Meninjau Kemajuan Industri Baterai Kendaraan Listrik Indonesia

Dalam dekade ini, popularitas kendaraan listrik mengalami peningkatan signifikan terlihat dari penjualan dari tahun ke tahun yang menunjukkan pertumbuhan eksponensial. Menurut laporan Bloomberg New Energy Finance (BNEF), sudah ada hampir 20 juta kendaraan listrik di jalanan hingga akhir tahun 2021. Untuk meningkatkan efisiensi energi, memastikan pengurangan emisi gas buang, dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar minyak, kendaraan listrik telah menjadi pilihan yang menarik bagi pemangku kepentingan dan masyarakat umum. Mempertimbangkan tren yang ada dan beberapa keuntungan tambahan, Indonesia sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar, melalui Perpres 55/2019 tentang program akselerasi KBLBB (Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai), telah mengambil langkah proaktif untuk berpartisipasi dalam industri kendaraan listrik global, khususnya di sektor baterai. Sesuai dengan peraturan tersebut, Kementerian Perindustrian telah menjabarkan peta jalan industri dan persyaratan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) melalui Peraturan Menteri 20/2020.

Mulai tahun 2023, bobot Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) pada industri kendaraan listrik Indonesia telah disesuaikan. Penilaian proses perakitan yang sebelumnya 20% diturunkan menjadi 12%, sisanya 8% dialokasikan kembali ke perhitungan komponen utama, antara lain baterai (35%), motor listrik (12%), dan rangka mobil (11%). Pentingnya TKDN di Indonesia relevan dalam konteks pembelian untuk pengadaan atau proyek pemerintah. Untuk mendukung pertumbuhan industri kendaraan listrik dalam negeri dan menarik investasi, pemerintah Indonesia telah menerapkan berbagai inisiatif, termasuk Instruksi Presiden 7/2022 tentang pengadaan publik dan rencana subsidi untuk pembelian kendaraan listrik yang sesuai dengan TKDN.

Bobot persentase baterai dalam industri kendaraan listrik yang mencapai 35% membuat penggunaan baterai yang diproduksi di dalam negeri  penting untuk meningkatkan TKDN secara keseluruhan. Namun, keadaan industri baterai saat ini menimbulkan tantangan untuk produksi massal. Tim Institute for Essential Services Reform (IESR) berupaya memahami kesenjangan kemampuan teknologi dalam industri baterai dalam negeri. Untuk mencapai tujuan ini, tim melakukan wawancara eksklusif di seluruh sektor industri hulu, tengah, dan hilir. Tujuan dari wawancara ini adalah untuk mengevaluasi kesiapan industri dalam memenuhi target pemerintah dan tuntutan pasar kendaraan listrik. Asesmen komprehensif tersebut bertujuan untuk mendapatkan pemahaman menyeluruh tentang industri baterai dalam negeri.

Alur Produksi Baterai Kendaraan Listrik

 

Industri Sektor Hulu

Sektor hulu di industri kendaraan listrik Indonesia berkembang pesat, siap memenuhi permintaan pasar. Pemerintah telah memperkuat pertumbuhan ini dengan Permen ESDM 11/2019, yang mengatur pertambangan mineral dan batubara serta melarang ekspor bijih nikel. Terlepas dari kontroversi, peraturan tersebut telah mengarah pada pembangunan dua kilang nikel HPAL dan 5 lainnya dalam pengerjaan. Menurut Asosiasi Penambang Nikel Indonesia, ada permintaan tahunan sebesar 50,57 juta ton saprolit dan 1,2 juta ton bijih limonit untuk pabrik HPAL, diperkirakan akan menghasilkan hampir 1 juta MHP/MSP dan 316.000 ton produk turunan termasuk 140.000 ton Cr konsentrat, 136.000 ton Nikel Sulfat, dan 19,5 ton Cobalt Sulfat. Salah satu pengembang bahkan telah memperkenalkan teknologi pemurniannya sendiri, proses Step Temperature Acid Leaching (STAL), yang dirancang untuk memurnikan bijih limonit dengan kandungan nikel kurang dari 1,6%, menghasilkan MHP sebagai produk akhir di pabrik prototipenya.

Industri Sektor Menengah

Sektor baterai berbasis lithium mengalami pertumbuhan yang lambat karena kebutuhan investasi yang tinggi dan pengalaman yang terbatas. Selain tiga rencana investasi besar untuk produksi baterai (IBC-LG, IBC-CBL, dan Indika-Foxconn) yang sedang berlangsung, IESR telah mengumpulkan informasi tentang perusahaan yang ada dan berkembang. Perusahaan-perusahaan tersebut memiliki kapasitas produksi sel baterai berkisar antara 30 hingga 1 ribu sel per hari. Perkembangan yang menarik adalah start-up dari Universitas Sebelas Maret yang menjalin kerjasama dengan startup lain dari universitas yang sama untuk produksi bahan aktif dan prekursor.

Untuk menyelaraskan NCM atau katoda berbasis nikel NCA, proses produksi prekursor baterai sektor hulu perlu dilanjutkan di dalam negeri. Namun, perusahaan baterai lokal menggunakan LFP untuk bisnis mereka karena pertimbangan keselamatan dan siklus hidup yang panjang, meskipun memiliki densitas energi yang lebih rendah dibandingkan opsi berbasis nikel. Akibatnya, produksi nikel kelas 1 di sektor hulu Indonesia belum mencukupi kebutuhan industri katoda atau sel baterai di dalam negeri.

Sektor Hilir

Sebagai salah satu produsen sepeda motor terbesar di dunia, Indonesia tidak memiliki kendala berarti dalam merakit kendaraan listrik. Rangka merupakan komponen yang paling mapan untuk diproduksi di dalam negeri. Sementara itu, beberapa perusahaan telah memproduksi motor listrik (powertrain) dan memasok produksi motor listrik untuk BUMN.

Namun, daur ulang atau penggunaan kembali limbah sel baterai untuk belum sepenuhnya dikembangkan. Para peneliti di Universitas Gadjah Mada baru mengambil inisiatif dengan memulai pengembangan dalam skala laboratorium. Meskipun penggunaan kendaraan listrik masih terbatas di negara ini, sektor ini diharapkan menjanjikan karena potensinya untuk mengekstrak bahan langka seperti litium dan akses mudah ke logam yang diperlukan untuk produksi baterai.

Apa itu Energi Surya dan Bagaimana Pengembangannya di Indonesia?

PLTS Atap

Jakarta, 19 Desember 2022 – Peranan energi menjadi penting untuk peningkatan kegiatan ekonomi dan ketahanan nasional. Untuk itu, pengelolaan energi meliputi penyediaan, pemanfaatan, dan pengusahaannya harus dilaksanakan secara berkeadilan, berkelanjutan, optimal, dan terpadu. Terlebih Indonesia telah berkomitmen sesuai Persetujuan Paris untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, dengan target sebesar 31,89% pada tahun 2030 dengan kemampuan sendiri dan target sebesar 43,2% dengan bantuan internasional. 

Berdasarkan studi Deep Decarbonization of Indonesia’s Energy System yang dikeluarkan oleh IESR, Indonesia mampu untuk mencapai target Persetujuan Paris netral karbon pada 2050. Dekade ini menjadi penting, karena Indonesia harus segera mencapai puncak emisi di sektor energi pada tahun 2030 dan mendorong bauran energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan mencapai 45%.

Pembangunan sektor energi terbarukan menjadi aksi mitigasi untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) dan mendukung energi yang berkelanjutan. Untuk itu, Indonesia terus menggencarkan penggunaan energi terbarukan. Energi surya menjadi salah satu pilihan jenis energi terbarukan yang terus didorong penggunaannya di Indonesia. 

Melansir Modul Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan Konversi Energi Surya dan Angin, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, energi surya adalah energi yang didapat dengan mengubah energi matahari melalui peralatan tertentu menjadi sumber daya dalam bentuk lain. Teknik pemanfaatan energi surya pertama kali ditemukan oleh peneliti asal Prancis, Edmund Becquerel pada tahun 1839. Meskipun letak matahari sekitar 149 juta kilometer dari bumi, namun pancaran sinarnya bisa digunakan menjadi sumber energi terbarukan. Sinar matahari tersebut dikonversikan menjadi energi listrik menggunakan teknologi fotovoltaik (photovoltaic/pv) yang terdapat di dalam panel surya.

Panel surya merupakan kumpulan sel surya yang ditata sedemikian rupa agar efektif dalam menyerap sinar matahari. Sedangkan yang bertugas menyerap sinar matahari adalah sel surya. Konversi energi surya menjadi listrik berawal saat sel surya menyerap cahaya, maka akan ada pergerakan antara elektron di sisi positif dan negatif. Adanya pergerakan ini menciptakan arus listrik sehingga dapat digunakan sebagai sumber energi untuk alat elektronik. 

Berdasarkan laporan Indonesia Solar Energy Outlook 2023 yang dikeluarkan IESR, tenaga surya memainkan peran penting dalam dekarbonisasi mendalam di Indonesia pada tahun 2060 atau lebih cepat pada 2050, setidaknya 88% dari kapasitas daya terpasang akan berasal dari tenaga surya pada 2050. Sayangnya, penggunaan tenaga surya di Indonesia baru mencapai 0,2 GWp dari kapasitas terpasang dan hanya menghasilkan kurang dari 1% dari total pembangkit listrik pada akhir tahun 2021.

Namun demikian, kemajuan energi surya Indonesia terlihat dari turunnya harga listrik PLTS yang diperoleh melalui perjanjian pembelian tenaga listrik (power purchase agreement (PPA)) yang dilakukan oleh PT PLN (Persero) dengan pengembang listrik swasta. Harga PPA PLTS telah turun sekitar 78% dari US$0,25/kWh menjadi US$0,056/kWh antara rentang 2015 dan 2022. Untuk itu, IESR memprediksi setidaknya dengan bertambahnya proyek PLTS skala besar, turunnya harga modul surya, dan membaiknya iklim investasi, harga investasi PLTS per unit akan terus turun, mendekati trend harga di dunia. Selain itu, dari sisi perkembangan project pipeline untuk PLTS skala besar, saat ini terdapat delapan proyek dengan total kapasitas 585 MWp (telah dilelangkan).

Pemerintah Indonesia Perlu Komitmen Kuat untuk Cegah Krisis Iklim

CAT

Jakarta, 6 Desember 2022 – Saat ini dunia mengalami perubahan iklim yang berpengaruh terhadap peningkatan intensitas bencana iklim dan mengancam  kehidupan manusia dan keanekaragaman hayati. Untuk itu, diperlukan komitmen pemerintah dan target yang konkret untuk  menurunkan emisi emisi. Salah satunya dengan menetapkan target yang lebih ambisius dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contributions (NDCs) yang telah disampaikan Indonesia pada September 2022 lalu,  yang berisikan peningkatan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sekitar 2%.

Berdasarkan dokumen NDC terbaru, Indonesia bertekad mengurangi emisi dengan skenario kemampuan sendiri (unconditional) sebesar 31,8% dan dengan bantuan internasional (conditional) sebesar 43,2% pada 2030. Namun berdasarkan penilaian target dan ambisi iklim Indonesia tersebut oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) yang merupakan anggota dari  Climate Action Tracker (CAT), konsorsium tiga think tank yang melakukan pemantauan dan penilaian terhadap kebijakan perubahan iklim di 39 negara dan Uni Eropa. IESR dan CAT menilai, NDC Indonesia sampai saat ini belum linear dengan target 1,5°C. Secara angka lebih kuat, tetapi masih belum mendorong aksi iklim lebih lanjut. Indonesia kemungkinan besar akan mencapai targetnya (kecuali kehutanan) tanpa upaya tambahan, sementara emisinya hampir dua kali lipat saat ini. Untuk itu, Indonesia perlu memperbarui Skenario Bisnis seperti-Biasa (BAU) agar linier dengan target yang lebih kuat.

“Indonesia berkontribusi terhadap pemanasan global, untuk itu diperlukan target penurunan gas rumah kaca (GRK) yang lebih ambisius. Semakin terlambat kita menghambat GRK maka risiko bencana iklim akan semakin besar. Misalnya saja bencana banjir, puting beliung, hal ini menandakan biaya yang harus dikeluarkan untuk mengatasi peristiwa tersebut juga lebih tinggi dan diperlukan penyelesaian yang tepat. Untuk itu, environmental cost perlu dihitung untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” jelas Fabby Tumiwa  Direktur Eksekutif IESR pada peluncuran hasil penilaian CAT terhadap aksi dan kebijakan iklim Indonesia.

Shahnaz Nur Firdausi, Peneliti Energi dan Iklim, IESR menyatakan,  energi terbarukan hanya menyumbang 13,5% dari bauran pembangkit listrik pada tahun 2021, Indonesia perlu membuat kemajuan substansial untuk memenuhi target 23% energi terbarukan pada tahun 2025. Beberapa penelitian telah menunjukkan bagaimana Indonesia dapat meningkatkan penggunaan potensi energi terbarukannya jauh melampaui rencana saat ini dan memasok 100% listriknya dengan sumber terbarukan pada tahun 2050.

“Walaupun batubara masih memainkan peran utama dalam sistem kelistrikan Indonesia, pemerintah telah merencanakan penghentian PLTU. Namun demikian,  untuk memenuhi batas suhu 1,5°C, penggunaan batubara di Indonesia harus turun hingga 10% pada tahun 2030 dan dihentikan secara bertahap pada tahun 2040.  Indonesia akan membutuhkan dukungan keuangan yang signifikan untuk merencanakan penghentian PLTU sesuai dengan Persetujuan Paris,” jelas Shanaz. 

Perencana Ahli Madya, Direktorat Lingkungan Hidup, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas),  Erik Armundito menegaskan, pihaknya memiliki kebijakan pembangunan rendah karbon, yang terintegrasi dengan prioritas nasional RPJMN 2020-2024, dilengkapi juga dengan strategi indikator dan target yang jelas setiap tahunnya. 

“Indikator makro yang dimaksud yakni persentase potensi penurunan GRK dengan target 27,3% di tahun 2024 dan persentase penurunan  intensitas GRK dengan 31,6% di tahun 2024. Penetapan target ini menjadi langkah maju Indonesia dalam pelestarian lingkungan. Selain itu, Bappenas memiliki aplikasi AKSARA untuk  pemantauan, evaluasi, dan pengendalian terhadap penurunan emisi GRK yang dihasilkan dari pembangunan rendah karbon,” jelas Erik. 

Direktur Eksekutif Yayasan Madani, Nadia Hadad menuturkan, diperlukan kolaborasi berbagai pihak untuk mendorong pencapaian target 1,5°C. Berbagai pihak harus memiliki peran dan berkontribusi. 

“Kita semua memiliki peran. Laporan CAT ini bukan mengkritik, tetapi untuk mendorong agar langkahnya lebih baik. Semuanya dilakukan untuk menyelamatkan bumi, untuk itu diperlukan akuntabilitas dan transparansi,” papar Nadia Hadad. 

Mahawan Karuniasa, Ketua Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIKI) menuturkan, emisi karbon yang dihasilkan seluruh negara di dunia diproyeksikan tidak boleh lebih dari 33 gigaton pada tahun 2030 untuk menjaga suhu bumi tidak lebih dari 1,5°C. Meski demikian, perkiraan emisi karbon yang dihasilkan mencapai 58 gigaton. 

“Apabila terdapat implementasi NDC di seluruh negara, maka perkiraan emisi bisa menurun menjadi 53-56 gigaton pada tahun 2030. Yang berarti masih ada gap yang besar sekali antara 20-23 gigaton. Jika gap tersebut tidak bisa dipenuhi semua negara, termasuk Indonesia, maka kita bisa mencapai di atas 1,5°C,” papar Mahawan. 

Sonny Mumbunan,  ekonom juga peneliti dari Research Center for Climate Change Universitas Indonesia, memandang perlu pula membahas bagian pembiayaan iklim secara mendalam pada  laporan Climate Action Tracker.

“Ketika Indonesia masuk menjadi anggota G20 dengan dinarasikan memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi, hal ini menjadi dilema tersendiri bagi Indonesia. Mengingat, Indonesia juga masih perlu dana dari negara lain. Hal ini juga mempengaruhi cara kita mendekati sektoral di energi, di sektor berbasis lahan maupun sektor loss and damage. Kelihatannya Indonesia memerlukan pendekatan berbeda berdasarkan profiling dirinya, yang berada antara negara maju maupun negara berkembang,” tegas Sonny. 

Climate Action Tracker adalah sebuah inisiatif yang melakukan analisis ilmiah independen yang melacak aksi iklim negara dan mengukurnya terhadap tujuan Paris Agreement yang disepakati secara global untuk menahan pemanasan jauh di bawah 2°C, dan mengejar upaya untuk membatasi pemanasan hingga 1,5°C. CAT telah memberikan analisis independen terhadap sekitar 40 negara sejak 2009. Anggota CAT terdiri dari Climate Analytics, New Climate Institute, dan Institute for Essential Services Reform (IESR) yang bergabung sebagai mitra sejak 2022.  

COP27: Upaya Negara di Dunia Kejar Nir Emisi pada 2050

Mesir, 9 November 2022 – Komitmen yang ambisius negara di dunia untuk mencapai netral karbon pada pertengahan abad ini menjadi krusial, terutama saat ini suhu bumi telah meningkat menjadi 1,1 derajat Celcius setelah pra industri.  Mengukur kebijakan dan strategi negara di dunia untuk mencapai bebas emisi perlu dilakukan untuk mendorong mitigasi iklim yang sejalan dengan Persetujuan Paris.   

Manajer Program Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR), Deon Arinaldo dalam side event COP27 di Sharm El-Sheik, Mesir dengan tajuk Net-0 scenarios and How to Get Them Right” yang diselenggarakan oleh  International Network of Energy Transition Think Tanks (INETTT)  menjelaskan, Pemerintah Indonesia sebenarnya telah menyadari urgensi transisi energi. Hal ini bisa dilihat dari adanya strategi pembangunan rendah karbon dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang menunjukkan manfaat yang besar jika Indonesia mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) bersyaratnya pada 2030, mulai dari pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, penciptaan lapangan kerja, dan membaiknya kualitas kesehatan. 

Namun, Indonesia masih memberikan subsidi energi fosil yang signifikan. Deon menegaskan, kebijakan subsidi energi fossil kontra produktif terhadap upaya melakukan transisi energi dan mencapai dekarbonisasi di pertengahan abad ini. 

“Subsidi energi telah membebani belanja negara, apalagi dengan kenaikan harga komoditas pada tahun 2022. Subsidi energi menjadi “hambatan” transformasi energi, reformulasi subsidi energi menjadi agenda prioritas pemerintah,” tegas Deon. 

Memperhatikan  kondisi tersebut, berdasarkan kajian IESR berjudul “Deep Decarbonization of Indonesia’s Energy System” Deon merekomendasikan, skenario kebijakan terbaik (Best Policy Scenario) untuk pengurangan emisi dalam sistem energi melalui tiga tahap yakni menurunkan emisi gas rumah kaca pada tahun 2030, menghilangkan sebagian besar emisi melalui transformasi sistem energi pada tahun 2045 dan mencapai nir emisi melalui peningkatan produksi bahan bakar sintetis hijau dan dekarbonisasi di sektor industri pada tahun 2050.

“Dengan strategi tersebut, mencapai emisi nol pada tahun 2050 secara teknis dan ekonomis menjadi memungkinkan dan hal ini membuka peluang untuk meningkatkan kebijakan iklim. Tahun 2020-2030 menjadi periode kritis dalam upaya dekarbonisasi,” terang Deon. 

Nhien Ngo To, Vietnam Initiative for Energy Transition menuturkan, Vietnam telah menerapkan strategi mengurangi emisi menjadi net zero emissions pada tahun 2050. Strategi tersebut menetapkan tujuan keseluruhan untuk beradaptasi secara proaktif dan efektif. Kemudian, meminimalkan kerentanan dan kerusakan yang diakibatkan oleh perubahan iklim.

“Namun, terdapat beberapa tantangan yang masih dihadapi yakni penggunaan energi yang tidak efisien, intensitas energi yang tinggi, kurangnya pembiayaan,, kurangnya tenaga kerja terampil untuk transisi energi, dan kesenjangan dalam koordinasi pemangku kepentingan utama,” jelas Nhien Ngo To.

Dalam kesempatan yang sama, Manajer Program Pendanaan Iklim dan Energi Green Cape, Jack Radmore, menuturkan, Afrika Selatan mempunyai sektor kebijakan dan rencana yang cukup matang terkait ekonomi hijau dan dekarbonisasi. Hal ini bisa dilihat strategi respon perubahan iklim nasional sejak tahun 2004 yang telah ditingkatkan dan diadaptasi selama bertahun-tahun.

“Afrika Selatan telah membentuk komite percepatan transisi energi dan pemerintah juga telah mengadopsi target pengurangan emisi yang lebih ambisius. Mengingat 90 persen listrik di Afrika Selatan masih bergantung dari PLTU dengan lebih dari 600.000 orang bekerja di sektor pertambangan,” tegas Jack Radmore. 

Al Kumba, Direktur Transisi Energi, SHURA, menyatakan, Turki telah mengambil langkah signifikan dalam hal dekarbonisasi sektor listrik selama dekade terakhir. Saat ini 50 persen daya terpasang di Turki berasal dari energi terbarukan dan dalam hal pembangkit listrik sekitar 40 persen berasal dari energi terbarukan. Namun, bauran energi Turki masih bergantung pada bahan bakar fosil, hanya sekitar 16 persen yang disuplai energi terbarukan. 

“Dekarbonisasi menjadi hal penting bagi Turki. Beberapa langkah nyata mewujudkan dekarbonisasi yakni Turki telah meratifikasi Perjanjian Paris pada Oktober 2021 dan mengumumkan ambisinya untuk mencapai netral karbon pada 2053. Turki juga memiliki rencana aksi hijaunya yakni membuat pelabuhannya lebih ramah lingkungan dan memperluas hutan dan kawasan lindung, serta Turki menjadi salah satu negara yang memimpin dalam memerangi penggurunan dan erosi,” tegas Al Kumba.