Dekarbonisasi Industri Besi dan Baja Butuh Peta Jalan Menyeluruh

press release
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa

Jakarta, 20 Maret 2024 – Industri besi dan baja di Indonesia mengalami pertumbuhan konsumsi. Data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menunjukkan secara nasional pada 2022, konsumsi baja rata-rata sebesar  15,62 juta ton per tahun. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan jumlah produksi baja rata-rata sekitar 12,46 juta ton per tahun. Sementara, dari sisi ekspor, industri besi dan baja mengalami tren peningkatan dari USD 7,9 miliar pada tahun 2019, menjadi USD 28,5 miliar pada tahun 2022.

Meningkatnya konsumsi besi dan baja nasional berkontribusi terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca. Institute for Essential Services Reform (IESR) mencatat industri besi dan baja bertanggung jawab terhadap 4,9 persen dari total emisi industri  yang mencapai setara 430 juta ton karbon dioksida pada 2022, atau berkisar setara 20-30 juta ton karbon dioksida per tahun.  Untuk itu, IESR mendorong pemerintah dan pelaku industri besi dan baja untuk melakukan upaya pengurangan emisi demi mencapai usaha yang lebih hijau dan yang berkelanjutan. 

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menyatakan bahwa upaya dekarbonisasi sektor industri besi dan baja perlu mengatasi perpindahan teknologi proses produksi besi dan baja. Saat ini, 80 persen produksi besi dan baja di Indonesia masih diproduksi dengan teknologi tanur tinggi atau blast furnace, bahan bakarnya masih didominasi dengan penggunaan batubara dan kokas (bahan karbon padat yang berasal dari distilasi batubara rendah abu dan rendah sulfur). Artinya, semakin banyaknya rasio penggunaan teknologi blast furnace dalam produksi besi dan baja nasional maka upaya penurunan emisi di industri besi dan baja di Indonesia akan menjadi lebih sulit di tahun berikutnya.

“Baja menjadi material kritis yang diperlukan di berbagai aspek pembangunan, termasuk untuk teknologi untuk mendukung transisi energi di seluruh dunia. Penerapan 1 MW teknologi energi terbarukan seperti panel surya dan, turbin angin memerlukan sekitar 20-180 ton baja. Untuk itu, dekarbonisasi industri baja menjadi krusial dilakukan untuk memastikan rantai pasok teknologi menjadi rendah karbon melalui  peningkatan efisiensi energi yang dapat dilakukan dengan beralih terhadap teknologi ramah lingkungan, penggunaan energi terbarukan serta optimalisasi dari penggunaan baja daur ulang (scrap),” ujar Fabby Tumiwa dalam acara Webinar Mempercepat Transformasi Industri Baja di Indonesia dan Asia Tenggara yang diselenggarakan oleh IESR dan Agora Industry. 

Urgensi dekarbonisasi sektor industri besi dan baja juga dipengaruhi secara global dengan adanya aturan produk rendah emisi dan penetapan batas karbon untuk ekspor, serta perdagangan karbon. Di tataran nasional, senior Analis IESR, Farid Wijaya mengatakan, dekarbonisasi industri besi dan baja ini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, terutama untuk mencapai Indonesia Emas 2045, melindungi rantai pasokan dalam negeri dan ekonomi masa depan, dan meningkatkan daya saing ekspor untuk pasar global yang semakin sadar akan praktik ramah lingkungan.

“Upaya melakukan dekarbonisasi industri perlu dibarengi dengan membangun ekosistem industri hijau dalam kerangka regulasi dan standar, penyediaan energi hijau dan teknologi rendah karbon. Diperlukan pula adanya peta jalan oleh masing-masing industri dan asosiasi, yang saat ini masih terbatas pada beberapa sektor dan belum menjadi sebuah regulasi yang bisa dijadikan landasan aksi dekarbonisasi untuk pelaku industri dan asosiasi,” ujar Farid. 

Studi IESR memberikan rekomendasi dalam mendorong dekarbonisasi industri di Indonesia. Pertama, penyelesaian peta jalan dekarbonisasi industri oleh Kementerian Perindustrian pada akhir tahun 2024 atau lebih cepat. Kedua, memperkuat pelaporan dan pengumpulan data mengenai implementasi Peraturan Menteri Perindustrian No.2/2019 mengenai tata cara penyampaian data industri melalui Sistem Informasi Industri Nasional (SIINAS) dan memastikan keterbukaan laporan keberlanjutan industri untuk transparansi dan akses informasi, terutama pelaporan penggunaan energi dan bahan baku  serta limbah yang dihasilkan. Ketiga, menyusun patokan (benchmarking) proses produksi industri hijau serta memperluas cakupan dan nilai batas standar industri hijau (SIH) dari yang awalnya bersifat sukarela (voluntary) dan mengacu ke best practice lokal menjadi wajib (mandatory) dan berkesesuaian dengan kebutuhan penurunan emisi di tahun 2060, atau lebih awal.

Kajol, Manajer Program Industri Netral-Iklim Asia Tenggara, Agora Industri, menuturkan transformasi industri besi dan baja memerlukan tiga strategi yaitu penggunaan energi terbarukan secara langsung dan tidak langsung, efisiensi sumber daya dan penerapan ekonomi sirkular, serta pengakhiran siklus karbon dengan penggunaan Carbon Capture Use and Storage (CCU/S) dan biomassa dan bioenergi yang dilengkapi dengan CCS (BECCS).

Fausan Arif Darmadi, Analis Pengembangan Infrastruktur, Pusat Industri Hijau, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menegaskan, pihaknya telah meluncurkan standar industri hijau (SIH) yang memuat ketentuan mengenai bahan baku, bahan penolong, energi, proses produksi, produk, manajemen pengusahaan, dan pengelolaan limbah. Selain itu, terdapat juga Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No. 12 Tahun 2023 tentang batasan penggunaan energi, air, dan batasan emisi gas rumah kaca (GRK) untuk baja lapis. Dengan regulasi tersebut, diharapkan dapat menjadi pedoman bagi perusahaan untuk menjalankan proses produksi yang efisien dan ramah lingkungan.

“Komitmen dari sektor industri menjadi hal yang paling penting dalam proses dekarbonisasi. Untuk itu, Kemenperin telah memberikan pelatihan perhitungan emisi gas rumah kaca (GRK) bagi sektor baja, termasuk perhitungan nilai ekonomi karbonnya. Sementara untuk panduan lengkap terkait perhitungan nilai ekonomi karbon sedang dalam proses pengembangan,” papar Fausan.

Dekarbonisasi Industri: Strategi Indonesia untuk Mengurangi Emisi dalam 5 Sektor Utama

Jakarta, 15 Februari 2024 –  Indonesia, sebagai kekuatan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan salah satu negara terpadat di dunia, memiliki tantangan besar dalam mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor industri. Dengan perekonomian yang terus berkembang pesat, terutama didorong oleh angkatan kerja muda, sumber daya alam yang melimpah, dan kemajuan teknologi yang cepat, langkah-langkah untuk dekarbonisasi industri menjadi krusial dalam menjaga keseimbangan lingkungan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, Institute for Essential Services Reform (IESR) memaparkan, berdasarkan laporan Climate Action Tracker (CAT), peringkat Indonesia saat ini yakni sama sekali tidak memadai (critically insufficient) untuk membatasi suhu bumi di bawah 1,5°Celcius. Posisi ini turun dibandingkan 2022, yang menempatkan Indonesia pada ranking sangat tidak memadai (highly insufficient). 

“Padahal, Indonesia telah menetapkan Enhanced-Nationally Determined Contribution (ENDC) berisikan peningkatan target pengurangan emisi karbon dari 29% atau 835 juta ton CO2 menjadi 32% atau 912 juta ton CO2 pada 2030. Berkaca dengan target ENDC dan status CAT, Indonesia perlu mendorong penguatan komitmen agar mencapai  net-zero emission (NZE) 2060 atau lebih cepat,” jelas Deon dalam acara peluncuran studi IESR kolaborasi dengan Lawrence Berkeley National Laboratory (LBNL), berjudul “Industry Decarbonization Roadmap for Indonesia: Opportunities and Challenges to Net-Zero Emissions”. 

Analis Senior, Farid Wijaya menjelaskan, total kontribusi emisi GRK dari sektor industri diperkirakan meningkat dua kali lipat dari tahun 2011 hingga 2022, mencapai lebih dari 400 juta ton CO2e. Sekitar 60-70% dari emisi tersebut berasal dari penggunaan energi di sektor industri (baik panas maupun listrik), terutama karena konsumsi bahan bakar fosil. 

“Berdasarkan studi IETO 2024, emisi GRK dari sektor industri diperkirakan akan mencapai 430 MtCO2e pada tahun 2022, meningkat 30% dari tahun sebelumnya. Peningkatan pangsa pembakaran energi ini mengindikasikan pertumbuhan proses industri yang membutuhkan energi panas yang tinggi. Sayangnya, kebutuhan proses tersebut menyebabkan peningkatan konsumsi batubara yang berkontribusi terhadap emisi sebesar 174 MtCO2e,” papar Farid. 

Farid menuturkan, industri berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, untuk itu, upaya dekarbonisasi perlu dilakukan agar mengakomodasi pertumbuhan ini. Studi ini mengambil lima sektor industri besar yang perlu difokuskan dalam dekarbonisasi pada parameter sosial, ekonomi, dan emisi yakni semen, besi dan baja, tekstil, pulp dan kertas, serta ammonia. 

“Upaya dekarbonisasi industri sebenarnya dapat didorong di Indonesia berdasarkan kerangka regulasi yang telah ada. Meski demikian, pemerintah perlu didorong untuk memasukkan peraturan yang lebih kuat dan mengikat di masa depan, termasuk dukungan dan insentif untuk industri dan memastikan bahwa produsen, konsumen, dan pasar dilindungi oleh kontrol produk yang mendukung dekarbonisasi industri,” tegas Farid. 

Menurut Farid, agar dekarbonisasi industri dapat tercapai di Indonesia, banyak pemangku kepentingan yang perlu bekerja sama, khususnya untuk membangun ekosistem industri hijau yang mendukung konsep NZE. Selain itu, beberapa strategi secara umum perlu diterapkan untuk mencapai dekarbonisasi industri. Pertama, menerapkan sistem manajemen energi ISO 50001:2018. Kedua, pemanfaatan bahan bakar alternatif, seperti biomassa dan hidrogen. Ketiga, pemanfaatan energi terbarukan seperti tenaga surya dan tenaga air.

“Keempat, memaksimalkan efisiensi energi, bahan, dan optimasi proses serta menggunakan peralatan yang sangat efisien. Kelima, pemantauan dan pengukuran kontrol proses emisi secara berkala. Keenam, pemanfaatan  teknologi penangkapan dan penyimpanan emisi karbon (CCS/CCUS) untuk industri semen, besi dan baja, dan amonia,” tegas Farid. 

Tak hanya strategi umum, Indonesia juga perlu menerapkan strategi secara khusus berdasarkan kelima industri besar tersebut. Misalnya saja untuk industri semen, di antaranya perlu mengganti klinker dan menggunakan bahan baku alternatif, mempromosikan standar semen hidraulik dengan faktor klinker yang lebih rendah, mendistribusikan semen menggunakan kereta api sebagai alternatif truk. 

“Berdasarkan hasil survei kami, kelima industri besar di sektor semen, besi dan baja, tekstil, pulp dan kertas, serta amonia memiliki motivasi yang tinggi untuk melakukan dekarbonisasi.  Namun demikian, biaya, nilai kompetitif, dan kewajiban regulasi bagi pelaku usaha dan konsumen masih menghadapi tantangan dan hambatan yang harus diselesaikan bersama,” terang Farid. 

Kita Tidak Punya Pilihan, Kita Harus Mencapai Netralitas Karbon

Jakarta, 25 Oktober 2023 – Industri merupakan penggerak utama pertumbuhan ekonomi dan sektor terbesar yang mendorong kemajuan teknologi. Aktivitas ekonomi dari sektor industri telah mentransformasi perekonomian global. Sayangnya, pertumbuhan ekonomi yang luar biasa ini harus dibayar dengan tingginya emisi gas rumah kaca yang dilepaskan ke atmosfer.

Untuk sementara waktu, masyarakat mencoba mencari cara untuk meminimalkan emisi GRK dari proses industri. Upaya ini akan menjadi langkah berarti dalam upaya mencapai emisi nol bersih di abad ini sebagaimana diamanatkan oleh Perjanjian Paris.

Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR) pada acara Workshop “Diseminasi Peta Jalan dan Rekomendasi Kebijakan Dekarbonisasi Industri Indonesia” pada Rabu 25 Oktober 2023 mengatakan, IESR saat ini sedang menjajaki lima industri besar yakni semen, pulp & kertas, baja, tekstil, dan amonia serta mengembangkan peta jalan dekarbonisasi.

“Kami berada pada tahap awal dekarbonisasi sektor industri, dan kami memerlukan lebih banyak kolaborasi antar pemangku kepentingan karena begitu banyak pemangku kepentingan yang terlibat di sektor industri,” kata Deon.

Farid Wijaya, analis senior di IESR kemudian menjelaskan bahwa Indonesia telah memulai kerangka kebijakan industri hijau namun masih memerlukan lebih banyak perbaikan agar lebih kuat dan kontekstual.

“Lima industri yang kami incar memiliki motivasi tinggi untuk melakukan dekarbonisasi proses bisnisnya, namun saat ini masih terdapat tantangan seperti biaya dan kerangka kebijakan yang masih perlu diperbaiki,” jelas Farid.

Menyadari bahwa proses industri membutuhkan energi dari listrik dalam jumlah besar, untuk melakukan dekarbonisasi sektor industri, maka dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan juga merupakan suatu keharusan.

“(Ketersediaan) kebijakan yang mendukung industri untuk mendapatkan pasokan listrik dari sumber energi terbarukan atau mengembangkan/memasang sendiri listrik terbarukan sangatlah penting,” kata Hongyou Lu, Peneliti Teknologi Energi dan Lingkungan, LBNL.

Lu menambahkan bahwa dekarbonisasi industri tidak bisa dihindari, namun memiliki banyak aspek dan berpotensi menumbuhkan perekonomian lokal, mengurangi polusi udara, dan membuat komoditas lebih kompetitif dalam perdagangan global.

Stephane de la Rue du Can, peneliti Kebijakan Energi – Lingkungan, LBNL kemudian menambahkan bahwa harus ada paket reformasi kebijakan yang lengkap untuk dekarbonisasi sektor industri, termasuk (1) target dan perencanaan pengurangan GRK industri, (2) inovasi, (3) elektrifikasi dan peralihan bahan bakar, (4) efisiensi energi, (5) efisiensi material dan ekonomi sirkular, dan (6) tenaga kerja dan komunitas lokal.

Endra Dedy Tamtama, Koordinator Pemantauan Konservasi Energi, Kementerian ESDM menyampaikan bahwa saat ini praktik efisiensi energi yang dilakukan oleh beberapa industri masih yang bersifat tanpa biaya atau berbiaya rendah. Hal-hal terkait revitalisasi alat yang memerlukan modal besar belum dilakukan.

“Karena saat ini tidak ada insentif fiskal yang diberikan kepada industri setelah menggunakan infrastruktur hemat energi, maka perubahan apa pun yang memerlukan biaya besar, meskipun akan lebih menghemat energi, belum sepenuhnya terlaksana”

Muhammad Akhsin Muflikhun, Pakar Teknologi PSE UGM, menekankan pentingnya kesiapan teknologi untuk mendukung dekarbonisasi industri seperti pemanfaatan hidrogen.

“Hidrogen telah menjadi fokus kami dalam teknologi penyimpanan energi. Kami mencoba membandingkan penyimpanan hidrogen vs baterai, sejauh ini masih terdapat kesenjangan efisiensi energi yang sangat besar setelah disimpan dalam baterai dibandingkan ketika disimpan dalam sistem penyimpanan hidrogen,” ujarnya.

Sri Gadis Pari Bekti, Tenaga Ahli Fungsional Madya, Kementerian Perindustrian sepakat bahwa teknologi akan menjadi game changer selama dekarbonisasi industri. Teknologi baru seperti CCS dan CCUS, serta hidrogen diharapkan mampu memenuhi kebutuhan energi di industri.

“Sebagai bagian dari dukungan kami kepada industri, kami memfasilitasi sertifikasi bagi industri. Sampai batas tertentu, pemerintah dapat membantu proses peningkatan kapasitas dan sertifikasi,” kata Bekti.

Untuk memperlancar dekarbonisasi industri, ketersediaan pembiayaan ramah lingkungan sangatlah penting.

PT PLN selaku pemasok listrik utama di Indonesia melalui Manajer Bioenergi-nya Yudas Agung Santoso mengatakan saat ini pihaknya masih melakukan pemetaan kebutuhan energi khususnya dari industri karena dalam waktu dekat akan datang beberapa industri besar seperti smelter nikel.

“Bagi industri (dan yang membutuhkan) saat ini kami memiliki program Renewable Energy Certificate (REC), dimana kami mendedikasikan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan untuk menyuplai mereka yang berlangganan sertifikat sehingga bisa mendapatkan listrik ramah lingkungan,” ujarnya.

Nan Zhou, peneliti Senior Kebijakan Lingkungan – Energi, LBNL, dalam sambutan penutupnya menyoroti pentingnya Indonesia mengambil pembelajaran dari negara lain yang mulai melakukan dekarbonisasi industrinya.

“Kita tidak punya pilihan lain, kita harus mencapai netralitas karbon. Jadi, kita harus mengambil tindakan apa pun untuk mewujudkannya,” kata Zhou.

Memacu Industri Rendah Karbon Melalui Peta Jalan Dekarbonisasi Industri

Jakarta, 25 Oktober 2023 –  Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Lawrence Berkeley National Laboratory (LBNL) merilis peta jalan dan rekomendasi kebijakan tentang dekarbonisasi industri untuk mencapai nol emisi karbon (net zero emissions, NZE). Laporan ini mengambil fokus terhadap lima sektor industri yakni semen, besi dan baja, pulp dan kertas, amoniak dan tekstil yang diperkirakan akan mengalami peningkatan emisi GRK signifikan apabila tidak melakukan langkah dekarbonisasi. Pada 2015-2022, menurut Kementerian Perindustrian sektor industri berkontribusi 8-20% dari emisi nasional.  Merujuk pada pemodelan IESR, total emisi GRK industri diprediksi akan terus meningkat mencapai 3-4 kali lipat pada tahun 2060 jika tidak ada intervensi apapun (Business as usual,  BaU). 

Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, IESR mengatakan bahwa menjalankan dekarbonisasi di sektor industri, sebagai motor ekonomi utama di Indonesia, merupakan  prasyarat untuk memastikan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan menjadikan Indonesia menjadi negara maju namun rendah emisi. Industri dengan produk rendah karbon akan menjadi industri yang paling kompetitif.

“Indonesia dapat menerapkan pilar dekarbonisasi industri yaitu meningkatkan efisiensi energi, elektrifikasi kebutuhan energi, beralih ke bahan bakar rendah karbon seperti energi terbarukan, dan efisiensi pada penggunaan material. Masing-masing industri unik, sehingga perlu diantisipasi situasi dan konteks masing-masing saat menyusun peta jalan dan regulasi yang mendukung,” ujar Deon dalam sambutannya pada Lokakarya Diseminasi Peta Jalan Dekarbonisasi Industri Indonesia dan Rekomendasi Kebijakan yang diselenggarakan oleh IESR bekerja sama dengan LBNL dan didukung oleh ClimateWorks Foundation.

IESR dan Lawrence Berkeley National Laboratory (LBNL) memandang dekarbonisasi sektor industri dapat tercapai sebelum tahun 2060. Berdasarkan data IESR, dari total 17 entitas bisnis di lima sektor tersebut yang dianalisis, masing-masing perusahaan telah menetapkan target dekarbonisasi dengan porsi yang berbeda-beda, meskipun hanya industri bubur kertas dan kertas yang mempunyai target dekarbonisasi yang spesifik.

“Industri berkapasitas besar seperti semen, besi dan baja, tekstil, bubur kertas dan kertas (pulp and paper) dan amonia memiliki motivasi yang tinggi untuk melakukan dekarbonisasi. Memang masih ada tantangan dalam hal: konsumsi energi yang tinggi, ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, pengelolaan limbah dan emisi GRK pada proses dan rantai nilai, tingginya biaya dan manfaat keekonomian dalam upaya dekarbonisasi. Selain itu, regulasi yang tersedia belum terlalu mengikat baik terhadap industri, industri lanjutan dan konsumen untuk mendorong dekarbonisasi industri,” jelas Farid Wijaya, Analis Senior IESR. 

Menurutnya, pemerintah melalui Kementerian Perindustrian dan juga kementerian teknis lainnya seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, perlu menetapkan regulasi yang kuat, memberikan dukungan dan insentif untuk industri, serta memastikan bahwa produsen, konsumen, dan pasar mendukung produksi rendah emisi yang dihasilkan dari dekarbonisasi industri.

Hongyou Lu, Peneliti Teknologi Lingkungan/Energi, LBNL menyampaikan Pemerintah Indonesia perlu segera mengembangkan strategi nasional yang berbeda-beda untuk tiap jenis sektor industri. Misalnya, untuk industri besi dan baja dapat memfokuskan penerapan electric arc furnace sebagai langkah elektrifikasi prosesnya untuk strategi jangka waktu pendek, melakukan efisiensi energi dan material.  Sementara, pada semen, strategi dekarbonisasi yang dapat dilakukan seperti meningkatkan penggunaan bahan pengganti material klinker (supplementary cementitious materials), menerapkan langkah-langkah efisiensi material dan efisiensi energi (jangka pendek), beralih ke sumber bahan bakar rendah emisi (jangka menengah-panjang). Tidak hanya itu, pemerintah perlu pula membuat strategi nasional untuk produksi energi hijau  seperti hidrogen dan amonia, teknologi lintas sektor seperti aplikasi pompa panas (heat pump), serta teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture Storage, CCS) untuk sisa emisi yang tidak bisa dilakukan dekarbonisasi.

“Untuk melakukan berbagai strategi dekarbonisasi sektor industri ini, Pemerintah Indonesia perlu membangun perencanaan yang terkoordinasi dengan berbagai pemangku kepentingan dalam pengembangan infrastruktur rendah karbon, seperti jaringan pipa, tempat penyimpanan, sistem transmisi dan distribusi tenaga listrik, sehingga memungkinkan industri untuk mengakses energi terbarukan,” jelas Hongyou.

Lebih lanjut Hongyou Lu menambahkan dekarbonisasi industri menjadi hal yang tidak dapat dihindari, namun juga melibatkan banyak aspek. Dekarbonisasi industri akan berpotensi mengembangkan industri baru, menumbuhkan ekonomi lokal, mengurangi polusi udara, dan meningkatkan daya saing Indonesia di pasar internasional. Hal ini perlu dilakukan agar produk industri Indonesia masih dapat memenuhi peraturan lingkungan hidup yang lebih ketat untuk barang impor dan mekanisme penetapan harga karbon yang telah efektif di beberapa negara tujuan ekspor, seperti Uni Eropa.