Atur Strategi untuk Siasati Dampak Penghentian PLTU Batubara

Jakarta, 27 September 2023 – Naiknya komitmen iklim Indonesia dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (E-NDC) membawa sejumlah implikasi antara lain rencana penghentian dini operasi PLTU batubara untuk menekan emisi. Rencana ini membawa beberapa dampak antara lain menurunnya pendapatan daerah penghasil batubara sekaligus pendapatan nasional, potensi pemutusan hubungan kerja secara masif, maupun dampak sosial ekonomi lain. 

Dalam seminar hybrid, berjudul “Sunset PLTU dan Industri Batubara: Meninjau Arah & Dampak Multisektoral dalam Transisi Energi Berkeadilan” (27/9), Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) menjelaskan bahwa agenda transisi energi baik Indonesia maupun negara-negara tujuan ekspor batubara Indonesia akan berdampak pada sejumlah aspek di Indonesia.

“Ada tiga faktor yang dapat dilihat dari transisi energi pada daerah penghasil batubara: keterkaitan antara ekonomi lokal dengan batubara, kesiapan sumber daya manusia yang ada, dan opsi alternatif perekonomian yang bisa dikembangkan di daerah itu, dan bagaimana rencana mitigasi bisa disusun,” kata Fabby.

Dalam materi paparan yang disampaikan Ilham Surya, Analis Kebijakan Lingkungan IESR, dijelaskan bahwa peran industri batubara pada perekonomian daerah penghasil batubara cukup signifikan.

“Kontribusi PDRB antara 50% dan 70% di Muara Enim dan Paser, namun multiplier effectnya tidak terlalu besar,” kata Ilham.

Dalam ruang lingkup kebijakan nasional, Kementerian PPM/Bappenas sedang menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) yang salah satu poinnya adalah transformasi ekonomi.

“Transisi energi menjadi bagian dari transformasi ekonomi hijau, maka dalam draf RPJP ini transisi ini tidak hanya dilihat dari sektor energi,” jelas Nizhar Marizi, Direktur Sumber Daya Energi, Mineral dan Pertambangan, Bappenas.

Grita Anindarini, Deputi Direktur Bidang Program, Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), menekankan peran penting kerangka kebijakan dan implementasi dari berbagai aturan yang sudah ada.

“Transisi energi berkeadilan membutuhkan transformasi kebijakan yang sangat besar ketenagakerjaan, lingkungan, energi, financing. Saat ini sudah ada beberapa aturan kebijakan tentang transisi energi namun dalam implementasinya masih menemui berbagai kendala,” jelas Grita.

Haris Retno Susmiyati, Dosen Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, mengakui ketergantungan ekonomi pada komoditas batubara bukan hal yang baik. Ia menyebut pada tahun 2015 saat harga batubara turun drastis, perekonomian Kalimantan Timur ikut terpuruk.

“Secara aturan, kewajiban perusahaan untuk menyetor royalti kepada pemerintah hanya 13,5% dari angka itu pemerintah daerah hanya mendapat 5% saja, maka sebenarnya yang menikmati keuntungan batubara bukanlah daerah penghasil batubara,” kata Retno.

Memiliki konteks yang mirip dengan Kalimantan Timur, provinsi Jambi, juga mulai berancang-ancang untuk bertransisi. Disampaikan oleh Ahmad Subhan, Kabid Perekonomian dan Sumber Daya Alam, Bappeda Jambi bahwa meski bukan daerah utama penghasil batubara, kontribusi sektor batubara pada PDRB cukup signifikan.

“Batubara memang signifikan untuk menopang ekonomi, namun apabila ada substitusi yang lebih relevan dengan keadaan daerah, bisa ditelaah lebih lanjut. Untuk transisi ini, kami di provinsi Jambi mendukung namun tidak drastis. Kita juga menunggu substitusi untuk transformasi ekonominya,” kata Ahmad.

IESR dan Ford Foundation Menyerukan Pemusatan Keadilan dalam Kemitraan Transisi Energi

press release

Jakarta, 19 September 2023 – Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Ford Foundation di Indonesia menyerukan kepada pemerintah Indonesia tentang pentingnya mengedepankan prinsip keadilan dalam upaya transisi energi di Indonesia, khususnya pada kemitraan transisi energi berkeadilan (Just Energy Transition Partnership atau JETP).

JETP adalah mekanisme pembiayaan inovatif yang bertujuan untuk mempercepat transisi energi yang dipimpin negara dari bahan bakar fosil, termasuk batubara, ke sumber energi terbarukan. JETP pada dasarnya menghubungkan paket keuangan yang terdiri dari pembiayaan konsesi (pinjaman lunak) dan hibah dari negara-negara donor, dengan inisiatif transisi energi di negara-negara Selatan.

Dalam laporan yang diluncurkan secara digital oleh IESR dan Ford Foundation hari ini, disebutkan bahwa pendanaan JETP yang dijanjikan tidak cukup untuk menutupi biaya seluruh proses transisi. Sebaliknya, dana ini berfungsi sebagai pendanaan awal untuk mengkatalisasi dan memobilisasi sumber pendanaan lainnya.

Laporan tersebut menyoroti hasil dan rekomendasi dari The JETP Convening, Exchange and Learning from South Africa, Indonesia, and Vietnam yang diselenggarakan pada 25-28 Juni 2023 lalu di Jakarta. Acara ini diselenggarakan oleh Ford Foundation, Institute for Essential Services Reform (IESR), dan African Climate Foundation.

“Karena pendanaan awal JETP memiliki batasan waktu, maka penting untuk menetapkan pencapaian dan proyek yang masuk akal serta dapat dicapai dalam jangka waktu yang disepakati dan mengembangkan strategi untuk memanfaatkan sumber pendanaan lain untuk menutupi biaya untuk mencapai target tahun 2030,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Fabby juga menambahkan bahwa instrumen pembiayaan seperti pinjaman lunak, pinjaman komersial, ekuitas, dana jaminan, hibah dan instrumen lainnya harus dikaji secara cermat agar tidak terjadi ‘jebakan utang’ di masa depan. 

 “Pemerintah harus terus mengadvokasi permintaan hibah dan pinjaman lunak yang lebih besar untuk mencapai target yang disepakati tanpa menambah beban bagi negara penerima,” kata Fabby.

Hal ini ditegaskan Edo Mahendra, Kepala Sekretariat JETP Indonesia saat menjadi pembicara dalam diskusi panel bertajuk ‘Safeguarding the “Just” in Just Energy Transition Partnerships (JETP) and Other Emerging Climate Finance Models’ pada acara Climate Week tanggal 18 September 2023 di New York, Amerika Serikat

“Komponen pendanaan tertinggi masih berasal dari pinjaman komersial dan investasi dengan tingkat bunga non-konsesi. Oleh karena itu, penting untuk membangun kemitraan dan kolaborasi antara pemerintah, organisasi filantropi, dan sektor swasta,” kata Edo.

Ford Foundation di Indonesia memandang bahwa filantropi mempunyai peran penting dalam mendukung prinsip keadilan baik melalui pemerintah maupun langsung kepada masyarakat yang terkena dampak. Mereka mempunyai kemampuan untuk bertindak lebih cepat dibandingkan pemerintah dan menjembatani kesenjangan antara pemerintah dan masyarakat. Filantropi juga dapat mendukung pengembangan sumber daya manusia dengan memberikan bantuan teknis, peningkatan kapasitas, pelatihan, dan pertukaran pengetahuan.

Prinsip berkeadilan juga harus diterapkan untuk memitigasi dampak transisi energi terhadap masyarakat. Dukungan kepada inisiatif sosial-ekonomi alternatif di bidang-bidang ini penting dilakukan agar gagasan keadilan memihak kepada seluruh kelompok masyarakat. Hal ini termasuk memberikan peningkatan keterampilan dalam peralihan dari bahan bakar fosil ke sumber energi terbarukan, mendidik dan membantu pemerintah daerah untuk menyesuaikan strategi dan rencana pembangunan ekonomi mereka untuk jangka panjang, serta menciptakan pendanaan yang didedikasikan untuk mengatasi dampak peralihan dari penggunaan batu bara.

Peralihan dari bahan bakar fosil ke sumber daya rendah karbon tidak hanya berdampak pada perekonomian di tingkat lokal tetapi juga di tingkat regional atau bahkan nasional. Masyarakat yang tinggal di daerah yang bergantung pada bahan bakar fosil harus beradaptasi dengan lingkungan baru, serta menyesuaikan keterampilan dan pengetahuannya yang mungkin sulit dilakukan dalam waktu singkat.

Alexander Irwan, Direktur Regional Ford Foundation di Indonesia, mengatakan penerapan JETP harus memenuhi prinsip dasar unsur keadilan.

“Elemen keadilan sosial harus dimasukkan dalam diskusi dan rencana transisi. Konsep keadilan harus menjadi pusat perhatian, memastikan transisi yang adil bersifat inklusif bagi semua kelompok atau komunitas, khususnya pekerja, anak-anak, perempuan, dan komunitas lokal yang sangat bergantung pada rantai pasokan bahan bakar fosil,” kata Alex.

Transformasi Ekonomi akan Mitigasi Dampak Transisi Energi di Daerah Penghasil Batubara

press release

Jakarta, 1 September 2023 – Institute for Essential Services Reform (IESR), lembaga think tank  terkemuka di bidang energi dan lingkungan yang  berbasis di Jakarta, Indonesia, merilis laporan mengenai potensi dampak transisi energi terhadap daerah penghasil batubara di Indonesia. Laporan berjudul Just Transition in Indonesia’s Coal Producing Regions, Case Studies Paser and Muara Enim ini menemukan bahwa diversifikasi dan transformasi ekonomi harus segera direncanakan untuk  mengantisipasi dampak sosial dan ekonomi dari penurunan industri batubara seiring dengan rencana pengakhiran operasi PLTU dan meningkatnya komitmen transisi energi dan mitigasi emisi dari  negara-negara yang jadi tujuan ekspor batubara selama ini.

IESR merekomendasi  pemerintah pusat dan daerah untuk menyadari potensi dampak transisi energi pada ekonomi dan pembangunan daerah-daerah penghasil batubara  dan mulai merencanakan transformasi ekonomi secepatnya di daerah penghasil batubara tersebut. 

Studi ini  mengambil lokasi penelitian di Kabupaten Paser, Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan, merekomendasikan untuk memanfaatkan Dana Bagi Hasil (DBH) batubara dan  program corporate social responsibility (CSR) untuk merencanakan dan mendukung proses transformasi ekonomi,  serta perluasan akses dan partisipasi publik untuk transisi yang berkeadilan.  DBH batubara menyumbang 20% dari total anggaran pendapatan pemerintah Muara Enim pada tahun 2023, dan 27% dari total pendapatan pemerintah Paser pada tahun 2013-2020.

“Perencanaan transformasi ekonomi pasca tambang batubara perlu mengedepankan kegiatan-kegiatan ekonomi yang lebih banyak memberikan multiplier effect (efek berganda) ke masyarakat lokal. Selain itu, perlu diperhatikan juga dampak potensi penurunan produksi batubara pada sektor ekonomi informal yang selama ini tidak terekam dalam analisis ekonomi makro,” jelas Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

Kajian ini juga menemukan meski industri pertambangan batubara rata-rata  menyumbang 50% dan 70% terhadap PDRB selama sepuluh tahun terakhir di Muara Enim dan Paser, tapi nilai ekonomi yang besar tersebut tidak berkontribusi signifikan pada pendapatan pekerja industri batubara. Sebanyak 78% dari nilai tambah menjadi surplus perusahaan, dan  hanya sekitar 20% dari nilai tambah dialokasikan untuk pekerja.

“Selain itu, industri pertambangan batubara menimbulkan dampak sosial dan lingkungan yang tidak sedikit pada masyarakat di sekitarnya, misalnya degradasi kualitas udara dan air, perubahan sumber penghidupan masyarakat, ketimpangan ekonomi, serta meningkatnya konsumerisme dan pencari rente,” ungkap Julius Christian, periset utama kajian ini, yang juga adalah Manajer Riset IESR.

Menurutnya, karena perbedaan kepentingan, pengetahuan, dan akses informasi, masing-masing pihak di daerah menyikapi tren transisi energi ini dengan perspektif yang beragam. Perusahaan batubara, misalnya, lebih menyadari risiko transisi energi terhadap bisnis mereka dibandingkan pemerintah dan masyarakat awam. 

Baik perusahaan maupun pemerintah daerah mulai melakukan berbagai inisiatif transformasi ekonomi. Akan tetapi, masyarakat lokal justru lebih skeptikal terhadap potensi penurunan batubara karena mereka melihat peningkatan produksi beberapa waktu belakangan,” kata Martha Jesica, Analis Sosial dan Ekonomi, IESR.

Namun, menurutnya, perubahan perspektif juga tengah berlangsung di masyarakat dan perusahaan industri batubara. Masyarakat mulai memiliki visi untuk diversifikasi ekonomi dan perusahaan batubara mulai mengembangkan bisnis di bidang lain. Ia berharap pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan dapat mendorong kesadaran yang lebih luas dan menginisiasi perubahan struktural terhadap upaya transformasi ekonomi.

IESR dalam laporan Just Transition in Indonesia’s Coal Producing Regions, Case Studies Paser and Muara Enim merekomendasikan untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan di daerah penghasil batubara memerlukan: pertama, perencanaan diversifikasi dan transformasi ekonomi yang menyeluruh dengan melibatkan para pemangku kepentingan dan partisipasi masyarakat. Kedua, menggunakan dana DBH dan program CSR untuk membiayai proses transformasi ekonomi yang mampu menarik lebih banyak investasi ke sektor ekonomi berkelanjutan. Ketiga, memperluas akses terhadap pendidikan dan pelatihan untuk mempersiapkan tenaga kerja yang berdaya saing di sektor yang berkelanjutan serta meningkatkan literasi keuangan bagi masyarakat. Keempat, meningkatkan partisipasi seluruh elemen masyarakat, terutama kelompok rentan, dalam perencanaan dan pembangunan daerahnya. 

“Semua hal terkait dengan transisi di daerah penghasil batubara ini perlu masuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) pemerintah pusat maupun provinsi masing-masing untuk memberikan dukungan dan arahan yang jelas bagi pemerintah daerah,” kata Ilham Surya, Analis Kebijakan Lingkungan, IESR.

Peluncuran Studi Transisi Berkeadilan di daerah Penghasil Batu Bara di Indonesia: Studi Kasus Kab. Muara Enim dan Kab. Paser

Latar Belakang

Batubara merupakan komoditas yang penting bagi Indonesia, sebagai  pengguna dan salah satu produsen terbesar di dunia. Di tahun 2022, Indonesia menempati peringkat ketiga negara penghasil batubara terbesar di dunia setelah India dan China. Indonesia juga menjadi salah satu negara eksportir batubara terbesar di dunia dengan total ekspor sebesar 360.28 juta ton, naik 4.29% dibanding tahun sebelumnya. Pemerintah Indonesia masih menargetkan produksi batubara yang lebih tinggi di tahun 2023. Batubara berperan penting pada ekonomi nasional dimana pada tahun 2022, sektor industri batubara menyubang sekitar 3.6% dari PDB nasional, 11.4% dari total nilai ekspor, 1.8% pendapatan negara nasional, dan 0.2% lapangan kerja.

Di sisi lain, permintaan batubara diperkirakan akan menurun dipengaruhi oleh tren transisi energi menuju energi terbarukan dan komitmen Perjanjian Paris untuk mencegah kenaikan suhu di bawah 1.5°C. IESR (2022) memperkirakan total permintaan batubara Indonesia, baik domestik dan ekspor, akan menurun sekitar 10% setelah 2030 dengan komitmen Indonesia saat ini. Selain itu, Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Perpres No. 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Pembangkit Tenaga Listrik yang secara eksplisit menetapkan pelarangan pembangunan pembangkit listrik tenaga batubara mulai tahun 2030. Komitmen nasional ini juga mendapatkan dukungan dengan penandatanganan perjanjian kemitraan Just Energy Transition Partnership (JETP) antara Indonesia dengan International Partners Group (IPG) dan Glasgow Financial Alliance for Net-Zero (GFANZ) yang memobilisasi pendanaan sebesar 20 miliar USD untuk mencapai transisi energi bersih berkeadilan, termasuk untuk mempensiunkan dini pembangkit listrik tenaga batubara .

Indonesia  memiliki cadangan batubara sebesar 33.37 miliar ton yang tersebar di beberapa provinsi seperti Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan di beberapa daerah lainnya. Daerah-daerah tersebut tidak hanya mendapatkan keuntungan yang dihasilkan oleh sektor industri batubara, akan tetapi juga kerugian yang ditimbulkan olehnya. Studi Redefining Future Jobs yang dilakukan IESR pada tahun 2022 menunjukkan keuntungan yang didapatkan oleh daerah penghasil batubara tidak sebanding dengan kerugian yang dirasakan masyarakat yang berada di daerah tersebut. Terlebih lagi, terdapat banyak ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat di daerah sekitar, seperti dampak ekonomi yang tidak merata, degradasi lahan, dan risiko kesehatan. Ketidakadilan-ketidakadilan ini sebaiknya sudah menjadi fokus pemerintah dalam perencanaan transisi energi yang akan dilakukan kedepannya.

IESR telah melakukan studi terkait dampak industri batu bara di daerah penghasil batubara di Indonesia dengan mengambil lokus di dua kabupaten penghasil batubara utama di Indonesia, yaitu Muara Enim dan Paser. Studi ini menemukan bentuk-bentuk ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat di sekitar lokasi penambangan batubara dalam aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Beberapa temuan ketidakadilan di lokasi penghasil batubara seperti ketimpangan pendapatan antara penduduk dan pekerja dengan pemilik modal, hilangnya kepemilikan aset masyarakat lokal, dan turunnya kualitas hidup di sekitar tambang batubara. Hal-hal ini memerlukan penyelesaian yang komprehensif sehingga dapat mengurangi dampak dari ketidakadilan tersebut, serta menjadi peluang untuk menciptakan dampak-dampak positif bagi masyarakat dalam transisi energi yang berkeadilan. Oleh karena itu, dengan mengatasi ketidakadilan-ketidakadilan tersebut, pemerintah dapat memastikan proses transisi berjalan secara adil bagi semua pihak. Dengan adanya komitmen pemerintah Indonesia menuju transisi energi yang lebih hijau, diperlukan adanya perencanaan pembangunan yang komprehensif untuk menghadapi proses transisi yang lebih inklusif dan partisipatif, khususnya di masing-masing daerah penghasil batubara di Indonesia.

Oleh karena itu, IESR  bermaksud melaksanakan acara peluncuran hasil studi Transisi Energi Berkeadilan di daerah Penghasil Batubara di Indonesia bersama dengan pemerintah nasional serta berbagai pakar dari kalangan akademisi, civil society organizations, dan organisasi internasional untuk berdialog mengenai dampak industri batubara dan persiapan menuju transisi energi yang berkeadilan di Indonesia.

Tujuan

Kegiatan peluncuran hasil studi memiliki beberapa tujuan:

  1. Menyampaikan temuan hasil studi Transisi Energi Berkeadilan di daerah Penghasil Batubara’ yang dilakukan oleh IESR kepada publik;
  2. Memperoleh masukan terhadap hasil studi ‘Transisi Energi Berkeadilan di daerah Penghasil Batubara’ yang dapat menjadi rekomendasi praktis bagi pihak-pihak terkait;
  3. Mengumpulkan masukan dan rekomendasi dari berbagai pihak terkait transisi energi berkeadilan dan pemetaan sektor ekonomi potensial di wilayah-wilayah penghasil batubara;

Meningkatkan pemahaman melalui rekomendasi-rekomendasi praktis kepada pemangku kebijakan kunci untuk mendukung pencapaian transisi energi yang berkeadilan di daerah-daerah penghasil batubara di Indonesia

IESR: Indonesia Butuh Paket Kebijakan Komprehensif untuk Transisi Energi

Jakarta, 27 Juni 2023 – Urgensi untuk mengubah sistem energi menjadi lebih bersih, lebih berkelanjutan menjadi semakin penting, seperti yang digarisbawahi oleh laporan sintesis IPCC, yang menyatakan bahwa suhu global telah meningkat 1,1 derajat Celcius. Energi sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi telah menjadi faktor kunci dalam kegiatan ekonomi sejak awal penambangan mineral fosil. Namun, peralihan ke sistem energi yang lebih bersih membawa konsekuensi penurunan permintaan batu bara, yang menjadi ancaman serius bagi daerah yang sangat bergantung pada ekonomi batu bara.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam diskusi panel ASEAN Sustainable Energy Finance pada Selasa, 27 Juni 2023, menekankan situasi di beberapa provinsi di Indonesia yang perlu mempertimbangkan aliran ekonomi alternatif, sebagai pendapatan asli daerah mereka saat ini berasal dari kegiatan pertambangan batubara.

“Beberapa provinsi perlu kita perhatikan seperti Kalimantan Timur yang memproduksi 40% batubara Indonesia, dan Sumatera Selatan yang memproduksi 15%. Kita perlu membangun kapasitas lokal untuk menghasilkan pendapatan dari sektor selain batu bara,” kata Fabby.

Fabby menambahkan, pemerintah perlu menyiapkan paket pembiayaan transisi yang komprehensif. Pendanaan harus mencakup tidak hanya biaya teknis untuk pensiunnya armada batubara, pengembangan energi terbarukan, peremajaan jaringan, tetapi juga mempersiapkan masyarakat, terutama mereka yang bekerja di industri pertambangan batubara, untuk beradaptasi dengan pasar tenaga kerja baru. Ini termasuk pelatihan ulang untuk menyelaraskan keterampilan mereka dengan kebutuhan pasar.

“Pemerintah pusat harus memberikan bantuan khusus bagi daerah yang sangat bergantung pada ekonomi batubara,” tegas Fabby.

Eunjoo Park-Minc, Penasihat Senior Lembaga Keuangan Asia Tenggara dari Financial Futures Center (FFC), menyetujui peran penting pemerintah selama masa transisi, terutama dalam merancang kerangka kebijakan yang mendukung yang memungkinkan sektor swasta untuk berpartisipasi.

“Peran investor dalam masa transisi ini adalah mengembangkan mekanisme pembiayaan yang inovatif. Untuk membuatnya lebih katalitik, kita membutuhkan kerangka kebijakan yang mendukung untuk membuatnya bekerja,”katanya.

Selain itu, Eunjoo menunjukkan perlunya kerjasama internasional, karena sebagian besar proyek (transisi energi) berlangsung di negara berkembang sedangkan pembiayaan terutama berasal dari negara maju.

Asian Development Bank (ADB) sebagai salah satu bank multilateral yang mendanai transisi energi menekankan pentingnya aspek keadilan. Hal ini dijelaskan oleh Veronica Joffre, Senior Gender and Social Development Specialist di ADB.

“Salah satu aspek ETM (Energy Transition Mechanisms) adalah keadilan. Hal ini berarti potensi dampak sosial harus dikaji mendalam dan dikelola, termasuk ketenagakerjaan, rantai pasok, dan lingkungan,” kata Veronica.

Dia menambahkan bahwa untuk mencapai emisi net-zero adalah jalan untuk masa depan, untuk itu transisi menuju kesana harus dirancang secara sadar.

Langkah Awal untuk Capai Ketahanan Energi Terbarukan di ASEAN

Jakarta, 13 Juni 2023 – Asia Tenggara merupakan suatu kawasan dengan pertumbuhan ekonomi dan permintaan energi terbesar. Pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan pertubuhan permintaan energi di kawasan ini diproyeksikan akan terus naik di tahun-tahun mendatang. Jika tidak diantisipasi dengan penggunaan sumber energi ramah lingkungan, pertumbuhan ekonomi dan permintaan energi ini akan menjadi pokok masalah naiknya emisi gas rumah kaca (GRK) di kawasan ASEAN.

Dalam webinar bertajuk “Towards a Decarbonized ASEAN: Unlocking the Potential of Renewables to Advance ASEAN Interconnectivity” Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform menyatakan bahwa ASEAN memiliki peluang untuk mendorong penciptaan ekosistem industri energi terbarukan melalui kerjasama jaringan interkoneksi regional ASEAN Power Grid (APG).

ASEAN power grid bisa menjadi salah satu infrastruktur pendukung untuk mempercepat pemanfaatan energi terbarukan di negara ASEAN sembari menunggu pangsa pasarnya tumbuh. Negara ASEAN bisa mendorong kerjasama rantai pasokan teknologi energi terbarukan, khususnya teknologi sel modul surya,” katanya.

Fabby menambahkan bahwa Indonesia sebagai pemegang Keketuaan ASEAN tahun ini memiliki peluang untuk mendorong inisiatif tersebut dan mendorong transisi industri berbasis bahan bakar fosil menuju energi terbarukan. Transformasi industri yang lebih hijau diyakini akan membawa efek ikutan berupa terciptanya lapangan kerja hijau di masa mendatang.

Senada dengan Fabby, Yeni Gusrini, Sub Koordinator Program Gatrik Kementerian ESDM menyatakan bahwa pada pengembangan fase pertama, ASEAN Power Grid telah berhasil mentransfer listrik sebesar 100 MW dari Laos ke Singapura. 

“Pengembangan APG fase pertama telah berhasil menghubungkan Laos – Thailand – Malaysia – Singapura. Ke depannya, APG akan menjadi kontributor pertumbuhan ekonomi yang memastikan kecukupan energi di seluruh wilayah ASEAN,” tambah Yeni.

Indra Overland, Head of Center for Energy Research, Norwegian Institute of International Affairs, mengungkapkan penting bagi negara-negara ASEAN untuk mulai memikirkan strategi peningkatan energi terbarukan di dalam negeri dan di kawasan.

“Kita dapat mencontoh Vietnam yang berhasil menambahkan kapasitas energi terbarukannya secara masif dalam  satu  dekade ke belakang. Strategi seperti adanya kerangka kebijakan yang mendukung pengembangan energi terbarukan termasuk perpajakan dan kemudahan pengurusan perizinan sangat berpengaruh pada minat investor untuk berinvestasi pada pengembangan energi terbarukan di suatu wilayah,” katanya.

Ditambahkan oleh Overland, salah satu indikator suatu negara memiliki implementasi kebijakan yang baik adalah saat sektor energi terbarukan memiliki investor yang berlimpah.

Faktor finansial yang menjadi salah satu faktor penghambat penetrasi energi terbarukan dalam jaringan diakui oleh Zulfikar Yurnaidi, Energy Modelling and Policy Planning Manager, ASEAN Centre for Energy. Dirinya mengatakan bahwa salah satu fokus ASEAN 2021 – 2025 adalah untuk membangun konektivitas dan mengintegrasikan pasar regional. 

“Penetrasi energi terbarukan harus terlihat dari penambahan kapasitas pembangkitannya. Untuk mendukung itu peremajaan jaringan harus dilakukan untuk menjaga stabilitas, fleksibilitas, dan ketangguhan jaringan. Hal ini semua membutuhkan investasi yang tidak kecil, dan anggaran pemerintah saat ini tidak cukup untuk membiayai semua itu, maka diperlukan peran investor swasta disini,” jelas Zulfikar.

Keberadaan ASEAN Power Grid akan membawa dampak sosial ekonomi yang panjang. Harapannya listrik yang diperjualbelikan adalah listrik bersih yang dihasilkan pembangkit energi terbarukan. Maka hal ini jelas berpengaruh pada keberadaan pembangkit fosil yang masih cukup banyak di kawasan ASEAN.

Ahmad Ashov Birry, Direktur Program Trend Asia, mencontohkan Indonesia masih memiliki setumpuk pekerjaan rumah terkait pembangkit listrik ini. Mulai dari rencana pensiun dini pembangkit listrik berbasis fosil seperti PLTU batubara hingga pembangunan pembangkit baru berbasis energi terbarukan. 

“Dalam rangkaian proses ini (penghentian pembangkit energi fosil dan pembangunan pembangkit baru berbasis energi terbarukan, red), masyarakat perlu dilibatkan, supaya dapat mengantisipasi dampak yang timbul dari masing-masing tahapan. Sehingga transisi (energi, red) yang terjadi adalah (transisi, red) yang berkeadilan, membuat kehidupan sejahtera dan makmur,” jelasnya.

Berbagai Opsi Intervensi untuk Kurangi Emisi Sektor Energi

Jakarta, 30 Mei 2023 – Mentransformasi sektor ketenagalistrikan menjadi sistem energi berbasis energi bersih yang rendah karbon menjadi kebutuhan mutlak. Salah satunya untuk mengejar target penurunan emisi demi menjaga kenaikan rata-rata suhu global untuk  berada pada level 1,5. Disebutkan dalam IPCC AR6 Synthesis Report bahwa sejak tahun 2011 – 2020, rata-rata suhu global telah mengalami kenaikan sebesar 1,1, di tengah berbagai aktivitas manusia yang terus menghasilkan emisi. Sektor energi menjadi salah satu kontributor terbesar emisi di Indonesia setelah kehutanan dan penggunaan lahan. Rencana pengembangan pembangkit energi berbasis fosil menjadi ganjalan dalam upaya pengurangan emisi dari sektor ketenagalistrikan.

Indonesia menduduki peringkat tiga besar sebagai negara dengan proyek perencanaan PLTU setelah Cina dan India. Sebanyak 13,8 GW PLTU dengan berbagai status pengerjaan telah masuk dalam dokumen RUPTL (Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik) PLN 2021 – 2030.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam peluncuran laporan dan diskusi publik ‘Delivering Power Sector Transition’ mengatakan bahwa salah satu penyebab naiknya rata-rata temperatur global adalah pembakaran bahan bakar berbasis fosil. 

“Maka, mengurangi kapasitas batubara dalam sistem ketenagalistrikan menjadi salah satu tindakan kunci dalam upaya mencapai target Persetujuan Paris, yakni menjaga kenaikan suhu global pada level 1,5 derajat Celsius,” katanya. 

Dalam konteks Indonesia, isu komersial menjadi salah satu faktor pemberat penghentian operasi PLTU batubara. Disampaikan Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal Energi Baru dan Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM, bahwa penghentian operasi PLTU batubara masih memerlukan dorongan bersama dari semua pihak.

“Kita masih harus berjuang untuk hal ini (penghentian operasi PLTU batubara dan penambahan kapasitas energi terbarukan). Karena, secara regulasi mereka tidak menjadi satu paket kesatuan (terpisah). Namun saya ingin mendorong bahwa prosesnya harus dilakukan dalam satu tarikan nafas untuk keduanya,” kata Dadan. 

IESR memandang penghentian operasi PLTU batubara di Indonesia merupakan hal yang penting, sebab sebagai salah satu penerima komitmen pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP), Indonesia memiliki kewajiban untuk mencapai puncak emisi sebesar 290 juta ton CO2 pada 2030, dan menaikkan bauran energi terbarukan sebanyak 34% pada 2030. 

“Untuk mengejar target Persetujuan Paris, target yang ditentukan oleh JETP sebenarnya belum cukup. Namun hal ini dapat menjadi titik awal percepatan pengembangan energi terbarukan di Indonesia,” jelas Raditya Wiranegara, Peneliti Senior IESR yang tergabung dalam tim penulis kajian.

Raditya menambahkan dalam laporan Delivering Power Sector Transition, IESR menemukan bahwa dari 13,8 GW PLTU yang direncanakan pembangunannya dalam RUPTL 2021-2030 sebanyak 2,9 GW dapat dibatalkan,  10,6 GW perlu diakhiri operasinya secara dini, dan 220 MW  dipertimbangkan untuk diganti dengan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan seperti biomassa. 

Akbar Bagaskara, peneliti bidang ketenagalistrikan IESR menambahkan bahwa penurunan emisi akan berbanding lurus dengan biaya sistem ketenagalistrikan.

“Pembatalan pembangunan PLTU yang dibarengi dengan pensiun dini untuk PLTU existing akan menjadi skenario terbaik untuk penurunan emisi. Pembatalan PLTU yang berada di dalam pipeline akan mengurangi emisi dengan signifikan. Namun hal ini dirasa masih kurang optimal untuk mengejar target JETP pada tahun 2030,” tambahnya. 

IESR menghitung untuk mengejar target JETP setidaknya sebanyak 8,6 GW PLTU batubara harus dipensiunkan sebelum 2030 diikuti dengan pengakhiran operasi 7,6 GW PLTU sebelum 2040.

Gigih Udi Utomo, Direktur Konservasi Energi Kementerian ESDM, menanggapi bahwa penghentian operasi PLTU dan pembatalan PLTU perlu dilihat sebagai dua hal yang berbeda.

“Jika kita bicara mengenai early retirement road map (peta jalan pengakhiran operasi PLTU secara dini-red), kita mengacu dengan amanat dari Perpres 112/2022. Early retirement itu untuk PLTU yang sudah beroperasi, sementara topik 13,8 GW ini merupakan PLTU yang belum beroperasi dan telah ada di RUPTL sehingga masing-masing opsi dan skenario yang ditawarkan dalam kajian perlu dieksplor lagi dan perlu berdialog dengan stakeholder terkait,” jelasnya.

Pengembang listrik swasta (Independent Power Producers) sebagai tandem PLN dalam memenuhi kebutuhan listrik nasional menyatakan bahwa para pelaku usaha energi pada dasarnya bersedia mendukung pemerintah dalam bertransisi. 

“Namun yang perlu menjadi catatan adalah keikutsertaan proyek yang akan dibatalkan ataupun unit PLTU yang akan dipercepat masa pensiunnya harus berdasarkan prinsip voluntarily (sukarela) bukan mandatory (kewajiban) karena pada dasarnya pemilik proyek telah mengamankan komitmen pembangunan dan memiliki kesepakatan kerjasama dengan PLN,” kata Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI), Arthur Simatupang. 

Kirana Sastrawijaya, Senior Partner Umbra, mengingatkan bahwa penting untuk meninjau dokumen PPA (Power Purchase Agreement) antara IPP dan PLN terutama untuk usulan pembatalan pembangunan PLTU. 

“Perpres 112/2022 dapat dijadikan basis penghentian operasi PLTU batubara namun perlu ada kriteria yang dipenuhi untuk suatu unit PLTU dipercepat pengakhiran operasinya. Perpres ini juga dapat menjadi basis hukum pembatalan PLTU meski tidak secara spesifik berbicara pembatalan PLTU,” katanya.

Dalam konteks legal hukum, Karina menekankan bahwa potensi perselisihan secara hukum dapat terjadi. Maka selain aturan pemerintah yang berlaku, kesepakatan kerjasama (PPA) harus menjadi dokumen referensi karena secara detail mengatur berbagai pembatasan para pihak dan pemilik modal (funders).