Koran Jakarta | Dedieselisasi di Daerah Dipacu

Pemerintah mendorong dedieselisasi di daerah daerah dengan meningkatkan penggunaan pembangkit yang bersumber dari energi hijau. Terbaru, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyelesaikan pembangunan dan revitalisasi Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTM) berkapasitas 1 megawatt (MW) di Distrik Oksibil, Kabupaten Pegunungan Bintang, Provinsi Papua Pegunungan.

Baca selengkapnya di Koran Jakarta.

Mendorong Dekarbonisasi Industri Mulai dari Gaya Hidup Konsumen

Jakarta, 22 Maret 2024 – Kenaikan suhu bumi merupakan suatu fenomena tak terelakkan (inevitable) sebagai akibat dari berbagai kejadian alam hingga aktivitas dan gaya hidup manusia yang menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebagai penyebab naiknya suhu bumi. 

Penemuan mesin uap pada 1880 membuat perubahan monumental pada kehidupan manusia dengan dimulainya industrialisasi. Berkembangnya industri ternyata dibarengi dengan meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK).  

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 2022 mencatat adanya kenaikan suhu bumi sebesar 1,1 derajat Celsius. Hal ini merupakan suatu peringatan bagi umat manusia untuk segera mengambil langkah-langkah pengendalian kenaikan suhu untuk menahan kenaikan suhu tidak lebih dari 1,5 derajat Celcius.

Faricha Hidayati, Koordinator Proyek Dekarbonisasi Industri, Institute for Essential Services Reform (IESR) menjelaskan kenaikan suhu bumi dapat memicu salah satunya bencana hidrometeorologi yang frekuensinya akan semakin tinggi.

“Selain masalah lingkungan, dampak ikutan lainnya adalah biaya kesehatan yang akan naik seiring dengan meningkatnya penyakit terutama yang menyerang kelompok rentan seperti lansia, anak-anak, dan rumah tangga miskin,” jelas Faricha.

Meski merupakan salah satu sektor penyebab naiknya emisi GRK, sektor industri memiliki kontribusi ekonomi yang signifikan. Sehingga diperlukan langkah dan upaya strategis untuk melakukan dekarbonisasi pada sektor industri. 

Pada tahun 2021, emisi sektor industri merupakan sektor penghasil emisi kedua terbesar setelah pembangkitan listrik. Jika tetap menggunakan skema business as usual tanpa intervensi apapun, nilai emisi di sektor industri akan naik dua kali lipat pada tahun 2050.

“Sektor industri menyumbang emisi lebih dari 300 juta ton CO2 pada tahun 2021, dengan sumber emisi tertinggi dari penggunaan bahan bakar fosil sebagai sumber energi,” tambah Faricha.

Meskipun telah ada regulasi yang mendorong industri untuk mempraktikkan prinsip berkelanjutan, namun implementasinya belum diwajibkan. Bahkan Bagi industri yang secara mandiri memiliki inisiatif untuk menerapkan prinsip-prinsip berkelanjutan, belum ada sistem insentif bagi mereka.

Faricha melanjutkan, selain melalui advokasi kebijakan pada pemerintah, konsumen dapat berkontribusi salah satunya dengan memilih produk-produk yang diproduksi dengan prinsip-prinsip berkelanjutan. Konsumen juga dapat menuntut pada produsen atau industri untuk mulai menerapkan prinsip berkelanjutan pada proses produksinya.

Memulai Perjalanan Dekarbonisasi Industri Baja

Jakarta, 20 Maret 2024 – Sektor industri merupakan salah satu sektor penting untuk diturunkan emisinya. Konsumsi energi yang besar serta kontribusinya pada bidang ekonomi yang signifikan pada 2022 sebesar 16,48 persen Produk Domestik Bruto (PDB), menjadi alasan kuat untuk membuat sektor ini semakin berkelanjutan. Industri dengan kebutuhan energi tinggi seperti industri besi baja membutuhkan persiapan strategis untuk melakukan dekarbonisasi. 

Indonesia merupakan salah satu negara penghasil baja terbesar di Asia Tenggara, dan menempati urutan nomor 15 produsen baja di dunia. Tahun 2023, tercatat kapasitas produksi baja Indonesia mencapai 16 juta ton dan diperkirakan akan mencapai 33-35 juta ton pada 2030. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam webinar “Accelerating the Transformation of the Steel Industry in Southeast Asia: Indonesia Chapter” menyatakan bahwa produksi baja Indonesia masih tinggi emisi. 

“Proyeksi kebutuhan baja Indonesia diprediksi akan meningkat, jika tidak mengambil langkah dekarbonisasi serius, maka emisi dari industri baja juga akan terus meningkat,” kata Fabby.

Kita juga menghadapi tuntutan pasar internasional untuk menghasilkan baja yang lebih rendah karbon. Uni Eropa misalnya telah menerapkan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang efektif pada 2026, akan menimbulkan efek negatif terhadap ekspor industri baja Indonesia. Untuk itu, industri baja perlu melakukan transformasi.

Farid Wijaya, Analis Senior IESR menjelaskan bahwa dekarbonisasi bagi industri besi baja akan membawa prospek pertumbuhan ekonomi, meski saat ini masih cukup banyak tantangannya. 

“Standar industri hijau dapat menjadi salah satu cara untuk mendorong industri ramah lingkungan. Standar hijau untuk baja baru ditetapkan dan masih terbatas pada baja lembar per lapis. Saat ini belum ada industri besi baja yang mendapat sertifikat hijau karena keterbatasan implementasi,” kata Farid.

Kajol, Program Manager Climate Neutral Industry Southeast Asia, Agora Industry, menambahkan bahwa saat ini hampir 80% produksi baja dilakukan melalui teknologi blast furnace (tanur tinggi). 

“Kita harus mulai memikirkan teknologi yang lebih baik dan modern untuk menggantikan blast furnace. Saat fasilitas blast furnace yang saat ini beroperasi mulai tidak lagi efisien di tahun 2030-2040 kita harus menggantinya dengan teknologi yang lebih modern dan tidak lagi berinvestasi di blast furnace,” jelasnya.

Salah satu teknologi yang dimaksud Kajol adalah Direct Reduced Iron (DRI) yang dapat memproduksi baja primer menggunakan gas alam atau hidrogen bersih. Bijih besi direduksi untuk menghasilkan DRI, yang kemudian dapat dilebur dalam tanur busur listrik (Electric Arc Furnace, EAF) untuk menghasilkan baja primer.

Strategi yang dapat dijalankan untuk dekarbonisasi industri baja mencakup penggunaan energi terbarukan secara langsung dan tidak langsung, efisiensi sumber daya dan ekonomi sirkular, dan menutup siklus karbon. 

Helenna Ariesty, Sustainability Manager PT Gunung Raja Paksi (GRP) sebagai pelaku industri menekankan pentingnya kepastian regulasi dalam mendorong dekarbonisasi industri. 

“Kami menghadapi beberapa tantangan untuk menavigasi arah kebijakan yang belum konsisten. Selain itu, akses pendanaan yang terjangkau mengingat investasi awal yang dibutuhkan jumlahnya signifikan,”

Joseph Cordonnier, Analis Kebijakan Industri, OECD sepakat bahwa kebijakan dan akses pendanaan akan menjadi komponen kerangka utama untuk membangun ekosistem pendukung untuk dekarbonisasi industri. 

“Sebagai bagian dari kerangka tersebut kita juga harus benar-benar melihat bagaimana memaksimalkan pemanfaatan aset yang ada berdasarkan variabel teknik, efisiensi energi, dan pengurangan emisi aset tersebut,” kata Joseph.

Fausan Arif Darmaji, Analis Perkembangan Infrastruktur, Pusat Industri Hijau, Kementerian Perindustrian mengatakan pemerintah menyadari adanya kebutuhan menekan emisi dari produksi baja Indonesia.

“Sektor besi baja juga merupakan fokus kami saat ini. Sembari kami menunggu aturan kebijakan yang saat ini sedang dibuat, kami memberikan pelatihan perhitungan GRK bagi sektor baja, juga perhitungan nilai ekonomi karbonnya,” kata Fausan.

Deon Arinaldo, Program Manajer Transformasi Energi IESR menutup webinar ini dengan menggarisbawahi kebutuhan dekarbonisasi industri merupakan upaya untuk tetap relevan dengan tuntutan perkembangan industri.

“Saat ini dekarbonisasi di sektor industri masih dianggap sebagai tantangan. Bukan hanya di Indonesia, namun juga fenomena global. Tren ini yang harus kita antisipasi karena dekarbonisasi adalah hal yang inevitable (tidak terelakkan),” kata Deon.

Kompas | Ikhtiar Membangun Energi Terbarukan yang Terjangkau dan Murah

Transisi dari energi fosil ke energi yang rendah emisi tak bisa ditawar. Bukan perihal ikut-ikutan tren global, tetapi menyangkut bumi dan kehidupannya di masa mendatang. Namun, muncul pertanyaan kapan Indonesia benar-benar bisa mengandalkan energi terbarukan? Sebab, kendati diberkahi potensi energi terbarukan yang melimpah, aksesnya belum mudah dan harganya belum murah.

Baca selengkapnya di Kompas.

Emisi Usaha Kecil Menengah (UKM) tidaklah Kecil

Dekarbonisasi emisi UKM

Jakarta, 14 Maret 2024 – Sektor industri telah menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia. Bukan hanya industri besar, Usaha Kecil Menengah (UKM) juga menjadi penggerak roda perekonomian nasional, termasuk dalam membentuk lapangan pekerjaan serta berkontribusi pada PDB sebesar 60,5 persen pada tahun 2021. 

Akan tetapi, di balik angka kontribusi ekonomi ada emisi besar yang menghantui. Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam sambutannya di webinar “Peluang Dekarbonisasi Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia dan Pembelajaran dari Pengalaman Global”mengatakan bahwa emisi dari sektor UMKM pada tahun 2023 sebesar 216 juta ton CO2e.

“Angka ini setara dengan separuh dari emisi sektor industri nasional pada tahun 2022. Maka, kita perlu secara serius mengupayakan dekarbonisasi industri UKM ini karena dengan memprioritaskan aspek keberlanjutan (sustainability, red) UKM akan naik kelas,” tutur Fabby.

Fabby menuturkan, sebanyak 95 persen dari emisi sektor UKM datang dari pembakaran bahan bakar fosil, sisa 5 persen dari pembakaran sampah. Jika tidak diambil langkah signifikan untuk mengurangi emisi sektor UKM, ada kemungkinan emisi UKM akan meningkat di kemudian hari. 

Abyan Hilmy Yafi, Analis Data Energi IESR, menjelaskan dalam survei yang dilaksanakan oleh  IESR pada 1000 UKM di seluruh Indonesia bahwa untuk memulai dekarbonisasi industri UKM ini terdapat beberapa pendekatan dari yang bersifat peningkatan pemahaman hingga solusi teknis seperti penggantian teknologi. 

“Untuk lintas sektor perlu adanya peningkatan pemahaman pelaku UKM tentang konsumsi energi dan emisi yang mereka hasilkan. Juga perlu sosialisasi aktif untuk mempromosikan energi terbarukan. Secara sektoral, terdapat beberapa rekomendasi teknis seperti penggunaan boiler elektrik pada industri tekstil dan apparel (pakaian, red),” jelasnya.

Bo Shen, Energy Environmental Policy Research, Lawrence Berkeley National Laboratory (LBNL) menjelaskan bahwa secara global, tantangan dari melakukan dekarbonisasi industri UKM antara lain adanya gap pengetahuan dari pemilik atau pengelola UKM tentang emisi, energi, atau lebih jauh lagi perubahan iklim dan relevansinya pada usaha mereka. 

“Ketika pelaku UKM sudah memiliki pengetahuan dan kesadaran cukup untuk melakukan dekarbonisasi atau menekan emisi dari usahanya, pembiayaan menjadi kendala selanjutnya. Biaya yang harus dibayarkan di depan (upfront cost) yang ada saat ini untuk misal mencari vendor teknologi ataupun penyedia jasa energi (Energy Service Company – ESCO), masih cukup tinggi untuk skala keuangan UKM,” jelas Bo Shen.  

Tiap-tiap negara akan menggunakan pendekatan berbeda untuk mendorong dekarbonisasi UKM ini. Amerika Serikat misalnya, mereka bekerjasama dengan perguruan tinggi untuk membangun pusat penilai industri (industry assessment centres). 

“Selain berguna untuk mendekarbonisasi industri UKM, pendekatan ini juga sekaligus menyiapkan tenaga kerja ahli yang memiliki kesempatan training langsung pada industri UKM,” jelas Bo Shen.

Bo juga menambahkan kasus menarik dari Cina yang membentuk inisiatif bernama Green Growth Together (GGT). Inisiatif ini mendorong dekarbonisasi UKM-UKM yang menjadi bagian rantai pasok produk besar. 

Pemilik industri bermerek besar meminta seluruh jaringan rantai pasoknya untuk menjalankan praktik pengurangan emisi atau dekarbonisasi. Tuntutan ini juga datang dengan bantuan pembiayaan ataupun asistensi teknis yang dibutuhkan. 

Ahmad Taufik dari Pusat Industri Hijau Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan, untuk konteks Indonesia, saat ini sedang mengalami tantangan pada sektor industri. Kontribusi sektor industri pada PDB tercatat terus menurun.

“Secara struktural kami juga masih terus membenahi beragam hal mulai dari pengembangan industri, pengembangan UKM, hingga memastikan tersedianya lapangan kerja yang ramah lingkungan (green jobs) dan tenaga profesionalnya (green professional),” kata Taufik.

Road to Youth Climate Conference Webinar: Perubahan Iklim, Industri, dan Gaya Hidup


Tayangan Tunda


Latar Belakang

Dampak perubahan iklim telah menjadi ancaman serius bagi kehidupan anak-anak dan pemuda. Studi yang dilakukan oleh Save the Children pada tahun 2020 menemukan bahwa anak-anak yang lahir pada tahun 2020 mengalami bencana sebanyak 3.4 kali lebih sering daripada kakek-nenek mereka yang lahir pada tahun 1960. Bencana tersebut melibatkan perubahan iklim seperti gelombang panas, kekeringan, kebakaran hutan, banjir, dan kegagalan panen, memberikan tekanan tambahan pada lingkungan yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perlindungan anak-anak. Studi lain yang dilakukan oleh UNICEF menyoroti bahwa perubahan iklim merupakan ancaman terbesar terhadap kesehatan, nutrisi, pendidikan, dan masa depan anak-anak. 

Di sisi lain, perkembangan sektor industri dalam beberapa dekade terakhir telah merubah gaya hidup masyarakat dari berbagai sisi. Mulai dari barang-barang elektronik hingga pakaian sehari-hari. Sayangnya, aktivitas produksi dan konsumsi yang tidak berwawasan lingkungan kerap kali memiliki dampak buruk terhadap perubahan iklim. Misalnya, penggunaan sumber daya alam yang berlebihan, deforestasi akibat aktivitas industri, serta berkembangnya tren fast fashion yang mendorong konsumsi yang tidak berkelanjutan. Bahkan, sektor industri sendiri telah menyumbang 25% dari emisi karbon global (UNEP, 2023). Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan dalam pola pikir dan perilaku sehari-hari, terutama generasi muda, untuk mengurangi dan memitigasi dampak perubahan iklim dari sektor industri dan gaya hidup.

Webinar ini bertujuan untuk menggali lebih dalam tentang bagaimana perubahan iklim disebabkan oleh industri dan gaya hidup masyarakat umum, termasuk yang dilakukan oleh orang muda. Melalui diskusi mendalam, diharapkan dapat tercipta pemahaman yang lebih baik mengenai tantangan dan peluang yang dihadapi generasi muda dalam konteks perubahan iklim. Selain itu, webinar ini juga diarahkan untuk merumuskan solusi dan tindakan konkret yang dapat diambil oleh anak muda dalam membangun gaya hidup yang berkelanjutan serta merumuskan inovasi dalam industri untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.

Tujuan

  • Mendiskusikan dampak perubahan iklim pada sektor industri dan gaya hidup.
  • Mendiskusikan peran orang muda dalam menanggulangi dampak perubahan iklim dari gaya hidup.

 

 


Presentasi

 

Peran Anak Muda dalam Mendorong Arah Perkembangan Industri Indonesia yang Berkelanjutan – Faricha Hidayati

Peran-Anak-Muda-dalam-Mendorong-Arah-Perkembangan-Industri-Indonesia-yang-Berkelanjutan-Faricha-Hidayati

Download