Asa PLN Pada Gas

KBR68H – Bak anak ayam mati di lumbung padi. Ungkapan yang tampaknya pas disematkan ke PLN. Perusahaan setrum negara ini malah tak kebagian gas di negara pengekspor gas. Padahal pasokan gas sangat dibutuhkan untuk memproduksi listrik murah. Continue reading

Target Lifting Minyak Sulit Dicapai

JAKARTA, KOMPAS.com – Pemerintah telah menetapkan target produksi minyak mentah siap jual (lifting) sebesar 950.000 barrel per hari (bph) pada RAPBN tahun 2012. Namun, target tersebut tampaknya tidak akan tercapai seiring dengan masalah-masalah fundamental yang belum terselesaikan.Continue reading

Tarif Listrik Memang Harus Naik?

JAKARTA, KOMPAS.com – Tarif dasar listrik sudah sepatutnya dinaikkan. Ini mengingat anggaran subsidi listrik, termasuk subsidi bahan bakar minyak, terlampau besar sehingga mengurangi jatah anggaran belanja modal untuk pembangunan.

“Seperti ini (kalau) subsidi dibatasi, ya konsekuensinya tarif (listrik) yang ada dinaikkan. Tarif yang ada tidak bisa menutupi biaya pokok produksi,” kata Executive Director Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa kepada Kompas.com, Rabu (17/8/2011).

Menurut Fabby, dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sekitar Rp 1.200 triliun, seperlimanya digunakan untuk subsidi, termasuk di dalamnya subsidi listrik. “Berarti sedikit (dana) untuk belanja modal,” tambahnya.

Oleh karena itu, ia menyarankan agar dana subsidi listrik ini dapat dialihkan kepada program kesehatan atau program sosial lainnya. Memang, seperti yang diberitakan, pemerintah berencana akan menaikkan tarif tenaga listrik (TTL) kepada pelanggan rumah tangga golongan tarif 450 VA ke atas pada April 2012. Kenaikan ini ditujukan untuk mengurangi subsidi listrik dari Rp 65,6 triliun pada APBN-Perubahan 2011 menjadi Rp 45 triliun pada RAPBN 2012.

Sumber: kompas.com.

Tarif Listrik Harusnya Naik 20 Persen?

JAKARTA, KOMPAS.com – Persentase kenaikan tarif tenaga listrik bagi pelanggan rumah tangga dengan golongan tarif 450 VA ke atas seharusnya bisa mencapai 20 persen. Kenaikan tersebut tidak akan berpengaruh besar pada rumah tangga tersebut. Hal ini disampaikan oleh Executive Director Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa kepada Kompas.com, Rabu (17/8/2011).

“Dari sisi tarif sendiri, kalau dari hasil analisis kami (IESR), pelanggan rumah tangga dengan golongan tarif 450 VA dan 900 VA paling tidak dinaikkan sampai 20 persen. Bebannya tidak signifikan bagi pengeluaran rumah tangga,” ujar Fabby.

Hasil analisa dari IESR tersebut memang lebih tinggi dari yang direncanakan pemerintah sebesar 10 persen. Mengapa sebanyak itu? Ia menjelaskan, dari anggaran subsidi listrik sebesar Rp 65 triliun pada APBN-Perubahan tahun 2011, pelanggan rumah tangga dengan golongan tersebut menggunakan sebagian besar dana subsidi. “Dari Rp 65 triliun dana subsidi listrik, sekitar Rp 40 triliun itu untuk rumah tangga (golongan) 450 VA dan 900 VA,” tambah dia yang juga menyebutkan rumah tangga tersebut tidak bisa digolongkan sebagai rumah tangga miskin.

Bagaimana dengan dampak dari kenaikan tarif 20 persen? Ia menjawab, kenaikan tarif 20 persen tidak akan berdampak besar bagi pengeluaran rumah tangga yang berjumlah 30-31 juta pelanggan dari total pelanggan PT PLN sebanyak 41 juta. “Kalau dilihat dari konsumsi tidak berdampak besar. (Juga) tidak berdampak besar bagi inflasi,” tuturnya.

Pengaruh kepada inflasi akan besar jika tarif listrik kepada industri dinaikkan. Oleh sebab itu, ia menyarankan agar pemerintah tidak menaikkan tarif listrik pada industri. Bahkan, supaya lebih memihak kepada rumah tangga miskin, pemerintah harusnya memberikan sambung baru secara gratis. “Pada dasarnya saya setuju adanya kenaikan karena subsidi tidak tepat sasaran dan rumah tangga golongan tarif 450 VA dan 900 VA tidak bisa disebut golongan miskin,” tegas dia.

Seperti yang diberitakan, pemerintah berencana akan menaikkan tarif tenaga listrik (TTL) kepada pelanggan rumah tangga golongan tarif 450 VA ke atas pada April 2012. Kenaikan ini ditujukan untuk mengurangi subsidi listrik dari Rp 65,6 triliun pada APBN-Perubahan 2011 menjadi Rp 45 triliun pada RAPBN 2012.

Sumber: kompas.com.

Blok Montara Percayalah, kami sedang bekerja keras

Pemerintah Indonesia optimis jika PTTEP Australasia akan memenuhi tuntuntan ganti rugi kebakaran kilang minyak di Blok Montara. Namun di tengah alotnya perundingan, empat anak perusahaan PTTEP di Indonesia mendapatkan konsensi pengelolaan ekplorasi minyak di Sulawesi.

Jakarta (IESR) JIka tak ada halangan, tanggal 29 Agustus 2011 nanti Pemerintah Indonesia bersama PTTEP Australasia akan menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) mengenai tuntutan ganti rugi pencemaran perairan Indonesia akibat ledakan kilang minyak yang terjadi pada di Blok Montara pada Agustus 2009 lalu.

Kesepakatan ini, menurut Masnellyati Hilman, Ketua Tim Advokasi Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut (PKDTL), merupakan langkah yang maju bagi proses perundingan. Sebab pihak PTTEP Australasia bersedia menyertakan dua poin penting, yaitu pembayaran klaim CSR sebesar US$ 2 juta dan pembayaran ganti rugi senilai Rp 23,7 triliun.

Namun dia tidak bisa merinci lebih lanjut mengenai isi kesepakatan yang akan ditandatangani di Jakarta itu, termasuk jumlah masyarakat nelayan di Kabupaten Kupang dan Rote Ndao yang menjadi korban pencemaran laut tersebut.

“Dalam proses negosisasi ini memang banyak hal yang tidak bisa diumumkan ke publik, karena ini menyangkaut kepercayaan dan reputasi kedua belah pihak. Namun percayalah, kita sedang berusaha untuk mendapatkan yang terbaik untuk bangsa ini. Yang terpenting, kedua belah pihak telah meggunakan metodelogi yang sama dalam pengukuran tumpahan minyak.” ujar Nelly .

Tertutupnya proses negosiasi ini membuat beberapa kalangan-terutama kelompok masyarakat sipil-mengganggap pemerintah bergerak lamban dan tidak tegas menyelesaikan kasus pencemaran lingkungan ini. Padahal, sudah banyak bukti yang menguatkan bahwa perusahaan minyak milik Australia dan Thailand telah melakukan kesalahan dalam kegiatan ekplorasinya.

“Pemerintah Australia yang diwakili oleh Otoritas Keselamatan Laut sudah membenarkan jika tumpahan minyak di Blok West Atlas masuk ke perairan Indonesia pada September 2009 lalu. Jadi secara substansi kita mempunyai posisi yang kuat” jelas Riza Dimanik, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dalam Seminar Pencemaran Minyak Blok Montara pada Selasa (26/7) lalu.

Justru yang menjadi persoalannya adalah bagaimana pemerintah bisa bersikap tegas untuk mengejar komitmen PTTEP Australasia untuk segera menyelesaikan kasus ini.

Pemerintah dianggap terlalu mengikuti keinginan PTTEP Australasia yang ingin memperpanjang masa penyelidikan hingga tahun 2011, termasuk memverifikasi kuesioner Tim Advokasi Laut Timor (TALT) yang diisi oleh para nelayan.

“Kita sedang berkejaran dengan waktu, semakin lama proses penyelidikan berlangsung, bukti-bukti yang ada di lapangan akan semakin hilang” ujar Riza.

Parahnya, ujar Riza, ditengah proses ini, Pemerintah Indonesia juga memberikan empat konsensi blok minyak kepada anak perusahaan PTTEP untuk eksplorasi minyak di Sulawesi. Tak heran, jika kemudian PTTEP merasa nyaman dan mendominasi perundingan sejak awal.

Ketidaktegasan pemerintah juga diungkapkan oleh Marwan Batubara dari Indonesia Resources Institute. “Sudah dua tahun kasus ini berlalu, dan presiden SBY hanya berbicara sekali ketika pemerintah akan mengajukan klaim ke PTTEP Australasia pada 22 Juli 2010.” Ujar Marwan

Kondisi ini sungguh berbeda berbeda ketika minyak milik Bristish Petroleum tumpah di perairan Teluk Mexico pada tahun 2010. Presiden AS, Barack Obama pada saat itu langsung turun menangani kasus ini dan meminta komitmen BP untuk membayar kerugian minimal US$ 20 milyar bagi masyarakat yang menjadi korban di wilayah tersebut.

“Presiden SBY harusnya bisa bersikap tegas seperti Obama dan meminta pertanggungjawaban PTTEP karena telah menyebabkan kerusakan lingkungan dan merugikan rakyat Indonesia.”

Akibat berlarutnya kasus blok Montara ini, kini jutaan jutaan masyarakat di Kabupaten Kupang dan Rote Ndao kini terpaksa meninggalkan pekerjaannya sebagai nelayan karena mereka sulit mencari ikan atau berkebun rumput laut.

Masyarakat, menurut Heri Saba dari Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) kini lebih memilih menyewakan perahu kepada imigran Afghanistan yang akan mencari penghidupan di Australia. Tentu saja, ini akan menimbulkan persoalan baru karena bisa melanggar hukum internasional.

Indonesia Introduces EITI Principles for Securing Energy and Improving Investment Climate in ASEAN

Jakarta (IESR). On 9-10 August 2011 Coordinating Ministry for Economic Affairs, Ministry of Energy and Mineral Resources and Ministry of Foreign Affairs were hosting the Regional Workshop: Securing ASEAN Energy Supply: Learning from Best Practice and Global Standards to Improve Investment Climate. The Workshop was held at Hotel Borobudur, Jakarta attended by 30 participants from five ASEAN member countries: Cambodia, Laos, Indonesia, Malaysia and Philippines, and presenting speakers from Timor Leste, Norway and other international institutions.

The workshop plan has been scheduled in the agenda of Indonesia’s Chairmanship in ASEAN. Indonesia had initially proposed this plan at the Senior Official Meeting on Energy (SOME) on 29 June-1 July in Brunei Darussalam and responded positively from ASEAN delegations

During two days, the participants have been discussing about non-technical aspects of energy security in ASEAN. One of those aspects was good governance to support investment climate. In this regard was the implementation of Extractive Industries Transparency Initiative (EITI)-the international quality assurance for governance of extractive industries revenue.

The Government of Indonesia believes that EITI can play important roles in promoting investment in ASEAN. Finding from EITI implementation countries shows that by implementing EITI, country attracts more business and investors in extractive industries (oil, gas and minerals). EITI can address part of the underlying cause of political instability in many resources rich countries through participation and dialogue among stakeholders (government, business and investors and civil society).

Fabby Tumiwa, Executive Director of Institute for Essential Services Reforms (IESR) welcomed the initiative from Government of Indonesia in introducing and encouraging EITI implementation in ASEAN. Fabby said principles of EITI are in accordance with the principles in ASEAN Charters and ASEAN pillars would a gateway for ASEAN to adopt and support the implementation in ASEAN

“We from Civil Society Organizations are supporting ASEAN to encourage its member countries to implement EITI as the initiative,” said Fabby. However, he also emphasized it is important for ASEAN to review the implementations from other standards-not only conclude on EITI-so that ASEAN will have comprehensive standards in managing natural resources as support to a sustainable development.

Chandra Kirana from Revenue Watch Institute (RWI) said essentially EITI could help ASEAN member countries in generating revenue from the extraction of natural resources and contribute to their economic development.

“If those countries can maximize their revenue from the extractive industries there will be a wider fiscal term in budget allocation for poverty reduction and sustainable development.” said Chandra

Indonesia has already implemented EITI principles since last year. On April 23, 2011 President of Indonesia released a decree on Transparency of National/Local Government of Extractive Revenues. Indonesia is now the first country of ASEAN releasing a regulation for EITI implementation as well as the first country in this region officially accepted as the EITI candidate country. Nowadays, the secretariat is preparing the first EITI Indonesia report, the report scheduled to be available by the end of this year

Fabby Tumiwa added, EITI can be a platform to improve country’s revenue from unrenewable natural resources. Optimizing revenue through a transparent fund flow will improve national income. So that the rich hydrocarbon countries would start investing their fund for research and invention for renewable energy technologies and securing energy supply in the future as hydrocarbon reservation is getting declining.

At the end of the workshop the participants agreed on “Outcome Document” covered six action plans of developing joint- study, working group in ASEAN for EITI promotion and dialogue forum among stake holders in ASEAN which facilitated by ASEAN Secretariat and the Government of Indonesia

Results of the regional workshop will be reported by Indonesia delegation on SOME summit and ASEAN Ministerial Meeting on Energy in next September.

Institute for Essential Services Reform (IESR), Revenue Watch Institute (RWI) and EITI Indonesia secretariat also supported for this workshop.

Indonesia mengenalkan prinsip EITI bagi Keamanan Energi dan Peningkatan Iklim Investasi di ASEAN

11 Agustus 2011 .

Jakarta (IESR). Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Kementerian Luar Negeri menjadi tuan rumah pelaksanaan Regional Workshop Securing ASEAN Energy Supply: Learning from Best Practice Policy Framework and Global Standard to Improve Investment Climate. Workshop yang berlangsung tanggal 9-10 Agustus 2011 di Hotel Borobudur, Jakarta, dihadiri oleh sekitar 30 peserta dari 5 negara ASEAN: Kamboja, Malaysia, Laos, Indonesia dan Filipina, serta para narasumber yang berasal dari Timor Leste, Norwegia, dan lembaga-lembaga internasional.

Rencana pelaksanaan workshop ini merupakan bagian dari agenda keketuaan Indonesia di ASEAN. Ide ini pertama kali disampaikan oleh Indonesia pada saat Senior Official Meeting on Energy (SOME) 29 Juni – 1 Juli 2011 di Brunei Darussalam, yang mendapat sambutan baik dari delegasi ASEAN yang hadir pada pertemuan ini.

Dalam workshop ini dibahas berbagai aspek non-teknis dari konsep keamanan pasokan energi di  ASEAN, salah satunya adalah tentang peranan tata kelola yang baik (good governance) dalam mendukung iklim investasi. Salah satu implementasi  dari tata kelola yang baik adalah standar Extractive Industries Transparency Initiative (EITI), yang merupakan standar kualitas internasional untuk tata kelola penerimaan dari industri ekstraktif (international quality assurance standard for the governance of extractive industries revenue).

Pemerintah Republik Indonesia percaya bahwa EITI dapat membantu negara-negara anggota ASEAN memperbaiki iklim investasi, dan menarik investasi di sektor migas dan mineral. EITI dapat membantu mengatasi sebagaian dari permasalahan mendasar dalam investasi yaitu ketidakamanan yang disebabkan oleh faktor politik (political insecurity) melalui proses partisipasi dan dialog dari berbagai pihak yang berkepentingan (pemerintah, perusahaan/bisnis dan masyarakat).

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menyambut baik inisiatif pemerintah Indonesia untuk memperkenalkan dan mendorong implementasi di ASEAN.  Menurut Fabby, prinsip-prinsip EITI sebenarnya selaras dengan prinsip-prinsip dalam.

Piagam ASEAN (ASEAN Charter) dan pilar ASEAN sehingga membuka jalan bagi ASEAN untuk mengadopsi dan mendukung implementasi ASEAN.

“Kami dari masyarakat sipil lebih lanjut mendorong ASEAN untuk memberikan dukungan bagi implementasi EITI oleh negara-negara anggotanya sebagai langkah awal,” kata Fabby. Dia juga menekankan bahwa ASEAN sebaiknya tidak hanya berhenti pada EITI tetapi juga mengkaji penerapan standar yang lebih komprehensif untuk mendukung pengelolaan sumberdaya alam yang mendukung pembangunan berkelanjutan.

Chandra Kirana, dari Revenue Watch Institute (RWI) menyatakan bahwa EITI pada dasarnya dapat membantu negara-negara ASEAN untuk memanfaatkan sumberdaya ekstraktif yang dimilikinya untuk menempuh jalur pembangunan yang berkelanjutan.

“Apabila pendapatan negara dari industri ekstraktif diterima secara optimal, maka terdapat ruang fiskal yang lebih besar bagi suatu negara untuk menginvestasikan pendapatan yang diterima tersebut kepada pengentasan kemiskinan, dan pembangunan berkelanjutan,” imbuh Chandra.

Indonesia sendiri telah mulai mengimplementasikan EITI. Pada 23 April 2010, Presiden Republik Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 26/2010 tentang Transparansi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah yang diterima dari Industri Ekstraktif. Indonesia adalah satu-satunya negara anggota ASEAN yang memiliki aturan untuk mengimplementasikan EITI, sekaligus satu-satunya negara kandidat EITI dari kawasan ini. Saat ini proses penyiapan laporan pertama Indonesia sedanga berlangsung dan sesuai dengan jadwal pada akhir tahun ini rancangan laporan tersebut sudah tersedia.

Fabby Tumiwa menambahkan, EITI dapat memfasilitasi upaya untuk meningkatkan pendapatan negara dari industri ekstraktif yang bersifat tidak terbarukan. Optimalisasi pendapatan negara tersebut melalui transparansi aliran penerimaan dana dapat meningkatkan penerimaan negara. Dengan demikian negara-negara yang kaya dengan sumberdaya hidrokarbon tersebut dapat mulai menginvestasikan dananya pada sumber dan teknologi energi yang terbarukan untuk menjamin keamanan energi di masa depan, pasca merosotnya cadangan sumberdaya hidrokarbon.

Di akhir workshop, para peserta menyepakati “Outcome Document,” yang mencakup enam agenda aksi diantaranya studi gabungan, pembentukan satuan gugus tugas lintas negara ASEAN untuk mempromosikan EITI, serta forum dialog antar pemangku kepentingan utama di tingkat ASEAN yang difasilitasi oleh sekretariat ASEAN dan/atau pemerintah Indonesia.

Hasil dari workshop regional ini akan dilaporkan oleh delegasi RI pada saat sidang SOME  dan ASEAN Ministerial Meeting on Energy di bulan September mendatang.

Acara regional workshop ini pelaksanaanya didukung oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), Revenue Watch Institute (RWI) dan Sekretariat EITI Indonesia.

Kontak Media

Untuk informasi lebih lanjut dan permintaan wawancara dengan pakar/ahli dari IESR hubungi:

Yesi Maryam
HP: 08159418667

Email: yesi@iesr.or.id.

PLN Impor Listrik dari Malaysia Selama 25 Tahun

JAKARTA (IFT) – Indonesia akan mengimpor listrik dari Malaysia untuk memenuhi kebutuhan listrik di Kalimantan. Bambang Dwiyanto, Manajer Senior Komunikasi Korporat PLN, mengatakan impor listrik itu akan dimulai pada Juli 2014.

“Rencana jual beli listrik antara dua sistem kelistrikan di Kalimantan, yaitu Kalimantan Barat (Indonesia) dan Sarawak (Malaysia) berlangsung selama 25 tahun yang akan terbagi dalam dua tahapan kerja sama,” jelas Bambang, Senin.

Pada kerja sama tahap pertama akan berlangsung dalam lima tahun. PLN akan mengimpor tenaga listrik dari Sarawak. Pola transfer daya untuk beban dasar sebesar 50 megawatt dan untuk beban puncak (peak load) sebesar 180 megawatt

Sementara pada tahap kedua atau setelah lima tahun pertama, PLN dan Sarawak Energy Berhad akan melakukan saling impor dan ekspor tenaga listrik berdasarkan keekonomian kedua sistem tenaga listrik (economic exchange power transfer). Pada tahapan ini, pola transfer daya akan menggunakan prinsip day-head agreement, artinya disepakati sehari sebelum transfer daya dilaksanakan dan bergantung kepada situasi operasi kedua sistem.

Untuk merealisasikan hal itu, PLN telah menggandeng Perusahaan listrik Malaysia, Sarawak Energy Berhad dalam pembangunan jaringan listrik interkoneksi sepanjang 122 kilometer dari Bengkayang di Kalimantan Barat hingga ke Mambong di Serawak. Dari panjang jaringan tersebut, sekitar 86 kilometer diantaranya berada di wilayah Kalimantan Barat dan sisanya sepanjang 36 kilometer berada di wilayah Sarawak.

Dengan adanya kerja sama pembangunan interkoneksi ini, potensi keuntungan yang bisa dirasakan oleh PLN dalam penyediaan tenaga listrik, khususnya di wilayah Kalimantan Barat, di antaranya meningkatkan pasokan daya non-bahan bakar minyak ke Kalimantan Barat yang berasal dari Sarawak yang secara mayoritas dibangkitkan dengan menggunakan pembangkit listrik tenaga air yang lebih ekonomis, sehingga memungkinkan penurunan biaya operasi.

“Kerja sama ini juga bertujuan untuk meningkatkan keandalan operasi sistem kelistrikan Kalimantan Barat, sekaligus meningkatkan cadangan daya sistem kelistrikan Kalimantan Barat,” jelasnya.

Widjajono Partowidagdo, angggota Dewan Energi Nasional, mendukung langkah PLN untuk mengimpor listrik dari Malaysia, karena Indonesia kekurangan pasokan sedangkan Malaysia kelebihan pasokan. Selain untuk memenuhi pasokan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat dan Serawak, jual beli listrik PLN dan produsen listrik Malaysia juga bisa dikembangkan untuk wilayah lain, seperti Dumai, Riau dan Batam, Kepulauan Riau. “Malaysia bisa memasok listrik melalui kabel bawah laut,” ujarnya.

Menurut Widjajono, potensi jual beli listrik ini bisa dilakukan untuk memenuhi pasokan listrik pada malam hari di daerah Riau, karena Malaysia hanya menggunakan listrik pada siang hari untuk keperluan industri, sementara pada malam hari tidak digunakan. Kedua negara akan diuntungkan karena pasokan listrik di Riau akan bertambah dan Malaysia memperoleh pendapatan dari pemanfaatan listrik yang tidak terpakai di negaranya pada malam hari.

“Kerja sama ini bisa dilakukan secara G to G (government to government) atau B to B (business to business),” katanya.

Fabby Tumiwa, pengamat kelistrikan, menilai impor listrik dari Malaysia untuk wilayah lain di luar daerah yang berbatasan langsung dengan Malaysia perlu studi kelayakan terlebih dahulu. PLN mesti mengkaji biaya investasi dan mekanisme pendanaannya. Studi kelayakan ini dinilai berguna karena proses transfer listrik dari Malaysia dilakukan melalui kabel bawah laut, sehingga kepastian investasi dan siapa yang menanggung investasi harus jelas terlebih dahulu.

“Intinya, kesepakatan kerja sama ini harus dikaji cost and benefit-nya. Jangan sampai Indonesia dirugikan,” kata dia. (*)

Nurseffi Dwi Wahyuni

sumber: indonesiafinancetoday.com.