RPP KEN Pangkas Target EBT Menjadi 19 Persen di 2025

press release

Jakarta, 31 Januari 2024 – Dewan Energi Nasional (DEN) tengah menggodok pemutakhiran Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional dengan rancangan kebijakan baru (RPP KEN) yang tengah dibahas dengan DPR. DEN menjadwalkan RPP KEN akan rampung pada Juni 2024. Target energi baru terbarukan (EBT) yang terangkum pada RPP KEN dibuat berdasarkan asumsi tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 4-5 persen menyesuaikan Pasca-COVID dan menyetarakan energi nuklir sebagai energi terbarukan. Hasilnya, RPP KEN menetapkan target bauran EBT di 2025 turun dari sebelumnya 23 persen menjadi 17-19 persen. Sementara, target EBT di 2050 meningkat dari 30 persen menjadi 58-61 persen dan di 70-72 persen pada 2060.

Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang penurunan target bauran energi terbarukan menjadi 17-19 persen pada 2025 dan 19-21 persen pada 2030 menyiratkan lemahnya komitmen untuk melakukan transisi energi dan saratnya kepentingan untuk mempertahankan energi fossil. IESR justru memandang tahun 2025 hingga 2030 sepatutnya menjadi tonggak penting lepas landasnya transisi energi di Indonesia dengan pencapaian target energi terbarukan lebih dari 40 persen dan puncak emisi sektor energi di 2030. Capaian bauran energi terbarukan yang ambisius di dekade ini penting agar bisa menyelaraskan emisi GRK Indonesia sesuai dengan target Persetujuan Paris  untuk membatasi kenaikan rata-rata temperatur global di bawah 1,5 derajat Celcius.

Sementara itu, terlambatnya menggenjot bauran EBT sebesar 38-40 persen di 2040 akan membuat Indonesia tidak meraup manfaat yang lebih besar dari pengembangan energi terbarukan, di antaranya harga listrik yang  lebih murah dan kompetitif untuk jangka panjang, rendahnya emisi listrik di grid yang menjadi daya tarik investasi, berkembangnya  industri manufaktur dan rantai pasok energi terbarukan dalam negeri dan penciptaan kesempatan kerja dari energi terbarukan yang lebih besar. Rendahnya bauran energi terbarukan menuju 2030, juga dapat mengurangi daya tarik investasi luar negeri ke Indonesia, pasalnya, industri dan perusahaan multinasional saat ini sudah gencar untuk memastikan kebutuhan energi mereka dipasok dari sistem kelistrikan yang rendah emisi dan akses penuh pada  energi terbarukan.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menyebutkan penetapan target bauran energi terbarukan yang rendah di 2025 dan 2030 ini tidak sejalan dengan target bauran energi terbarukan dalam kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP) yang membidik 44 persen pada 2030.

“JETP telah menyepakati target bauran energi terbarukan di atas 34 persen di 2030 dan target ini selaras dengan rencana RUKN yang dibahas berbarengan dengan Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) tahun lalu. Target bauran energi terbarukan yang diusulkan DEN membuat kredibilitas arah kebijakan transisi energi Indonesia diragukan oleh investor dan dunia internasional.  Ketimbang menurunkan target dengan alasan realistis, DEN seharusnya lebih progresif untuk melakukan transisi energi. Sebagai lembaga yang dipimpin Presiden, DEN justru dapat membongkar hambatan-hambatan koordinasi, tumpang tindih kebijakan dan prioritas untuk membuat energi terbarukan dan efisiensi energi melaju kencang,” ungkap Fabby Tumiwa.

IESR memandang strategi dalam RPP KEN seperti pengoperasian PLTN berkapasitas 250 MW di 2032 dan penggunaan CCS/CCUS pada PLTU yang masih beroperasi pada 2060 ini belum didasarkan pada kelayakan teknis dan ekonomis di Indonesia sampai saat ini. PLTN dengan kapasitas kecil dari 300 MWe, small modular reactor, masih belum tersedia teknologi yang terbukti aman dan ekonomis. Indonesia sendiri masih harus membangun infrastruktur institusi (NEPIO), kesiapan regulator, standar keamanan, serta ketersediaan teknologi SMR yang sudah teruji, serta persetujuan masyarakat, sebelum mulai membangun PLTN. 

Adapun  aplikasi CCS/CCUS pada PLTU hingga saat ini masih menjadi solusi mahal dan tidak efektif untuk menangkap karbon, walaupun teknologi ini sudah dikembangkan puluhan tahun. Contoh  proyek CCS di Boundary Dam Kanada dan juga di PLTU Petranova di US menunjukan masalah teknis untuk memenuhi target penangkapan karbonnya dan keekonomiannya tidak layak.

Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi IESR menuturkan Indonesia akan terbeban dengan biaya penerapan CCS pada PLTU yang mahal, biaya operasional yang rentan volatilitas serta tidak berkelanjutan. Sedangkan pembangunan PLTN menjadi antiklimaks di tengah menurunnya kapasitas PLTN dunia setelah tragedi nuklir di Fukushima.

“Pada dekade ini, seharusnya strategi mitigasi emisi GRK Indonesia pada sektor energi dapat difokuskan pada pembangunan teknologi energi terbarukan dan energy storage yang sudah terbukti dapat menyediakan energi dengan biaya kompetitif dengan PLTU batubara yang masih dapat subsidi. PLTS (energi surya) dan PLTB (energi angin) secara waktu konstruksi dapat dilakukan dengan cepat, sehingga pekerjaan rumah yang perlu diperbaiki adalah bagaimana menyiapkan pipeline proyek-proyek yang siap untuk diinvestasikan serta proses pengadaan di PLN,” jelas Deon.

Kontan | RPP KEN Bakal Setarakan Penggunaan Pembangkit Nuklir dengan Energi Baru Terbarukan

Dewan Energi Nasional (DEN) tengah menggodok pemutakhiran Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) dengan rancangan kebijakan baru yang tengah dibahas dengan DPR. DEN menjadwalkan  Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) KEN akan rampung pada Juni 2024.

Baca selengkapnya di Kontan.

Menggapai Target 23% Bauran Energi Terbarukan 2025

Jakarta, 16 Januari 2024 – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan realisasi bauran energi baru dan terbarukan (EBT) sekitar 13,1% pada 2023, hanya naik 0,8% dari realisasi pada 2022 sekitar 12,30%. Lambatnya pertumbuhan EBT di Indonesia ini beriringan dengan pemberian subsidi fosil yang masih berjalan. Berdasarkan laporan Bank Dunia yang berjudul Detox Development, Repurposing Environmentally Harmful Subsidies (Juni 2023), tercatat Indonesia  merupakan negara pemberi subsidi energi fosil terbesar di ASEAN, sekaligus terbesar ke-8 di skala global pada 2021.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa memaparkan, terdapat persoalan sistemik dalam mencapai target bauran energi terbarukan pada 2025. Hal ini berkaca dari perkembangan energi terbarukan yang setiap tahunnya tidak begitu signifikan. Salah satu persoalan sistemik tersebut, kata Fabby, yakni subsidi energi fosil. 

“Subsidi energi fosil ini memberikan insentif kepada PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk tetap mempertahankan operasi PLTU sehingga biaya listriknya menjadi murah. Adanya subsidi energi fosil membuat harga listrik PLTU tidak mencerminkan harga sebenarnya. Di sisi lain, sebenarnya harga energi terbarukan sudah semakin kompetitif, tetapi tidak bisa masuk ke dalam sistem PLN karena masih banyak bahan bakar PLTU yang disubsidi,” ujar Fabby di program acara Energy Corner CNBC Indonesia berjudul “Energi Fosil Masih Disubsidi, Bauran EBT 23% di 2025 Sulit Tercapai?” pada Selasa (16/1/2024).

Selain itu, Fabby menekankan, hal yang mempengaruhi perkembangan energi terbarukan yakni pengadaan pembangkit energi terbarukan di PLN. Fabby menilai, PLN tidak pernah sesuai dengan hal yang sudah direncanakan berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Menurut Fabby, koreksi mengenai hal tersebut juga tidak pernah dilakukan. 

“Adanya lelang pembangkit yang terlambat ataupun tidak dilakukan, membuat tidak siapnya pembangkit energi terbarukan saat ini. Beberapa faktor yang mempengaruhi lelang seperti regulasi, di mana kita ada perubahan dari Permen ESDM No 50 Tahun 2017, yang kemudian revisinya cukup lama, di mana menghasilkan Perpres No 112 Tahun 2022. Kemudian, adanya kondisi kelebihan listrik (overcapacity) di sistem kelistrikan Jawa-Bali. Ada juga faktor kapasitas internal PLN yang mempengaruhi hal tersebut,” papar Fabby Tumiwa.