Apa yang dapat dilakukan Perusahaan Listrik Negara G20 untuk Mengatasi Krisis Iklim?

Bali, 29 Agustus 2022 – Sektor kelistrikan merupakan salah satu penghasil emisi terbesar setelah sektor kehutanan dan tata guna lahan. Dengan semakin terbatasnya peluang untuk menjaga suhu global pada level 1,5 derajat, dorongan untuk mendekarbonisasi sektor kelistrikan menjadi semakin penting. Perusahaan utilitas listrik akan menjadi pendorong utama upaya dekarbonisasi untuk mencapai emisi nol bersih.

Philippe Benoit, Adjunct Senior Research Scholar Center on Global Energy Policy, Columbia University, dalam seminar “The Role of G20 Power Utilities in Climate Mitigation Effort” yang diselenggarakan oleh C20, menekankan pentingnya mereformasi perusahaan listrik milik negara, mewujudkan perannya sebagai produsen listrik, pembeli listrik, dan pemilik/operator jaringan untuk mempercepat transisi energi.

“Perusahaan listrik nasional bersifat multidimensi. Ketika kita berbicara tentang dekarbonisasi, kita harus memikirkannya karena merekalah yang akan menentukan laju dekarbonisasi,” katanya.

Philippe melanjutkan bahwa skenario berbasis pasar seperti pajak karbon, perdagangan karbon, dan penetapan harga dapat menjadi instrumen untuk mempengaruhi perusahaan listrik nasional untuk melakukan dekarbonisasi. Selain itu, pemerintah juga dapat menyediakan sumber daya bagi perusahaan listrik nasional dengan mendukung mereka, melakukan advokasi, dan secara langsung menjalankan kekuasaan pemegang saham pemerintah.

Mahmoud Mohieldin, High-Level COP 27 Champion Mesir, mengusulkan beberapa poin untuk dibahas, termasuk kebijakan energi komprehensif yang mencakup penghentian penggunaan bahan bakar fosil, akses energi, dan pengembangan hidrogen hijau.

“Anggaran negara harus mencerminkan prioritas agenda iklim dalam kerangka pembangunan SDGs,” katanya.

Pada kesempatan yang sama, Joojin Kim, Managing Director Solution for Our Climate (SFOC), Korea Selatan, memaparkan fakta bahwa saat ini energi terbarukan menghadapi beberapa pembatasan di beberapa wilayah untuk menghindari energi yang ‘tidak terjual’.

“Secara global, ada peningkatan signifikan dari kapasitas energi terbarukan tetapi sebagian besar dibangun di AS atau Eropa. Untuk menjaga keseimbangan antara pasokan dan permintaan listrik, beberapa daerah mulai menerapkan pembatasan energi terbarukan,” katanya.

Joojin mengatakan kondisi ini tidak kondusif untuk mencapai target net zero. Untuk menyelaraskan dengan jalur 1,5 derajat Celcius, negara G20 harus memiliki 75% energi terbarukan pada tahun 2040. Menurutnya baik Korea Selatan maupun Indonesia tidak dalam situasi yang ideal untuk mencapai target itu jika tidak ada perubahan segera.

Menurut Dennis Volk, Kepala Divisi Bundesnetzazagenturn (BNetZa), Jerman, komitmen politik dari pemerintah menjadi kunci dekarbonisasi sektor kelistrikan.

“Diperlukan komitmen politik yang kuat untuk mendorong sektor ketenagalistrikan ke jalur dekarbonisasi. Hal  kedua yang juga penting adalah skema pendukung termasuk pembiayaan,” kata Dennis.

Youngjin Chae, Vice President Strategy and Planning Korea Power Exchange (KPX), Korea Selatan menjelaskan, saat ini terdapat sekitar 19% energi terbarukan di Korea Selatan pada bauran energinya. Isu terkait fleksibilitas, penyimpanan, dan kelayakan (secara bisnis) menjadi perhatian karena karakteristik energi terbarukan yang terkonsentrasi secara lokal.

Indonesia berencana untuk mencapai netralitas karbon pada tahun 2060 atau lebih cepat. PLN sebagai perusahaan penyedia tenaga listrik, melalui Direktur Perencanaan Perusahaan Evy Haryadi mengatakan PLN perlu membangun pembangkit baru sebesar 413 GW dengan energi terbarukan sekitar 75% dan interkoneksi 19 GW untuk mencapai net zero pada tahun 2060.

“Kami (PLN) menilai setidaknya ada lima hal besar yang harus diubah (dibangun), mulai dari sistem penyimpanan baterai, interkoneksi, klaster industri hijau, mekanisme penarikan batu bara, hingga pengembangan teknologi baru,” pungkas Evy.

Beberapa tantangan serius dihadapi oleh negara-negara dalam mengembangkan energi terbarukan. Mempertimbangkan situasi tiap negara yang beragam, setiap negara harus segera mencari solusinya karena IPCC telah memperingatkan bahwa waktu kita semakin pendek.

“Setiap negara harus mampu menjawab isu penyelesaian perubahan iklim, permintaan pelanggan akan listrik yang handal dan terjangkau, kebutuhan tenaga kerja untuk meningkatkan keterampilan, regulasi dari pemerintah, dan lebih banyak teknologi untuk menyediakan energi hijau,” Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menutup webinar.

Negara ASEAN Butuh Bergotong Royong untuk Transisi Energi

Jakarta, 29 Juli 2022 – Kawasan Asia Tenggara merupakan satu kawasan strategis dengan pertumbuhan ekonomi terbesar kedua di Asia setelah Cina. Asia Tenggara diprediksi akan terus berkembang secara ekonomi. Permintaan energi diprediksi juga akan terus naik. Dengan kondisi energi fosil masih banyak terdapat di kawasan Asia Tenggara diperlukan upaya bersama antar negara-negara di Asia Tenggara untuk mencapai dekarbonisasi tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi. 

Korea Selatan dan Cina yang menjadi investor berbagai proyek fosil khususnya PLTU batubara di kawasan Asia Tenggara telah berkomitmen untuk tidak lagi membiayai proyek PLTU di luar negeri pada tahun 2021. Komitmen ini diharapkan menjadi sinyal yang menggiring investasi energi terbarukan semakin masif.

Dongjae Oh, program lead for climate finance, Solutions for Our Climate (SFOC) dalam webinar bertajuk “The State of Southeast Asia Energy Transition” menyatakan bahwa komitmen Korea Selatan untuk tidak lagi membiayai PLTU batubara memang cukup mengejutkan namun ada hal lain yang patut diwaspadai terkait preferensi investasi Korea Selatan.

“Meski sudah menarik pendanaan untuk PLTU batubara, namun Korea Selatan tetap berinvestasi pada sektor minyak dan gas di kawasan Asia Tenggara dengan nilai 10 kali lipat yaitu sebesar $127 miliar dari investasi batubara yang hanya sebesar $10 miliar. Indonesia merupakan penerima investasi migas terbesar dari Korea Selatan,” jelas Dongjae.

Dongjae menambahkan bahwa gas dianggap oleh pemerintah Korea sebagai energi alternatif yang bersih untuk masa transisi. 

Cina juga mengumumkan tidak akan lagi membiayai proyek batubara di luar negeri pada September 2021. Sejumlah kebijakan baik luar maupun dalam negeri Cina mengalami perubahan sejak saat itu. Isabella Suarez, peneliti Center for Research on Energy and Clean Air, menjelaskan pemerintah Cina mulai memasukkan klausul tentang penghentian pembiayaan batubara pada UU mereka.

“Sejumlah bank lokal Cina juga mulai menyatakan bahwa mereka tidak akan lagi membiayai proyek batubara,” tambah Isabella.

Mundurnya Korea Selatan dan Cina dalam pembiayaan PLTU batubara diharapkan mendesak negara-negara ASEAN untuk mengembangkan energi terbarukan secara lebih masif. 

Sementara itu, situasi transisi energi di beberapa negara Asia Tenggara masih perlu banyak dorongan, dan insentif.

Handriyanti Diah Puspitarini, peneliti senior Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan situasi perkembangan transisi energi di Indonesia saat ini cukup lambat dan belum cukup untuk mengejar target mitigasi iklim untuk membatasi kenaikan suhu global pada level 1,5 derajat. 

“Jika Indonesia tidak melakukan sesuatu untuk mempercepat penetrasi energi terbarukan, menurut hitungan IESR pada tahun 2025 kita hanya akan mencapai 15% energi terbarukan pada bauran energi dan 23% pada tahun 2030,” jelas Handriyanti.

Handriyanti menekankan pentingnya pemerintah Indonesia untuk mencari model pendanaan dan memiliki political will yang konsisten dalam proses transisi energi Indonesia, mengingat proses transisi terjadi dalam waktu panjang dan membutuhkan dana yang tidak sedikit.

Mirip dengan situasi sektor ketenagalistrikan Indonesia, Filipina juga masih didominasi oleh energi fosil pada sektor kelistrikannya. Albert Dalusung, penasihat transisi energi, Institute for Climate and Sustainable Cities (ICSC) menyatakan saat ini pemerintah Filipina sedang fokus untuk mengurangi penggunaan minyak pada sektor transportasi dan mengembangkan energi terbarukan. 

“Presiden telah menyatakan bahwa energi terbarukan menjadi garda terdepan untuk agenda iklim, tingginya harga energi fosil juga membuat pemerintah mengubah kebijakan energi,” jelas Albert.

Negara tetangga Indonesia, Malaysia, memiliki target 31% energi terbarukan pada tahun 2025 dan mencapai status netral karbon pada 2050. Antony Tan, executive officer (Sustainability & Finance), All Party Parliamentary Group Malaysia on Sustainable Development Goals (APPGM – SDG), menyatakan bahwa saat ini Malaysia optimis dapat mencapai target tersebut.

“Namun ada hal yang perlu diperbaiki dalam kebijakan energi di Malaysia, yaitu perlu adanya kementerian energi secara spesifik serta kebijakan yang lebih holistik untuk mendesain sistem transportasi yang lebih berkelanjutan,” jelas Antony.

Indonesia Tidak Hanya Butuh Transisi Energi, Namun Akselerasi Transisi Energi

Jakarta, 31 Mei 2022 – Konflik geopolitik yang terjadi beberapa bulan terakhir telah mempengaruhi sejumlah situasi global salah satunya kondisi pasokan energi. Negara-negara Uni Eropa yang merasakan imbas dari terganggunya pasokan energi mulai mencari berbagai alternatif baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Sebagai solusi jangka panjang, Uni Eropa mengeluarkan kebijakan energi baru bertajuk REpower EU. Dalam kebijakan ini, Uni Eropa berencana untuk menambah kapasitas energi terbarukannya hingga 740 GWdc hingga 2030 untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil Rusia dan memastikan ketahanan energinya. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, dalam acara MGN Media Summit yang diselenggarakan pada Selasa, 31 Mei 2022, menyatakan situasi geopolitik global saat ini memang kurang menguntungkan untuk transisi energi bukan hanya di Indonesia namun berbagai negara di dunia. Namun, setelah beberapa bulan tensi geopolitik ini masih berlanjut, sejumlah negara mulai menggunakan momentum ini untuk lepas dari ketergantungan energi fosil dan mengakselerasi energi terbarukannya. Indonesia pun harusnya dapat melakukan hal serupa dengan misalnya memastikan aturan yang dibuat untuk mendukung akselerasi energi terbarukan seperti Permen ESDM 26/2021 berjalan.

“Kelemahan negara ini adalah rencana sudah dibuat namun implementasi dan penegakannya masih lemah, misalnya Permen ESDM 26/2021 tentang PLTS atap,” Fabby menjelaskan.

Fabby menjelaskan Permen ESDM 26/2021 belum juga dilaksanakan oleh PLN sebab masih terganjal sejumlah isu salah satunya kompensasi Kementerian Keuangan untuk PLN yang aturannya belum dibuat. 

“Maka mungkin DPR RI dapat memanggil Menteri Keuangan dan Menteri ESDM untuk menjelaskan situasi dan meminta mereka untuk segera merancang skema kompensasi untuk PLN,” tambahnya.

Situasi transisi energi di Indonesia sendiri memang tidak terlalu menggembirakan. Memiliki target bauran energi baru sebesar 23% di tahun 2025, data Kementerian ESDM pada bulan Februari 2022 lalu menunjukkan target tersebut baru tercapai sekitar 11,5%. Sugeng Suparwoto, Ketua Komisi VII DPR RI yang menangani tentang energi, mengaku berat untuk mengejar target bauran energi terbarukan tersebut, namun hal itu bukan berarti tidak mungkin.

“Harus saya akui ini berat, namun dengan kerja ekstra keras kita bersama, saya masih optimis kita dapat mencapainya,” jelas Sugeng.

PLN sebagai aktor kunci terutama dalam akselerasi energi terbarukan menyatakan bahwa selain penyediaan energi, sisi demand (permintaan) energi juga harus dipastikan ada.

“Kita juga perlu memastikan bahwa demand untuk energi terbarukan ini tersedia. PLN sendiri akan sangat bergantung pada teknologi yang ada untuk mengejar net-zero emission (NZE) maupun target bauran energi,” Cita Dewi,  EVP Perencanaan & Enjiniring EBT PT PLN (Persero), menjelaskan.

Cita menambahkan bahwa pihaknya tidak dapat bekerja sendiri untuk mengeksekusi percepatan energi terbarukan sendiri. Butuh kolaborasi berbagai pihak untuk memastikan transisi energi ini berjalan. 

Daniel Purba, Senior Vice President, Strategy & Investment, PT Pertamina (Persero) menyatakan bahwa cadangan fosil kita sudah tak sebanyak dulu. Dari sisi konsumsi pun, meski saat ini fosil masih mendominasi, namun kedepannya pasti berganti.

“Walaupun sekarang misalnya, BBM mendominasi konsumsi masyarakat, kedepannya kendaraan listrik dan bahan bakar alternatif seperti hidrogen yang akan banyak digunakan,” katanya.

Dengan adanya fenomena ini, korporasi memiliki kebutuhan untuk mendiversifikasi bahkan mentransformasi bisnisnya supaya perusahaan dapat sustain, serta mendapat kepercayaan baik dari investor maupun konsumen.

“Pertamina sendiri mulai mendiversifikasi bisnisnya dengan mulai mengembangkan hidrogen dan menggunakan PLTS pada kantor operasional kami,” tambah Daniel.

Menyoroti mengenai kebijakan energi di Indonesia Djoko Siswanto, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional, menyatakan bahwa Indonesia memiliki instrumen kebijakan yang cukup lengkap mulai dari peta jalan, target, dan rencana. Namun menurutnya penting untuk mengukur  seberapa on-track dan tangguhnya  ketahanan energi dengan berbagai instrumen kebijakan yang ada di Indonesia.

“Berbagai skema kebijakan yang ada saat ini membuat indeks ketahanan energi kita berada dalam kategori ‘tahan’. Kita belum bisa mencapai kategori ‘sangat tahan’ karena beberapa hal antara lain impor energi (BBM) kita masih tinggi, infrastruktur energi (grid) kita masih harus ditingkatkan kualitasnya, dan bauran EBT kita masih rendah,” jelas Djoko.

Djoko menambahkan pemerintah perlu untuk menyelesaikan isu-isu tersebut untuk memastikan ketahanan energi Indonesia serta untuk menurunkan emisi GRK dari sektor energi. Dengan begitu komitmen Indonesia pada berbagai perjanjian Internasional terpenuhi.

Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021 Disepakati, Indonesia targetkan tercapainya target 3,6 GW PLTS Atap di tahun 2025

Hadirnya kebijakan pemerintah tentang  PLTS atap di Indonesia sejak 2018 melalui Permen Permen ESDM No. 49/2018 terbukti telah meningkatkan adopsi PLTS atap dari awalnya hanya 609 pelanggan di tahun 2018 menjadi 4.262 pelanggan di tahun 2021. Di tahun 2021, Permen ESDM No. 49/2018 mengalami perbaikan menjadi Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021.

“Implementasi  Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021 diharapkan dapat mendorong berkembangnya pasar PLTS atap, terlebih dengan ditetapkannya target 3,6 GW PLTS atap dalam Proyek Strategis Nasional (PSN),” ungkap Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) yang juga merupakan Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI)  dalam Indonesia Solar Week 2022 (10/2/2022).

Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021 merupakan perbaikan ketiga dari Permen ESDM No. 49/2018. Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021 telah diundangkan sejak 20 Agustus 2021. Setelah sempat mengalami penundaan implementasi, akhirnya Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021 disepakati untuk dilaksanakan pada 18 Januari 2022. Berikut perbandingan perbaikan ketentuan dari ketiga Permen ESDM tersebut:

Ketentuan

Peraturan Menteri ESDM tentang PLTS Atap

No. 49 tahun 2018No. 16 tahun 2019No. 26 tahun 2021
Ketentuan ekspor kWh listrik65%Sesuai Permen ESDM No.49 tahun 2018

100%
Ketersedian meter kWh ekspor-imporpaling lama 15 hari setelah SLO diterima PLNpaling lama 15 hari setelah SLO diterima PLN
Kelebihan akumulasi selisih tagihan dinihilkanpaling lama 3 bulanselama 6 bulan
Jangka waktu permohonan PLTS Atap paling lama 15 hari5 hari tanpa penyesuaian Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) dan 12 hari dengan adanya penyesuaian PJBL)
Ketentuan konsumenHanya pelanggan PLNPelanggan PLN dan pelanggan di Wilayah Usaha non-PLN (Pemegang IUPTLU).
Ketentuan Konsumen PT PLN (Persero) dari golongan tarif untuk keperluan industriDikenai biaya kapasitas dan biaya pembelian energi listrik darurat
dengan formula:

Biaya kapasitas = kapasitas total inverter (kW) x 40
(batas beban minimum listrik menyala dalam satu bulan)) jam x tarif tenaga listrik.
Dikenai biaya kapasitas dengan
formula :

Biaya kapasitas = kapasitas total inverter (kW) x 5
(lima) jam x tarif tenaga listrik.
Dikenai biaya kapasitas dengan
formula :

Biaya kapasitas = kapasitas total inverter (kW) x 5
(lima) jam x tarif tenaga listrik
Mekanisme pelayanan berbasis aplikasiTidak diaturTidak diaturDiatur untuk kemudahan penyampaian permohonan, pelaporan, dan pengawasan program PLTS Atap
Ketersedian Pusat Pengaduan PLTS AtapTidak diaturTidak diaturDiatur
Ketentuan lainnyaDibukanya peluang perdagangan karbon dari PLTS Atap

Melalui keterangan resmi ESDM, pemerintah mengharapkan perbaikan Permen PLTS Atap ini akan mendorong tercapainya target 3,6 GW PLTS Atap pada 2025. Target 3.6 GW PLTS atap merupakan usulan ESDM yang masuk dalam Proyek Strategis Nasional yang tercantum pada Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No. 7 tahun 2021. Potensi dampak positif dari proyeksi tumbuhnya PLTS Atap 3.6 GW diantaranya dapat menyerap 121.500 orang tenaga kerja dan menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 4,58 Juta Ton CO2e. 

Sebagai bagian dari implementasi Permen ESDM Nomor 26 Tahun 202, Fabby mendorong pemerintah  untuk segera membentuk Pusat Pengaduan PLTS atap sesuai pasal 26 dalam Permen ESDM tersebut. Selain itu, Fabby berharap agar proses pengajuan PLTS atap dan perizinan yang jelas dan singkat sesuai dengan ketentuan terbaru. Di sisi lain, persoalan yang sering dihadapi calon pelanggan seperti lamanya memperoleh meter exim dapat pula diatasi sehingga meningkatkan pemasangan PLTS atap kedepannya.

Transformasi Global Menuju Sistem Energi yang Lebih Bersih Harus Segera Diikuti PLN

Kendari, 7 Februari 2022 – Dunia sedang menghadapi perubahan besar merespon kenaikan suhu rata-rata bumi yang meningkat 1,1 derajat Celcius sejak masa pra-industri. Berbagai komitmen global disepakati untuk membatasi kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 2 derajat celcius pada pertengahan abad ini. Kenaikan suhu rata-rata bumi ini disebabkan oleh emisi karbon yang banyak dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil salah satunya pada sektor energi. 

Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisinya sebesar 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan bantuan asing, serta mencapai net-zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat. 

Dr. Kuntoro Mangkusubroto, pengamat energi senior, dalam Seminar Pertambangan, perayaan Hari Pers Nasional menyebutkan bahwa sektor energi memegang peran krusial untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

“Namun perlu diingat, bukan berarti urusan net-zero emission ini lantas menjadi beban PLN saja karena terkait dengan energi. Perlu kolaborasi berbagai pihak untuk memastikan target 2060 tercapai,” pungkasnya mengakhiri sambutan kunci.

PLN mempunyai peran besar dalam menciptakan pasar untuk energi terbarukan. Untuk mengejar target pemenuhan energi terbarukan perlu keterlibatan pihak swasta. Maka dari itu, kebijakan dan iklim investasi yang kondusif perlu untuk diupayakan.

Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM menyampaikan bahwa Indonesia masih selaras untuk memenuhi pencapaian komitmen perjanjian internasional, namun ada pilihan-pilihan untuk melakukan berbagai percepatan.

“Kita sudah menyusun peta jalan nasional untuk mencapai net-zero emission 2060, dan kita terus mengkaji pilihan-pilihan yang mungkin untuk diambil untuk mempercepat target-target yang ada,” tegasnya.

Khusus dari sektor ketenagalistrikan Evy Haryadi, Direktur Perencanaan Corporate PLN menyatakan bahwa pihaknya saat ini sedang berada dalam dilema. Di satu sisi, pembangkit listrik yang tersedia dengan harga terjangkau saat ini adalah pembangkit fosil (PLTU) yang menghasilkan emisi tinggi, untuk menggantinya dengan pembangkit energi terbarukan diperlukan investasi yang besar. 

“Kami melihat tren penurunan harga listrik dari energi terbarukan seperti surya dan angin saat ini berkisar antara 18-21 sen per kWh, dibanding dengan batubara (6-8 sen/kWh) untuk saat ini listrik dari energi terbarukan masih lebih mahal.”

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), mengingatkan bahwa PLN perlu cermat dalam melihat tren investasi di sektor kelistrikan. Sektor komersial dan industri menjadikan energi bersih sebagai kebutuhan utama dan prasyarat untuk berinvestasi di suatu negara.  

“PLTU batubara bukanlah pembangkit listrik termurah saat ini. Subsidi pemerintah melalui skema DMO (Domestic Market Obligation) yang membuat harga batubara tetap sebesar USD  70/ton, menjadikan harga listrik dari PLTU terlihat murah. Padahal harga batubara di pasar saat ini mencapai USD 150/ton,” jelasnya.

Fabby melanjutkan, jika harga batubara USD 150/ton diteruskan ke PLTU biaya pembangkitan listrik akan naik sebesar 32% – 61%. 

Disrupsi sistem energi sedang terjadi di seluruh dunia. Untuk menjamin kehandalan, keterjangkauan dan keberlanjutan sistem energi Indonesia, PLN harus melakukan transformasi. Transformasi ini juga akan mengurangi risiko aset terdampar bagi PLN dan IPP (Independent Power Producer). Seiring berkembangnya teknologi, diperkirakan dalam beberapa tahun ke depan biaya pembangunan PLTS beserta sistem penyimpanan energinya akan lebih murah daripada biaya operasional PLTU batubara. 

Untuk menuju tujuan bersama mencapai net-zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat, meningkatkan kapasitas energi terbarukan harus dilakukan. PLTU yang saat ini sedang beroperasi perlu dikelola dengan bijak dan secara bertahap dikurangi. Rencana pemerintah Indonesia untuk melakukan phase-down 9,2 GW PLTU batubara melalui skema Energy Transition Mechanism merupakan langkah tepat, namun pemerintah berkesempatan untuk membuat langkah yang lebih agresif.

Interkoneksi Listrik Antar-pulau di Indonesia Adalah Keniscayaan

Jakarta, 26 Januari 2022 – Sektor energi yang didominasi oleh energi fosil berkontribusi pada ⅔ emisi global. Agar penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) eksponensial, maka pemanfaatan energi terbarukan secara masif merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Salah satu upaya untuk memberdayakan 100 persen potensi teknis energi terbarukan yang banyak tersebar di seluruh provinsi di Indonesia adalah dengan pembangunan interkoneksi jaringan listrik Nusantara. 

Jisman Hutajulu, Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, dalam webinar HK Experts (26/1/2022), menyatakan bahwa pemerintah melalui Kementerian ESDM telah berencana untuk menghubungkan sistem transmisi listrik antar pulau di Indonesia.

“Hal ini untuk mendukung rencana net-zero emission 2060. Kan salah satu yang mau didorong adalah penggunaan EBT, namun sumber EBT banyak berada jauh dari sumber beban yang banyak di Jawa. Jadi kita harus mentransmisikan energi itu ke pusat beban kita,” Jisman menjelaskan.

Jisman menuturkan bahwa pihaknya mendorong PLN untuk  menyelesaikan interkoneksi di dalam pulau besar di Indonesia yang diharapkan akan sepenuhnya selesai pada 2024 untuk bertahap disambungkan antar pulau. 

Jisman mengakui untuk membangun sistem transmisi ini, diperlukan biaya yang tidak sedikit. Maka pihaknya sedang membuat kajian prioritas, transmisi mana yang akan dibangun terlebih dulu.  Lebih jauh, Jisman juga menyinggung potensi masuknya rencana pembangunan transmisi ini dalam Draft Inventaris Masalah (DIM) RUU EBT untuk memastikan prioritas pengerjaannya.

Dalam kesempatan yang sama, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR berpendapat bahwa sistem interkoneksi ini harus dilihat sebagai investasi bukan beban dari pilihan bertransisi menuju energi bersih. 

“Perhitungan IESR, Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang melimpah. Untuk surya saja, potensinya bisa mencapai 7.700 GW dengan potensi terbesar berdasarkan kesesuaian lahan, berada di Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan,” jelas Fabby.

Fabby juga mengungkapkan bahwa untuk kebutuhan investasi awal pembangunan interkoneksi jaringan sampai tahun 2030 masih kecil yakni sekitar USD 3,3 miliar karena belum integrasi antar pulau. Namun investasi tersebut akan meningkat pada 2040 dan 2050, berturut-turut di angka USD 34,8 miliar dan USD 53,9 miliar.  

Manfaat lain yang Indonesia bisa nikmati dari adanya interkoneksi antarpulau diantaranya dapat meningkatkan keandalan dan cadangan daya yang terkonsentrasi. 

“Cadangan daya berlebihan di Sumatera bisa dikirim ke Bangka, begitupun sebaliknya,” ungkap Fabby.

Selain itu, jaringan yang terintegrasi antar pulau dapat mengurangi kebutuhan investasi untuk pembangunan pembangkitan. Menurutnya lagi, interkoneksi jaringan akan  menciptakan keragaman bauran pembangkit dan keamanan pasokan, yang berbeda dari sistem energi fosil yang hanya berasal dari satu sumber energi.  Lebih jauh Fabby memaparkan bahwa jika sistem interkoneksi ini sudah berjalan maka biaya pembangkitan listrik energi terbarukan akan turun hingga 18% – 46% pada tahun 2030.