Pengusaha Listrik Swasta Siap Dukung Pemerintah Indonesia Bertransisi secara Adil

Bali, 15 November 2022 – Mewujudkan transisi energi berkeadilan memerlukan dukungan dan partisipasi banyak pihak, baik dari pemerintah, swasta dan masyarakat. Para pengusaha listrik swasta yang tergabung dalam Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) pada euforia KTT G20 mendeklarasikan dukungan dan kesiapannya untuk bertransformasi menuju sistem ketenagalistrikan yang ramah lingkungan. Hal ini merupakan bagian dari  i salah satu isu prioritas G20.

Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Rida Mulyana dalam acara IPP Dialogue on Energy Transition, yang diselenggarakan oleh APLSI dan Institute for Essential Services Reform (IESR), menegaskan bahwa Indonesia serius untuk bertransisi menuju sistem energi yang lebih rendah karbon dan berkelanjutan.

“Melalui Perpres 112/2022, Indonesia berencana untuk tidak menambah PLTU baru setelah tahun 2030 kecuali PLTU-PLTU yang sudah kontrak dan dalam masa konstruksi,” Rida menjelaskan.

Dirinya melanjutkan, bahwa hasil studi Kementerian ESDM menunjukkan terdapat 16,8 GW PLTU di 33 lokasi yang dapat dipensiunkan. Namun saat ini kendala finansial masih menghambat sebab biaya yang dibutuhkan untuk mempensiunkan PLTU akan semakin banyak jika pensiun PLTU dilakukan secepat mungkin.

Modeler IEA, Thomas Spencer mengingatkan bahwa penghentian operasi PLTU bukanlah tujuan akhir dari transisi energi.

“Tentu penghentian PLTU bukanlah tujuan utama dari transisi energi. Adanya kerangka kebijakan, ekosistem lokal dan investasi yang memungkinkan Indonesia mengambil keuntungan dari energi terbarukan yang lebih murah harus menjadi tujuan utama transisi energi di Indonesia,” tutur Thomas.

Direktur Program Pembinaan Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM, Wanhar kembali menyatakan pentingnya ketersediaan pembiayaan yang terjangkau selama proses transisi energi di Indonesia.

“Untuk menghentikan PLTU kita perlu meremajakan jaringan (grid), memastikan harga listrik dari energi terbarukan terjangkau, dan listrik tersedia bagi semua,” jelasnya.

Untuk mendapatkan bunga yang rendah untuk pembiayaan transisi energi adalah satu tantangan lain. Martin Syquia, Deputy Chief Finance Officer ACEN Filipina, membagikan pengalamannya dalam meyakinkan berbagai pihak untuk meninggalkan batubara.

“Memberikan pemahaman kepada investor dan pemilik modal tentang risiko jika tetap berinvestasi pada batubara itu sulit. Di sisi lain, proyek pengembangan energi terbarukan belum bankable sebab tidak mendapat pendanaan yang murah,” jelas Martin.

Instrumen pendanaan berbasis pasar, dengan memodifikasi skema energy transition mechanism (ETM) milik ADB akhirnya dikembangkan oleh ACEN dengan menggandeng sejumlah bank sebagai lender.

Dialog dilanjutkan dengan diskusi panel yang banyak membahas tentang strategi pendanaan transisi energi Indonesia. Skenario apa yang saat ini sudah terlihat hingga, hal-hal apa saja yang perlu diwaspadai dari proses transisi energi.

Pradana Murti, Direktur PT SMI (Sarana Multi Infrastruktur), menyatakan tantangan transisi energi ini besar karena hal ini menyangkut transformasi ekonomi. 

“Pada dasarnya kami melihat ini bukan sekedar transformasi di sistem energi namun transformasi ekonomi secara besar-besaran terutama untuk daerah penghasil fosil (batubara) yang menggantungkan ekonominya selama ini pada komoditas tersebut,” terang Pradana. 

Hal ini diakui oleh David Elzinga, Senior Energy Specialist ADB, bahwa batubara dan PLTU telah menggerakkan ekonomi berbagai negara di dunia, sayangnya pertumbuhan ekonomi ini harus dibayar mahal dengan adanya perubahan iklim.

“ADB terus mendukung transisi energi menuju net-zero emission dan memastikan proses penghentian operasi PLTU berjalan lancar, dengan prinsip fair and ambitious sehingga kebutuhan untuk pensiun PLTU berjalan beriringan dengan kebutuhan listrik dan pertumbuhan ekonomi,” kata David.

Arthur Simatupang, Ketua Umum APLSI, menjelaskan bahwa APLSI berkeinginan untuk mengoptimalkan peran swasta sebagai mitra pemerintah dalam membangun sistem kelistrikan yang handal berdasarkan transisi energi yang berkeadilan (just energy transition) dengan melakukan diversifikasi investasi pembangkit dari berbagai sumber energi yang bersifat terbarukan yang potensinya sangat besar di Indonesia.

“Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) mendukung rencana Pemerintah Indonesia dan kebijakannya yang mendorong dekarbonisasi dan transisi energi dan siap melakukan transformasi agar tetap berkontribusi dalam kelistrikan nasional yang mandiri, semakin ramah lingkungan dan berkelanjutan, demi mendukung target Net Zero Emissions Pemerintah Indonesia,” ungkap Arthur dalam deklarasi Inisiatif Transisi Energi Berkeadilan oleh Produsen Listrik Swasta Indonesia.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menekankan pentingnya untuk membuat project pipeline energi terbarukan untuk menjamin ketahanan energi. 

“Dalam studi IESR dan University of Maryland, untuk selaras dengan Persetujuan Paris Indonesia harus mempensiunkan 9,2GW PLTU yang 50% dimiliki oleh swasta (IPP). Maka kami menilai keterlibatan IPP disini penting,” tutur Fabby.

Fabby juga menambahkan bahwa transisi yang berkeadilan tidak akan terjadi dengan mudah. Untuk itu, dibutuhkan kerjasama, kolaborasi, dan komitmen dari berbagai sektor dan pemangku kepentingan.

Jelang KTT G20, Indonesia Perlu Konsisten Serukan dan Tingkatkan Ambisi Iklim

Jakarta, 9 November 2022 – Mengakhiri masa kepemimpinannya di G20 pada November 2022, Indonesia perlu menunjukkan perhatian yang kuat terhadap upaya mitigasi iklim, dengan meningkatkan komitmennya terhadap penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) secara signifikan. Laporan Climate Transparency 2022 menunjukkan dominasi 81% energi fosil pada sistem energi di Indonesia, dan 62% sumber pembangkitan listrik berasal dari batubara, membuat sektor energi masih menjadi penyumbang terbesar emisi GRK (43%) diikuti sektor transportasi (25%) di urutan kedua pada 2021. 

Selain itu, intensitas emisi Indonesia di sektor energi mengalami peningkatan sepanjang kurun waktu 2016-2021 sebesar 5,5% menjadi 784,8 gCO2/kWh. Jumlah ini lebih besar dibandingkan rata-rata emisi di sektor energi negara G20 pada kurun waktu yang sama yang mengalami penurunan 8,1% menjadi sebesar 444,7 kWh. Hal ini ditengarai dengan aktivitas ekonomi yang kembali pesat pasca pandemi. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang bahwa negara G20 yang bertanggung jawab terhadap 85% emisi GRK dunia harus mengambil peran yang lebih besar dalam memangkas emisi GRK secara drastis. Secara global harus memangkas kira-kira 45% GRK di level 2010 pada 2030 nanti. Sayangnya, hingga kini, belum ada 1 negara G20 yang memenuhi target tersebut, termasuk Indonesia yang menjadi presiden G20. 

“Seiring dengan pertemuan G20 di Bali minggu depan, maka perlu bagi negara G20 mempercepat transisi energi, berpindah dari energi fosil yang mahal, polutif dan membahayakan. Mengambil transisi energi sebagai salah satu isu prioritas G20, maka penting bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengingatkan negara G20 agar lebih ambisius melakukan transisi energi, termasuk Indonesia. Kunci penurunan emisi ialah dengan pertama, segara mengurangi PLTU batubara dan merencanakan phase out PLTU, yang harus dilakukan sebelum 2040. Kedua, mempercepat energi terbarukan untuk mengganti energi dan mendorong efisiensi energi,” kata Fabby.

Selanjutnya, Fabby menyinggung subsidi fosil yang setiap tahun semakin meningkat dan  menghambat perkembangan energi terbarukan dan efisiensi energi. Ia berharap pada KTT G20, Presiden Jokowi dapat mengajak negara G20 untuk mengambil sikap untuk memangkas subsidi energi fosil. 

Sementara berdasarkan perhitungan Climate Transparency 2022 pada Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia, target NDC tanpa syarat Indonesia akan meningkatkan emisi hingga 421% di atas level tahun 1990, atau rata-rata 1.661 MtCO₂e pada tahun 2030. Agar tetap di bawah batas suhu 1,5˚C, emisi Indonesia tahun 2030 harus sekitar 449 MtCO₂e, pada kesenjangan ambisi sebesar 1.212 MtCO₂e. Semua angka tersebut tidak termasuk emisi dari penggunaan lahan. 

Meski telah menyerahkan Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC) pada September 2022, target penurunan emisi di sektor emisi belum selaras dengan Persetujuan Paris yang membatasi kenaikan temperatur bumi di bawah 1,5 derajat Celcius. Berdasarkan Enhanced NDC, pada 2030, target level emisi unconditional (tanpa syarat) NDC di sektor energi akan menjadi 1.311 MtCO₂e, dengan target penurunan NDC tanpa syarat sebesar 358 MTon CO₂eq. 

“Adanya peningkatan target penurunan emisi khususnya di sektor energi patut diapresiasi, namun hal ini masih sangat disayangkan karena kenaikannya masih sangat minim untuk mencapai trayektori 1,5 derajat celcius. Selain itu implementasi di lapangan juga masih jauh dari target yang telah ditetapkan. Perlu adanya keinginan kuat dari pemerintah untuk mewujudkan hal tersebut,” jelas Farah Vianda, Program Officer Ekonomi Hijau, IESR. 

Menurutnya, komitmen Indonesia untuk menghentikan penggunaan pembangkit listrik tenaga batu bara secara bertahap dan memulai transisi ke energi ramah lingkungan, sesuai deklarasi  ‘Transisi Energi Listrik Global Ke Energi Bersih’ pada COP26 lalu, perlu segera diwujudnyatakan. Bahkan Climate Transparency 2022 mengungkapkan proses transisi energi harus berlangsung secara berkeadilan, salah satunya dengan mengakomodasi kepentingan sekitar  100.000 orang yang bekerja di industri batubara.

“Pemerintah Indonesia perlu memfasilitasi transisi yang adil bagi pekerja sektor pertambangan batubara dan memastikan sumber pertumbuhan ekonomi alternatif di daerah yang bergantung terhadap energi fosil. Pemerintah bisa melakukan diversifikasi ekonomi untuk memprioritaskan investasi di sektor energi bersih, terlibat dalam dialog sosial untuk memastikan transisi yang inklusif, dan menerapkan tindakan mitigasi awal yang dirancang dengan cermat,” ungkap Farah.

Farah menambahkan setiap komitmen harus direalisasikan, mengingat Indonesia  telah menandatangani Deklarasi Silesia tentang Transisi yang Adil (COP24), namun hingga kini pemerintah belum menyiapkan peta jalan transisi energi yang memperhatikan dampak sosial dan ekonomi khususnya bagi para tenaga kerja di sektor pertambangan.

Lebih lanjut Climate Transparency 2022 mendorong Indonesia untuk merancang peta jalan yang jelas penghentian masa pengoperasian pembangkit listrik energi fosil dan memulai transisi energi. Justru, di RUPTL  2021–2030 masih  mempertahankan penggunaan batubara 

Climate Transparency mengidentifikasi beberapa  peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan ambisi iklimnya. Pertama, Bappenas telah mengembangkan peta jalan net zero emissions 2045  yang dinilai akan memberikan manfaat secara ekonomi dan sosial dibandingkan target nir emisi tahun 2060. Kedua, seiring dengan intensitas karbon sektor energi yang terus meningkat. , penting bagi Indonesia untuk mengembangkan kebijakan energi yang ambisius untuk mengurangi emisi. Ketiga, sektor transportasi menyumbang 33% dari konsumsi energi, dan 95% dari permintaan ini dipenuhi oleh minyak bumi sehingga. diperlukan kebijakan dekarbonisasi sektor transportasi untuk mencapai target nir emisi.

Berdasarkan perhitungan Climate Action Tracker (CAT) menilai target dan kebijakan iklim Indonesia sebagai “sangat tidak mencukupi”. Peringkat tersebut menunjukkan bahwa kebijakan dan komitmen iklim Indonesia mengarah pada peningkatan bukannya penurunan emisi dan sama sekali tidak konsisten dengan batas suhu 1,5°C Persetujuan Paris. Untuk mendapatkan peringkat yang lebih baik, Indonesia perlu menetapkan target dan kebijakan NDC yang lebih ambisius. Target NDC tanpa syaratnya perlu diturunkan jauh di bawah kebijakan saat ini untuk menghasilkan emisi mendekati tingkat saat ini pada tahun 2030. Sementara, target NDC bersyaratnya harus jauh di bawah tingkat saat ini pada tahun 2030 untuk mendorong dekarbonisasi mendalam sejalan dengan target nir emisi.

Peluncuran ISEO 2023: Indonesia Perlu Target yang Jelas dan Implementasi yang Efektif untuk Kembangkan Energi Surya

Jakarta, 27 Oktober 2022 – Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan laporan Indonesia Solar Energy Outlook 2023. Laporan ini awalnya merupakan bagian dari Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) yang secara rutin diterbitkan setiap tahun sejak 2018. Mulai tahun ini bagian energi surya ini dibuat dalam laporan terpisah untuk memberikan laporan yang lebih mendalam mengenai perkembangan energi surya di Indonesia dan ekosistem pendukung yang dibutuhkan energi surya untuk semakin tumbuh di Indonesia.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, dalam sambutannya pada acara Shine Bright: Advancing G20 Solar Leadership yang diselenggarakan oleh IESR dengan dukungan dari Bloomberg Philanthropies, dan berkolaborasi dengan International Solar Alliance, dan Asosiasi Energi Surya Indonesia, menyatakan bahwa harga energi surya tetap kompetitif meskipun terdapat kenaikan harga pada bahan baku pembuatan panel surya. Fabby juga menekankan pentingnya untuk mengembangkan industri surya baik untuk Indonesia maupun  seluruh negara G20 yang menjadi sorotan dalam upaya mengurangi emisi global. 

“Mengembangkan kerjasama di bidang manufaktur surya di antara negara G20 akan mengamankan pasokan produksi modul dan sel surya, menyeimbangkan sistem untuk memenuhi permintaan masa depan, dan mengurangi monopoli produk.”

Pada kesempatan yang sama, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif, menekankan perlunya dukungan dari pihak industri dan produsen modul surya lokal untuk memenuhi ketentuan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) mengingat Indonesia memiliki bahan-bahan mineral untuk membuat modul surya maupun baterai.

“Kemudahan untuk mengakses pembiayaan, insentif, dan fasilitas pembiayaan lainnya sangat penting untuk menyediakan biaya studi kelayakan dan peningkatan investasi energi terbarukan salah satunya surya,” tutur Arifin.

Ajay Mathur, Direktur Jenderal International Solar Alliance, mengungkapkan bahwa untuk menjadikan energi surya menjadi energi pilihan, terdapat tiga hal yang harus dijadikan langkah strategis. Pertama, menyediakan informasi terkini, analisis, advokasi, serta menjalin relasi dengan berbagai pihak. Kedua, menyediakan sumber daya yang mumpuni supaya investasi energi surya ‘mengalir’, hal ini penting sebab investor akan menilai dan menimbang berbagai situasi yang dapat mempengaruhi pengembalian modal investasi mereka. 

“ISA menyetujui pembuatan fasilitas pembiayaan energi surya yang menyediakan modal jaminan risiko,” jelas Ajay.

Ajay menambahkan, langkah ketiga, penting untuk membangun kapasitas dan kapabilitas dari berbagai pihak yang menangani perkembangan energi surya seperti para pembuat kebijakan, operator, dan regulator.

Daniel Kurniawan, penulis utama laporan Indonesia Solar Energy Outlook 2023 memaparkan sejumlah temuan dari laporan ini. Salah satunya meskipun energi surya semakin mendapat perhatian namun hingga Q3 2022 hanya 0,2 GWp surya yang berhasil di bangun.

“Berdasarkan RUPTL 2021-2030, PLN berencana untuk menambah 3,9 GW energi surya pada 2025, dimana 2,45 GW akan diadakan dengan skema IPP dan 1,45 GW akan dilelang langsung oleh PLN. Namun hingga Q3 2022 hanya delapan proyek IPP dengan kapasitas 585 MWp,” jelas Daniel.

Perpres 112/2022 yang keluar pada bulan September 2022 diharapkan dapat memberikan angin segar bagi transisi energi di Indonesia setidaknya dengan aturan tentang harga energi terbarukan dan instruksi percepatan penghentian PLTU batubara. 

Untuk mendorong percepatan pemanfaatan energi surya, laporan ISEO 2023 merekomendasikan sejumlah langkah, diantaranya agar PLN dapat mengatur jadwal lelang energi terbarukan, utamanya surya untuk tahun 2023. Sebelumnya pemerintah harus membuat target yang ambisius dan mengikat untuk energi terbarukan pada tahun tertentu misal 30% pada tahun 2030, 90% pada 2040, dan 100% pada 2050. Dengan target seperti ini PLN harus memberi ruang bagi energi surya pada jaringan PLN, salah satunya dengan memungkinkan sistem jaringan yang mampu mengakomodasi lebih banyak kapasitas energi surya. ISEO 2023 mencatat, berdasarkan analisis IEA sistem Jawa-Bali dan Sumatera dapat menampung sekitar 10% penetrasi energi surya.

Meskipun secara teknis sistem mampu menangani variabilitas energi surya, tantangan utama dalam merealisasikan penetrasi tenaga surya yang lebih besar adalah ketidakfleksibelan kontraktual (khususnya karena klausul take-or-pay pada perjanjian jual beli listrik PLTU dengan IPP dan juga kontrak pasokan energi primer untuk gas).

Daniel menambahkan, mempertimbangkan kesiapan industri manufaktur surya dalam negeri, besaran persentase TKDN perlu disesuaikan untuk waktu terbatas, misal sampai 2025. Sembari menyiapkan industri manufaktur dalam negeri untuk dekarbonisasi. Terakhir, ISEO 2023 juga merekomendasikan PLN untuk meninjau ulang kebijakan pembatasan pemasangan PLTS atap.

Henriette Faergemann, Environment, Climate Action EU Delegates to Indonesia and Brunei Darussalam, menyatakan penting untuk membuat kebijakan transisi energi yang ambisius dan konsisten untuk memberikan sinyal kuat pada investor dan institusi keuangan supaya mereka tertarik untuk ikut membiayai transisi energi.

“Ada progres baik bagi Indonesia dalam menyusun kebijakannya, namun masih ada berbagai hal yang perlu diperbaiki jika Indonesia ingin ini (transisi energi) terjadi dalam waktu cepat,” Henriette menjelaskan.

Joshua Wyclife, Chief of Operation International Solar Alliance, menyatakan hal senada bahwa perubahan struktural diperlukan dan perubahan ini dimulai dari kebijakan. Joshua juga menyatakan bahwa laporan ISEO ini merupakan salah satu cara meningkatkan kesadaran (awareness) bagi berbagai pihak tentang situasi perkembangan energi surya di Indonesia saat ini. 

“Salah satu cara untuk memaksimalkan potensi surya di Indonesia adalah dengan meningkatkan level dari awareness ke advokasi, oleh berbagai pihak melalui berbagai cara seperti workshop, memfasilitasi program pelatihan dengan sumber daya yang ada,” tutur Joshua.

Sementara itu Rahmat Mardiana, Direktur Ketenagalistrikan, Telekomunikasi, dan Informatika Bappenas, menyatakan bahwa laporan ini akan dipelajari lebih lanjut mengingat saat ini pihak Bappenas sedang menyusun dokumen perencanaan pembangunan nasional seperti RPJP dan RPJM dimana salah satunya tentang strategi transisi energi.

“Dengan komitmen kita untuk mencapai target RUEN, Paris Agreement, dan NZE tentu kita harus menyediakan listrik yang handal dengan harga terjangkau, dan lambat laun pembangkit fosil akan digantikan oleh energi terbarukan,” jelas Rahmat.

Dewanto, Vice President Aneka Energi PLN, menyatakan bahwa PLN terus mendukung pengembangan energi terbarukan.

“RUPTL merupakan salah satu wujud nyata dukungan PLN pada energi baru terbarukan. Sesuai RUPTL, hingga awal 2023 PLN akan melelang hampir 1 GW proyek renewable,” kata Dewanto.

Diskusi dan Media Briefing: Menuju G20 Summit, Sudah Tepatkah Aksi Iklim G20?

Indonesia yang tahun ini menjadi penyelenggara G20 adalah pengekspor batubara terbesar keempat di dunia dan 75% bauran energinya masih berasal dari energi fosil (Climate Transparency 2022). Kendati masih bergantung dengan energi fosil, Indonesia mengajukan tema inti Transisi Energi Berkelanjutan dalam presidensinya di G20. Krisis energi terbukti menjadi salah satu tantangan besar dalam Energy Transition Ministerial Meeting dalam mencapai sebuah kesepakatan atau joint communique. Kegagalan dalam menghasilkan joint communique ini disorot sebagai kemunduran komitmen iklim G20 untuk mencapai target 1,5 derajat Celcius. 

Menurut publikasi terbaru Climate Transparency Report, aksi iklim G20 masih amat kurang untuk mencegah naiknya suhu bumi di atas 1,5 derajat Celcius, walaupun belum terlambat. Sementara itu, dalam penilaian capaian tiap negara oleh Climate Transparency Report, dapat dikatakan Indonesia belum berada di jalur yang tepat untuk mencapai target 1,5 derajat Celcius. Krisis energi yang disebabkan oleh konflik antara Rusia dan Ukraina berujung kepada banyaknya negara G20 yang mengambil tindakan ‘sementara’ untuk menjamin pasokan energinya, yang menghambat capaian target nol bersih karbon. Laporan yang sama juga menyebutkan bahwa semua negara G20 perlu memperkuat NDC (nationally determined contributions) mereka agar lebih sesuai dengan target 1,5 derajat Celcius. 

G20 Summit rencananya akan diadakan di Bali pada tanggal 15-16 November 2022. Mendekati akhir dari perhelatan G20, dunia menantikan komitmen dan aksi apa saja yang akan diambil oleh G20 dalam memperlambat laju dampak perubahan iklim. Tekanan pada G20 menjadi semakin besar, mengingat G20 Summit akan diadakan setelah COP27 di Sharm El-Sheikh, Mesir. Negara-negara G20 perlu meyakinkan masyarakatnya bahwa mereka menepati janji dan komitmen yang telah dibuat pada saat COP26 di Glasgow. Sebagai penyumbang utama total gas rumah kaca dunia, ada harapan bahwa G20 Summit dapat menjadi sebuah katalis untuk aksi iklim yang berlandaskan multilateralisme. 

Dalam memperkuat kerangka transparansi aksi adaptasi dan mitigasi global, Climate Transparency telah meluncurkan laporan tahunannya. Laporan ini memberikan penilaian emisi dan proyeksi adaptasi iklim G20, mitigasi, dan mobilisasi keuangan untuk mencegah kenaikan suhu global. Selain itu, laporan ini menyajikan analisis tanggapan dan rekomendasi untuk pemulihan hijau yang selaras dengan Perjanjian Paris. Climate Transparency Report 2022 telah dilakukan secara global pada 20 Oktober 2022. Sebagai mitra Climate Transparency di Indonesia, IESR akan diseminasi laporan Climate Transparency 2022 dan Indonesia Country Profile yang mengundang pemerintah, CSO, pemangku kebijakan, dan publik secara umum dalam acara tersebut.

 

Tangkap Peluang Pendanaan untuk Dukung Akselerasi Transisi Energi

press release

Jakarta, 28 Juli 2022 – Transisi energi di Indonesia membutuhkan investasi yang signifikan terutama untuk mengembangkan pembangkit energi terbarukan, bahan bakar bersih, jaringan listrik, dan penyimpanan energi (baterai). 

G20 Seminar
Satu dari tiga panel pada rangkaian seminar G20 yang membahas tentang peluang pembiayaan berkelanjutan untuk transisi energi Indonesia (27/07/2022). (Dok. Sekretariat Seminar)

“Indonesia setidaknya membutuhkan investasi untuk transisi energi sekitar 1 triliun USD pada tahun 2060”, ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, Arifin Tasrif, dalam rangkaian seminar G20 berjudul “Unlocking Innovative Financing Schemes and Islamic Finance to Accelerate a Just Energy Transition In Emerging Economies”. 

Berdasarkan kajian Institute for Essential Services Reform (IESR), kebutuhan investasi untuk dekarbonisasi sektor energi di Indonesia pada 2050 berkisar USD 20–25 miliar per tahun antara tahun 2020 dan 2030 dan sekitar USD 40–60 miliar per tahun dari tahun 2030 hingga 2050. 

“Indonesia memiliki potensi energi terbarukan dan kebutuhan energi yang akan terus tumbuh. Dalam banyak hal, Indonesia seharusnya menjadi tujuan investasi utama. Sayangnya inkonsistensi kebijakan, regulasi, dan kurang padunya koordinasi antar sektor membuat investor memandang investasi di Indonesia berisiko tinggi,” ungkap Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR. 

Laporan IISD (International Institute for Sustainable Development) tahun 2020 mengungkap, hanya 7,8% total investasi untuk sektor energi terbarukan di Indonesia. Sisanya masih memfokuskan investasi pada bahan bakar fosil. Peter Wooders, Senior Director Energy IISD menekankan bahwa arah G20 tahun ini harus menuju energi bersih – yang berarti secara bertahap menggeser dukungan terhadap bahan bakar fosil. 

“Meski pembiayaan publik tidak cukup untuk mendanai proses transisi energi, perannya sangat penting dalam membuka peluang ragam mekanisme”, lanjutnya.

Untuk itu, dalam rangkaian seminar G20 kali ini, diskusi mengenai pembiayaan Islami seperti wakaf, sukuk dan green bonds juga turut dibahas untuk memperkaya gambaran potensi pembiayaan transisi energi yang lebih luas lagi. Pembiayaan Islami memegang peran penting dalam berbagai pendanaan proyek berkelanjutan, termasuk energi terbarukan. Menurut Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019–2024, energi terbarukan mendapat dukungan melalui Murabahah (prinsip jual beli) serta donasi melalui zakat. 

Anna Skarbek, CEO Climateworks Centre menambahkan bahwa peluang investasi dalam transisi iklim, dan terobosan model-model investasi lintas kawasan ASEAN sangat bervariasi. Namun, Kuki Soejachmoen, Executive Director, Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) sekaligus moderator panel pada seminar kemarin mengingatkan bahwa mekanisme pembiayaan apa pun tetap harus perhatikan inklusivitas dan adil bagi siapa saja. 

Hal ini dikarenakan dampak dari transisi energi secara bertahap ciptakan usainya bisnis-bisnis pada sektor bahan bakar fosil serta rantai pasok terkait, pensiun dini, lapangan kerja baru, kebutuhan akan skill baru, industri baru – sehingga perlu ditangani dengan baik. 

Komitmen Hibah $200 juta dari Australia untuk Indonesia 

Pada sesi sambutan, Andrew Hudson, CEO dari Centre for Policy Development, secara khusus mengangkat perihal dana hibah dari Australia untuk Indonesia yang baru-baru ini dibicarakan antara Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Anthony Albanese, sebagai contoh nyata pentingnya dialog lintas-batas. 

“Penting bagi kita berdialog dan berbagi pengalaman mengenai aksi yang efektif, terukur dan berdampak seperti yang dibutuhkan dalam investasi lintas-batas pada transisi iklim, baik yang dilakukan oleh investor publik dan swasta. Kita juga harus memanfaatkan ambisi dan momentum dari kemitraan iklim serta infrastruktur sebesar $200 juta yang baru-baru ini dibicarakan antara Australia dan Indonesia.”

Rangkaian Seminar Series G20 ini diselenggarakan oleh Energy Transition Working Group (ETWG) Indonesia G20 2022 dan T20 Indonesia, berkolaborasi dengan Centre For Policy Development (CPD) Australia, Climateworks Centre, International Institute for Sustainable Development (IISD), Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID), dan the Institute for Essential Services Reform (IESR), serta didukung oleh Asia Investor Group on Climate Change (AIGCC).

Memperkuat Transisi Energi yang Berkeadilan dengan Pembiayaan Berkelanjutan

press release

Jakarta, 28 Juli 2022- Transisi energi menjadi krusial dan urgen untuk dilakukan demi mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dan membatasi suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius pada 2050 sesuai Persetujuan Paris. Memperkuat transisi energi yang berkeadilan membutuhkan pendanaan yang berkelanjutan dan inovatif. 

IESR - Wapres - Meneteri Keuangan - Menteri ESDM
Wakil Presiden Ma’ruf Amin berfoto bersama pembicara utama dan wakil dari masing-masing organisasi mitra penyelenggara pada rangkaian seminar G20 yang dilaksanakan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. (Dok. Sekretariat Seminar)

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif dalam sambutannya pada seri seminar G20 berjudul “Unlocking Innovative Financing Schemes and Islamic Finance to Accelerate a Just Energy Transition In Emerging Economies” mengatakan Indonesia telah memiliki peta jalan transisi energi untuk mencapai neutral karbon pada 2060 atau lebih cepat.

“PLN melalui rencana bisnis penyediaan energi nasional pada tahun 2021-2023 juga telah menargetkan rencana bisnis yang lebih bersih dengan menambah pembangkit listrik yang dihasilkan dari energi terbarukan hingga 51,6%. Indonesia telah merencanakan untuk membangun nusantara super grid untuk mendorong pengembangan energi terbarukan dan juga menjaga stabilitas dan keamanan kelistrikan,” jelasnya.

Arifin juga menambahkan bahwa setidaknya Indonesia membutuhkan investasi untuk transisi energi sekitar 1 triliun USD pada tahun 2060.

“Oleh karena itu, Indonesia terus menjalin kerja sama yang lebih erat dengan negara-negara mitra dan lembaga keuangan internasional untuk menemukan mekanisme pendanaan yang inovatif,” ujarnya.

Senada, Yudo D. Priaadi, Chair of Energy Transition Working Group (ETWG) G20 2022 mengungkapkan pembiayaan inovatif dan pembiayaan syariah (Islamik) berpotensi membuka peluang untuk meningkatkan aksesibilitas dan inklusivitas menuju pembiayaan berkelanjutan.

“Kita harus mengembangkan  platform yang efektif dan teruji serta dapat mengamankan investasi,” tandasnya.

Mahendra Siregar, Ketua Otoritas Jasa Keuangan menekankan selain pembiayaan berkelanjutan digunakan untuk membiayai transisi energi, namun perlu pula selaras dengan upaya pengentasan  kemiskinan. Menurutnya, rencana transisi energi dengan pembiayaan berkelanjutan juga perlu memberikan keuntungan (profit).

“OJK berencana menyeimbangkan transisi dan ekonomi hijau, stabilitas sosial, dan pengentasan kemiskinan. OJK meyakinkan bank dan perusahaan kredit publik untuk mengatasi perubahan iklim,” jelasnya di kesempatan yang sama.

Kuki Soejachmoen, Direktur Eksekutif Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID), mengungkapkan bahwa transisi energi tidak hanya berfokus pada transformasi penggantian sektor-sektor penghasil emisi GRK secara bertahap, tetapi juga terkait lapangan kerja baru, industri baru, keahlian baru, investasi baru dan peluang-peluang lainnya untuk menciptakan masyarakat yang tangguh. 

“Itu sebabnya inklusivitas dan adil pada proses transisi energi menjadi bermakna bagi masyarakat, ekonomi, industri dan lingkungan,” tegas Kuki.

Transisi energi berkeadilan perlu pula memastikan akses energi yang berkualitas bagi semua orang terutama bagi masyarakat miskin.

“Bertransisi energi dengan salah satunya mempensiunkan PLTU batubara. Kebutuhan Indonesia untuk mempensiunkan PLTU batubara sebesar 9,2 GW seperti yang sedang dikaji oleh Kementerian ESDM, menurut laporan IESR memerlukan dana sekitar USD 4,3 miliar, namun akan memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat Indonesia,” jelas Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR).

Ia yakin dengan pendekatan yang berpusat pada kepentingan masyarakat akan memastikan manfaat dan biaya transformasi sistem energi didistribusikan secara adil, dan melindungi yang paling rentan di masyarakat.

Energy Transition Working Group (ETWG) Indonesia G20 2022 dan T20 Indonesia, berkolaborasi dengan Centre For Policy Development (CPD) Australia, Climateworks Centre, International Institute for Sustainable Development (IISD), Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID), dan the Institute for Essential Services Reform (IESR), serta didukung oleh Asia Investor Group on Climate Change (AIGCC), menyelenggarakan seminar series G20 bertajuk “Unlocking Innovative Financing Schemes and Islamic Finance to Accelerate a Just Energy Transition In Emerging Economies.