ICP 2012 Diperkirakan di Atas Asumsi

JAKARTA (IFT) – Rata-rata harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) sepanjang tahun depan diproyeksikan akan melebihi asumsi yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012 sebesar US$ 90 per barel.

Kurtubi, pengamat perminyakan dari Universitas Indonesia, menyatakan hal itu seiring dengan meningkatnya harga minyak mentah dunia yang ditopang pertumbuhan konsumsi minyak dunia.

Menurut dia, meskipun prospek ekonomi dunia tahun depan belum menggembirakan, adanya ketegangan yang terjadi antara Iran, Israel, dan negara-negara barat akan mengerek harga minyak. “Dari sisi permintaan, puncak musim dingin di Eropa pada Januari dan Februari tahun depan juga akan meningkatkan konsumsi minyak,” kata Kurtubi.

Kurtubi memperkirakan rata-rata harga minyak dunia tahun depan berada di level US$ 110 per barel. Sedangkan realisasi ICP sepanjang Januari hingga Desember 2012 sekitar US$ 120 per barel.

Tingginya realisasi rata-rata ICP dibandingkan asumsi tahun depan akan membuat penerimaan negara dari sektor hulu minyak dan gas bumi meningkat. Namun di sisi lain, peningkatan harga minyak mentah Indonesia itu justru akan membuat alokasi dana subsidi bahan bakar minyak dalam anggaran negara diproyeksikan naik menjadi 150 triliun dari alokasi Rp 123,6 triliun.

Kondisi ini ditopang oleh volume konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi yang juga diproyeksikan akan melebihi kuota dari 40 juta kiloliter menjadi 43 juta kiloliter. Kenaikan konsumsi bahan bakar minyak seiring pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya jumlah kendaraan.

“Membengkaknya volume terjadi jika pemerintah tidak membuat suatu kebijakan baru, misalnya tidak menaikkan harga bahan bakar minyak dan juga tidak melakukan pembatasan,” kata Kurtubi.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Indonesia, juga memperkirakan realisasi ICP tahun depan akan di atas asumsi, yaitu sekitar US$ 105-US$ 115 per barel. Sedangkan harga minyak dunia dia perkirakan berada di kisaran US$ 110-US$ 120 per barel.

Meskipun krisis di Eropa dan Amerika Serikat diproyeksikan akan tetap berlanjut di tahun depan, permintaan minyak pada 2012 akan tetap tumbuh, meskipun tidak begitu tinggi. Hal ini disebabkan adanya tren pertumbuhan ekonomi di Asia, terutama di China dan India, sehingga konsumsi minyak dunia masih tetap tumbuh.

Dia memproyeksikan tingginya realisasi harga minyak akan mendongkrak subsidi listrik dalam anggaran negara. Selain ditopang harga minyak, peningkatan subsidi listrik juga didorong lebih realisasi konsumsi bahan bakar minyak di pembangkit listrik PT PLN (Persero) yang melampaui kuota. “Saya sarankan agar estimasi ICP pada Anggaran Perubahan 2012 disesuaikan ke level US$ 95-US$ 100 per barel,” ujarnya.

Pri Agung Rakhmanto, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, memprediksikan harga minyak dunia tahun depan berada di kisaran US$ 90-US$ 100 per barel sehingga asumsi ICP dalam anggaran negara 2012 tidak perlu diubah.

Krisis yang melanda Eropa dan Amerika Serikat diproyeksikan akan terus berlanjut pada tahun depan sehingga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan konsumsi minyak dunia. Apalagi Libya akan menambah pasokan minyak yang dapat menurunkan harga minyak. Sedangkan China dan India konsumsi minyaknya akan tetap tinggi.

Hatta Radjasa, Menteri Koordinator Perekonomian, mengatakan pemerintah tahun depan akan melakukan pembatasan penggunaan yang lebih ketat dan menjaga kuota bahan bakar minyak bersubsidi yang telah ditetapkan.

Pemerintah, menurut Hatta, pada Rabu akan rapat tentang program pembatasan konsumsi bahan bakar bersubsidi pada 2012. Dalam rapat, rencananya akan dibahas kesiapan dan opsi-opsi yang dapat dilakukan.

Sumber: IFT

Konsumsi Gas PLN Tahun Depan Diproyeksikan Naik 22,4%

JAKARTA (IFT) – PT PLN (Persero), badan usaha milik negara di sektor ketenagalistrikan, memperkirakan konsumi gas pembangkit tahun depan mencapai 355 triliun British thermal unit (tbtu), naik 22,4% dari target tahun ini sebanyak 290 tbtu. M Suryadi Mardjoeki, Kepala Divisi Gas dan Bahan Bakar Minyak PLN, menyatakan bertambahnya pasokan gas ini akan membantu PLN menurunkan biaya pokok produksi listrik.

Proyeksi pasokan gas untuk pembangkit PLN itu lebih rendah dari proyeksi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Berdasarkan asumsi makro Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012 subsektor ketenagalistrikan, Kementerian Energi memproyeksikan pasokan gas tahun depan mencapai 372,26 tbtu, naik dibandingkan target Anggaran 2011 sebanyak 320,37 tbtu.

PLN memprediksikan tambahan pasokan gas tahun depan akan berasal dari terminal penerima terapung dan regasifikasi (floating storage regasification unit/FSRU) di Teluk Jakarta sekitar 200 miliar British thermal unit per hari (bbtud). Terminal ini dibangun oleh PT Nusantara Regas, perusahaan patungan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) dan PT Pertamina (Persero).

Tambahan pasokan gas sebesar 15 bbtud juga berasal dari lapangan Sengkang, Sulawesi Selatan yang dikelola PT Energy Sengkang. Pasokan gas juga berasal dari pertukaran (swap) gas dari lapangan gas Jambi Merang yang dikelola Joint Operating Body Pertamina Hulu Energi Hulu-Talisman Energy dan lapangan gas Gajah Baru di Laut Natuna yang dikelola Premier Oil Natuna Sea BV, anak usaha Premier Oil Plc, perusahaan minyak dan gas bumi yang berbasis di Inggris, sebesar 105 bbtud.

“Kami masih menunggu persetujuan dari BP Migas (Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi) untuk pembelian gas dari lapangan Sengkang, termasuk pertukaran gas Jambi Merang dan lapangan Gajah Baru. Sedangkan terminal terapung masih menunggu Nusantara Regas menyelesaikan fisiknya,” kata Suryadi kepada IFT, Senin.

Menurut rencana, pasokan gas dari Sengkang digunakan untuk mengoperasikan pembangkit listrik tenaga gas uap (PLTGU) Sengkang ekspansi berkapasitas 120 megawatt. Perseroan menargetkan pasokan gas sebesar 15 bbtud itu dapat masuk ke pembangkit mulai Maret 2012. Harga jual gas yang sudah disepakati sekitar 15 juta British thermal unit (mmbtu).

Sedangkan gas dari terminal terapung Teluk Jakarta sebesar 200 bbtud rencananya digunakan untuk bahan bakar pembangkit Muara Karang dan pembangkit Tanjung Priok. PLN akan membeli gas dari Nusantara Regas dengan harga sekitar US$ 10-13 per mmbtu.

“Untuk swap Jambi Merang sebanyak 65 bbtud dengan harga US$ 6,98 per mmbtu dan lapangan Gajah Baru sekitar 40 bbtud dengan harga US$ 9,5 per mmbtu,” katanya.

Suryadi memperkirakan perseroan bisa hemat US$ 1,24 miliar per tahun apabila seluruh tambahan pasokan gas tersebut dapat terealisasi tahun depan.

Agus Amperianto, Manajer Humas PT Pertamina EP, anak usaha Pertamina, memproyeksikan pasokan gas perseroan ke PLN dan anak usahanya tahun depan sekitar 74 juta kaki kubik per hari (mmscfd)-79 mmscfd atau turun dari perkiraan tahun ini 84 mmscfd.

“Jika ditambah pasokan ke kontrak listrik swasta dan industri, pasokan gas kami akan ada tambahan 105 mmscfd tahun depan. Pasokan ke PLN turun karena ada beberapa lapangan yang produksi gasnya turun,” ujarnya.

Berdampak Positif

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform, menyatakan tambahan pasokan gas akan memberikan dampak positif bagi biaya pokok produksi PLN. Mengacu pada data PLN 2010, biaya pokok listrik PLN untuk pembangkit listrik tenaga gas sekitar Rp 800 per kilowatt hour dan pembangkit listrik tenaga gas uap sebesarRp 1.600 per kilowatt hour. Sementara rata-rata biaya pembangkitan PLN dengan berbahan bakar minyak Rp 4.000 per kilowatt hour.

Fabby khawatir rencana tambahan pasokan gas untuk PLN itu hanya sebatas wacana namun tidak bisa direalisasikan, sehingga subsidi listrik kembali membengkak. Untuk itu, diperlukan kepastian dari pemerintah dan BP Migas untuk menjamin ketersediaan pasokan gas tersebut di tahun depan. Apalagi, jika melihat harga minyak pada 2012 yang diperkirakan akan berada di kisaran US$ 110-US$ 120 per barel, tambahan pasokan gas ini perlu diamankan agar subsidi listrik tidak kembali membengkak tahun depan.

“Saya juga memperkirakan tahun depan penyelesaian proyek 10 ribu megawatt tahap I juga akan meleset lagi,” katanya.

PLN menargetkan penjualan listrik tahun depan 173,8 triliun watt hour, naik 10,4% dari proyeksi tahun ini 157,4 triliun watt hour. Perseroan memproyeksikan tambahan kapasitas pembangkit tahun depan sebesar 7.604,5 megawatt. Dengan tambahan kapasitas pembangkit, PLN akan menyambungkan listrik ke 2,5 juta rumah tangga yang belum menikmati listrik, sehingga rasio elektrifikasi akan meningkat dari 70,4% tahun ini menjadi 73,6% pada 2012.

Sumber: IFT.

PLN Anggarkan Rp 29,4 Triliun Untuk Beli Listrik Dari Swasta

JAKARTA (IFT) – PT PLN (Persero), badan usaha milik negara di sektor ketenagalistrikan, mengalokasikan dana Rpp 29,42 triliun untuk pembelian listrik dari kontraktor listrik swasta (independent power producer) dan penyewaan pembangkit pada tahun depan, atau naik sekitar 5,5% dibandingkan alokasi tahun ini Rp 27,86 triliun. Murtaqi Syamsuddin, Direktur Perencanaan dan Manajemen Risiko PLN, menjelaskan kenaikan itu seiring dengan potensi kenaikan volume penjualan listrik PLN di 2012.

PLN menargetkan penjualan listrik tahun depan 173,8 triliun watt hour, naik 10,4% dari proyeksi tahun ini 157,4 triliun watt hour. Selain menutupi pertumbuhan konsumsi listrik, kenaikan pembelian listrik dari pihak swasta juga akan digunakan sebagai pasokan cadangan jika ada gangguan di pembangkit PLN.

“Kenaikan tersebut juga disebabkan mulai beroperasinya sejumlah pembangkit listrik swasta, seperti pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Cirebon, Jawa Barat dan PLTU Jeneponto di Sulawesi Selatan tahun depan,” kata Murtaqi kepada IFT.

Perseroan memproyeksikan tambahan kapasitas pembangkit tahun depan sebesar 7.604,5 megawatt. Dengan tambahan kapasitas pembangkit, perseroan berencana menyambungkan listrik ke 2,5 juta rumah tangga yang belum menikmati listrik, sehingga rasio elektrifikasi akan meningkat dari 70,4% tahun ini menjadi 73,6% pada 2012.

PLN mengalokasikan biaya investasi tahun depan sebesar Rp 57,7 triliun atau lebih rendah 25,4% dari proyeksi investasi tahun ini sebesar Rp 77,39 triliun. Penurunan biaya investasi tersebut seiring dengan berkurangnya kebutuhan dana untuk proyek 10 ribu megawatt tahap I. Dana tersebut akan digunakan untuk menambah kapasitas pembangkit sebesar Rp 28,6 triliun, transmisi dan gardu induk Rp 18,5 triliun, dan distribusi Rp 10,6 juta triliun.

Hingga kuartal III, PLN menghabiskan dana untuk pembelian listrik sebesar Rp 21,83 triliun, naik 19,1% dibandingkan periode yang sama tahun lalu Rp 18,32 triliun. Sejumlah perusahaan listrik swasta yang menjual listrik ke PLN adalah PT Paiton Energy yang mencatatkan pendapatan sebesar Rp 5,27 triliun, PT Jawa Power yang meraih penerimaan Rp 4,84 triliun, dan PT Sumber Segara Primadaya Rp 1,99 triliun. Pendapatan Sumber Segara tercatat turun 3,5% menjadi Rp 1,99 triliun pada periode Januari-September 2011 dari Rp 2,06 triliun sepanjang periode yang sama tahun lalu.

Susanto Purnomo, Direktur Utama PT Pembangkitan Jawa Bali, anak usaha PLN, menjelaskan turunnya penjualan listrik Sumber Segara karena berkurangnya pembebanan listrik dari sistem Jawa Bali. “Turunnya pembebanan tersebut karena mulai beroperasinya sejumlah pembangkit di proyek 10 ribu megawatt tahap I,” ujarnya.

Saat ini Sumber Segara mengelola PLTU Cilacap 2 x 300 megawatt di Jawa Tengah. Di perusahaan ini, Pembangkitan Jawa Bali memiliki saham 49% dan sisanya dimiliki PT Sumber Energi Sakti Prima 51%.

Baru 25%

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Indonesia, menjelaskan saat ini peranan pembangkit listrik swasta mencapai 25% dari total volume penjualan listrik PLN. Hal ini menunjukkan kontraktor listrik swasta memiliki peranan yang cukup penting dalam menjamin pasokan listrik PLN.

Meskipun peranan swasta dalam pemenuhan kebutuhan listrik nasional penting, menurut Fabby, yang perlu dikritisi adalah mahalnya rata-rata harga jual listrik swasta ke PLN. Dia mencontohkan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara saat ini rata-rata harga jualnya hampir Rp 700 per kilowatt hour. Harga itu lebih mahal jika dibandingkan dengan biaya pokok produksi listrik berbahan bakar batu bara di pembangkit yang dikelola PLN, yakni di bawah Rp 400 per kilowatt hour.

“Harga jual listrik swasta itu sama dengan tarif dasar listrik PLN ke pelanggannya. Padahal, harga itu masih di upstream, belum didistribusikan melalui jaringan. Ke depan, PLN harus berusaha agar tidak membeli listrik terlalu mahal dari pembangkit swasta,” katanya.

Fabby berpendapat tingginya kontribusi pembangkit listrik swasta dalam pemenuhan pasokan listrik di suatu daerah, juga dapat membuat meningkatkan posisi tawar perusahaan swasta tersebut sehingga kontraktor swasta itu dikhawatirkan dapat mendikte harga.

“Di beberapa sistem ada kontraktor swasta yang kontribusinya mencapai 40% sehingga posisi tawar mereka besar. Kalau PLN tidak mau mengikuti harga yang mereka inginkan, swasta bisa saja mematikan pembangkitnya dan akhirnya terjadi pemadaman di mana-mana,” ujarnya.

Para kontraktor listrik swasta itu tidak memiliki kewajiban untuk menyiapkan cadangan pasokan listrik ketika pembangkit mereka mengalami gangguan. Sementara PLN, menurut Fabby, harus mengalokasikan dana untuk menyiapkan cadangan pasokan listrik.

Rinaldy Dalimi, Anggota Dewan Energi Nasional, mengatakan peranan kontraktor listrik swasta harus ditingkatkan karena kebutuhan investasi di sektor kelistrikan sangat besar. “Dana pemerintah tidak cukup sehingga diharapkan swasta dapat meningkatkan peranannya,” katanya.

Sumber: IFT.

Subsidi Listrik Lewati Kuota

JAKARTA (IFT) – Subsidi listrik hingga kuartal III 2011 mencapai Rp 65,77 triliun, melebihi kuota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2011 sebesar Rp 65,5 triliun. Besaran subsidi sepanjang Januari-September itu naik 57% dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp 41,89 triliun didorong kenaikan konsumsi bahan bakar minyak untuk pembangkitPT PLN (Persero).

Setio Anggoro Dewo, Direktur Keuangan PLN, mengatakan hingga akhir September, PLN mengeluarkan dana Rp 64,74 triliun untuk pembelian bahan bakar minyak, naik dari 65,1% periode yang sama tahun lalu Rp 39,2 triliun. Dana itu digunakan untuk membeli solar (high speed diesel) sebanyak Rp 52,5 triliun, residu Rp 12,09 triliun, minyak diesel (industrial diesel oil) Rp 92,2 miliar, dan bahan bakar minyak jenis lainnya Rp 42,7 miliar.

“Kenaikan pembelian bahan bakar minyak itu karena selain dari sisi volume kebutuhannya meningkat, tapi dari sisi harga juga naik. Awalnya, kami proyeksikan pembelian bahan bakar minyak dengan asumsi harga minyak US$ 85 per barel, tapi ternyata rata-ratanya US$ 111 per barel,” ujar Dewo kepada IFT, Rabu.

M Suryadi Mardjoeki, Kepala Divisi Bahan Bakar Minyak dan Gas PLN, menjelaskan realisasi konsumsi bahan bakar minyak untuk pembangkit perseroan hingga kuartal III 2011 mencapai 8,3 juta kiloliter atau 94% dari kuota yang ditetapkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) 2011 sebesar 8,8 juta kiloliter. Tingginya konsumsi bahan bakar minyak itu karena mundurnya penyelesaian proyek 10 ribu megawatt tahap I dan rendahnya realisasi konsumsi gas dan batu bara PLN.

Menurut Suryadi, keterlambatan pengoperasian pembangkit listrik tenaga uap dalam proyek 10 ribu megawatt tahap I telah membuat konsumsi batu bara PLN tidak optimal. Realisasi konsumsi batu bara PLN hingga September baru 19 juta ton atau 48% dari alokasi batu bara di RKAP tahun ini 40 juta ton. Sementara konsumsi gas PLN hingga kuartal III mencapai 217 triliun British thermal unit atau sekitar 73% dari target RKAP 2011 sebesar 296 triliun British thermal unit.

“Keterlambatan pengoperasian pembangkit itu membuat PLN harus mengoperasikan pembangkit listrik berbahan bakar minyak untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat yang terus meningkat,” ujarnya.

PLN telah mengeluarkan dana sebesar Rp 88,66 triliun untuk pembelian bahan bakar pembangkit perseroan sepanjang periode Januari hingga September 2011, naik 44,6% dibandingkan periode yang sama tahun lalu Rp 61,3 triliun. Dari total pengeluaran tersebut, sekitar 73% atau Rp 64,74 triliun untuk membeli bahan bakar minyak. Sisanya, sebesar Rp 23,7 triliun untuk membeli bahan bakar non minyak dan Rp 204,92 miliar untuk membeli minyak pelumas.

PLN, menurut Dewo, mengaku kesulitan menurunkan konsumsi bahan bakar minyak dalam jangka pendek. Namun secara jangka menengah, Dewo optimistis konsumsi bahan bakar minyak pembangkit PLN akan turun seiring mulai beroperasinya pembangkit listrik berbahan bakar non-minyak yang masuk dalam proyek 10 ribu megawatt tahap I dan II.

Tanggung Jawab

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Indonesia, menjelaskan dengan melihat realisasi subsidi listrik hingga September, realisasi subsidi listrik hingga akhir tahun diproyeksikan berkisar Rp 80 triliun-Rp 85 triliun. Pemerintah harus mencari sumber pendanaan untuk menutupi subsidi listrik yang melebihi kuota tersebut. “Pemerintah dan PLN harus bertanggung jawab atas meningkatnya subsidi listrik, karena dana Anggaran Perubahan merupakan dana publik,” katanya.

Tingginya konsumsi bahan bakar minyak di pembangkit PLN, menurut Fabby, disebabkan perseroan melayani seluruh permintaan listrik dari pelanggan dengan menghidupkan banyak pembangkit listrik tenaga diesel. Kebijakan itu dinilai bagus karena dapat meningkatkan rasio elektrifikasi nasional. Namun di sisi lain, ada konsekuensi biaya yang harus dikeluarkan pemerintah melalui subsidi listrik. “Langkah itu bagus, tapi tidak rasional karena semua beban diserahkan ke publik,” ujar dia.

Herman Daniel Ibrahim, Anggota Dewan Energi Nasional, menyatakan kenaikan subsidi listrik PLN sudah dapat diprediksi sejak awal karena untuk menutupi kekurangan pasokan listrik, PLN mengoperasikan pembangkit listrik tenaga diesel.

Tingginya konsumsi bahan bakar minyak merupakan konsekuensi dari keterlambatan proyek 10 ribu megawatt tahap I. Menurut Herman, biaya pokok produksi listrik untuk pembangkit listrik berbahan bakar batu bara sekitar Rp 400 per kilowatt hour. Sedangkan biaya pokok produksi untuk pembangkit berbahan bakar minyak Rp 3.000 per kilowatt hour.

Untuk mendorong peningkatan pasokan gas bagi PLN, Herman menyarankan pemerintah turun tangan dengan mengatur harga beli gas oleh PLN. Harga gas yang ditetapkan pemerintah itu harus menguntungkan produsen gas, namun lebih murah daripada harga bahan bakar minyak.

“Misalnya kami membeli gas dengan harga US$ 10 per juta British thermal unit (mmbtu), itu kan biaya pokok produksinya sekitar Rp 900 per kilowatt hour. Kalau kami pakai minyak, biaya produksinya Rp 3.000 perkilowatthour,” kata dia.

Hingga kuartal III 2011, PLN membukukan laba bersih Rp 9,8 triliun, turun 15% dibandingkan periode yang sama tahun lalu Rp 11,51 triliun. Penurunan laba bersih akibat kenaikan beban usaha dan beban keuangan yang lebih tinggi dari kenaikan pendapatan.

Sepanjang sembilan bulan pertama tahun ini, PLN membukukan pendapatan Rp 152,37 triliun, tumbuh 27,68% dibandingkan periode yang sama tahun lalu Rp 119,34 triliun. Kontribusi terbesar berasal dari penjualan listrik yang meningkat menjadi Rp 85,23 triliun dari Rp 76,51 triliun.

Sumber: Indonesia Finance Today.

Securing Whose Energy?

IESR and JS/APMDD held a study session on ASEAN energy cooperation during the 19th ASEAN Summit in Bali, Indonesia

(IESR, Bali) Participant from civil society organizations from Indonesia and Philippines attended two days study session on ASEAN Energy Cooperation Study Session organized by IESR and JS/APMDD on 15 and 16 November 2011, in Sanur, Bali, Indonesia. The study session was being held in parallel with the 19th ASEAN Summit in Nusa Dua, Bali.

Fig. 1. Proposed ASEAN Power Grid and Natural Gas Fields

This is the first time for civil society organizations from both countries that have been working on environmental, social justice and development issues undertake a study ASEAN energy cooperation, and assess its implementation in respective countries.

The study involved 12 participants from Indonesia and Philippines. Fabby Tumiwa from IESR became the only resource person in this study session, with reaction given by Manjette Lopez from Freedom from Debt Coalition (FDC), and all participants as active discussant.

In first part of his presentation, Fabby presented the overall ASEAN energy cooperation, including context and situation of energy sector in South East Asia, while for the second part, Fabby analyzed the two flagship projects: ASEAN Power Grid and Trans-ASEAN Natural Gas Pipeline (TAGP).

In his presentation, Fabby highlight recent ASEAN energy demand and supply until 2030 based on the 3rd ASEAN Energy Outlook 2010-230 carried out by IIEJ and ASEAN Center for Energy (ACE) that indicates energy consumption in this ASEAN region will be triple in 2030 from 2005, in the average growth 4.5 percent per year under the business as usual (BaU) scenario. More than 85% of this demand will be supplied by fossil fuels (oil, natural gas, and coal).  As demand for electricity rapidly increase, coal will be the fastest annual growth than other fossil fuels. As result of this increase, CO2 emission from energy also will be triple from 283 million ton C in 2007 to 896 ton C in 2030 under BaU and 679 ton C under alternative policy scenario. The APS will increase the measure of energy efficiency and conservation to reduce the end use demand of energy in the ASEAN.

ASEAN energy cooperation does not standing alone. It is aimed to achieve energy security to support the achievement of the objective of ASEAN Economic Community, which is the creation of single basis production of goods and services, through enhancing investment and trade. In this context, secure energy supply is a key to make ASEAN more competitive to attract investment. As ASEAN connectivity become key in meeting ASEAN community 2015, energy cooperation is means to boost energy infrastructure connectivity, as well as energy market, to optimize the energy resources available in the region.

ASEAN Plan of Action on Energy Cooperation 2010-2015 is the third series of ASEAN energy cooperation since 1999. It consisted of 7 program areas, 26 strategies and 90 actions to implement in the five years.  This covers two flagship projects: ASEAN Power Grid (APG) and Trans ASEAN Natural Gas Pipeline (TAGP); clean coal, renewable energy, energy efficiency and conservation, regional power planning and civilian nuclear energy.

ASEAN cooperation of energy also involves non-South East Asia countries. For instance, the energy security agenda also involves China, Japan and South Korea, under the ASEAN + 3, and East Asian Summit that involves ASEAN plus 8 other countries. ASEAN also has significant cooperation with Asian Development Bank (ADB) that facilitated the ASEAN Energy Regulator Network, and International Energy Agency (IEA).

Fabby criticizes the ASEAN energy cooperation, as current plan heavily based on the extraction fossil fuel and promote fossil fuel utilization and consumption in the region. It creates little incentive for renewable energy and energy efficiency development. Although ASEAN already underlined the importance of renewable energy and energy efficiency, the development strategy of each member countries and investment allocation will be heavily on the fossil fuels projects.

Present energy cooperation will ensure energy supply and raw material flow to the advance economic countries in ASEAN namely Singapore, Thailand and Malaysia to support their industries. Countries in Mekong region will be force to exploit their hydropower potential to generate cheap electricity to be sold to other countries, while Indonesia is likely to supply the natural gas and goal to its neighbor, which will create excessive environmental and social impact for local communities where the extraction occur.

The development of large scale infrastructure such as power grid and natural gas could degrade social and economic sustainability by heightening the risk of human right abuses, concentrating energy resources and wealth among the rich, subjecting communities to risk of occupational hazard, exacerbating regional tension, and impoverishing the environment.

Lastly, the lack of transparency and accountability in the most ASEAN member countries in managing its natural resources and extractive industries could even create greater danger to the people in this region in the longer term. As energy resources becomes very strategic and importance, intensifying the extraction and trading of fossil fuels could generate significant revenue stream to the government. However, in absence of democratic and good governance, these revenues could be ended up in the pocket of handful politician and cronies of government, instead of government account to support development and poverty reduction of the country.  Country can be easily trapped into a resource curse, where extraction of natural resources are rampant, but the economic and social development are remains low and poverty situation does not improve.

In conclusion, ASEAN energy cooperation in current state does not promote fulfillment of the right of energy of its citizen in its member state, tend to exploit several countries with energy resources, unsustainable and promote inequality. Therefore it must invent the better cooperation in energy to create a region that pursues sustainable development and the realization of people-centered ASEAN (FT).

Bali, 17 November 2011

Further information please contact Fabby Tumiwa (fabby@iesr.or.id)

Opsi Kenaikan Harga Premium Lebih Baik?

JAKARTA, KOMPAS.com — Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyambut baik usulan untuk menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi sebesar Rp 1.000 per liter untuk sebagian pengguna mobil pribadi. Menurut dia, hal itu tidak akan memberatkan masyarakat. “Kalau dalam konteks itu (saya) positif (setuju). Kan menaikkan pada level yang tidak memberatkan,” ucap Fabby ketika dihubungiKompas.com, Rabu(16/11/2011).

Menurut Fabby, kenaikan serupa pernah terjadi pada tahun 2005 di mana harga BBM premium naik 100 persen dari Rp 2.400 menjadi Rp 4.500 per liter. Saat itu, katanya, masyarakat masih mampu membeli. “Konsumsi (BBM bersubsidi) terus naik sampai tahun 2008,” ujarnya.

Dengan kondisi itu, ia menilai, jika kenaikan yang diwacanakan oleh pemerintah benar terjadi, masyarakat masih tetap mampu untuk membeli.

Menurut Fabby, menaikkan harga BBM bersubsidi lebih efektif ketimbang cara pemasangan sistem alat kendali (RFID) pada angkutan umum. Penggunaan alat itu butuh pengawasan yang ketat dan ada biaya pengawasan yang besar untuk melakukan itu. “Lebih susah untuk mengontrol volume,” tegasnya.

Masalahnya sekarang adalah kuota subsidi selalu terlampaui dengan berbagai macam alasan. Jika tidak diatasi segera, anggaran belanja (APBN) untuk yang lain bisa terganggu. Dengan begitu, menaikkan harga BBM subsidi ini adalah cara yang paling efektif. “Kalau saya menilai, kenaikan ini yang paling maksimal dibandingkan opsi yang lain,” kata Fabby.

Namun, katanya, pemerintah juga harus punya skenario jangka panjang. Pertama, kata Fabby, apakah akan ada kenaikan harga BBM secara bertahap. “Kedua, bagaimana kompensasi terhadap masyarakat miskin,” katanya.

Fabby menegaskan, dampak kenaikan harga ini harus diperhatikan, misalnya terhadap daya beli masyarakat miskin.

Sumber: Kompas.

Nur Pamudji, Dirut PT PLN Termuda

Low profile dan sangat kental logat Jawa-nya. Itulah figur yang terlihat dari Nur Pamudji, Direktur Energi Primer PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) yang naik pangkat menjadi nakhoda baru menggantikan Dahlan Iskan sebagai orang nomor satu di PLN.

Dahlan menyebut pria kelahiran Malang itu sebagai dirut termuda dalam sejarah PLN modern. Nah, di tangan lelaki muda inilah PLN diharapkan mampu lebih ‘terang’ dengan segala tantangannya.

Tidak dipungkiri, PLN sebagai BUMN merupakan salah satu BUMN yang ‘menggoda’ dan sangat kental muatan politisnya siapapun yang menjadi nakhodanya. Nominal dari bisnis yang berputar dari perusahaan plat merah cukup luar biasa. Tahun ini saja, subsidi listrik mencapai Rp37,8 triliun dan Rp45 triliun pada 2012.

Itu baru dari anggaran yang disiapkan pemerintah dari subsidi. Belum lagi proyek kelistrikan, termasuk sejumlah megaproyek pembangkit seiring dengan upaya pemerintah menggenjot tingkat rasio elektrifikasi lebih rendah lagi dari kondisi saat ini 67,2% menjadi 99% pada 2020.

Jadi sangat wajar bila banyak pihak sangat berkepentingan terhadap siapapun figur yang menduduki orang nomor satu di PLN menggantikan Dahlan. Mungkin kondisi itu sangat dipahami juga oleh Menteri BUMN. Satu sumber Bisnis menyebut pemilik Jawa Pos akan terus mengawal perusahaan negara itu meskipun sudah menjadi Menteri BUMN.

“Kinerja PLN menjadi taruhan Dahlan Iskan ketika dia bersedia menduduki jabatan Menteri BUMN. Oleh karena itu, figur penggantinya adalah figur yang seiring seirama dengan Dahlan,” ujar sumber itu. Benar tidak sinyalemen itu, hanya Dahlan Iskan yang mengetahuinya mengapa Nur Pamudji akhirnya yang terpilih menjadi dirut PLN.

Menteri BUMN itu dalam satu kesempatan di Bandung hari ini mengemukakan ada dua jawaban sehingga dirinya lebih memilih Nur Pamudji sebagai penggantinya. Pertama, Dahlan mengatakan Nur Pamudji itu mantan wartawan kampus yang hebat.

“Kalau jawaban guyon, saya inikan wartawan. Tentu saya minta pengganti saya itu dari wartawan. Dulu Nur Pamudji itu wartawan pers kampus yang hebat. Dia pengasuh ilmu dan teknologi di harian Sinar Harapan sebelum dibreidel,” katanya.

Jawaban seriusnya, mantan wartawan Jawa Pos itu mengatakan dirinya percaya akan orang muda. “Karena yang orang muda itu bisa melakuikan kemajuan. Saya ingin Nur Pamudji meneruskan melakukan transformasi PLN sebagai perusahaan yang bersih. Saya juga meminta dia untuk melakukan percepatan sejumlah proyek yang tertunda.” Nur Pamudi sendiri direncanakan dilantik besok pukul 11.00 WIB di Gardu Induk PLN, Karet Tengsin, Jakarta Pusat.

Sementara itu, anggota Komisi VII DPR dari fraksi Partai Golkar Satya Yudha menilai terpilihnya Nur Pamudji sebagai dirut PLN sudah sangat tepat karena dia sangat mengerti tentang masalah pembangkitan listrik di Indonesia. “Ke depannya, Nur Pamudji diharapkan bisa melakukan efisiensi energi primer, terus menekan losses dan mengganti BBM dengan gas untuk bahan bakar pembangkit.”

Selain itu, beberapa program yang harus dilakukan dirut PLN yang baru itu adalah menciptakan harga listrik per kWh-nya bisa lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asean, mempercepat program 10.000 MW tahap I dan II, meningkatkan rasio elektrifikasi.

Pengamat kelistrikan Fabby Tumiwa berharap Nur Pamudji bisa membawa PLN menjadi lebih baik, terutama dari sisi good corporate governance. Artinya, PLN bisa menjadi perusahaan yang menjunjung tinggi profesionalitas dan bisa jadi standar world class utility.

“Pak Nur punya tugas besar agar PLN itu dihindarkan dari politisasi. Kunci bahwa PLN menjadi profesional, caranya adalah membangun kompetensi termasuk menghilangkan politisasi di seluruh bisnis proses PLN,” tegasnya. Fabby juga berharap Nur Pamudji bisa membawa PLN mengelola bisnis lebih baik dari hulu sampai hilir, mulai dari penyediaan energi primer sampai penjualan tenaga listrik.

“Saya berharap biaya produksi listrik PLN bisa berkurang. Salah satu komponen yang penting di sana adalah biaya energi primer. Kalau itu bisa dikurangi, ada substitusi dari BBM ke non-BBM lebih banyak, maka otomatis biaya produksi listrik turun. Harusnya beliau paham,” ujarnya. (Roberto Purba/Ajijah/ea)

Sumber: Bisnis.com.

Pembangkit Listrik di Batam Jangan Hanya Menguntungkan Singapura

Jakarta, KOMPAS, 7 Nov 2011. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tengah mengkaji kemungkinan membangun pembangkit listrik berbasis batubara di Batam, Kepulauan Riau. Namun pemerintah diingatkan untuk berhati-hati mewujudkan rencana tersebut agar tidak semata-mata menguntungkan Singapura.

Pengamat kelistrikan yang juga Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reforms , Fabby Tumiwa di Jakata, Minggu (6/11), mengingatkan, rencana pembangunan pembangkit lisrik di Batam perlu disikapi dengan hati-hati. Ekspor listrik ke Singapura itu akan sangat menguntungkan Singapura dari sisi dampak lingkungan dan komersial. “Resiko emisi CO2 (karbon dioksida) dan kerusakan lingkungan akan ditanggung Indonesia,” kata Fabby.

Karena itu, seharusnya skema jual-beli listrik antar negara anggota Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) memasukan biaya lingkungan. Selain itu, juga perlu mempertimbangkan keamanan pasokan energi nasional sebagai prioritas.

Sebelumnya Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Widjajono Partowidagdo menyatakan, pemerintah mengkaji pembangunan pembangkit listrik berbasis batubara kapasitas 4.000 megawatt (MW) di Batam. Dari total daya itu, 3.000 diantaranya akan dieskpor ke Singapura, sisanya untuk Batam.

Pembangunan itu dilakukan karena saat ini Indonesia kelebihan produksi batubara dan hanya 30 persen yang terserap pasar domestik. Dengan demikian, gas tidak usah dikirim ke Singapura lagi. Pasokan gas dapat dimanfaatkan untuk Jawa.

“Singapura memang masih butuh gas untuk sebagian industrinya, tetapi untuk listriknya, paling tidak kita kirim listrik saja. Kalau yang untuk pabrik, kita tidak bisa ubah” kata dia. Artinya, pasokan gas dari Indonesia untuk listrik akan diganti dalam bentuk listrik.

Widjajono berharap ada persetujuan tentang penjualan tenaga listrik ke Singapura pada tahun 2012. Pembiayaan pembangkit listrik itu bisa dilaksanakan swasta melalui mekanisme lelang. “Pembiayaan gampang asalkan Singapura dan Indonesia setuju,” ujarnya.

Menanggapi rencana pembangunan listrik di Batam, Direktur Utama PT PLN Nur Pamudji menyambut positif, baik diekspor maupun disalurkan ke pulau sekitar. PT PLN berencana melaksanakan proyek kelistrikan untuk menghubungkan Batam dan Bintan sehingga menjadi sistem kelistrikan lebih besar. (EVY)

Kaji Ulang Pemanfaatan Gas Metana Batubara

JAKARTA, KOMPAS.com- Pemanfaatan gas metana batubara untuk memproduksi listrik perlu dikaji lebih mendalam. Selain ketidaksiapan dari sisi teknologi, potensi dampak pemanfaatannya terhadap lingkungan juga harus diantisipasi. Demikian disampaikan pengamat kelistrikan Fabby Tumiwa, Minggu (6/11/2011), di Jakarta.

Dari sisi teknologi, pembangkit listrik dengan GMB belum matang penerapannya di Indonesia. “Saat ini baru pada tahap proyek percontohan, belum beroperasi penuh secara komersial,” ujarnya.

Selain itu, GMB memiliki potensi dampak lingkungan yang signifikan. Karena itu, sudah seharusnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengeluarkan regulasi untuk mengatasi potensi dampak tersebut.

Manajemen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) sebelumnya menyatakan siap membeli gas metana batubara (GMB) dalam bentuk listrik maupun gas. Hal ini untuk memperkuat pasokan listrik di Indonesia.

Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 2011 mengatur tentang percepatan pelaksanaan prioritas pembangunan nasional tahun 2011. Pemanfaatan GMB dari wilayah kerja Sanga Sanga yang dioperasikan Vico merupakan bagian dari program pemerintah itu.

Direktur Utama PT PLN Nur Pamudji, menegaskan, pihaknya siap membeli gas metana batubara dari pengembang manapun, mulai dari tahap dewatering sampai produksi dalam bentuk listrik mapun gas.

“Kami baru menandatangani MoU (nota kesepahaman) dengan Exxon terkait pengembangan gas metana batubara. Ephindo kemungkinan juga akan masuk,” kata dia menegaskan.

Pada fase dewatering, PLN membeli listrik dari pengembang GMB untuk melistriki warga, khususnya sekitar lokasi pengembangan GMB. Pada fase produksi, cakupan pemanfaatan CBM akan diperluas untuk pembangkit besar setempat dan lokasi lain. “PLN berharap kerja sama ini dapat ditingkatkan secara jangka panjang mengingat potensi CBM yang besar dan kebutuhan PLN untuk terus menerus menyalurkan listrik ke pelanggan,” ujar Nur Pamudji.

Sumber daya CBM Indonesia disinyalir sekitar 453 TCF. Sejak tahun 2008 sampai saat ini, telah ditandatangani 39 Kontrak kerja sama, termasuk Wilayah Kerja (WK) Sanga Sanga yang ditandatangani pada 30 November 2009.

Sumber: kompas.com.