Percepat Dekarbonisasi untuk Masa Depan Berkelanjutan

Makassar, 22 Maret 2022 – Akselerasi penggunaan energi bersih menjadi poin fundamental dalam memastikan masa depan perekonomian serta sektor lainnya tetap terjaga dalam konteks keberlanjutan. Hal tersebut mengemuka dalam Sustainability Forum atau Forum Keberlanjutan yang diselenggarakan PT Vale Indonesia Tbk pada Selasa kemarin (22/03). Kegiatan tersebut mengangkat tema “Dekarbonisasi untuk Masa Depan Berkelanjutan”.

Pada kegiatan tersebut,Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengungkapkan transisi energi berbasis fosil menjadi mutlak dilakukan agar ambisi nol emisi karbon (net zero emission atau NZE) mampu menjadi keniscayaan dengan estimasi terwujud pada 2050 mendatang. Ia menegaskan bahwa langkah yang kerap disebut dekarbonisasi itu, mesti selaras dengan target Persetujuan Paris yaitu membatasi kenaikan suhu bumi 1,5 derajat Celcius. Jika tidak ada upaya dekarbonisasi yang terencana maka diproyeksikan sektor energi akan menjadi penghasil emisi terbesar di Indonesia pada tahun 2030 dan mempersulit pencapaian target Persetujuan Paris.

“Pada tahun 2022 ini pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan harus berusaha keras meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan dan mendorong efisiensi energi di bangunan dan industri. Pada 2025, pemerintah harus mencapai target 23% bauran energi terbarukan dan setelah itu harus mengejar emisi sektor energi mencapai puncaknya sebelum 2030. Sehingga memang, harus ada upaya akseleratif transisi ke energi bersih, dengan dekarbonisasi. Untuk jangka panjang, ini memberikan efek berganda terhadap daya saing perekonomian kita jadi lebih optimal,” tegasnya.

Fabby memandang Sulawesi Selatan menjadi salah satu daerah di Tanah Air yang sudah berada pada tatanan transisi energi dengan bauran energi terbarukan yang cukup signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan pembangunan pembangkit-pembangkit berbasis energi terbarukan seperti tenaga bayu (angin), air hingga surya, di mana bauran energi bersih sudah berada pada level sekitar 30% dari daya terpasang di Sulsel. Pencapaian ini dinilai tidak lepas dari kolaborasi seluruh elemen, yang mulai relatif agresif menerapkan langkah dekarbonisasi pada proses produksi, diantaranya adalah PT Vale Indonesia Tbk.

“Ini saya rasa sudah sangat bagus, PT Vale sendiri sudah memiliki peta jalan dekarbonisasi 33% untuk 2030 dan menargetkan sudah net zero di 2050. Tetapi untuk tahapan ke 2050, tentu masih perlu ada assesment lebih lanjut,” papar Fabby.

Pada kesempatan sama, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, mengemukakan pemerintah telah menyusun peta jalan transisi energi menuju karbon netral yang diproyeksikan mencapai titik optimal pada 2060.

“Kita memang targetkan dekarbonisasi energi menuju Net Zero Emission 2060 atau bahkan lebih cepat tercapai. Bauran energi baru terbarukan (EBT) sudah secara penuh pada saat itu tercapai dengan penurunan emisi 1.562 juta ton CO2,” tegasnya.

Demi mencapai target bauran  EBT,  Dadan memaparkan, ada sejumlah upaya percepatan yang dilakukan pemerintah mulai dari penyelesaian Rancangan Perpres Harga EBT, penerapan Permen ESDM PLTS Atap No. 26 tahun 2021, lalu mandatori bahan bakar nabati hingga, pemberian insentif fiskal dan non fiskal untuk EBT. 

“Kemudian tentu saja kemudahan perizinan berusaha segmen EBT hingga mendorong demand ke energi listrik pada sejumlah aktivitas primer bahkan pada skala personal di masyarakat,”ungkap Dadan.

Sementara itu, Presiden Direktur PT Vale Indonesia, Febriany Eddy menjelaskan, perseroan yang bergerak pada sektor pertambangan ini juga telah membangun peta jalan guna menurunkan emisi karbon untuk scope 1 dan 2 sampai sepertiga di tahun 2030 dan net zero tahun 2050.

“Untuk rencana smelter baru di Sulawesi Tengah, kami bersama dengan partner dari Tiongkok telah berkomitmen menggunakan LNG bukan batubara untuk pembangkit listrik disana,” ujarnya. 

Gubernur Sulawesi Selatan, Andi Sudirman melalui Staf Ahli Gubernur Bidang Pemerintahan, Andi Mappatoba menyampaikan keberadaan PT Vale yang secara konsisten praktik keberlanjutan, serta upaya pengurangan efek rumah kaca melalui langkah dekarbonisasi membantu pemerintah dalam mewujudkan pembangunan yang rendah karbon.

“PT Vale sudah berupaya memberikan kontribusinya terhadap keberlangsungan/keberlanjutan lingkungan, sosial dan ekonomi Sulsel dengan semua langkah sustainability-nya. Kedepan, semoga akan selalu menjadi mitra pemerintah provinsi dalam membangun ekonomi dan sasaran netral karbon seperti yang dicanangkan pemerintah.” 

RUU EBET Tidak Efektif Mendukung Transisi Energi di Indonesia

press release

Jakarta, 21 Maret 2022 Memasuki tahap harmonisasi di DPR RI, Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) dipandang menyimpang dari tujuan mendorong transisi energi untuk mencapai netral karbon pada 2060 atau secepatnya. Pada rapat pleno harmonisasi RUU EBT (17/03/2022), tenaga ahli badan legislasi menguatkan posisi energi baru dengan menambahkan sumber energi baru pada RUU yang kini disebut sebagai Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET). 

Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang konsep EBET dalam satu undang-undang tidak efektif dan rancu. Selain itu, dengan masuknya produk turunan batubara seperti batubara tergaskan (coal gasification), batubara tercairkan (coal liquefaction), gas metana batubara (coal bed methane) sebagai sumber energi baru justru akan berpotensi menghambat upaya penurunan gas rumah kaca (GRK).

Emisi GRK yang dihasilkan dari proses gasifikasi batubara pada energi baru jauh lebih tinggi dibandingkan energi terbarukan. Jumlah emisi yang dihasilkan dari proses konversi 1 kg batubara menjadi Dimethyl Ether (DME) sekitar 3,2 Kg CO2eq atau sekitar 400 gram CO2 eq/kWh (IRENA, 2021). Ini belum termasuk emisi yang ditimbulkan ketika membakar DME yang setara dengan membakar minyak solar sehingga dapat mencapai 631 gram CO2/kWh (asumsi efisiensi kompor DME 40%) sehingga total emisi yang dihasilkan untuk mendapatkan jumlah energi yang sama mencapai 1031 gram CO2/kWh. Sementara emisi daur hidup yang dihasilkan pada penggunaan energi terbarukan, seperti PLTS hanya sekitar 40 gram CO2 eq/kWh (NREL, 2012).

“Rancangan RUU EBET menunjukan ketidakpahaman DPR terhadap kebutuhan pengembangan energi dalam rangka transisi energi. DPR juga mengakomodasi kepentingan industri batubara yang ingin tetap mendapatkan pasar di saat pasar batubara untuk pembangkitan listrik turun. Masuknya teknologi energi baru seperti hilirisasi batubara justru akan membuat Indonesia terjebak dengan infrastruktur energi fosil. Sementara, masuknya PLTN justru akan menghambat akselerasi transisi energi yang membutuhkan pengembangan energi terbarukan dalam skala besar dan cepat,” tandas Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Pemanfaatan teknologi yang menurunkan emisi karbon pada pembangkit energi tak terbarukan (energi fosil) akan memperluas mekanisme penggunaan energi tak terbarukan, seperti pada clean coal technology (PLTU ultra supercritical), teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture and Storage (CCS)),  dan co-firing biomassa. IESR berpendapat mempertahankan PLTU dengan teknologi CCS merupakan pilihan yang relatif mahal dibandingkan dengan mengembangkan energi terbarukan.

“Dukungan terhadap energi fosil atau energi tak terbarukan pada RUU EBET ini akan memberikan sinyal untuk mempertahankan PLTU lebih lama di sistem energi, alih-alih mempensiunkan PLTU lebih awal seperti yang diwacanakan beberapa bulan belakangan,” tambah Deon Arinaldo, Manager Program Transformasi Energi, IESR. 

Deon menambahkan seharusnya DPR RI lebih mengkaji penggunaan energi yang efektif dan ekonomis dalam merumuskan RUU EBET.

“Dalam upaya mencapai netral karbon seharusnya dilihat biaya mitigasi gas rumah kaca yang paling efektif, yang menurut analisis kami sudah jelas merupakan energi terbarukan. Dengan dukungan regulasi, energi terbarukan bisa dibangun dan dana energi terbarukan bisa dimanfaatkan secara efektif untuk mendorong penyiapan proyek energi terbarukan dengan masif,” jelasnya.

Draft terbaru juga memberikan wewenang bagi pemerintah pusat untuk menetapkan harga energi baru dan energi terbarukan jika tidak tercapai kesepakatan para pihak/badan usaha (dalam hal ini PLN dan pengembang). Dalam hal ini tentunya akan berkaitan dengan pemberian dana insentif dan kompensasi pada energi baru atau energi terbarukan akibat penetapan harga oleh pemerintah pusat. 

“Pemerintah sebaiknya menetapkan insentif dan mekanisme lelang energi terbarukan secara terjadwal untuk memberikan kepastian kepada pelaku usaha. Penetapan harga dilakukan untuk teknologi yang belum komersial dan penerapan di daerah-daerah terpencil untuk menjamin akses energi bersih bagi masyarakat,” kata Fabby Tumiwa.