Inisiasi ‘Kampung Surya’ Menjaring Warga untuk Bekerja di Sektor Energi Surya

pelatihan anak muda memasang plts atap di jakarta

Jakarta, 25 Maret 2021 – Sesuai dengan namanya, ragam warna yang menempel di dinding rumah segera menyapa mata saat memasuki Kampung Warna Warni di RW 3 kelurahan Kebon Pala, Cililitan, Jakarta Timur. Berkumpul di Balai Warga, sekitar 10 orang yang didominasi kaum muda, lengkap dengan maskernya, berkumpul untuk mendapatkan pelatihan teknis pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya atap yang diadakan oleh IESR bekerja sama dengan salah satu perusahaan pengembangan PLTS atap, ATW Solar  kepada warga yang tergabung dalam FAKTA (Forum Warga Kota Jakarta) ini.

Turunnya biaya pemasangan instalasi surya dan angin dalam satu dekade belakangan membuat pemakaian energi terbarukan semakin massif. Saat ini, dengan investasi sebesar 15 – 20 juta rupiah, masyarakat bisa menikmati listrik ramah lingkungan dari PLTS atap hingga 25-30 tahun. Tidak hanya itu, setidaknya di sektor tenaga kerja, berbagai kalangan masyarakat, tanpa persyaratan pendidikan tinggi, dapat turut andil melakukan pekerjaan instalasi panel surya dengan mengikuti pelatihan yang cenderung singkat dan mudah dipahami. Akan tetapi, jika melihat masa pakai PLTS dan perhitungan jangka waktu balik modal nilai investasi ini kompetitif. Menurut perhitungan IESR, masa balik modal (return of investment period) berkisar antara 7 – 10 tahun. Setelah masa tersebut, dapat dikatakan bahwa pengguna PLTS atap menikmati listrik murah, bersih, dan ramah lingkungan.

Selama 2 hari (25-26/3), sekitar 10 orang peserta antusias mengikuti jalannya pelatihan yang dipandu oleh pelatih dari ATW Solar. Hari pertama, peserta mendapat pemahaman dasar tentang teknologi PLTS atap, macam-macam jaringan pemasangan, komponen, dan safety induction saat pemasangan. Sementara di hari kedua, meski panas menyengat, para peserta yang didominasi oleh anak-anak muda ini tetap bersemangat melakukan praktik pemasangan panel surya. Menariknya, selain memberikan pelatihan, ATW Solar membuka peluang bagi para peserta yang mempunyai potensi dan ketertarikan dengan PLTS atap untuk menjadi tenaga lepas ATW Solar sehingga dapat menangani proyek di wilayah tersebut kelak. Hal ini ditegaskan oleh Chairiman, VP Retail and Residential ATW Solar. Ia mengungkapkan bahwa dari sisi peluang kerja, tenaga pemasang (installer) akan banyak dibutuhkan di masa depan. Menurutnya, pemerintah Indonesia sudah menetapkan target satu juta PLTS atap. Namun, sampai saat ini baru sekitar 3000 pelanggan PLN yang menggunakan PLTS atap.

“Saat ini baru 3000 pelanggan PLN yang menggunakan PLTS atap, padahal targetnya satu juta pengguna, jadi masih ada sekitar 997 ribu rumah lagi yang akan memasang PLTS. Jika dalam 1 instalasi kami butuh 4-5 orang, makin banyak tenaga kerja yang kami butuhkan untuk menggarap itu,” tutur Chairiman.

Direktur eksekutif IESR, Fabby Tumiwa dalam sambutannya menyatakan bahwa inisiatif Kampung Surya ini harus menjadi milik masyarakat setempat. Sehingga keberlanjutan program ini dapat terus berjalan. 

“Angkatan yang pertama ini dilatih oleh ATW dilanjutkan juga untuk on the job training dan harapan kami sampai bisa menjadi tenaga freelance untuk installer PLTS atap. Nah selanjutnya teman-teman yang sudah ikut pelatihan ini bisa melatih lagi orang lain di kampung ini atau bahkan di kampung sebelah,” tandas Fabby.

Hal senada disampaikan oleh ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), Azas Tigor Nainggolan, “PLTS inikan teknologi yang akan banyak dipakai di masa depan jadi kita harus siap-siap supaya tidak hanya jadi penonton, tapi kita bisa ambil peluang-peluang yang ada di masa depan.” 

Bagas Septiansah, Ketua Karang Taruna Wilayah RT01 RW 03, Kelurahan Kebon Pala, yang menjadi salah seorang peserta mengaku bahwa pelatihan proses pemasangan dapat ia pahami  dengan mudah. 

“Sebelumnya, saya hanya lihat  ia panel surya di bangunan – bangunan besar di Jakarta tanpa saya tahu apa itu PLTS. Namun, setelah pelatihan ini, saya semakin memahami kegunaan panel surya dan proses penggunaan energi matahari menjadi energi listrik untuk kegiatan sehari-hari,” ungkapnya.

Bagas berkomitmen untuk menyebarkan pengetahuan yang ia dapatkan kepada kelompok pemuda yang ia pimpin juga merawat panel surya yang sudah dipasang di Balai Warga.

Salah seorang peserta, Iskandar, ternyata sudah lama memasang panel surya off grid, hanya ia merasa pengetahuannya semakin bertambah setelah mengikuti pelatihan, terutama mengenai PLTS hybrid dan on grid.

“Di rumah, setelah pasang PLTS off grid, saya merasa ada pengurangan pembayaran listrik, karena saya menggunakan listrik PLTS dan PLN bergantian. Dengan adanya PLTS berdaya 40 Wp, pembayaran tagihan listrik saya bisa turun 20 persen,” imbuhnya.

Inisiatif Kampung Surya ini merupakan yang pertama di Jakarta, dimana tidak sekedar memasang PLTS namun juga memberdayakan warga setempat sebagai tenaga kerja terampil untuk installer. Dengan adanya inisiatif ini, diharapkan energi bersih semakin dapat dinikmati oleh semua kalangan karena energi yang bersih dan berkualitas adalah hak setiap warga masyarakat. Melalui skema pelatihan dan pemasangan PLTS untuk fasilitas umum ini masyarakat dapat melihat dan menikmati manfaat dari memasang PLTS atap seperti munculnya lapangan kerja, mendapat listrik yang bersih, dan juga ramah lingkungan.

Potensi Teknis Energi Surya Indonesia Lebih Tinggi, IESR Dorong Pemerintah Perbaharui Data Potensi Energi Terbarukan

18 Maret 2021-Indonesia memiliki potensi teknis tenaga surya yang jauh lebih besar dibandingkan 207 GW yang merupakan data resmi yang dirilis oleh pemerintah Indonesia melalui kementerian ESDM tahun 2017. Hal ini dibuktikan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerja sama dengan Global Environmental Institute (GEI) dalam peluncuran kajian “Beyond 207 Gigawatts: Unleashing Indonesia’s Solar Potential” (18/3).

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam sambutannya menjelaskan bahwa berdasarkan potensi teknis dan kesesuaian lahan, tenaga surya di Indonesia bisa mencapai 3000-20.000 GWp.

“Bila potensi teknis yang paling sedikit saja, 3 GW, dimanfaatkan secara efektif, maka dapat memenuhi 7 kali dari konsumsi listrik dari tahun 2018,” ujarnya.

IESR mengukur potensi teknis ini dengan menggunakan data geospasial sehingga lahan yang cocok untuk PLTS dapat diidentifikasi.

Fabby menambahkan bahwa kajian ini merekomendasikan kepada pemerintah untuk memperbaharui sumber data energi terbarukan sehingga dapat memberikan sinyal yang lebih baik untuk mengembangkan energi surya ke depan.

“Tentu saja, hal tersebut akan meningkatkan pula kepercayaan diri berbagai pihak yang terlibat dalam pengembangan energi surya bahwa Indonesia dapat mengandalkan tenaga surya untuk memenuhi kebutuhan energi bersih. Selain itu, kajian ini mendukung upaya PLN untuk mengembangkan tenaga surya, dan pemerintah daerah dalam mengimplementasikan Rencana Umum Energi Daerah,” tegasnya.

Dalam tataran global, data ini dapat digunakan oleh pemerintah Indonesia untuk memperkuat komitmennya dalam aksi iklim secara global, seperti yang diungkapkan oleh Mme. Jiaman Jin, Direktur Eksekutif GEI. GEI, secara khusus, mempunyai program untuk membantu negara berkembang dalam mengembangkan energi terbarukan dengan memberikan penguatan kapasitas, bantuan teknis dan finansial.

“Cina dan negara-negara di Asia Tenggara telah berkolaborasi dalam program aksi iklim global, termasuk dengan Indonesia. Bila ditilik dari komitmen Persetujuan Paris, hingga kini ada 29 negara yang sudah menargetkan netral karbon dengan mengandalkan energi terbarukan. Cara lain untuk netral karbon adalah dengan penyimpanan karbon (carbon storage) dan perdagangan karbon (carbon credit). Dua hal ini pula yang Cina sedang kembangkan saat ini,” urainya.

Agar tercapai komitmennya dalam Persetujuan Paris, Indonesia sedang berupaya untuk mencapai target 23% bauran energi terbarukan di 2025. Namun hingga akhir tahun 2020, hanya terealisasi sebesar 11,5%. Sementara dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sendiri, pemerintah mempunyai target untuk pengembangan tenaga surya sebesar 6,5 GW hingga 2025.

“Namun target tersebut sedang dalam peninjauan, dan ternyata, surya (fotovoltaik) ditargetkan untuk mewakili sepertiga (17.6 GW) dari total pembangkit listrik bersih sebesar 48 GW pada tahun 2035 dalam grand strategy energi nasional yang dipersiapkan oleh Kementerian ESDM dan Dewan Energi Nasional (DEN). Sekitar 60 atau 76 persen diharapkan berasal dari tenaga surya skala utilitas termasuk PLTS terapung,” ulas Daniel Kurniawan, Penulis Utama Laporan Kajian “Beyond 207 Gigawatts: Unleashing Indonesia’s Solar Potential”.

Daniel menjelaskan dari 23 jenis tutupan lahan yang ada, tim peneliti IESR memilih jenis lahan yang sesuai untuk pembangunan PLTS. Terseleksi hanya 9 jenis tutupan lahan yang digunakan untuk pemetaan potensi teknis PLTS.

“Hutan tanaman (man-made forest) dan lahan pertanian kering dan kering campur belukar juga termasuk dari jenis lahan yang dihitung, sebabnya ketiga lahan tersebut ditemukan dapat diakuisisi dalam pengembangan proyek PLTS 3 x 7 MWp di Lombok dan proyek PLTS 21 MWp di Likupang, Sulawesi Utara,” jelasnya.

Menggunakan skenario paling optimistis, 9 jenis tutupan lahan seluas 1,9 juta km2, hasil yang diperoleh dari penghitungan potensi teknis PLTS sangat melimpah hingga mencapai 19.8 TWp, yang berarti 95 kali lebih tinggi dari pada estimasi pemerintah.

“Potensi teknis terbesar berada di Kalimantan, Sumatera, Jawa Barat dan Jawa Timur,” jabar Daniel.

Menyinggung tentang Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) (2021-2030) yang sedang disusun oleh PLN, Daniel menjelaskan bahwa hingga saat ini belum ada informasi pasti mengenai alokasi target kapasitas untuk untuk tenaga surya dari total 3,7 GW rencana kapasitas gabungan untuk tenaga surya, bayu, dan sampah dalam RUPTL mendatang.

Data Potensi Teknis Akan Dorong Optimalisasi Pengembangan PLTS 

Data kajian potensi teknis teranyar yang diluncurkan IESR ini juga dapat digunakan oleh pemerintah daerah untuk mengoptimalkan pengembangan energi terbarukan. Daniel mencontohkan Bali dan Sumba sebagai dua pulau di Indonesia yang sudah mempunyai modal yang cukup ditinjau dari konsistensi pemerintah daerah dalam mendorong pemanfaatan PLTS melalui kebijakan yang mereka terbitkan dan juga potensi teknis PLTS-nya.

Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Direktorat Jenderal EBTKE Chrisnawan Anditya dalam kesempatan yang sama, mengatakan bahwa pihaknya akan memperbaharui data potensi teknis tenaga surya di Indonesia.

“Selain itu, kami juga berusaha untuk mengidentifikasi potensi matahari sesuai dengan jalur transmisi. Semakin baik jalur transmisi maka pengembangan PLTS akan semakin besar. Namun bila lokasi di luar jalur transmisi maka kita akan mengembangkan melalui off-grid,” tutur Chrisnawan.

Senada, Wakil Presiden Eksekutif Divisi Energi Baru dan Terbarukan PLN, Cita Dewi mengungkapkan bahwa PLN mempunyai komitmen untuk meningkatkan pengembangan energi terbarukan. Hanya saja, akibat pandemik COVID-19, PLN masih berhadapan dengan kondisi permintaan energi listrik yang rendah.

“Krisis permintaan ini kemungkinan akan berlangsung 2 hingga 3 tahun ke depan. Namun pendekatan yang kami lakukan untuk mengejar target energi terbarukan diantaranya mempercepat penyelesaian pembangkit listrik surya, air, geothermal, dan mempertimbangkan untuk mengkonversi 5000 pembangkit listrik tenaga diesel dengan surya. Potensinya sebesar 2 GW,” jelas Cita.

Dari sisi pengembang, Andhika Prastawa, Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), menuturkan bahwa hasil kajian tersebut bermanfaat bagi pengembang untuk menggali lebih banyak peluang untuk berinvestasi PLTS di Indonesia. Hanya saja, menurutnya, hal ini tetap harus selaras dengan keberpihakan pemerintah dalam menetapkan kebijakan yang ramah bagi para pengembang PLTS.

“Keekonomian PLTS sudah kompetitif, namun hingga kini peraturan net metering masih di 6.5, sebaiknya diubah menjadi 1, sehingga memberikan dampak psikologis yang baik bagi pasar PLTS,” imbuh Andhika.

Sependapat dengan Andhika, Herman Darnel Ibrahim, anggota Dewan Energi Nasional mengharapkan bahwa akan ada pembaharuan dalam kebijakan net metering. Ia juga menegaskan bahwa dari segi instalasi, PLTS merupakan energi terbarukan yang paling mudah dikembangkan karena tersedia di hampir semua tempat di Indonesia, sehingga mudah dipanen dalam bentuk  PLTS, serta mempunyai beragam skala, sehingga cepat dibangun.

Wirawan, Plt. Presiden Direktur, PT PJB Investasi mengapresiasi hasil kajian IESR dan menawarkan untuk menghitung pula potensi teknis dari sekitar 192 bendungan dan waduk yang tersebar di Indonesia.

“Daerah tangkapan air di Indonesia kurang lebih sekitar 86 ribu hektar. Ini merupakan potensi yang besar pula untuk pengembangan PLTS apung,”usulnya.

Resmikan PLTS Atap Terbesar di Jateng: Keniscayaan Transisi Energi

Refleksi Satu Tahun Jateng Solar Province

Klaten, 6 Oktober 2020 — Satu tahun semenjak pencanangan Jawa Tengah (Jateng) sebagai  pionir provinsi surya (Jawa Tengah Solar Province)  pada 17 September 2019 oleh Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Tengah yang bekerja sama dengan Institute Essential Services Reform (IESR) yang juga didukung oleh Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), perkembangan pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap di Jateng semakin meningkat. 

Provinsi Jawa Tengah sendiri memiliki potensi radiasi energi surya 4,05 kWh/kWp per hari, sedikit di atas rata-rata Indonesia (3,75 kWh/kWp). PLTS Atap merupakan solusi utama untuk pemanfaatan potensi tersebut. Pemasangan PLTS dapat membantu Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mencapai target bauran energi terbarukan dalam Rencana Umum Energi Daerah (RUED) tahun 2020 sebesar 11,60%.

Potensi Teknis PLTS Terapung di Jawa Tengah

Inisiasi Jateng Solar Province ini ternyata selaras dengan upaya PT Tirta Investama (Danone- AQUA) menggunakan listrik energi terbarukan. Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) di Jawa Tengah ini pada 6 Oktober 2020 meresmikan instalasi PLTS Atap sebesar 2,9 MWp di pabriknya di Klaten. PLTS Atap yang dipasang di pabrik AQUA di Klaten terdiri dari 8.340 modul panel surya di empat gedung atap seluas 16.550 m2. Pembangkit ini dapat menghasilkan energi untuk 2500 unit rumah dengan daya terpasang 900 VA.

Sebagai bagian dari RE100, grup Danone secara global berkomitmen untuk menggunakan energi terbarukan 100% untuk operasionalnya pada 2030. Instalasi PLTS Atap merupakan bagian untuk memenuhi target tersebut. Dengan peresmian di Klaten, sampai 2020 Danone-AQUA telah mengoperasikan 5,67 MWp PLTS di empat pabriknya.   

Fabby Tumiwa,  Direktur IESR, yang menjadi penanggap di acara peluncuran ini mengapresiasi langkah PT Tirta Investama dengan pemanfaatan energi terbarukan yang dapat berkontribusi pada penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sesuai komitmen Indonesia untuk mencapai target Paris Agreement. PLTS Atap juga memberikan kontribusi penting terhadap komitmen Jawa Tengah mewujudkan Jateng Solar Province

Dia juga menyoroti pula keterlibatan Total Solar selaku perusahaan multinasional yang awalnya berkecimpung di bidang minyak dan gas yang saat ini beralih ke sektor energi terbarukan.

“Investasi PLTS Atap oleh Danone-AQUA adalah fenomena menarik karena mempertemukan dua perusahaan multinasional yang saling bersinergi mendorong transisi energi global untuk memastikan kenaikan suhu global tidak melebihi 2 derajat,” paparnya.

Menurutnya, transisi energi merupakan sebuah keniscayaan melihat banyaknya pelaku industri di dunia yang menetapkan target untuk menggunakan listrik yang bersih melalui pemanfaatan teknologi energi terbarukan. 

Menurut Fabby, investasi PT Tirta Investama menunjukan bahwa teknologi PLTS semakin terjangkau dan kompetitif harga listriknya. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa harga modul surya turun 90 persen dalam 1 dekade terakhir, harga listrik dari PLTS semakin murah dan dapat menandingi pembangkit fosil seperti PLTU. Pemanfaatan PLTS yang meluas juga menunjukan bahwa isu intermitensi energi terbarukan bukanlah kendala yang tidak dapat diatasi. Ini membongkar mitos yang selama ini beredar bahwa PLTS tidak handal dan mahal. 

Menyoal target pemerintah untuk bauran energi terbarukan sebesar 23 persen di tahun 2025, Harris Yahya, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, Kementerian ESDM  memaparkan bahwa masih ada selisih antara target dan perencanaan yang cukup besar yang harus segera diatasi. 

“Saat ini, proyeksi kita masih ada di 15 persen dari 23 persen,” ungkapnya.

Harris menjelaskan bahwa pemerintah sudah melakukan beberapa tindakan untuk memenuhi target selisih 8 persen tersebut.

“Pemerintah sudah mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) nomor 49 Tahun 2018 yang sudah mengalami perbaikan menjadi Permen nomor 13 Tahun 2019 dan nomor 16 Tahun 2019. Usahanya ini untuk membuat PLTS Atap menjadi lebih menarik tidak hanya di industri rumah tangga tapi tapi juga semua bangunan komersial,” imbuhnya.

Ganjar  Pranowo, Gubernur Jawa Tengah memuji langkah industri untuk penerapan energi ramah lingkungan. Ganjar menegaskan pentingnya transformasi perilaku dalam memasuki era transisi energi ini.

“Ada lampu tenaga surya untuk penerangan jalan yang mati karena tidak dirawat atau aki (baterai) nya hilang. Dana perawatan dari pemerintah pusat tidak tersedia tapi hal seperti ini dapat dilakukan oleh pemerintah daerah. Oleh karena itu perlu payung kerjasama antar lembaga pemerintah, pelatihan untuk merawatnya serta perlu keseriusan dari berbagai pihak sehingga teknologinya dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan” ungkapnya.

Ganjar berpendapat Indonesia bisa bergerak lebih maju di bidang PLTS karena tersedianya bahan dasar pembuatan sel surya. Oleh karena itu Indonesia perlu membangun industri sel surya dan pendukung lainnya. 

“Bekerja sama dengan perguruan tinggi di Indonesia, kita pasti bisa membuat teknologi sel, modul surya, baterai yang bisa diproduksi massal untuk rumah tangga,”simpul Ganjar pula (US, FT).

Peringatan 1 Tahun Jawa Tengah Solar Province

Pada 17 September 2019, Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah memulai kerjasama dengan IESR untuk mendorong Jawa Tengah menjadi pionir provinsi surya (Jawa Tengah Solar Province) di Indonesia dengan tujuan implementasi Rencana Umum Energi Daerah (RUED) yang lebih ambisius. Kerjasama ini diresmikan dalam bentuk nota kesepahaman antara Gubernur Jawa Tengah dengan Direktur Eksekutif IESR. Dalam satu tahun terakhir, IESR bersama Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah melakukan diskusi dan kajian untuk pengembangan energi surya di Jawa Tengah.

Selayang pandang dan refleksi 1 tahun inisiatif Jawa Tengah Solar Province ini akan diselenggarakan pada Selasa, 6 Oktober 2020, pukul 09.30.

Saksikan siaran langsungnya segera di laman ini.

Kementerian ESDM dan IESR Gelar Sosialisasi PLTS Atap



Kementerian ESDM dan IESR Gelar Sosialisasi PLTS Atap: Tingkatkan Geliat Sektor Industri di Jabodetabek untuk Memanfaatkan Energi Terbarukan

Bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), Institute for Essential Services Reform (IESR) menyelenggarakan Sosialisasi dan Diskusi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap untuk sektor industri, 29 Januari 2020 lalu di Kota Bekasi, Jawa Barat. Acara ini diikuti oleh lebih dari 40 peserta yang berasal dari Bappeda, Pelaku Bisnis dan Kawasan Industri se-Jabodetabek.

Energi surya merupakan jenis energi terbarukan yang mudah untuk diaplikasikan dalam beragam skala dan di berbagai lokasi, baik terpasang di atap atau pun di atas tanah (ground-mounted). Desain sistem pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang bersifat modular membuatnya mudah untuk disesuaikan dengan kebutuhan pengguna, mulai dari konsumen rumah tangga, bisnis, pemerintah, dan industri. Salah satu sektor yang dapat memanfaatkan PLTS atap dengan optimal adalah sektor industri, mengingat sektor ini sangat energy-intensive dengan profil beban yang cukup merata sepanjang hari. Dengan memasang PLTS atap, pelaku industri dapat menggantikan kebutuhan listriknya, utamanya di siang hari, yang sebelumnya bersumber dari energi fosil menjadi energi terbarukan.

Dalam sambutannya, Kasubdit Implementasi Pengembangan Aneka Energi Baru Terbarukan (EBT) Dirjen EBTKE, Pandu Ismutadi, menyampaikan pentingnya pemanfaatan energi baru dan terbarukan sebagai aksi mitigasi perubahan iklim yang telah menjadi komitmen pemerintah semenjak meratifikasi Paris Agreement. Pemerintah sendiri memiliki target 23% bauran EBT untuk energi primer di tahun 2025, namun hingga semester 1 2019, realisasinya baru mencapai 8,85%. Pandu juga menyampaikan bahwa minat masyarakat, termasuk industri, terhadap PLTS atap kian meningkat setiap tahunnya sehingga pemerintah pun berusaha mengakomodasi hal tersebut dengan menerbitkan regulasi yang mendukung. Harapannya, peran strategis industri menuju pemanfaatan energi terbarukan yang mandiri dan berkelanjutan akan meningkatkan profit perusahaan dan berperan serta dalam kemandirian energi nasional.

Acara sosialisasi dan diskusi ini dibagi menjadi dua sesi: sesi pertama menghadirkan Mustaba Ari Suryoko dari Direktorat Aneka Energi (Ditjen EBTKE) KESDM, Sigit Cahyo Astoro dari Ditjen Ketenagalistrikan KESDM, dan Pratiwi dari PLN Jawa Barat; sedangkan sesi kedua menghadirkan Fabby Tumiwa dari IESR dan Stevan Andrianus dari Danone.

Diskusi pada sesi pertama menekankan pada regulasi yang langsung menyasar pelaku industri, seperti Permen ESDM No. 13/2019 dan No. 16/2019 sebagai revisi Permen ESDM No. 49/2018 yang mengubah persyaratan terkait Sertifikat Laik Operasi (SLO), Izin Operasi (IO), capacity charge, dan emergency charge; guna mendorong pemanfaatan PLTS atap secara masif di sektor industri. Sesi ini juga membahas lebih detail mengenai prosedur dan persyaratan pemasangan PLTS atap serta simulasi pengurangan tagihan PLN untuk pelanggan PLN yang memasang PLTS atap. Dalam diskusi, beragam pertanyaan muncul dari para pelaku industri seputar kendala-kendala yang dihadapi terkait prosedur dan implementasi di lapangan yang berhubungan dengan kewenangan PLN pusat dan regional, seperti kendala penyediaan kWh meter, SLO, dan kapasitas pembangkit yang dikenakan capacity charge. Menanggapi hal tersebut, perwakilan KESDM maupun PLN mengatakan bahwa permen yang sudah dikeluarkan dan peraturan turunan dari Direksi PLN sudah ada; tantangan di lapangan mencakup pemahaman dan kesiapan PLN regional untuk pelaksanaannya karena sistem PLTS atap ini adalah sesuatu yang baru.

Dalam sesi berikutnya yang diisi oleh pihak non-pemerintah, yaitu IESR dan Danone, pembahasan terfokus pada potensi energi surya yang sangat besar di Indonesia namun belum dioptimalkan, berbagai program dan strategi yang dapat diimplementasikan untuk mempercepat pengembangan energi surya seperti program Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA), serta pengalaman langsung pelaku industri yang sudah menggunakan PLTS Atap.

“Indonesia memiliki ribuan industri dan lebih banyak lagi bangunan, dan karenanya memiliki potensi pemanfaatan PLTS atap yang tinggi. Karenanya sejak 2017, IESR bersama dengan beberapa pihak, di antaranya Kementerian ESDM, BPPT, Kemenperin, Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), dan Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia (APAMSI) menginisiasi Gerakan Nasional Sejuta Atap (GNSSA) yang bertujuan untuk mendorong penetrasi energi surya hingga 1 GW pada tahun 2020; yang aaat ini baru mencapai 150 MW,” Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menyampaikan dalam paparannya.

“Sektor rumah tangga yang menggunakan PLTS atap hingga saat ini mencapai 1.700 pelanggan. Minat dari sektor industri baru menggeliat dalam 3 bulan terakhir setelah ada revisi dari Permen ESDM No. 49/2018 yang tertuang dalam Permen ESDM No. 16/2019,” lanjut Fabby.

Dalam sesi diskusi, ketertarikan peserta tertuju pada model bisnis untuk pelaku industri dalam menggunakan PLTS yang kemudian ditanggapi oleh Stevan Andrianus, Sr. Technovation Manager (Danone Aqua), yang menjelaskan bahwa model bisnis yang digunakan pelaku industri dapat berupa modal sendiri atau dengan skema leasing (sewa). Model bisnis ini tentu disesuaikan dengan kemampuan finansial perusahaan dan prosedur internal, misalnya kepemilikan aset. Selain model bisnis, penanganan limbah panel surya juga menjadi topik pembahasan pada sesi ini. Fabby menjelaskan bahwa beberapa negara sudah memiliki fasilitas pengolahan limbah elektronik dari modul surya. Meski saat ini untuk konteks Indonesia hal ini belum menjadi isu, Fabby menekankan bahwa pengolahan limbah yang berkelanjutan juga harus menjadi pertimbangan yang serius.

Untuk mendorong pencapaian target GNSSA dan target pengembangan energi terbarukan sesuai Kebijakan Energi nasional, IESR juga merekomendasikan strategi pengembangan ekosistem Program Surya Nasional kepada pemangku kebijakan, meliputi dukungan kebijakan dan regulasi (misalnya sertifikat energi terbarukan), penguatan kelembagaan pihak-pihak terkait, desain dan standarisasi produk, pengujian produk dan labelling, pengembangan kapasitas dan pelatihan, penjangkauan dan peningkatan kesadaran masyarakat, serta mekanisme pembiayaan yang bervariasi untuk berbagai sektor.

## 

Materi presentasi dapat diunduh di: