Capai EITI Compliant Country, Indonesia Didorong Tata Tambang Lebih Transparan

Petugas menyaksikan bangunan yang dibakar warga saat operasi penambangan emas tanpa izin (PETI) di Kampung Ciguha, Gunung Pongkor, Bogor, Jabar, Sabtu (19/9).
Petugas menyaksikan bangunan yang dibakar warga saat operasi penambangan emas tanpa izin (PETI) di Kampung Ciguha, Gunung Pongkor, Bogor, Jabar, Sabtu (19/9).

Bisnis.com, JAKARTA — Koalisi Publish What You Pay Indonesia (PWYP)  menyambut Indonesia yang mendapatkan status EITI Compliant Country dan didorong untuk membuat sektor pertambangan lebih transparan.

Dewan Internasional Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) yang berkedudukan di Oslo, Norwegia, menetapkan Indonesia kembali menyandang status EITI Compliant Country.

Indonesia dinilai telah memberikan informasi transparan soal penerimaan negara baik pajak dan nonpajak dari perusahaan migas dan tambang yang direkonsiliasi dengan instansi pemerintah, juga dilengkapi dengan gambaran tata kelola industri.

Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP Indonesia, mengatakan keberhasilan Indonesia memberi harapan di tengah-tengah persoalan mafia migas, tambang dan konflik kepentingan. Oleh karena itu, sambungnya, pihaknya mendorong adanya perbaikan tata kelola sektor ekstraktif.

“Status ini hanya bemakna apabila tujuan akhir EITI tercapai yaitu adanya perbaikan tata kelola sektor ekstraktif, khususnya migas dan tambang menjadi lebih transparan dan akuntabel untuk kesejahteraan masyarakat,” kata Maryati dalam rilisnya yang dikutip Bisnis.com, Selasa (21/12/2015).

Fabby Tumiwa, anggota Dewan Internasional EITI, mengingatkan bahwa laporan EITI perlu lebih ditingkatkan di tingkat transparansi. Hal itu menyangkut pembukaan informasi koordinat wilayah pertambangan dan kadasterial, informasi peserta tender, informasi beneficial ownership serta kontrak migas dan pertambangan.

Sumber: bisnis.com.

IESR Luncurkan Kerangka Kerja Tata Kelola Industri Ekstraktif

JAKARTA – Institute for Essential Services Reform (IESR) hari ini meluncurkan Regional Framework on Extractive Industries Governance (Kerangka Kerja Tata Kelola Industri Ekstraktif di Regional).

Pengamat pertambangan dari IESR, Fabby Tumiwa mengatakan, hal tersebut dalam rangka menyambut ASEAN Economic Community (AEC) 2015.

Menurutnya, kerangka kerja ini dibentuk untuk mengatur tata kelola industri ekstraktif di ASEAN.

Kerangka kerja ini tidak hanya mengenai legalitas dan korupsi, namun juga mengenai tata kelola multidimensi dalam industri pertambangan, khususnya industri ekstraktif. Kerangka kerja ini satu set keputusan.

“Anda bisa melihatnya untuk memastikan bahwa sumber daya industri ekstraktif dapat digunakan untuk memperbaiki pengembangan manusia, mendorong ekonomi yang adil, dan mempercepat hub ekonomi di ASEAN. Bukan hanya mengenai negara kita saja, tapi untuk ASEAN juga,” tuturnya di Jakarta, Jumat (28/11/2014).

Dia mengatakan, kerangka kerja ini merupakan usulan masyarakat sipil dari tata kelola industri, yang akan diharmonisasikan hingga ke lingkup ASEAN. Sebab, harmonisasi mengenai kebijakan mineral masih sangat jarang.

“Itu yang kita sarankan, menurut perspektif kami bagaimana dapat harmonisasikan kebijakan mineral ASEAN di masa yang akan datang, ketika jadi satu kesatuan kawasan di tahun depan,” terang Fabby.

Hal ini menjadi penting, lantaran industri ekstraktif memiliki peran penting terhadap negara-negara anggota ASEAN. Sebagian besar negara anggota ASEAN, industri ekstraktif memiliki kontribusi besar terhadap penerimaan negara.

“Kita tahu bahwa sumber daya industri ekstraktif memiliki peran penting dalam ASEAN. Negara anggota ASEAN, sumber daya minerba memiliki kontribusi besar. Contohnya Malaysia pendapatan migasnya 50% masuk ke dalam penerimaan negara,” pungkas dia.

Sumber: sindonews.com.

Internasional Seminar Kerangka Kerja Tata Pemerintahan yang Baik untuk Industri Ekstraktif di ASEAN

Jakarta, 3 September 2014. Pada tanggal 20 Agustus 2014, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) membuka Seminar Internasional yang membahas tentang tata pemerintahan yang baik untuk industri ekstraktif di kawasan Asia Tenggara.

Seminar yang dihadiri oleh lebih dari 80 peserta yang mewakili pemerintah, dunia usaha, akademisi dan kelompok masyarakat sipil di Indonesia, Malaysia, Filipina, Kamboja dan Timor Leste ini menyepakati bahwa tata pemerintahan yang baik untuk pengelolaan minyak, gas dan mineral merupakan kunci untuk memastikan bahwa sumber daya alam di kawasa ini akan membawa kesejahteraan masyarakat.

fabby1“Sebagian negara-negara kaya sumber daya alam yang tergabung dalam Asosiasi Bangsa-Bangsa di Asia Tenggara atau ASEAN, seperti Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam memang mampu menghindar dari fenomena kutukan sumber daya alam, karena pendapatan dari sumber daya tersebut bisa dikelola untuk mendorong pertumbuhan dan diversifikasi ekonomi” ujar Fabby.

Namun demikian, negara-negara tersebut masih menghadapi sejumlah tantangan seperti praktek korupsi, kerusakan lingkungan serta votalitas harga komoditas yang sulit untuk diprediksi.

Itu sebabnya, menurut Fabby, para pemimpin di ASEAN perlu menyiapkan sebuah kerangka kerja regional mengenai tata pemerintahan yang baik di sektor industri ektraktif. Kerangka kerja ini dimaksudkan untuk menjadi standar kebijakan dalam pengelolaan industri ektraktif, tranparan dan akuntabel, sekaligus membangun media dialog dan kepercayaan antara pihak-pihak yang berkepentingan.

“Kerangka kerja ini dibutuhkan karena mulai tahun 2015 ASEAN akan berkembang kawasan ekonomi terpadu dan terintegrasi dengan tatanan ekonomi global”

Kepala Unit Kerja Presiden Bidang pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP-PPP), Dr. Kuntoro Mangkusubroto, juga menjelaskan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan kini menjadi isu strategis tatanan global, dan salah satu faktor yang mendorong tersebut adalah pemerintah yang terbuka.

“Indonesia dan Filipina merupakan dua negara ASEAN yang aktif untuk mendorong terbentuknya gerakan Open Government Partnership (OGP). Dan bersama dengan Amerika Serikat kedua negara ini mendorong gerakan ini ke tingkat kawasan dan dunia.

Sementara Profesor Budi Resosudarmo dari Australian National University, mengungkapkan meskipun pertambangan merupakan sektor yang penting bagi ekonomi negara-negara di ASEAN, namun analisa ekonomi dampak pertambangan masih sulit untuk dilakukan.

pic2“Tidak jelasnya kebijakan pertambangan yang diterapkan pemerintah di negara ASEAN menjadi salah satu tantangan dalam melakukan analisa dampak pertambangan di kawasan ini. Selain itu, sistem yang tidak transparan dan akuntabel mulai dari tahap perencanaan, seperti pemberian ijin dan kontrak, hingga pengelolaan pendapatan dan kegiatan pasca tambang, menyebabkan banyak permasalahan yang terjadi di sektor ini” ujar Budi.

Negara-negara di ASEAN bahkan tidak memiliki data yang jelas berapa sebetulnya jumlah cadangan pertambangan yang masih mereka miliki.

Di tahun 2013, Revenue Watch Institute mengeluarkan index mengenai pengelolaan sumber daya alam, dan hampir sebagian besar negara-negara ASEAN masuk dalam kategori lemah yang ditandai dengan buruknya sistem pelaporan, lemahnya institusi dan penegakan hukum dan penerapkan standar global pengelolaan sumber daya alam.

Meski demikian, kesadaran untuk memperbaiki pengelolaan sektor yang strategis ini juga sudah mulai tumbuh di sejumlah negara ASEAN. Indonesia, Filipina dan Myanmar merupakan negara kandidat EITI (Extractive Industry Transparency Inisiative), sebuah standar global mengenai transparansi pendapatan dari sektor minyak, gas dan mineral.

Di Filipina, bahkan EITI telah diterapkan diseluruh rantai nilai proses esktraksi mulai dari keputusan untuk mengesktraksi hingga pengelolaan pendapatannya.

“Transparansi merupakan kata kuncinya, sebab di Filipina pertambangan hanya menyumbang kurang dari 2% dari GDP, sementara kerusakan lingkungan dan konflik sosial yang terjadi akibat pertambangan sudah sedemikian buruknya.” Ujar Danileen Kristel Parel analis dari Philippines Institute for Development Studies

Sementara di Myanmar, EITI digunakan sebagai media dialog antara pihak pemerintah, kelompok bisnis dan masyarakat sipil, termasuk dialog dengan kelompok minoritas yang berada di wilayah pertambangan.

Di Thailand, seperti belum menerapkan EITI sejak tahun 1992 negara gajah putih ini telah menerapkan Environmental Impact Assessment (EIA) yang menilai kelayakan aspek lingkungan ekonomi dan sosial sebelum dan sesudah kegiatan industri pertambangan.

“Konsultasi dengan masyarakat wilayah pertambangan merupakan proses yang paling penting dalam kegiatan EIA dan harus dilakukan melalui beberapa tahap sebelum kegiatan pertambangan dilakukan “ jelas Prof. Chakkaphan Sutthirat dari Universitas Chulalangkorn.

Seminar ini juga membahas tentang pertambangan rakyat dan posisi kelompok masyarakat adat yang selama ini terbaikan dalam pembahasan tentang pengelolaan pertambangan.

Seperti yang diungkapkan oleh Prof. Iskandar Zulkarnain dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, meskipun pemerintah telah mengakui keberadaan tambang rakyat namun pengawasan terhadap kegiatan ini masih sangat lemah, pertambangan ini juga tidak memberikan pendapatan bagi negara namun dampak yang ditimbulkan seperti kerusakan lingkungan dan konflik sosial tetap sama.

Di ASEAN, keberadaan masyarakat adat mencapai 20% dari total komunitas masyarakat adat dunia. Namun baru Filipina yang mengakui keberadaan masyarakat adat dan menerapkan prinsip Free Prior Informed Consent (FPIC) untuk kegiatan pertambangan” jelas Andy Whitmore dari PIPLinks.

Seminar ini juga menghadarikan Prof. Reiji dari Tokyo Univesity yang memaparkan kebijakan pemerintah Jepang dalam menerapkan prinsip 3E+1S dalam pengelolaan pertambangan yaitu Economy, Energy, Environmen dan Safety.

pic3“Sebagai negara industri yang bergantung pada pasokan sumber daya, Pemerintah Jepang sangat serius dalam mengelola pertambangan dengan menyiapkan berbagai kebijakan yang saling terintegrasi antara kebijakan ekonomi, keuangan, cadangan sumber daya serta audit bagi perusahaan-perusahaan yang mengelola pertambangan. Pemerintah juga bersikap transparan kepada masyarakat atau pihak-pihak yang memiliki kepeduliaan terhadap isu ini.” jelasnya.

Jepang, ujarnya lagi juga terus mendorong keterbukaan untuk perdagangan dan investasi dan pembangunan yang berkelanjutan di tingkat global.

Dalam kesempatan ini, Institute for Essential Services Reform (IESR) dan ASEAN Study Center, Universitas Indonesia juga sempat meluncurkan buku “Governance on Extractive Industry: Assessing National Experiences to Inform Regional Coorporation in Southeast Asia”. Buku ini berisi sejumlah pengalaman praktis pengelolaan industri ekstraktif di negara kaya seperti Indonesia, Malaysia, Filipina dan Vietnam.

Untuk bahan presentasi seminar dapat diunduh dibawah ini

  1. Artisanal Mining Issues in Indonesia; Lessons Learned for ASEAN
  2. ASEAN Framework on EI
  3. Developing a standard for Managing Natural Resources
  4. Political Economy on Natural Resources
  5. Mining Industry in Thailand
  6. Extractive Industry in Japan
  7. Improving EI Governance at sub national level
  8. Benefiting Applying FPIC
  9. Security and Human Rights_BP

Pertambangan Tumpang Pitu Tak Berhak Dikuasai Perusahaan Asing

TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA–Klaim salah satu perusahaan asing atas 80 persen kepemilikan PT IMN (melalui klaim 80% economic interest) untuk mengelola tambang emas Tumpang Pitu, Banyuwangi, dinilai tidak berdasar.

Pengamat Energi Fabby Tumiwa menilai konflik usaha di Tambang Emas Banyuwangi yang diangkat salah satu perusahaan asing itu berawal dari dugaan pelanggaran atas regulasi kebijakan Pertambangan Indonesia.

Pernyataan ini makin menguatkan pernyataan senada yang sebelumnya dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menyoal gugatan Intrepid ke Pemkab Banyuwangi.

“Sesuai UU No. 11/1967 perusahaan asing tidak dapat memiliki Kuasa Pertambangan (KP). Oleh karena itu dapat diinterpretasikan,adanya suntikan modal pada aktivitas eksplorasi IMN di Tujuh Bukit. Tidak berarti tindakan tersebut secara legal-formal memengaruhi kepemilikan KP yang pada awalnya dimiliki oleh PT IMN,” ujarnya dalam rilisnya kepada Tribun Rabu (16/4/2013).

“Perjanjian JV antara PT IMN dan Intrepid mengarah pada perjanjian

Kami Berduka!

Segenap staf dan pengurus Institute for Essential Services Reform (IESR) menyampaikan duka cita yang sedalam-dalamnya atas jatuhnya para korban, baik tewas dan terluka di Pelabuhan Sape, Bima akibat penembakan dan aksi brutal aparat kepolisian.

Kami juga berduka terhadap rakyat yang menjadi korban praktek-praktek kekerasan aparat keamanan dan para centeng partikelir perusahaan pertambangan dan perkebunan di seluruh Indonesia.

Berbagai insiden kekerasan dan pelanggaran hak-hak asasi manusia yang berkaitan dengan aktivitas pertambangan dan perkebunan yang semakin tinggi intensitasnya belakangan ini, seharusnya membuat para penyelenggara negara meninjau kembali orientasi ekonomi dan investasi serta kebijakan di kedua sektor ini.

IESR juga berpandangan sudah saatnya penyelenggara negara mengembangkan sebuah kerangka kebijakan yang terintegrasi di sektor pertambangan dan perkebunan di Indonesia yang meliputi sejumlah pilar: perlindungan hak-hak asasi manusia, hak penghidupan yang layak bagi penduduk lokal dan masyarakat adat, mitigasi dampak sosial dan lingkungan, mekanisme penyelesaian konflik dan kompensasi, pengumpulan dan pengelolaan pendapatan dari industri pertambangan dan perkebunan, mekanisme pengawasan dan kepatutan, dan sebagainya.

Untuk itu, IESR mendesak penyelenggara negara (pemerintah dan DPR) untuk melaksanakan evaluasi menyeluruh terhadap operasi proyek pertambangan dan perkebunan yang sudah berjalan, serta menetapkan moratorium ijin pertambangan dan perkebunan baru sampai seluruh proses evaluasi dan kerangka kebijakan yang terintegrasi selesai dilakukan.

Setoran Royalti 129 Perusahaan Industri Ekstraktif Diperiksa

JAKARTA: EITI Indonesia saat ini sedang memeriksa 129 perusahaan di sektor industri ekstraktif terkait jumlah pendapatan negara dari pembayaran pajak dan bukan pajak yang sudah mereka setorkan ke negara.

Ketua Tim Formatur Extractive Industries Transparency Initiatives (EITI) Indonesia Erry Riyana Hardjapamekas mengatakan 129 perusahaan itu terdiri dari perusahaan migas, mineral dan batu bara.

“Sebanyak 129 perusahaan sudah pasti kita periksa. EITI mensyaratkan laporan yang kita periksa harus yang sudah diaudit oleh BPK, jadi kita periksa yang laporan tahun 2009,” ujarnya di sela-sela acara media briefing hari ini.

Erry menjelaskan perusahaan mineral dan batu bara yang diperiksa adalah mereka yang menyetor royalti di atas US$1 juta pada 2009. Sementara itu, kontraktor migas yang diperiksa adalah mereka yang menyetor PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) di atas US$10 juta pada 2009.

Sebelumnya, tim yang dipimpin Erry telah mendistribusikan template laporan kepada seluruh 129 perusahaan itu untuk selanjutnya diisi oleh mereka. “Di sisi lain, pemerintah juga melaporkan berapa jumlah pendapatan yang mereka kumpulkan. Kalau ada perbedaan antara laporan perusahaan dan pemerintah, nanti akan direkonsiliasi oleh kantor akuntan publik yang belum kami pilih, ini sedang dicari. Hasilnya mudah-mudahan pada April 2013 bisa kami publikasikan,” ujar Erry.

Namun, jika perusahaan di sektor industri ekstraktif tersebut tidak melaporkan jumlah pendapatan negara, Erry mengatakan mereka tidak akan dikenakan sangsi sesuai dengan Perpres No.26 Tahun 2010 tentang Transparansi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah yang diperoleh dari industri ekstraktif.

“Di Perpres-nya memang tidak ada sangsi. Saya kira kalau mereka tidak lapor paling malu saja. Lalu ini selanjutnya layak untuk diteliti oleh penegak hukum, mengapa mereka tidak mau melaporkan,” jelasnya.

EITI atau Inisiatif Transparansi untuk Industri Ekstraktif merupakan sebuah inisiatif global untuk transparansi pendapatan migas, mineral dan batu bara. Erry mengatakan EITI sudah diimplementasikan di 35 negara, termasuk Indonesia. Pada Oktober 2010, Indonesia resmi diterima sebagai satu-satunya kandidat EITI di antara seluruh negara anggota ASEAN lainnya.

Sebagai kandidat EITI, Indonesia memiliki waktu dua tahun, yakni hingga Oktober 2012, untuk mempersiapkan diri melengkapi persyaratan dan kriteria negara yang mengimplementasikan EITI secara penuh (compliant).

Harapannya dengan implementasi EITI ini, Indonesia yang kaya akan sumber daya alam bisa lebih memonitor pendapatan pemerintah pusat dan daerah yang sudah dibayarkan oleh perusahaan industri ekstraktif. Selain itu, EITI juga diharapkan bisa membantu meningkatkan iklim investasi di Indonesia.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan Indonesia sebagai Ketua ASEAN tahun ini perlu mendukung implementasi EITI di kawasan ini. Hal ini disebabkan negara-negara ASEAN sesungguhnya kaya dengan hidrokarbon namun pengelolaannya belum transparan.

Fabby mengatakan berdasarkan survey yang dilakukan US Geological Survey 2010, masih ada 21,6 miliar barel minyak dan 299 triliun kaki kubik gas yang belum ditemukan di 23 provinsi geologis di kawasan Asia Tenggara. Hidrokarbon setidaknya merupakan sumber penerimaan negara yang utama bagi lima negara di kawasan ini, yakni Brunei, Malaysia, Indonesia, Myanmar dan Kamboja.

Di Indonesia, sektor migas masih menyumbang penerimaan negara sebesar 30% dari APBN sementara Brunei mengandalkan 85% pendapatan negara dari sektor migas. “Pada 2020, kontribusi hidrokarbon diperkirakan sekitar 40-50% dari pendapatan negara Kamboja,” ujar Fabby.

Sayangnya, pengelolaan hidrokarbon belum optimal akibat dari tingginya tingkat korupsi di kawasan ini. Hal ini juga ikut membuat iklim investasi di sektor industri ekstraktif menjadi tidak menarik. “Korupsi masih sangat sistemik di kawasan ini. Menurut kami, tata kelola industri ekstraktif menjadi sangat penting dalam konteks ASEAN, agar bagaimana sumber daya alam bisa ditranslasikan untuk kemakmuran komunitas ASEAN pada 2015 nanti,” jelasnya.(mmh)

Sumber: Bisnis.com.

Transparansi SDA Disiapkan

JAKARTA– Extractive Industry Transparancy Initiative (EITI) mendorong Pemerintah Indonesia dan negaranegara kaya sumber daya alam (SDA) di kawasan Asia Tenggara untuk menerapkan standar pelaporan pengelolaan SDA yang lebih transparan.

Pengelolaan SDA membutuhkan standar internasional terkait pelaporan bagi perusahaan atas pembayaran yang dilakukan kepada pemerintah dan bagi hasil pemerintah atas penerimaan pendapatan. Sejauh ini belum ada transparansi pelaporan pengelolaan SDA oleh industri ekstraktif (minyak, gas alam,dan mineral) di sembilan negara ASEAN.

”Model, format pelaporan pengelolaan SDA melibatkan multipihak. Pemerintah dan industri ekstraktif bersama tim pelaksana. Ada sekitar 20 standar yang dipergunakan,” ungkap tim formatur EITI Chandra Kirana di sela-sela lokakarya regional bertajuk ”Security Asean Energy Supply: Learn From Best Practices Policy Framework and Global Standard to Improve Investment Climate” di Jakarta kemarin.

Transparansi mutlak dibutuhkan dalam pengelolaan SDA. Alasannya,di masa depan tantangan sembilan negara kaya SDA di ASEAN,termasuk Indonesia, sama besarnya.Kebutuhan dan permintaan energi dunia yang semakin besar, diperkirakan akan mendorong pengalian secara besar-besaran tanpa memperhitungkan dampak lain.

Negara-negara penghasil SDA akan berlombalomba menggali serta mengekspor SDA dalam jumlah besar dan dikhawatirkan tidak terpantau transparansinya. Padahal, kata dia, hasil pengolahan SDA bisa dimanfaatkan maksimal untuk mendukung pembangunan di sektor lain.

EITI juga mendorong mulai dilakukannya investigasi terkait pengolahan hasil SDA. ”Investigasi terkait kerugian negara dalam pertambangan karena masih ada gap antara laporan ekspor dan impor hasil SDA misalnya dari Indonesia ke China dan sebaliknya karena supplier legal maupun ilegal,”jelasnya.

Selain itu,selama ini masyarakat di daerah penghasil SDA tidak mengetahui secara jelas seberapa besar penghasilan dari industri ekstraktif atau pengolah SDA yang diserahkan ke negara dan dana bagi hasil (DBH) yang diberikan pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

Dengan transparansi ini, pemerintah berkewajiban memberikan informasi sejelasjelasnya mengenai pelaporan pengolahan SDA. Pengamat kelistrikan yang juga tim formatur EITI Fabby Tumiwa menambahkan, kesepakatan awal mengenai upaya transparansi pelaporan pengolahan SDA diharapkan akan menghasilkan satu rekomendasi bersama untuk bisa diimplementasikan.

Menurutnya, hal ini menjadi penting untuk diterapkan. ”Selama ini bicara industri ekstraktif tidak menyentuh aspek nonteknis seperti pelaporan, padahal dengan penerapan transparansi sesuai dengan good governance secara tidak langsung akan menarik minat investasi,”kata Fabby.

EITI menemukan, di ASEAN banyak perusahaan ekstraktif yang beroperasi tanpa pengawasan pemerintah sehingga investor yang beroperasi tidak kredibel. Investor lebih banyak tertarik ke Australia, Amerika Serikat, atau Kanada lantaran negaranegara tersebut memiliki aturan ketat.

Aturan yang mampu meyakinkan investor bahwa risiko investasi pertambangan semakin kecil dengan transparansi dan pengelolaan yang akuntabel. Deputi Menko Perekonomian bidang Energi dan Mineral Wimpy S Tjetjep mengapresiasi komitmen negara-negara di ASEAN untuk menerapkan standar internasional yang transparan untuk pengolahan SDA.

Dia mengklaim,pemerintah berkomitmen menerapkan transparansi laporan, masalah akuntabilitas perusahaan, pendapatan negara, dan hal lain terkait pengolahan SDA. ”Akan meningkatkan iklim investasi tidak mungkin tidak. Tidak ada satu pun company yang tidak suka dengan transparansi,” tegas Wimpy. wisnoe moerti

sumber: seputar-indonesia.com.

Cegah Dicurangi Pemerintah Harus Investigasi Pengelolaan SDA

JAKARTA – Agar tidak terjadi dispute pada perusahaan tambang yang sangat merugikan negara, Extractive Industry Transparancy Initiative (EITI) mendorong pemerintah mulai memberlakukan investigasi terkait pengolahan hasil sumber daya alam (SDA).

“Investigasi terkait kerugian negara dalam pertambangan karena masih ada gap antara laporan ekspor dan impor hasil SDA misalnya dari Indonesia ke China dan sebaliknya karena supplier legal maupun illegal,” ujar Tim Formatur EITI Chandra Kirana pada workshop bertajuk‘Security Asean Energy Supply: Learn From Best Practices Policy Framework and Global Standard to Improve Investment Climate’ di Hotel Borobudur, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta, Selasa (9/8/2011).

Menurut dia, selama ini masyarakat di daerah penghasil SDA tidak mengetahui secara jelas seberapa besar penghasilan dari industri ekstraktif atau pengolah SDA yang diserahkan ke negara dan dana bagi hasil (DBH) yang diberikan pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

Oleh sebab itu, dia berharap dengan adanya investigasi terkait pengolahan SDA maka akan terjadi transparansi, implikasinya, pemerintah berkewajiban memberikan informasi sejelas-jelasnya mengenai pelaporan pengolahan SDA.

Ditemui di kesempatan yang sama, pengamat kelistrikan yang juga tim formatur EITI, Fabby Tumiwa menambahkan, kesepakatan awal mengenai upaya transparansi pelaporan pengolahan SDA, diharapkan akan menghasilkan satu rekomendasi bersama untuk bisa diimplementasikan. Menurutnya, hal ini menjadi penting untuk diterapkan.

“Selama ini bicara industri ekstraktif tidak menyentuh aspek non teknis seperti pelaporan, padahal dengan penerapan transparansi sesuai dengan good governance, secara tidak langsung akan menarik minat investasi juga,” kata Fabby.

Selain itu, dari kajiannya, EITI menemukan kurangnya transparansi masih menjadi tren di ASEAN. Menurutnya, banyak perusahaan ekstraktif yang beroperasi tanpa pengawasan pemerintah, sehingga investor yang beroperasi tidak kredibel.

Investor lebih banyak tertarik ke Australia, Amerika Serikat, atau Kanada lantaran negara-negara tersebut memiliki aturan ketat. Aturan yang mampu meyakinkan investor bahwa risiko investasi pertambangan semakin kecil dengan transparansi dan pengelolaan yang akuntabel.
(wdi)

sumber: okezone.com.