TDL Dinaikkan, PLN Bakal Kesulitan

JAKARTA – Pengamat Kelistrikan Fabby Tumiwa mengungkapkan PT PLN (Persero) akan mengalami kesulitan lantaran menurunkan marginnya. Pasalnya PLN harus memenuhi sejumlah persyaratan (covenant) pinjaman.

Ini terkait rencana Menteri Keuangan untuk menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL) dan menekan margin menurunkan kelayakan finansial PLN.

“Selain itu, menurunkan margin akan menurunkan kelayakan finansial PLN,” ungkap Fabby melalui pesan singkatnya kepada okezone di Jakarta, Jumat(13/5/2011).

Dia menjelaskan, meskipun TDL nantinya akan dinaikkan 10-15 persen, namun tidak akan mampu menutupi biaya produksi. “Kenaikan itu hanya cukup untuk offset kenaikan harga bahan bakar saja,” paparnya.

Lebih jauh dia menjelaskan, pemerintah tetap harus memberikan subsidi pada PLN, jika tidak, maka PLN tidak akan mempunyai cukup finansial untuk melakukan investasi dan melakukan operasi dengan baik. “Dampaknya kepada pelayanan para konsumen,” tutupnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengungkapkan akan ada penyesuaian harga listrik, yang artinya akan ada kenaikan TDL sebesar 10-15 persen pada 2012.

“Subsidi, kita mengharapkan di 2012 bisa ada penyesuaian harga listrik antara 10 sampai 15 persen,” ujar Agus di Jakarta.

Selain itu, Agus menuturkan guna mendukung penurunan subsidi, pihaknya juga bermaksud menurunkan margin PLN. “Margin bisa diturunkan dari delapan persen menjadi tiga persen. Ini margin PLN maksudnya,” tambah Agus.
(ade)

sumber: okezone.com.

Tender PLTU Jateng : PLN Jangan Pilih Kontraktor Bermasalah

JAKARTA (Suara Karya): PT PLN (Persero) harus mempertimbangkan kredibilitas, pengalaman, dan profesionalisme kontraktor dalam menentukan pemenang tender pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Jawa Tengah. Tender PLTU berkapasitas 2×1.000 megawatt (MW) ini akan dilakukan pada awal bulan depan.

Ini guna mengantisipasi munculnya sejumlah masalah yang bisa membebani PLN di masa mendatang. Pasalnya, terdapat sejumlah perusahaan peserta tender yang memiliki riwa yat buruk dalam pemba ngunan pembangkit listrik di dalam negeri.

Demikian rangkuman pendapat yang disampaikan secara terpisah oleh anggota Komisi VII DPR Sutan Bhatoegana dan peng amat kelistrikan Fabby Tumiwa di Jakarta, Selasa (26/4).

Menurut Sutan Bhatoegana, banyak rekam jejak dari para investor yang harus menjadi pertimbangan PLN dalam menentukan pemenang tender. “PLN harus selektif, konsisten, dan proporsional. Jadi, jangan terbuai dengan harga murah dan janji para kontraktor asing,” katanya.

Sutan mengatakan, PLN memiliki pengalaman dalam memilih kontraktor China untuk membangun PLTU karena mempertimbangkan harga yang murah. Namun, pada akhirnya justru menyulitkan PLN sendiri dalam penyedian pasokan bahan bakar. Ini dikarenakan teknologi yang dipilih tidak sesuai dengan ketersedian batu bara yang ada di dalam negeri.

Selain itu, ada pula riwayat terkait perusahaan Marubeni Corporation yang memenangkan tender PL TU Cirebon berkapasitas 2×300 MW pada 2006. Namun, baru bersedia menandatangani power purchase agreeent (PPA) pada akhir 2007 karena meminta jaminan pemerintah.

“Saat tender, mereka tidak mempersoalkan jaminan pemerintah, tapi sesudah menang meminta jaminan. Akibatnya, pembangunan PLTU Cirebon tertunda satu tahun. Kasus yang seperti ini jangan sampai terulang lagi,” ujarnya.

Sementara itu, Fabby Tumiwa mengatakan, tujuan tender yakni mencari investor yang paling kredibel, memiliki akses terhadap teknologi terkini, kemampuan untuk membangun secara tepat waktu, dan kemampuan dalam menyediakan modal maupun mencari pendanaan. Sedangkan untuk jaminan pemerintah, perlu ditentukan bentuk konkretnya. “Jangan sampai jaminan pemerintah menjadi semacam bumper (menutupi) karena investornya tidak kredibel,” katanya.

Fabby lantas meminta PLN benar-benar mempertimbangkan semua aspek dalam menentukan pemenang tender PLTU Jawa Tengah. Dengan ini, pada akhirnya dapat memilih satu investor yang paling baik dan bonafide di antara para peserta tender. “Ini proyek yang cukup besar dan mendapat sorotan dari banyak pihak,” tuturnya.

Sebelumnya, PLN memproses tender pembangunan PLTU Jateng senilai sekitar 3 miliar dolar AS dan diikuti tujuh perusahaan/ konsorsium perusahaan asing yang sudah lolos proses prakualifikasi, meliputi China Shenhua Energy Company Limited, CNTIC-Consortium Guandong Yudean, Japan Power Konsorsium, Korea Electric Power Company (KEPCO), Marubeni Corporation, Mitsubishi Corporation, dan Mitsui-Intemational Power.

Masing-masing perusahaan tersebut harus menggandeng mitra lokal sesuai persyaratan yang ditentukan PLN. (A Choir)

sumber: http://www.suarakarya-online.com.

ADB Minati Proyek Kabel Atas Laut Jawa Bali

Oleh Nurseffi Dwi Wahyuni

29-03-2011

Bali membutuhkan pasokan listrik dari Jawa saat beban puncak. (IFT/STANLIE)
JAKARTA (IFT) – Bank Pembangunan Asia (ADB) siap memberikan pinjaman kepada PT PLN (Persero) untuk proyek pembangunan kabel listrik atas laut (overhead crossing) yang menghubungkan pulau Jawa dan Bali senilai US$ 200 juta, kata direktur perusahaan.

PLN saat ini mengalokasikan dana sebesar US$ 70 juta dari kas internal untuk pelaksanaan proyek kabel listrik atas laut tersebut. Kabel ini akan membawa listrik dari Jawa ke Bali sebesar 1.600 megawatt.

Nasri Sebayang, Direktur Perencanaan dan Teknologi PLN, menjelaskan pembangunan kabel listrik atas laut dilakukan untuk memperkuat kehandalan pasokan listrik di Bali, yang merupakan salah satu tujuan pariwisata wisatawan mancanegara. Selain itu, mulai 2013 akan ada kelebihan kapasitas pembangkit listrik di Jawa seiring dengan mulai beroperasinya proyek-proyek dalam 10 ribu megawatt tahap I.

Proyek Jawa-Bali overhead crossing 500 kilovolt high voltage alternating current yang menghubungkan Paiton–Banyuwangi–Gilimanuk–New Kapal dibagi dalam dua tahap. Pada tahap pertama, perseroan akan membangun dua menara setinggi 376 meter yang masing-masing berada di Jawa dan Bali.

Setelah menara terbangun, PLN akan mengoperasikan transmisi 150 kilovolt yang sudah ada agar bisa masuk ke sistem kelistrikan gardu induk Gilimanuk, Bali. Ini bertujuan agar pasokan listrik dari Jawa ke Bali sebesar 300 megawatt bisa segera masuk.

Tahap kedua, PLN akan membangun kabel 500 kilovolt yang menghubungkan Paiton di Jawa Timur ke Bali. Saat ini proses tender rekayasa, pengadaan, dan konstruksi untuk proyek ini masih berlangsung.

Menurut rencana, PLN akan mengumumkan pemenang tender pada Juni mendatang. IGA Ngurah Adynana, Direktur Operasi Jawa Bali PLN, sebelumnya menyatakan Sumitomo Corp, perusahaan asal Jepang, memenangi konstruksi proyek tersebut. Pembangunan akan dimulai akhir kuatal III atau kuartal IV. Pembangunan tahap pertama kabel listrik atas laut itu selesai pada 2013 dan tahap kedua 2015.

Adnyana menjelaskan kehadiran kabel bawah laut ini dapat memperkuat interkoneksi Jawa Bali yang sudah ada. Saat ini beban puncak Bali sebesar 550 Megawatt, sementara pasokan listrik dari pembangkit di Bali hanya 200 megawatt. Sisa pasokan listrik sebesar 350 megawatt untuk Bali berasal dari Jawa karena kedua pulau ini masuk dalam bagian sistem listrik Jawa, Madura, DAN Bali.

Pasokan listrik tersebut disalurkan melalui kabel listrik interkoneksi Jawa Bali yang sudah ada. Daya mampu listrik sistem Jawa Bali mencapai 22.500 megawatt, sedangkan beban puncaknya mencapai 18.365 megawatt.

Nasri Sebayang mengungkapkan, selain membangun kabel listrik atas laut, PLN juga akan membangun kabel listrik bawah laut Jawa Bali dengan total investasi Rp 450 miliar. Kabel itu akan membawa listrik dari Banyuwangi (Jawa Timur) ke Gilimanuk (Bali) sebesar 200 megawatt. “Kami perkirakan akhir tahun ini pembuatan kabel listrik bawah laut akan selesai,” ujarnya.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform, menjelaskan jika dilihat secara teknis dan ekonomis, penyaluran listrik dari Jawa ke Bali melalui kabel listrik jauh lebih menguntungkan jika dibandingkan dibangun pembangkit listrik tenaga uap di Bali.

Bila PLN memilih membangun pembangkit listrik tenaga uap, pembangkit jenis itu akan dibangun di Bali bagian utara. Padahal, daerah itu jauh dari pusat beban yang berada di Selatan, sehingga harus dibangun transmisi yang cukup panjang seperti pembangkit di Celukan Bawang. Lokasi pembangkit itu ada di utara Bali. “Karena itu harus dibangun transmisi ke Denpasar, Sanur, dan Kuta yang merupakan pusat beban,” kata dia.

Namun, lanjut Fabby, pembangunan kabel listrik baik di atas maupun di bawah laut tetap saja memiliki risiko. Dia mencontohkan, kabel listrik bawah laut Jawa Bali yang sudah ada, dari yang awalnya berjumlah lima buah kabel, kini hanya tersisa dua kabel karena terkena jangkar kapal atau terdorong arus laut.

Begitupun dengan kabel atas laut, PLN perlu memperhitungkan kekuatan menara dan kabel yang akan dibangun, serta besar kecepatan angin di wilayah yang dilewati kabel itu. “Memang menyambungkan kabel di atas laut, secara teknis akan lebih menantang,” ujarnya.

PLN Klaim Hemat Rp 1,4 Miliar dari Program Earth Hour

JAKARTA (IFT) – PT PLN (Persero) mengklaim bisa menghemat biaya produksi listrik sekitar Rp 1,4 miliar dari pelaksanaan program Earth Hour yang diselenggarakan serempak pada Sabtu (26/3) mulai pukul 20.30-21.30 WIB. Bambang Dwiyanto, Manajer Komunikasi korporat PLN, mengatakan kegiatan itu telah mampu menurunkan beban listrik di sistem Jawa Bali dan Sumatera sebesar 700 Megawatt.

Beban listrik di Jawa Bali turun sekitar 600 megawatt dibanding Sabtu malam pekan sebelumnya (19/3), dari sekitar 15.850 megawatt menjadi 15.250 Megawatt pada Sabtu (26/3). Penyumbang penurunan terbesar yaitu wilayah Jakarta dan sekitarnya yang turun 170 megawatt. Sementara beban listrik di Sumatra turun sekitar 100 megawatt dari biasanya 3092 megawatt menjadi 2984 megawatt.

Perhitungan penghematan itu dengan menggunakan asumsi rata-rata biaya produksi listrik PLN Rp 2.000 per kilowatt hour dan beban puncak yang turun dari program itu turun 700 megawatt selama sejam atau setara dengan 700.000 kWh. “Saat beban puncak biasanya pembangkit berbahan bakar minyak dioperasikan,” jelas Bambang.

Selain menurunkan beban listrik di sistem Jawa Bali dan menghemat biaya produksi listrik PLN, program ini juga baik untuk pembangkit-pembangkit perseroan. “Pembangkit biasanya jam-jam segitu kerja keras untuk memenuhi beban puncak tapi malam ini bisa agak santai dikit,” jelasnya.

Dibandingkan tahun lalu, penurunan daya yang diperoleh dari program Earth Our tahun ini meningkat. Pada 2010, penurunan daya dari kegiatan ini telah berhasil menurunkan beban listrik sebesar 200 megawatt.

Rendahnya penghematan daya tersebut karena tahun lalu program ini hanya berkonsentrasi di Jakarta. Sementara tahun ini, fokus di enam kota besar yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Yogyakarta dan Denpasar.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform, mengatakan, keberhasilan penurunan pemakaian listrik dari pelaksanaan program Earth Hour ini menunjukkan pentingnya kesadaran masyarakat untuk berhemat dalam pemakaian listrik.

Kesadaran ini penting karena 80% konsumsi listrik pada saat beban puncak (pukul 17.00-22.00) berasal dari pelanggan rumah tangga PLN. Sementara subsidi listrik yang diberikan pemerintah paling banyak terserap pada pemakaian listrik di beban puncak. Kenaikan daya saat waktu beban menengah ke waktu beban puncak mencapai 2.500 megawatt-3.000 megawatt.

“Efisiensi energi dari program ini kan hanya terjadi sejam, tapi kalau kebiasaan ini dilanjutkan setiap waktu maka penghematan secara besar-besaran bisa dilakukan,” ungkapnya.

Dia menyarankan cara yang paling efektif untuk menurunkan konsumsi listrik pada saat beban puncak adalah dengan menaikkan tarif listrik pelanggan rumah tangga pada saat beban puncak dua kali lebih mahal dibanding waktu normal. Dengan begitu, masyarakat akan lebih berhemat dalam memakai listrik.

Earth Hour merupakan kampanye perubahan iklim global yang mengajak seluruh elemen masyarakat dari berbagai negara di semua belahan dunia untuk mematikan lampu selama satu jam pada Sabtu pekan lalu, pada pukul 20.30-21.30 (waktu setempat). Hal ini dilakukan sebagai pernyataan dukungan upaya penanggulangan perubahan iklim.

Sumber: indonesiafinancetoday.com.

Belajar dari Fukushima

Kompas.com – Isu keselamatan energi nuklir kembali menghangat karena kecelakaan di PLTN Fukushima Daiichi, Jepang, 11 Maret lalu. Sikap pro dan kontra terhadap penggunaan energi nuklir tidak hanya muncul di masyarakat, tetapi juga di pemerintahan.

Menurut Deputi Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup Imam Hindargo, sebelum menggunakan energi nuklir, optimalkan dahulu sumber energi terbarukan. ”Jangan ke energi nuklir jika belum siap. Bukan hanya soal kesiapan lingkungan, tetapi juga apabila terjadi kebocoran radiasi dan dampak limbah nuklir bagi kesehatan. Pengembangan energi nuklir tidak mudah meskipun energi nuklir murah dan efisien,” katanya.

Menurut Imam, diperlukan persetujuan masyarakat tempat PLTN akan dibangun. Masyarakat perlu mengetahui dengan baik dan benar dampak serta manfaat energi nuklir dan kesiapannya sebagai bagian dari prinsip kehati-hatian.

Guru Besar ITB Bidang Fisika Reaktor dan Keselamatan Reaktor Zaki Su’ud menyatakan, kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi adalah pelajaran jika ingin membangun PLTN. ”Harus dicari rancangan reaktor generasi terbaru, yaitu generasi keempat atau ketiga plus yang mengadopsi sirkulasi alami,” katanya.

Pemilihan tapak atau bakal lokasi juga sangat penting. Jepara, menurut Zaki, merupakan salah satu daerah yang kecil intensitas gempanya. Meskipun demikian, marjin keselamatannya tetap harus diperhatikan.

Jika di salah satu calon lokasi PLTN di Bangka Belitung gempa diperkirakan mencapai 6 skala Richter (SR), misalnya, sebaiknya berikan marjin isolasi gempa sampai 9-9,5 SR. ”Dari segi pembiayaan mungkin boros, tetapi bisa bertahan cukup baik. Jangan pelit investasinya dan jangan lihat nilai ekonomisnya saja,” tutur Zaki. Perubahan sikap di masyarakat juga penting, seperti disiplin, sikap sungguh-sungguh, dan bertanggung jawab.

Syarat lain, menurut Muhammad Nur, Ketua Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia Cabang Jawa Tengah dan dosen Universitas Diponegoro Jurusan Fisika Atom dan Nuklir, adalah kesiapan otoritas nuklir, seperti Badan Pengawas Tenaga Nuklir, Badan Tenaga Atom Nasional, serta pengguna listrik PLTN, yakni PT PLN.

Meskipun dampak ledakan reaktor nuklir Fukushima belum jelas, Muhammad Nur optimistis. ”Saya melihat secara holistis dan jangka panjang. Bagi Indonesia, PLTN akhirnya akan dimanfaatkan juga. Sebagai ilmuwan, kita tidak boleh terjebak pada pro dan kontra pembangunan PLTN,” ujarnya.

Tidak tepat

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Rinaldy Dalimi, menegaskan, nuklir bukan termasuk kategori energi baru seperti tercantum dalam Peraturan Presiden RI Nomor 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. ”Energi baru haruslah yang menggunakan teknologi baru, seperti hidrogen dan fuel cell. Pada nuklir hanya fase teknologinya yang berkembang,” ujar Guru Besar Elektronika Universitas Indonesia itu.

Direktur Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa menegaskan, memasukkan nuklir sebagai energi baru berkonsekuensi otomatis pemerintah punya tambahan sumber pengeluaran. ”Energi baru dan terbarukan selalu butuh insentif pengembangannya. Ini belum memasukkan pertimbangan strategis geopolitik,” ujar Tumiwa.

Lambatnya perkembangan energi terbarukan disebabkan ketidakseriusan pemerintah memberi insentif pengembangan pada riset, teknologi, dan penciptaan pasar. Padahal, diversifikasi energi sudah dicanangkan sejak 1980-an.

Tumiwa mencontohkan, India butuh 15 tahun mengembangkan pembangkit listrik tenaga angin. Jepang butuh 70 tahun untuk menyempurnakan teknologi tenaga surya. Di Indonesia, pengembangan listrik panas bumi baru didorong tahun 2007 setelah undang-undang pengembangan panas bumi. Pengembangannya terkendala belum disepakatinya harga beli listrik.

Rinaldy sependapat. Ia mencontohkan, target pengembangan energi surya dalam KEN menjadi hanya 10 persen dari potensi, tenaga air 50 persen, dan panas bumi 60 persen.

Anggapan listrik tenaga nuklir murah juga tidak tepat. Herman Darnel Ibrahim, anggota DEN yang mantan Direktur Transmisi PLN, mengemukakan, biaya membangun PLTN 4 juta-5 juta dollar AS per MW.

Perkembangan di Jepang mendorong biaya bakal semakin mahal karena membesarnya tuntutan keselamatan reaktor. Ini belum lagi ketergantungan pada negara lain dalam penyediaan bahan bakar (uranium), teknologi dan sumber daya manusia, serta posisi geografis Indonesia yang rawan gempa. (har/dot)

sumber: http://nasional.kompas.com.

Fabby : Lebih Tepat PLN Beri Diskon

JAKARTA, KOMPAS.com – Rencana PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) menurunkan tarif listrik bagi golongan pelanggan industri pada pukul 23.00-07.00 untuk mengalihkan beban daya waktu beban puncak dinilai tidak efektif. Oleh karena, peningkatan daya pada beban puncak justru didominasi pada kelompok pelanggan rumah tangga dan bisnis dan tidak semua industri memiliki tingkat konsumsi listrik tinggi.

“Penerapan kebijakan pengalihan beban daya dari beban puncak ke luar waktu beban puncak ini kurang efektif,” kata pengamat kelistrikan, Fabby Tumiwa, saat dihubungi, Senin (28/2/2011), di Jakarta.

Menurut Fabby, PLN seharusnya tidak boleh menetapkan tarif sendiri, baik menaikkan maupun menurunkan tarif listrik. Oleh karena, penetapan tarif merupakan urusan regulasi. “Ini seperti kebijakan daya maksimum yang dipermasalahkan karena tidak sesuai aturan perundang-undangan. Lebih tepat jika PLN memberi diskon,” kata dia.

Dilihat dari tujuannya, lanjut Fabby, kebijakan ini bisa diterima. Sebab, kebijakan ini bisa mendorong ke arah pengalihan beban daya dari waktu beban puncak ke luar waktu beban puncak. Dalam arti, kalau PLN bisa mengurangi beban saat waktu beban puncak, perseroan bisa mengurangi konsumsi BBM dan mengoptimalkan permintaan di luar waktu beban puncak.

Namun Fabby masih mempertanyakan efektivitas implementasi kebijakan ini. Oleh karena sebenarnya peningkatan permintaan daya saat beban puncak justru didominasi kelompok pelanggan rumah tangga dan bisnis. Jadi, insentif tarif pada malam hari itu diperkirakan hanya akan mengalihkan beban daya sekitar 500-600 Mega Watt.

Selain itu tidak semua industri beroperasi 24 jam sehari dan tingkat konsumsi listrik tinggi atau di atas 10 persen dari komponen produksi. Beberapa jenis industri yang beroperasi 24 jam sehari adalah industri tekstil, baja dan industri petrokimia. Padahal jumlah pelanggan industri ini diperkirakan hanya sekitar 25 persen dari total pelanggan industri.

“Bagi industri-industri yang tidak beroperasi 24 jam atau jam beroperasinya tidak sampai dua atau tiga shift, kebijakan pengurangan tarif pada jam 23.00-07.00 itu tidak terlalu menguntungkan. Kalau pindah waktu produksi, perusahaan malah harus merekrut orang lagi dan itu tidak efisien bagi manajemen,” ujarnya.

Jika hendak menikmati insentif tarif itu, lanjut Fabby, pelanggan industri bisa saja menurunkan kapasitas produksinya pada waktu beban puncak. Kemudian dikompensasikan ke tengah malam atau pukul 23.00-07.00 dengan menambah pemakaian mesin untuk meningkatkan kapasitas produksinya agar mendapat insentif tarif itu.

Fabby menilai, rencana kebijakan ini dirumuskan PLN lantaran perseroan itu memiliki masalah dalam penyediaan pasokan daya waktu beban puncak karena kehandalan pembangkitan tidak optimal. “Jadi, selain mengatasi persoalan tingginya konsumsi BBM pada pembangkitan, insentif itu bertujuan agar pembangkit-pembangkit itu bisa dikoordinasi dengan baik,” katanya.

Pemberian insentif itu juga dinilai sebagai strategi PLN untuk mengurangi tekanan industri yang terkena dampak penghapusan kebijakan pembatasan kenaikan tarif listrik 18 persen. Sebab, sebagian industri yang beroperasi 24 jam dan memiliki tingkat konsumsi listrik tinggi juga merupakan industri yang terkena dampak pembatasan itu antara lain industri tekstil dan baja.
Evy Rachmawati

sumber: www.kompas.com.

Pengusaha Pusat Belanja Tolak “Capping”

JAKARTA, KOMPAS.com — Sejumlah asosiasi pengusaha menolak rencana pembatalan kebijakan pencabutan kenaikan maksimal tarif dasar listrik atau capping 18 persen bagi pelanggan bisnis dan industri. Sebab, hal ini dinilai akan berdampak buruk bagi iklim investasi dan melanggengkan iklim persaingan usaha yang tidak sehat.

Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia Ellen Hidayat, Jumat (21/1/2011) di Jakarta, mengatakan, pihaknya setuju dengan penghapusan capping itu. Sebelumnya, asosiasi pelaku usaha itu telah beberapa kali menyatakan keberatan atas penerapan capping kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) ataupun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia A Stefanus Ridwan menjelaskan, penerapan capping menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. Satu pelanggan dapat modal rendah, yang lain tinggi, bisa 1,5 kali lipat. Ini membuat harga jual tidak bersaing karena biaya operasional lebih tinggi, apalagi yang terkena adalah usaha baru. Ini akan mematikan orang untuk berinvestasi.

Meski tarif multiguna dan daya maksimum dihapus, menurut Ellen, dengan adanya capping 18 persen yang diberlakukan pada Agustus 2010, sejumlah pengelola pusat belanja belum menikmati tarif listrik sesuai harga yang berlaku umum.

“Kami menginginkan ada kesetaraan. Kalaupun harus naik, seharusnya sama tarifnya,” ujarnya.

Saat ini sedikitnya 12 pusat belanja tidak menikmati capping. Mereka adalah pengelola pusat belanja yang baru berdiri setelah tahun 2005. “Bagaimana mal-mal itu bisa bersaing jika tarif listriknya lebih mahal daripada mal yang sudah lebih dulu ada. Ini menyebabkan tarif sewa lahan di mal baru jadi lebih mahal,” kata Ellen.

Sebagai perbandingan, pelanggan bisnis dengan daya terpasang 10.380 kilovolt Ampere dengan tarif bisnis. Pelanggan baru terkena tarif di luar waktu beban puncak (LWBP) Rp 850 per kWh, dan waktu beban puncak (WBP) Rp 3.400 per kWh. Dengan tarif itu, rata-rata rekening listrik yang dibayar Rp 5,44 miliar. Pelanggan lama terkena tarif LWBP Rp 452 per kWh dan WBP Rp 904 per kWh sehingga rata-rata pembayaran ke PLN hanya Rp 2,89 miliar.

Setelah ada capping TDL 18 persen, rekening pelanggan baru Rp 3,73 miliar, sedangkan pelanggan lama tetap Rp 2,89 miliar.

“Dengan tanpa ada capping, tarif listrik untuk semua pelaku usaha disamakan sehingga sejak November lalu tarif listrik untuk pelanggan bisnis sama, yakni Rp 800 per kWh untuk luar waktu beban puncak, dan Rp 1.200 per kWh saat beban puncak,” kata dia.

Presiden Direktur PT Jababeka Tbk, pengelola kawasan industri Jababeka, SD Darmono menyayangkan mencuatnya kontroversi seputar pencabutan capping oleh PLN. Hal ini merugikan bagi iklim investasi di Indonesia. “Para calon investor akan mempertanyakan mengenai adanya capping dan disparitas harga ini,” ujarnya menegaskan.

Pada kesempatan terpisah, pengamat kelistrikan Fabby Tumiwa menyatakan setuju capping dicabut. Kalau ada revisi kebijakan, seharusnya dibahas dan konsekuensinya dikaji pada tarif dan subsidi. Dengan mempertahankan capping, pemerintah justru tidak menjadi konsisten.

sumber: megapolitan.kompas.com.

Penambahan Subsidi Listrik Jangan Asal-asalan

JAKARTA–MICOM: Wacana penambahan subsidi listrik sebesar Rp2,3 triliun dari asumsi APBN 2011 Rp40,7 triliun dinilai tidak tepat sarsaran. Lebih baik, subsidi tersebut dialihkan untuk penambahan infrastruktur listrik di pedesaan mengingat baru 65% masyarakat Indonesia yang sudah menikmati listrik.

Hal itu dikemukakan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa selaku pengamat kelistrikan di Jakarta, Selasa (25/1).

“Pelanggan industri totalnya sekitar 48 ribu pelanggan sedangkan fasilitas capping atau pemberlakuan batas atas 18% hanya dinikmati 9 ribu pelanggan. Apakah perlu memberikan subsidi tambahan hanya untuk 9 ribu pelanggan ini dibandingkan keseluruhan pelanggan PLN sebanyak 45 juta pelanggan?” cetus Fabby.

Fabby mengaku tidak habis pikir mengapa perlu ada pemberlakuan tarif berbeda bagi pelanggan bisnis dan industri. Menurutnya, apabila pelanggan industri memang merasa terbebani, sebaiknya memang ada pembuktikan apakah betul biaya produksi mereka bertambah akibat perubahan tarif dasar listrik (TDL) ini. Fabby pun menilai kebijakan Pemerintah di dalam capping ini merupakan suatu standar ganda.

“Kalau penyebab utamanya bukan tarif listrik, masih ada insentif lain yang bisa diberikan. Kalau langsung menambah subsidi, ini akan menganggu mekanisme subsidi dan lain sebagainya,” tuturnya.

Lebih lanjut, Fabby mengaku mendukung rencana PT PLN (Persero) untuk mencabut pemberlakuan capping 18%. Sebaliknya, argumen yang dikeluarkan anggota Komisi VII DPR RI Satya W Yudha untuk menambah subsidi listrik Rp2,3 triliun justru berada di luar konteks. Bagaimanapun, sambung Fabby, dana di dalam APBN berasal dari tangan publik dan tidak bisa dikeluarkan begitu saja oleh DPR.

“Harusnya dialokasikan untuk hal-hal seperti pertumbuhan ekonomi, menambah kompetitif, dan lain sebagainya. APBN itu duit publik, bukan duit DPR, DPR hanya mengatur kemana yang paling efektif, jangan dipakai sebagai alat politik,” tukasnya.

Berdasarkan data yang dirilis PLN, golongan tarif industri tegangan rendah (TR) area Jawa yang terkena capping hanya 8.000 pelanggan atau 26% dari total keseluruhan. Sedangkan industri yang memberlakukan tarif penuh sebanyak 31 ribu pelanggan. Golongan tarif tegangan menengah (TM) yang terkena capping pun lebih sedikit, hanya 23%dari total 1.700 pelanggan. Sementara kelompok industri yang menikmati capping untuk golongan tarif tegangan tinggi (TT) bahkan lebih sedikit lagi, sekitar 6% atau total hanya 3 konsumen. Secara keseluruhan, hanya sekitar 9.700 pelanggan atau 25% dari total pelanggan sektor industri yang masih menikmati capping sebesar 18% itu. (*/OL-2)

Sumber: www.mediaindonesia.com.