Program Ekonomi Hijau, IESR. 

Wira menambahkan Indonesia perlu menarik dukungan internasional, berkolaborasi dalam teknologi dan pengetahuan, untuk mendorong pengembangan energi terbarukan agar dapat menerapkan temuan-temuan kunci dari Technical Dialogue of the first GST, khususnya di bidang mitigasi iklim. Utamanya, pada COP-28 juga didorong untuk meningkatkan target energi terbarukan tiga kali lipat lebih besar atau setara 11 TW pada 2030. 

Menurutnya, Indonesia dapat berkolaborasi dan memperkuat kerja sama dengan Uni Emirat Arab (UAE). Terlebih, Masdar perusahaan asal Uni Emirat Arab, telah terlibat dalam pembangunan PLTS terapung Cirata dan berinvestasi di sektor energi panas bumi, seiring dengan statusnya sebagai investor strategis dalam penawaran umum perdana saham atau IPO PT Pertamina Geothermal Tbk. (PGEO) pada Februari 2023. 

“Kerja sama antara Indonesia dengan negara-negara lain, termasuk UAE, sesungguhnya dapat membantu untuk upaya dekarbonisasi Indonesia untuk memitigasi dampak buruk dari perubahan iklim. Indonesia sudah memiliki berbagai kerja sama iklim, misalnya melalui mekanisme JETP dan berbagai kerja sama bilateral tetapi masih terdapat banyak kesenjangan untuk mendorong implementasi mitigasi dan adaptasi iklim yang lebih ambisius. Lebih khusus dalam hal pendanaan dan peningkatan kapasitas,” terang Wira. 

Sekilas tentang Global Stocktake bisa dilihat di sini

Menuju COP-28: Indonesia Perlu Menyuarakan Aksi Nyata dalam Mengatasi Krisis Iklim

Jakarta, 2 November 2023 – Konferensi para pihak konvensi kerangka kerja PBB tentang perubahan iklim (Conference of the Parties 28, COP-28) akan dilaksanakan di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA) pada 30 November-12 Desember 2023. Menjelang pelaksanaannya, Guntur, Analis Kebijakan, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) menyatakan, COP-28 akan menjadi saksi dari hasil inventarisasi global yang pertama (global stocktake, GST) atas implementasi Persetujuan Paris.

“GST menjadi titik balik yang dibutuhkan untuk aksi iklim di dekade kritis saat ini, di mana komunitas global telah mengetahui GST akan memperlihatkan implementasi Persetujuan Paris yang tidak selaras (off track). Untuk itu, diperlukan kolaborasi berbagai pihak dalam upaya course-correcting dan meningkatkan solusi yang tercermin dalam hasil perundingan serta pada COP28 Presidential Actions Agenda,” terangnya di acara Policy Playground Pijar Foundation pada Kamis (2/11/2023). 

Guntur memaparkan, COP28 fokus terhadap beberapa isu untuk memenuhi pilar Persetujuan Paris, salah satunya berkaitan dengan transisi energi, khususnya energi terbarukan. Indonesia juga terus mempersiapkan paviliun sebagai soft diplomacy atau diplomasi dengan pendekatan sosial budaya. Hal ini sekaligus sebagai upaya menyampaikan kepada dunia terkait langkah konkret dan aksi nyata yang telah dilakukan Indonesia dalam mengurangi emisi dan mengatasi perubahan iklim. Selain itu, Indonesia mengambil tema aksi iklim untuk diselenggarakan di paviliun Indonesia saat pelaksanaan COP28. 

Arief Rosadi, Koordinator Diplomasi Iklim, Institute for Essential Services Reform (IESR) menuturkan, krisis iklim memberikan dampak yang buruk bagi seluruh dunia. Berdasarkan laporan UNFCCC pada 2022, bahwa emisi global akan meningkat hampir 14% selama dekade ini. Bahkan, data UNFCCC 2023 memperlihatkan kebijakan saat ini membawa dunia ke kenaikan suhu 2,8°C pada akhir abad ini. 

“Untuk itu, Indonesia perlu menyuarakan aksi nyata dalam hal krisis iklim serta diperlukan upaya kolektif untuk mengatasi dan menangani dengan menekankan pada prinsip Common But Differentiated Responsibilities and Respective Capabilities (CBDR-RC). Saat ini terdapat berbagai kesempatan bagi kaum muda untuk berpartisipasi dalam konvensi internasional, meskipun ada tantangan yang mungkin terjadi seperti proses yang tertutup dan terbatasnya dukungan finansial, regulasi maupun logistik. Padahal, mengutip data Yale Program on Climate Change Communication, sebagian besar orang Indonesia merasa berkewajiban secara moral untuk melindungi lingkungan,” ujar Arief. 

Berdasarkan agenda, kata Arief, delegasi Republik Indonesia (RI) nantinya akan memberi perhatian lebih terhadap tiga krisis global. Ketiga krisis tersebut dikenal sebagai triple planetary crisis, yang terdiri dari perubahan iklim, polusi dan hilangnya keanekaragaman hayati. Ketiga persoalan tersebut menjadi tantangan global dan perlu kolaborasi dan kerjasama bilateral dan multilateral untuk mempertahankan masa depan Bumi yang tetap layak huni.