Memasuki Masa Energi Terbarukan, Paket Kebijakan Pendukung Perlu Disusun Segera

Jakarta, 21 September 2021– Mencapai target netral karbon Indonesia di tahun 2060 atau lebih cepat, seperti yang pemerintah Indonesia targetkan, perlu kebijakan dan strategi yang jelas, termasuk di sektor energi sebagai salah satu sektor penghasil emisi terbesar di Indonesia. Paket kebijakan dekarbonisasi sektor energi tersebut sedang dipersiapkan oleh pemerintah Indonesia untuk mewujudkan transisi energi  yang berjalan secara mulus dan berkeadilan.

Arifin Rudiyanto, Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN Bappenas, menuturkan bahwa terdapat beberapa strategi  yang  Bappenas siapkan untuk merealisasikan pembangunan rendah karbon dan ketahanan iklim, di antaranya pengembangan energi berkelanjutan, pengelolaan sampah dan ekonomi sirkular, dan pengembangan industri hijau. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa ada tiga hal penting dalam mewujudkan transisi energi yakni komitmen politik (political will), basis hukum yang kuat, dan strategi yang komprehensif.

“Komitmen politik sudah didapatkan, strategi yang baik sudah dituangkan yang terdapat pada RPJMN untuk bertransformasi menuju energi hijau, sementara basis hukum yang kuat sudah disiapkan melalui RUU EBT,” ungkap Arifin pada hari kedua Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2021 yang diselenggarakan oleh Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan Institute for Essential Services Reform (IESR), Selasa (21/09/2021). 

Menanggapi hal tersebut Sugeng Suparwoto,  Ketua Komisi VII DPR RI menjanjikan bahwa RUU Energi Baru Terbarukan (EBT) akan disahkan pada tahun 2021.

“Masa energi terbarukan sudah menjadi suatu keharusan. Dalam RUU EBT ada semacam insentif pengembangan EBT dan disinsentif bagi pengembangan energi yang masih menyumbang karbon terbesar,” jelasnya .

Herman Darnel Ibrahim, Anggota Dewan Energi Nasional mewanti wanti agar implementasi dekarbonisasi sistem energi perlu pula memitigasi risiko ekonomi, serta menjaga ketahanan energi nasional, khususnya untuk menjaga harga energi tetap terjangkau. Selain itu menciptakan level playing field antara energi terbarukan dan energi fosil juga diperlukan, diantaranya dengan memanfaatkan instrumen pajak karbon.

Menyinggung pendanaan yang diperlukan untuk mewujudkan netral karbon dengan energi terbarukan yang cenderung tinggi, Febrio N. Kacaribu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kementerian Keuangan Republik Indonesia membandingkan bahwa setidaknya butuh Rp 3500 triliun untuk mencapai target NDC di tahun 2030. 

“APBN kita hanya 40% dari kebutuhan itu maka jelas ini harus melibatkan pemda, swasta, dan dukungan internasional,” ujarnya.

Mengatasi hal tersebut, Febrio mengungkapkan bahwa pemerintah sudah menyiapkan instrumen keuangan green sukuk (Green Bond) dengan bunga rendah yang direspon baik oleh pasar global. Kementerian Keuangan pun saat ini juga sedang melakukan harmonisasi perpajakan agar selaras dengan prinsip pengurangan emisi karbon. 

“Jadi kita butuh mekanisme pasar karbon untuk menghubungkan sektor yang belum net zero emission dengan yang sudah net zero emission,” kata Febrio.

Febrio menambahkan, jika mekanisme pasar karbon di Indonesia sudah terbentuk, maka sinyal pajak karbon untuk aktor batubara juga makin kuat. Dengan begitu, Indonesia akan dilirik oleh pasar energi baru global. Hal ini tentu akan membantu proses pendanaan proyek energi terbarukan di Indonesia, sehingga bisa mempercepat pencapaian target dekarbonisasi Indonesia.

Dewa Putu Ekayana, Analis Kebijakan, Kementerian Keuangan Indonesia menyatakan bahwa Indonesia saat ini sudah hampir final untuk rancangan peraturan presiden terkait nilai ekonomi karbon (NEK).

“Aspek fiskal dari NEK bukan sebagai pajak karbon tapi pungutan atas karbon. Perluasan makna tersebut diharapkan tidak hanya mencakup pajak tapi juga instrumen lain. Pertimbangan berikutnya adalah keseimbangan keuangan pemerintah pusat dan sub-nasional. Usul kami dari Kementerian Keuangan bagaimana nantinya financing mechanism tersebut dibayar dengan kredit karbon (carbon credit) atau sertifikat karbon (carbon certificate),” jelas Dewa.

Dalam kesempatan terpisah, menanggapi kebijakan nilai ekonomi karbon, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menuturkan bahwa pemerintah perlu menetapkan target penurunan emisi dan menentukan target di masing-masing sektor, serta mengkaji nilai atau  harga karbon efektif yang dapat mendukung pencapaian target tersebut.

“Harga karbon harus dihubungkan dengan target penurunan emisi dan harus mendorong pelaku ekonomi mengubah pilihan teknologi. Jika harga karbon terlalu rendah, dikuatirkan tidak memberikan sinyal yang memadai untuk mendorong upaya penurunan emisi yang substansial,” jelas Fabby.

Menyangkut pelaksanaan pajak karbon, menurutnya pemerintah perlu secara terbuka menyampaikan pentingnya instrumen pajak karbon untuk menahan pertumbuhan emisi karbon, menetapkan mekanisme dan instrumennya, serta sektor-sektor ekonomi yang akan terkena dampak dari penerapan pajak karbon.

IETD 2021 yang berlangsung selama lima hari, dari 20-24 September. Acara ini bekerja sama dengan Clean, Affordable and Secure Energy for Southeast Asia (CASE) sebuah proyek kemitraan dari beberapa negara di Asia Tenggara dan didanai oleh Pemerintah Federasi Jerman.  Info lebih lanjut dapat diakses di ietd.info.

Luhut: Presiden Jokowi Instruksikan Tegas Untuk Segera Bertransisi Energi

Jakarta, 20 September 2021 – Indonesia perlu melakukan beberapa langkah untuk mempercepat upaya peralihan dan pengembangan energi terbarukan pada 2050, diantaranya adalah dengan menyelaraskan regulasi dan kebijakan serta mendorong investasi energi terbarukan. 

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, pemerintah Indonesia pada dasarnya akan selalu berkomitmen dan berusaha yang terbaik untuk mencegah kenaikan suhu bumi 1,5 derajat celcius. Ia menekankan bahwa instruksi Presiden Jokowi secara tegas meminta untuk segera bertransisi energi, bahkan saat ini pemerintah sedang menyusun mekanisme transisi energi (energy transition mechanism) terutama untuk PLTU batubara Indonesia

“Dukungan pendanaan (financial support)  sangat penting untuk mendukung transisi ke energi terbarukan. Perlu bantuan dari negara maju untuk mencapai netral karbon di tahun 2060 atau lebih cepat. Saat ini, peralihan coal (batubara) ke energi terbarukan sedang berjalan. PLTU batubara ada yang harus diberhentikan dan sedang disusun dengan PLN. Kita optimis bisa lebih cepat karena teknologi juga semakin berkembang jadi bisa lebih efisien,” papar Luhut dalam The 4th Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) yang diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), Senin (20/09/2021) secara virtual.

Menurutnya, di Indonesia sendiri, pemerintah menargetkan kawasan pariwisata, khususnya Danau Toba dan Bali yang akan netral karbon pada tahun 2045 atau momen 100 tahun kemerdekaan Indonesia.

“Danau Toba bisa karena ada geothermal 1.000 megawatt dan banyak hydropower, sehingga semua kehidupan di sana tidak perlu lagi memakai energi fosil.  Begitu pula dengan Bali,”

Baginya, perubahan tersebut mutlak terjadi bahkan dalam enam tahun ke depan. Sebab, saat ini semua industri yang bernilai hampir USD 100 miliar pun pembangunannya sudah mulai menggunakan energi terbarukan.

“Kita punya potensi yang luar biasa untuk energi terbarukan. Pada 2050 Eropa canangkan tidak mau pakai barang yang dari fosil energi. Kita punya barang-barang dari renewable energy atau green product. PLN juga harus ikut dan berbenah,” tegasnya.

Di kesempatan yang berbeda, dalam Press Conference The 4th Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2021. Direktur Ketenagalistrikan, Telekomunikasi, dan Informatika Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Rachmat Mardiana, mengatakan Bappenas sudah menyusun beberapa kajian Net Zero Emission. Kajian itu berisi pertimbangan sosial, ekonomi, lingkungan dan kebutuhan pendanaan untuk bisa mempercepat dekarbonisasi di Indonesia.

“Tentunya untuk itu kita juga perlu melihat upaya mengurangi ketergantungan batubara melalui beberapa upaya. Misalnya melihat perkembangan teknologi ke depan, potensi energi hidrogen untuk mencukupi kebutuhan transportasi, industri, pembangkit tenaga listrik,” kata Rachmat dalam Konferensi Pers The 4th Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2021, Senin (20/09/2021) secara virtual.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana mengatakan transisi energi terbarukan tersebut perlu menunggu Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). 

“Kita selesaikan dulu RUPTL, didalami dulu dari sisi anggaran, apakah perlu APBN atau biaya penggantian. Kemudian kita sounding ke Kemenkeu untuk Perpres Energi Baru Terbarukan (EBT). Ini sudah proses, sebentar lagi RUPTL selesai dibahas, lalu di Kemenkeu hanya dari sisi perhitungan anggaran saja,” kata Dadan. 

Di samping itu, integrasi energi terbarukan tersebut perlu didukung dengan solusi untuk mengatasi oversupply dari pembangkit listrik. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan kondisi oversupply bisa diatasi bersamaan dengan upaya dekarbonisasi mendalam di sektor industri dan bisnis. 

“Solusinya aksi mitigasi bisa dilakukan dengan substitusi energi heating yang menggunakan fosil dialihkan ke penggunaan listrik. Kedua, solusinya adalah dengan PLTS atap justru paling efektif. Data resmi pemerintah pada 2019, dari PLTS ada 186 MW, tapi data di Asosiasi Energi Surya jauh lebih besar, pada 2020-2021 baik yang pipeline dan lengkap itu sampai Juli lalu totalnya ada 480 MW,” kata Fabby. 

Fabby mengatakan, pemerintah perlu membuka kesempatan investasi untuk proyek energi terbarukan. Kajian IESR menunjukkan bahwa untuk memenuhi target 23 persen bauran energi terbarukan hingga 2025, investasi yang diperlukan sekitar US$14 miliar hingga US$15 miliar, atau setara dengan Rp 210 triliun. 

Sementara itu, untuk mencapai net zero emission, IESR memperkirakan nilai investasi yang diperlukan hingga 2030 menyentuh US$25 miliar sampai US$30 miliar per tahun, atau sekitar Rp 420 triliun per tahun. Angka tersebut akan lebih tinggi pada 2030–2050, yakni mencapai US$50 miliar hingga US$60 miliar per tahun. Nilai investasi itu termasuk untuk pengembangan teknologi rendah karbon di sektor kelistrikan, transportasi, dan industri. Fabby menyebut, investasi itu juga mencakup pengembangan green hidrogen, serta bahan bakar sintetik untuk sektor transportasi yang tidak dapat dielektrifikasi, seperti pesawat dan kapal.

Dari sisi industri batubara, anggota Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), Widhyawan Prawiraatmadja mengatakan industri batubara membutuhkan sinyal yang lebih kuat melalui pajak karbon agar dapat ikut bertransformasi dan mendukung dekarbonisasi sistem energi 

“Konteksnya begini, kita menerapkan pajak karbon USD 5 per ton. Aktornya akan berpikir kalau gitu dipajakin saja tidak apa-apa (pajak rendah-red). Jika demikian adanya maka peraturan tersebut sama saja tidak berfungsi. Kecuali kalau seperti di luar (negeri), pajaknya USD 50 pasti sudah mikir banget mau pake fossil,” kata Wawan. 

IETD 2021, Serukan Target Dekarbonisasi Indonesia pada 2050

Jakarta, 14 September 2021 –  Tahun keempat, Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) kembali hadir untuk memfasilitasi diskusi-diskusi mengenai transisi energi di Indonesia. Mengusung tema  Raih Dekarbonisasi Mendalam pada 2050: Tetapkan Target, Mobilisasi Aksi, dan Capai Bebas Emisi, IETD 2021 dilaksanakan secara daring melalui website ietd.info, Senin-Jumat (20-24/09/2021).

“Dialog tahun 2021 akan membahas secara terperinci jalur yang Indonesia dapat tempuh untuk mencapai bebas emisi 2050 dengan mengundang lebih dari 60 pembicara dari Indonesia maupun internasional,” ujar Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa dalam launching Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2021 secara virtual, Selasa (14/09/2021).

Pembicara itu diantaranya adalah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Republik Indonesia Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa, Chairman Rocky Mountain Institute (RMI) Amory Lovins, dan Executive Secretary United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) Patricia Espinosa.

Acara yang berlangsung selama lima hari ini pun akan dibuka secara resmi oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif.

Dialog ini pun akan banyak membahas tentan bagaimana upaya dekarbonisasi sistem energi di Indonesia. Sebab, upaya dekarbonisasi tentu saja memerlukan kerangka kebijakan yang kuat. Tujuannya untuk memobilisasi teknologi, dan investasi di sektor energi terbarukan. Dengan begitu, energi terbarukan bisa bersaing dengan energi fosil yang padat subsidi. 

Hanya saja, secara komitmen politik dan kebijakan, Indonesia masih tidak selaras dengan Persetujuan Paris. Hal ini tercermin pada dokumen pemutakhiran komitmen nasional Indonesia atau Nationally Determined Contributions (NDC) 2021. Selain terlambat 10 tahun dari target Persetujuan Paris, IESR menilai bahwa skenario mitigasi di sektor energi dalam dokumen tersebut masih sarat dengan energi fosil.

Oleh karena itu, kegiatan yang diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) fokus membahas pentingnya upaya dekarbonisasi sistem energi di Indonesia, yaitu dengan segera bertransisi energi dari energi fosil menuju pemanfaatan 100 persen energi terbarukan pada 2050. 

Ada tiga isu utama diangkat dalam IETD 2021 kali ini. Pertama, meningkatkan pemahaman tentang target dekarbonisasi Indonesia pada 2050. Kedua, mendorong para pemangku kebijakan untuk menetapkan target dekarbonisasi pada sektor energi kelistrikan pada 2050. Ketiga, memfasilitasi diskusi terkait tindakan yang dibutuhkan pemerintah dan tantangan untuk mewujudkan target dekarbonisasi pada 2050.

“Skenario low carbon scenario compatible with Paris Agreement target (LCCP) dalam Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) tidak mencerminkan Indonesia mengatasi krisis iklim. Pemerintah terjebak dalam solusi palsu untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dengan berharap pada teknologi seperti CCS/CCUS yang mahal dan sejauh ini menunjukan tidak efektif dalam menurunkan emisi di PLTU. Skenario ini justru menjauhkan kita dari transformasi sistem energi berbasis pada teknologi terbaik yang lebih handal, bersih dan kompetitif,” tandas Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Pernyataan Fabby didukung oleh Kajian IESR berjudul Deep decarbonization of Indonesia’s energy system. Kajian itu menunjukkan bahwa dengan terus menurunnya harga energi terbarukan, harga teknologi penyimpanan energi dan semakin besarnya penggunaan energi surya, Indonesia akan mampu mencapai nir emisi di sektor ketenagalistrikan (100% dari energi terbarukan) pada tahun 2045. Tentunya dengan biaya pembangkitan listrik dan kebutuhan investasi yang bahkan lebih rendah dibanding tetap menggunakan batubara.

Wakil Ketua Kelompok Kerja I Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Edvin Aldrian mengatakan, mayoritas emisi gas rumah kaca ada di sektor energi kelistrikan yaitu sebesar 35 persen. Jika pemerintah melakukan langkah penurunan karbon secara ambisius, maka karbon Indonesia bisa turun 1,5 derajat celcius pada 2040 awal.

“Lalu masa depan energi buat Indonesia ini salah satunya ada di biofuel. Akan tetapi, penurunan harga biofuel ini masih menemui tantangan. Penurunan harga itu perlu perluasan lahan, tapi itu masih jadi tantangan,” ujar Edvin Aldrian. 

IESR memandang bahwa mengandalkan sepenuhnya sistem energi Indonesia pada energi terbarukan merupakan solusi yang tepat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), mengingat sektor energi fosil akan menjadi penyumbang emisi terbesar pada tahun 2030 yakni mencapai hingga 58% pada skenario business as usual di dokumen Nationally Determined Contributions (NDC). Langkah transformasional untuk bertransisi energi tersebut perlu dilakukan tahun ini seiring dengan semakin kritisnya kenaikan suhu bumi. 

Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) terbaru telah memberikan pemahaman mendalam yang berbasis saintifik mengenai fenomena perubahan iklim. Laporan tersebut memprediksi bila negara di dunia tidak menerapkan langkah ambisius dalam memitigasi perubahan iklim, maka kenaikan suhu bumi melebihi 1.5 derajat Celcius akan berlangsung dalam dua dekade mendatang. Artinya pada 2080-2100, kenaikan temperatur rata-rata bumi bahkan dapat mencapai 3.3-5.7 derajat Celcius.

Laporan tersebut lebih lanjut menjelaskan dampak cuaca ekstrim yang akan lebih sering terjadi ketika temperatur rata-rata bumi naik melebihi 1.5 derajat Celcius seperti hujan lebat, kekeringan, dan heatwave. Beberapa perubahan tersebut tidak bisa diperbaiki (irreversible).

“Perubahan iklim berdampak bagi Indonesia, terutama dengan meningkatnya intensitas hujan. Pemerintah perlu melakukan adaptasi dan mitigasi. Tidak ada waktu untuk berleha. Tindakan mitigasi harus dilakukan dengan mereduksi jumlah emisi karbon di atmosfer,” kata Edvin Aldrian.

Ekspor Batubara Menurun, Saatnya Transisi Energi

Hari ke-4 Indonesia Energy Transition Dialogue 2020, Energy transition in the power sector and its implications for the coal industry

Jakarta, 10 Desember 2020 – Negara tujuan ekspor batubara Indonesia di Asia mulai beralih menggunakan energi terbarukan. Menurut riset Institute for Essential Services Reform (IESR) industri batubara akan mengalami kerugian. Transisi energi menjadi satu-satunya jalan untuk mempersiapkan penurunan ekspor ke Asia.

Menurut Spesialis Data dan Informasi IESR, Deon Aprinaldo, negara tujuan ekspor batubara seperti Cina dan Jepang mulai berkomitmen pada zero carbon mulai 2025 hingga 2050. Kebijakan ini secara tidak langsung mempengaruhi permintaan ekspor batubara Indonesia. 

“Kecenderungan permintaan negara-negara itu menurun, sedangkan Jepang mulai beralih ke batubara kualitas tinggi. Di mana kalau Indonesia mau bersaing ke sana, akan bersaing dengan Amerika Serikat, Rusia dan Kanada,” kata Deon.

Di Asia Tenggara, permintaan ekspor batubara Indonesia masih tinggi. Akan tetapi, Vietnam yang berhasil meningkatkan transisi energi terbarukan kemungkinan akan dicontoh oleh negara-negara Asia Tenggara lainnya. Sehingga permintaan batu bara dari Asia Tenggara akan menurun di masa depan.

“Sementara itu, saat ini 27 GW dari pembangunan pembangkit listrik batubara masih dilakukan oleh pemerintah. Direktur PLN sendiri pada Agustus 2020 mengatakan saat ini PLTU memasang kontrol polusi untuk upaya penurunan karbon, akan tetapi menggunakan itu PLTU akan mengalami peningkatan biaya operasional,” kata Deon.

Staf Khusus Batu Bara dan Mineral Kementerian ESDM, Irwandy Arif mengatakan 2027 akan menjadi puncak penurunan permintaan batu bara di seluruh dunia. Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah Indonesia sebab saat ini pemerintah sedang menggunakan produk turunan batu bara untuk mengatasi defisit anggaran akibat impor LPG.

“Oleh karena itu saat ini kementerian ESDM sedang menyusun grand strategy komoditas penting energi terbarukan. phaseout-nya batubara itu sangat ditentukan oleh energi terbarukan dan kebijakan menyeluruh yang dirancang pemeintah,” kata Irwandy.Transisi energi juga dilakukan oleh perusahaan-perusahaan milik negara, misalnya PT Bukit Asam.

PTBA melakukan program green airport dengan membangun infrastruktur panel surya. Selain itu, mereka membangun panel surya di beberapa kabupaten.

Kebijakan Energi Terbarukan di Indonesia Tumpang Tindih

Hari ke- 4 Indonesia Energy Transition Dialogue 2020, Better energy system planning to transition the Indonesian power sector

Jakarta, 10 Desember 2020 – Iklim kebijakan energi terbarukan di Indonesia dinilai belum mendukung energi terbarukan. Para peneliti dan pakar melihat adanya tumpang tindih antara Rencana Umum Energi Negara (RUEN) dengan Rencana Usaha Penyediaan Listrik (RUPTL) yang dibuat oleh PT PLN. 

Ketua Masyarakat Energi Baru Terbarukan Indonesia (METI) Dr Surya Darma mengatakan pemerintah sudah rinci memaparkan upaya penurunan emisi karbon dalam RUEN. Namun, disisi lain, pemerintah masih menandatangani RUPTL PT PLN yang tidak sesuai dengan RUEN. “Ini adalah paradoks. Targetnya saja sudah tidak sesuai apalagi pencapaiannya?” kata Surya.

Menurut Surya, penetapan target yang tidak satu suara antara RUEN dan RUPTL akan terus menimbulkan kebijakan yang tumpang tindih dalam bidang energi terbarukan. Masih ada jeda 8 tahun bagi pemerintah untuk melakukan revisi RUEN. 

Namun apabila tidak memungkinkan satu-satunya cara adalah melakukan percepatan transisi energi untuk mengejar gap antara RUEN dan RUPTL. “Jika target energi terbarukan dalam RUEN itu 45,2 GW, maka skenario realisasi bisa mencapai 22,62 hingga 25 GW,” kata Surya. 

Selain RUEN dan RUPTL yang saling bertentangan, iklim kebijakan di Indonesia masih abu-abu soal siapa pihak yang bertanggung jawab terhadap implementasi penerapan energi terbarukan di lapangan. Hal tersebut dipaparkan oleh akademisi dari Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung (ITB), Pekik Argo Dahono. 

“Dalam implementasi RUEN itu belum jelas siapa yang akan bertanggung jawab, ini yang menyebabkan banyak kebijakan energi terbarukan yang tumpang tindih. Yang mengawasi tiap saat berbeda,” kata Pekik.

Pekik menilai revisi kebijakan terlalu memakan waktu. Maka yang bisa dilakukan adalah menepati target yang sudah ditulis dalam RUEN. Selain itu, pemberian insentif terhadap pengembangan energi terbarukan juga harus dibarengi dengan kesiapan sistem kelistrikan menerima energi terbarukan. Pekik mengatakan pemerintah harus menghindari ketidaksiapan sistem saat batu bara benar-benar dieliminasi dari sistem kelistrikan Indonesia.

Akselerasi Transisi Energi Harus Berkeadilan

Hari ke-4 Indonesia Energy Transition Dialogue 2020 | #IETD2020 #TransisiEnergi

Strategi pengurangan emisi karbon dengan melakukan transisi energi terbarukan perlu mempertimbangkan semua aspek selain aspek energi. Tujuannya agar tercipta akselerasi transisi energi yang berkeadilan.

Oleh karena itu, Institute for Essential Services Reform (IESR) menerbitkan satu seri laporan skenario struktur model transisi energi terbarukan untuk peta jalan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Berdasarkan perubahan kebijakan nasional tahun ini, struktur model transisi RUEN tidak akan mencapai target pengurangan emisi karbon di tahun 2025. “Transisi energi terbarukan hanya tercapai 15 persen,” kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

Namun, jika menggunakan skenario penghentian PLTU pada 2029, Indonesia bisa menyumbang 24 GW energi terbarukan pada 2025 dan 408 GW pada 2050. Dengan menggunakan skenario struktur model tersebut, emisi Gas Rumah Kaca bisa turun sebanyak 700-750 juta ton karbon hingga 2050.

Dalam laporan tersebut, IESR juga memaparkan rekomendasi untuk mencapai angka dekarbonisasi tersebut. Pertama, dua sektor utama yang harus diprioritaskan untuk transisi adalah sektor ketenagalistrikan dan transportasi. Pemerintah harus akselerasi bauran listrik di sektor transportasi dengan energi terbarukan, sedangkan dalam sektor ketenagalistrikan pemerintah harus melakukan moratorium PLTU baru.

Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jisman Hutajulu mengatakan pembatasan konsumsi batu bara pada PLTU harus diimbangi dengan upaya pemerintah mempertahankan tarif listrik terjangkau untuk masyarakat. “Batubara porsi konsumsinya besar dan itu yang membuat harga listrik tetap terjangkau, jika harga EBT bisa mendekati harga itu, kita bisa agresif transisi energi,” kata Jisman.

Jisman mengatakan untuk saat ini pemerintah sudah melakukan blending, yaitu menggunakan biofuel untuk pembangkit listrik. Jisman mengatakan 815 GW yang dihasilkan dalam proses blending berjalan dengan lancar. Hingga kini ada potensi 1,8 GW yang dihasilkan dari proses blending.

Kepala Pusat Studi Energi (PSE) UGM, Dr. Deendarlianto mengatakan transisi batu bara menuju ke energi terbarukan harus dilakukan dengan perlahan. Berdasar survei PSE, Indonesia masih memerlukan penelitian dan pengembangan yang lebih masif. Dengan penelitian dan pengembangan yang terbatas, pembatasan batu bara akan mengganggu sistem kelistrikan negara.

“Impor akan besar, kemudian ekonomi terganggu. Kita bisa melakukan elektrifikasi pada kendaraan, tapi hanya bisa untuk kendaraan baru supaya investasinya tidak terlalu mahal. Menurut studi kami, mobil listrik yang bisa masuk ke Indonesia maksimal hanya 400.000 dan hanya bisa bertambah 2 persen tiap tahunnya,” kata Deen.

Tren Energi Terbarukan Global Meningkat, Indonesia Harus Bersiap!

Indonesia Energy Transition Dialogue 2020 – Hari Ke 3 | #IETD2020 #TransisiEnergi

Jakarta, 9 Desember 2020 – Transisi energi mulai terjadi di seluruh dunia. Menurut data yang dihimpun oleh Bloomberg NEF, ada 10 juta bus listrik yang beredar di seluruh dunia dan jumlahnya terus meningkat.  Kepala Riset APAC Bloomberg NEF, Dr Ali Izadi mengatakan data peningkatan jumlah bus listrik itu berbanding lurus dengan kenaikan tren energi terbarukan di masa depan. 

“Pada 2050, energi terbarukan sinar matahari dan angin akan mendominasi dunia. Lima tahun ke depan, energi terbarukan sinar matahari dan angin mulai on track,” kata Ali. Oleh karena itu Ali mengatakan dalam enam bulan ini terjadi perubahan pasar energi di dunia yang begitu pesat. Negara-negara di seluruh dunia harus melakukan transisi energi mulai saat ini.

Peningkatan tren minat dunia pada energi terbarukan berdampak pada permintaan batu bara di Indonesia. Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia, Hendra Sinadia, mengatakan saat ini permintaan ekspor batu bara Indonesia masih menjanjikan di Asia Tenggara dan Asia Timur. Namun, pada 2019, permintaan itu sudah mencapai puncaknya.

“18 persen ekspor batu bara kita pergi ke Cina dan India. Kemudian 30 persen diekspor ke Taiwan, Thailand dan Jepang. Kita tetap akan menandatangani kerjasama ekspor dengan Cina untuk menjaga hubungan baik dengan negara itu. Akan tetapi pada 2019 permintaan batu bara sudah klimaks, akan ada penurunan pelan-pelan ke depannya, memang harus transisi energi terbarukan,” kata Hendra.

Saat ini Indonesia sudah mulai melakukan transisi energi terbarukan melalui PT PLN sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Fase pertama transisi diesel ke energi terbarukan dilakukan di 200 titik dengan total kapasitas 225 MW. 

Direktur Mega Proyek PLN, M Ikhsan Asaad mengatakan untuk mendukung fase pertama transisi, PLN tidak hanya melakukan dekarbonisasi, namun juga digitalisasi. “Smart grid, smart meter, smart home. Kemudian kami juga mengadakan storage terdistribusi. Pertamina, PLN, Antam juga berkolaborasi berupaya mengembangkan industri batu baterai di indonesia,” kata Ikhsan.

Wakil Menteri BUMN Budi Gunadi Sadikin mengatakan saat ini Indonesia memiliki surplus energi sebesar 3500 MW, dari surplus tersebut masyarakat menggunakan energi sebesar 1000 MW. “Dari penggunaan itu 60 persennya masih batubara dan 15 persen gas alam,” kata Budi.

Di sisi lain, saat ini Indonesia masih melakukan ekspor batu bara murah ke luar negeri dan memberi subsidi pada konsumsi LPG sebesar 40 triliun. Menurut Budi, seharusnya 10 triliun dari anggaran pemerintah bisa digunakan sebagai biaya riset dan pengembangan energi terbarukan. 

Akan tetapi, dalam implementasinya, Indonesia tidak bisa meniru mentah-mentah strategi transisi energi terbarukan yang dilakukan oleh negara lain. “Tidak bisa mentah-mentah karena kita negara kepulauan. Harus memikirkan bagaimana energi itu tidak hanya terdistribusi tapi terkoneksi dari satu pulau ke pulau lain,” kata Budi.

Faisal Basri, anggota Indonesia Circular Economy Forum mengatakan, selain ketersediaan, pemerintah juga harus mewujudkan keterjangkauan energi terbarukan untuk masyarakat. Untuk itu pemerintah harus menyediakan subsidi energi terbarukan daripada subsidi bahan bakar fosil. 

Dalam hal ini, Faisal menilai pemerintah masih belum satu suara dengan BUMN seperti Pertamina. Faisal mengatakan di tengah pandemi, pemerintah memberikan peningkatan fasilitas untuk energi berbasis fosil. Apalagi dalam RUU Cipta Lapangan Kerja, banyak pasal yang justru menguntungkan mekanisme harga dalam industri batu bara.

“Contohnya ketika pertamina launching ide mengeliminasi 88 ton karbon dengan pertalite. Tapi pertalite ini harganya sama dengan premium. Pemerintah tidak mengatakan apa apa. Pemerintah masih alokasi subsidi untuk premium. Pertamina lebih progresif daripada pemerintah,” kata Faisal.

Faisal mengatakan untuk mewujudkan transisi energi terbarukan, pemerintah perlu mendukung industri energi terbarukan dengan kebijakan di bidang infrastruktur energi terbarukan, subsidi energi terbarukan dan mekanisme harga energi terbarukan.

Direktur Eksekutif Institute Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan transisi energi secara global sudah terjadi dan tidak terelakan. Bagi BUMN energi di Indonesia, penting untuk dapat bertahan di era transisi energi ini dengan melakukan transformasi bisnis dan melakukan inovasi-inovasi. 

“Di sektor kelistrikan, pemerintah perlu merancang perubahan struktur industri kelistrikan dan penetapan tarif listrik yang merefleksikan biaya produksi marginal jangka panjang (long term marginal cost),” kata Fabby. 

PLN perlu mengintegrasikan sistem penyediaan energi terdistribusi dan memperkuat konsumen. Dengan begitu, konsumen dapat menjadi produsen energi dan membantu PLN mengatasi kebutuhan investasi penyediaan energi yang membutuhkan investasi $25 milyar per tahun menurut IEA (2020) untuk mengakselerasi transisi energi.

“Tantangan bagi pemerintah adalah membuat peta jalan, merencanakan, dan mengelola proses transisi ini mengingat aset infrastruktur fossil fuels yg dimiliki BUMN sangat besar. Tidak banyak waktu tersisa, maksimal 5 tahun untuk menghindari BUMN energi seperti PLN menanggung kerugian finansial karena aset PLTU-nya tidak kompetitif terhadap teknologi pembangkit listrik surya dan storage,” kata Fabby.

 

Program Pemerintah Daerah Jadi Kunci Keberhasilan Transisi Energi Terbarukan

Jakarta, 8 Desember 2020 – Tiap daerah di Indonesia menyimpan banyak potensi energi terbarukan yang belum dimanfaatkan secara optimal. Oleh karena itu, kepemimpinan pemerintah daerah dengan program percepatan energi terbarukan menjadi kunci transisi energi terbarukan.

Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Bungtilu Laiskodat mengatakan NTT memiliki potensi energi terbarukan dari sinar matahari sebanyak 60.000 MW. Namun, hanya 100 MW yang sudah dimanfaatkan oleh masyarakat.

“Dalam transisi ini kami menemukan tantangan dari teman-teman pemerintah daerah, ini bertabrakan dengan zona nyaman menggunakan bahan bakar fosil, tapi kita tidak ada pilihan selain transisi energi sebab minat dunia sekarang mengarah ke sana,” kata Vik     tor, Selasa (8/12/2020) dalam diskusi panel Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) bertajuk High Level Roundtable Dialogue: Local Governments Lead the Way in Energy Transition

Viktor mengatakan perusahaan tujuan ekspor rumput laut NTT mulai menolak produk yang tidak diproduksi menggunakan energi terbarukan. Berdasar fenomena itu, menurut Viktor, transisi energi terbarukan merupakan hal yang tak terhindarkan. Oleh karena itu, saat ini pemerintah daerah masih berupaya menambah serapan energi terbarukan dari tenaga sinar matahari di Pulau Sumba.

Akan tetapi, menurut Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Tengah, Sujarwanto Dwiatmoko, pemerintah daerah juga harus memberdayakan masyarakat untuk memanfaatkan potensi energi terbarukan. “Kalau hanya menghitung serapan energi terbarukan dari pembangkit listrik yang berhasil dibangun pemerintah, target serapan tidak akan pernah tercapai,” kata Sujarwanto.

Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mengembangkan program Desa Mandiri Energi di mana masyarakat di dalamnya menggunakan tenaga matahari, tenaga air, tenaga angin, dan biogas dari limbah ternak sebagai pembangkit listrik. Saat ini hampir 80 Desa Mandiri Energi yang dibentuk oleh pemerintah daerah.

Komitmen antara pemerintah daerah dan masyarakat telah diterapkan di Provinsi Chungnam, Korea Selatan. Gubernur Chungnam, Yang Seung Joo melakukan komitmen dengan 300 organisasi masyarakat untuk mengeliminasi emisi karbon sebesar 90 juta ton karbon dioksida sejak masa kampanyenya pada 2018. “Komitmen dari semua stakeholder bisa mempercepat transisi energi. Kuncinya adalah bagaimana pemimpin daerah dapat memimpin energi transisi,” kata Yang Seung Joo dalam sambutannya di awal diskusi hari kedua IETD 2020 ini.

Program Pemerintah Daerah Jadi Kunci Keberhasilan Transisi Energi Terbarukan

Jakarta, 8 Desember 2020 – Tiap daerah di Indonesia menyimpan banyak potensi energi terbarukan yang belum dimanfaatkan secara optimal. Oleh karena itu, kepemimpinan pemerintah daerah dengan program percepatan energi terbarukan menjadi kunci transisi energi terbarukan.

Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Bungtilu Laiskodat mengatakan NTT memiliki potensi energi terbarukan dari sinar matahari sebanyak 60.000 MW. Namun, hanya 100 MW yang sudah dimanfaatkan oleh masyarakat.

“Dalam transisi ini kami menemukan tantangan dari teman-teman pemerintah daerah, ini bertabrakan dengan zona nyaman menggunakan bahan bakar fosil, tapi kita tidak ada pilihan selain transisi energi sebab minat dunia sekarang mengarah ke sana,” kata Viktor, Selasa (8/12/2020) dalam diskusi panel Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) bertajuk High Level Roundtable Dialogue: Local Governments Lead the Way in Energy Transition

Viktor mengatakan perusahaan tujuan ekspor rumput laut NTT mulai menolak produk yang tidak diproduksi menggunakan energi terbarukan. Berdasar fenomena itu, menurut Viktor, transisi energi terbarukan merupakan hal yang tak terhindarkan. Oleh karena itu, saat ini pemerintah daerah masih berupaya menambah serapan energi terbarukan dari tenaga sinar matahari di Pulau Sumba.

Akan tetapi, menurut Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Tengah, Sujarwanto Dwiatmoko, pemerintah daerah juga harus memberdayakan masyarakat untuk memanfaatkan potensi energi terbarukan. “Kalau hanya menghitung serapan energi terbarukan dari pembangkit listrik yang berhasil dibangun pemerintah, target serapan tidak akan pernah tercapai,” kata Sujarwanto.

Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mengembangkan program Desa Mandiri Energi di mana masyarakat di dalamnya menggunakan tenaga matahari, tenaga air, tenaga angin, dan biogas dari limbah ternak sebagai pembangkit listrik. Saat ini hampir 80 Desa Mandiri Energi yang dibentuk oleh pemerintah daerah.

Komitmen antara pemerintah daerah dan masyarakat telah diterapkan di Provinsi Chungnam, Korea Selatan. Gubernur Chungnam, Yang Seung Joo melakukan komitmen dengan 300 organisasi masyarakat untuk mengeliminasi emisi karbon sebesar 90 juta ton karbon dioksida sejak masa kampanyenya pada 2018. “Komitmen dari semua stakeholder bisa mempercepat transisi energi. Kuncinya adalah bagaimana pemimpin daerah dapat memimpin energi transisi,” kata Yang Seung Joo dalam sambutannya di awal diskusi hari kedua IETD 2020 ini.

###

Tentang ICEF

Indonesia Clean Energy Forum adalah platform dialog konstruktif dan berbasis fakta untuk meningkatkan pemahaman transisi energi dan berbagi praktik terbaik mengenai kebijakan, peraturan, dan kerangka kerja kelembagaan untuk mendukung transisi energi yang adil di sektor energi Indonesia. ICEF secara resmi diluncurkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral pada 15 November 2018. Anggota inti ICEF terdiri dari 25 individu terkemuka dari berbagai latar belakang. Untuk informasi lebih lanjut silahkan kunjungi laman http://iesr.or.id/program/indonesia-clean-energy-forum/.

 

Tentang IESR

Institute for Essential Services Reform adalah institusi riset dan advokasi di bidang energi dan kebijakan lingkungan. Institusi kami mengkombinasikan studi mendalam, menganalisa kebijakan, regulasi, dan aspek tekno-ekonomi pada sektor energi dan lingkungan dengan aktivitas advokasi kepentingan umum yang kuat untuk mempengaruhi perubahan kebijakan pada skala Nasional, sub-bangsa dan dunia. Untuk Informasi lebih lanjut silahkan kunjungi laman www.iesr.or.id atau ikuti  Facebook dan Twitter kami.

 


Nara hubung:

Jannata Giwangkara

Manajer Program Transformasi Energi, IESR

081284873488 | egi@iesr.or.id 

 

Gandabhaskara Saputra

Outreach and Engagement Adviser – Clean, Affordable and Secure Energy for Southeast Asia
IESR

081235563224 | ganda@iesr.or.id