PNBP lebihi target, namun realisasi investasi EBTKE masih di bawah target

Jakarta-KONTAN.ID. Realisasi investasi di sektor Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) masih di bawah target. Hingga Triwulan III, investasi yang terealisasi sebesar US$ 1,16 miliar, atau baru sekitar 57,7% dari target yang dipatok tahun 2018 ini sebanyak US$ 2,01 miliar.

Direktur EBTKE Kementerian ESDM Rida Mulyana menjelaskan, setidaknya ada dua alasan mengapa realisasi investasi EBT masih belum optimal. Yaitu karena adanya penundaan pengeboran di sejumlah lokasi pada Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), serta terhambat oleh Daftar Penyedia Terseleksi (DPT) yang belum dikeluarkan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Ketenaga listrikan menjadi sektor yang dominan dalam investasi di EBT. Khususnya untuk jenis PLTP, yang berkontribusi sekitar 60-65% terhadap target dan realisasi investasi serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari EBTKE.

Karenanya, adanya penundaan pengeboran pada PLTP menjadi faktor penting tidak optimalnya realisasi investasi. Rida mencontoh, pergeseran pengeboran itu antara lain dilakukan oleh Star Energy, yang menggeser ke Triwulan IV-2018 atau ke tahun depan, serta Pertamina yang lebih memilih melakukan hole cleaning.

Namun, Rida optimistis, investasi panas bumi masih akan on track hingga akhir tahun. “Star energy ada pertimbangan lain menunda jadwal pengeboran, hanya bergeser di triwulan, mudah-mudahan di akhir tahun. Pertamina di saat yang sama cukup melakukan program hole cleaning, jadi drillings ditunda. Tapi sepertinya sampai akhir tahun akan on track,” kata Rida dalam pemaparan kepada media, Jum’at (26/10).

Alasan lainnya ialah soal DPT yang belum dikeluarkan PLN, sehingga menghambat proses lelang dan pengerjaan. “DPT belum keluar-keluar apa yang mau dikerjakan? Lelang belum, karena DPT belum keluar,” imbuhnya.

Di sisi lain, seperti yang diberitakan Kontan.co.id sebelumnya, salah satu alasan banyaknya proyek pembangkit listrik EBT yang tidak berjalan ialah karena faktor regulasi.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menuturkan, Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 50 Tahun 2017 membuat pembangkit listrik EBT tidak bankable alias kurang layak memenuhi syarat untuk mendapatkan pendanaan. “Untuk proyek EBT yang tidak jalan penyebabnya adalah tidak bankable. Salah satu faktor penyebabnya adalah regulasi Permen ESDM 50/2017,” katanya.

Hal itu pun diamini oleh Ketua Asosiasi Perusahaan Pengembang Listrik Tenaga Air (APPLTA) Riza Husni. Ia menilai, aturan ini menghambat investasi, khususnya karena ada skema penyerahan aset ketika kontrak berakhir (build, own, operate, and transfer/BOOT).

“Jadi walau pun kita pake duit sendiri, bunga dan tarifnya nggak disubsidi, tapi asetnya mau diambil sama pemerintah setelah 20 tahun dengan harga US$ 1.000. Nah, berarti kan aset itu bukan milik kita, dan kalau aset bukan milik kita, berarti kita nggak bisa jaminin ke perbankan,” kata Riza.

Padahal, menurut Riza, perbankan di Indonesia tidak mengenal project finance, sehingga pinjaman ke perbankan harus menyertakan jaminan. Terlebih, lanjut Riza, perbankan di Indonesia pun hampir tidak yang bisa memberikan pinjaman selama 10 tahun. Menurut Riza, ada sekitar 450 MW yang tertunda penyelesaian pembiayaannya setelah keluarnya peraturan yang dipersoalkannya tersebut.

“Pembiayaan EBT paling lama, membangun dua tahun, pembiayaan lima tahun. Jaminan proyek, nggak bisa. Kalau kreditnya macet, setidaknya akan dijual dalam waktu 10 tahun. Kalau ada ini (BOOT), kan jadi mikir-mikir,” jelasnya.

Terkait hal ini, Rida tak menampik, bahwa Permen ESDM Nomor 50 Tahun 2017 ikut menjadi penghambat investasi. oleh sebab itu, Rida bilang, pihaknya membuka peluang untuk merevisi regulasi ini.

Rida menyebut, saat ini pihaknya sedang melakukan diskusi dengan berbagai stakeholder, baik dengan Kadin, asosiasi, maupun pengamat energi dan kebijakan publik. Menurut Rida, setidaknya ada tiga isu penting yang menjadi bahan evaluasi, yakni soal pemilihan langsung, BOOT, serta tarif Biaya Pokok Penyediaan (BPP).

“Yang pasti Pak Menteri sudah membuka pintu dan menampung semua masukan, sekiranya itu akan lebih membuat kondisi investasi lebih baik, kenapa nggak? (untuk merevisi)” ungkapnya.

Juru Bicara Asosiasi Produsen Listrik Seluruh Indonesia (APLSI) Rizal Calvary membenarkan adanya diskusi untuk mengevaluasi peraturan tersebut. Dalam hal ini, Rizal menggaris bawahi isu BOOT yang membuat sektor keuangan sulit untuk membiayai EBT.

“Dalam skema bangun, miliki, operasikan, dan transfer ke negara (BOOT) aset pengembang selama 20 -30 tahun akan diserahkan kepada PLN, yang selama ini membuat sektor keuangan susah membiayai EBT,” katanya.

Adapun, Riza Husni menyambut positif jika seandainya peraturan ini jadi direvisi. “Kalau betul seperti ini, kita sangat positif ini kabar terbaik sepanjang dua tahun terakhir,” ungkapnya.

Kendati realisasi investasi EBTKE masih belum optimal, namun Rida bilang, PNBP dari subsektor ini telah berkontribusi maksimal. Pasalnya, dari target Rp 700 miliar yang dipatok pada APBN 2018, realisasi PNBP EBTKE hingga triwulan III sudah menyentuh angka Rp 1.144 miliar atau 163% dari yang ditargetkan.

Sumber Kontan.co.id