IEVO 2023: Meninjau Ekosistem Kendaraan Listrik Indonesia

Jakarta, 21 Februari 2023 – Sektor transportasi menyumbang hampir seperempat dari emisi sektor energi pada tahun 2021. Emisi sektor transportasi ini sebagian besar datang dari pembakaran bahan bakar yang 52% nya berasal dari impor BBM. Mengingat target pemerintah Indonesia untuk mencapai status net-zero emissions pada 2060 atau lebih cepat, dekarbonisasi sektor transportasi penting untuk dilakukan.

Mengadaptasi pendekatan ASI yaitu Avoid – Shift – Improve, Institute for Essential Services Reform (IESR) menilik salah satu strategi dekarbonisasi sektor transportasi yakni kendaraan listrik. Disampaikan oleh Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam peluncuran laporan Indonesia Electric Vehicle Outlook 2023, bahwa secara jumlah kendaraan listrik di Indonesia terus bertambah dalam 5 tahun terakhir, namun secara pangsa pasar masih rendah.

“Walau demikian, pangsa pasar kendaraan listrik hanya 1% dari penjualan keseluruhan kendaraan di Indonesia per tahunnya. Beberapa faktor masih membuat calon pembeli enggan seperti harga awal yang masih tinggi, dan ekosistem pendukung seperti stasiun pengisian yang masih terbatas jumlahnya,” jelas Fabby.

Sebagai salah satu ekosistem pendukung kendaraan listrik, stasiun pengisian daya baik itu Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) maupun Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU) memiliki peran penting dalam kecepatan adopsi kendaraan listrik. Secara psikologis, jumlah stasiun pengisian ini mempengaruhi keputusan calon konsumen kendaraan listrik.

“Secara angka, jumlah SPKLU terus bertumbuh sebenarnya. Namun saat ini masih terpusat di Jawa dan Bali. Hanya 12% SPKLU yang berada di luar Jawa – Bali,” jelas Faris Adnan, peneliti Sistem Ketenagalistrikan IESR.

Selain jumlah stasiun pengisian daya, Faris mengutarakan sejumlah hal antara lain tipe pengisian daya yang saat ini banyak yang bertipe pengisian lambat (slow charging). Perlu pemetaan lokasi yang komprehensif untuk menentukan tipe pengisian daya yang dipakai. Kawasan perkantoran dan pusat perbelanjaan di mana orang akan beraktivitas di dalamnya dapat menggunakan medium atau slow charging. Namun untuk tempat-tempat seperti pengisian daya di ruas jalan harus memakai tipe pengisian pengisian cepat (fast charging).

Standarisasi porta pengisian daya (port charging) juga menjadi salah satu bahasan dalam laporan ini. Dijelaskan Faris bahwa saat ini terdapat 3 jenis port charging untuk kendaraan listrik roda empat. Hal ini menjadi salah satu kendala bagi calon investor SPKLU karena kewajiban menyediakan tiga jenis porta ini berimbas pada nilai investasi yang harus dikeluarkan. 

“Jika pemerintah berhasil mengatur standarisasi port charging, maka nilai investasi untuk SPKLU akan lebih menarik,” jelas Faris.

Ilham Fahreza Surya, peneliti Kebijakan Lingkungan IESR, yang juga penulis IEVO 2023 menambahkan bahwa wacana pemerintah untuk memberikan insentif harga kendaraan listrik sebaiknya difokuskan pada transportasi umum, kendaraan angkutan logistik, dan kendaraan roda dua.

“Kami merekomendasikan pemerintah untuk mengutamakan kendaraan roda dua untuk mendapatkan insentif pemotongan harga, juga mengkombinasikan rencana insentif ini dengan aturan TKDN. Jadi yang berhak mendapat insentif adalah motor yang berasal dari produsen yang sudah memenuhi aturan TKDN,” jelas Ilham. 

Dari sisi industri, perakitan kendaraan listrik adalah industri yang paling maju dibandingkan dengan industri komponen pendukung kendaraan listrik. Salah satu yang menjadi sorotan adalah rencana Indonesia untuk melakukan hilirisasi nikel hingga menjadi baterai. 

Pintoko Aji, peneliti Energi Terbarukan IESR melihat bahwa rencana pemerintah Indonesia ini dapat dimanfaatkan oleh industri kendaraan listrik yang berniat membuka pabrik di Indonesia.

“Dengan adanya industri baterai dalam negeri, pabrik kendaraan listrik di dalam negeri dapat menggunakan baterai hasil industri dalam negeri pada kendaraannya sebagai strategi pemenuhan komponen TKDN,” jelas Pintoko.

Dalam diskusi panel menyambung pemaparan laporan Indonesia Energy Transition Outlook 2023, Wildan Fujiansah, Koordinator Kelayakan Teknis Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM menjelaskan bahwa untuk menjawab beberapa isu dalam penyediaan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia pemerintah mengeluarkan Permen ESDM No. 1/2023 yang mengatur salah satunya tentang standarisasi port charging, daya dan dimensi baterai.

“Permen No 1/2023 ini juga mengatur tentang investasi SPKLU yang awalnya harus menyediakan 3 port charging, sekarang cukup 1. Salah satu tujuan aturan ini memang untuk mendorong investasi SPKLU,” jelas Wildan.

Riza, Peneliti Senior Infrastruktur Pengisian Kendaraan Listrik, BRIN menyatakan bahwa dari sisi teknis proses pengisian daya kendaraan listrik bukan sekedar perangkat dengan teknologi tertentu.

“Secara perkembangannya, proses pengisian daya harus sesuai dengan karakteristik baterainya sementara kendaraan listrik terus berkembang,” kata Riza.

Dari sisi pengguna, kendaraan listrik roda dua saat ini banyak digunakan oleh perusahaan ride hailing untuk mitra pengemudinya. Namun untuk meningkatkan kepercayaan diri calon pengguna untuk beralih menggunakan kendaraan listrik, infrastruktur pendukung khususnya stasiun penukaran baterai perlu ditambah jumlahnya.

Rivana Mezaya, Direktur Digital and Sustainability Grab Indonesia menekankan bahwa dari sisi industri pengguna kendaraan listrik dapat menjajaki berbagai upaya untuk kepemilikan unit kendaraan listrik, namun perlu dukungan terkait kesediaan infrastruktur pendukung seperti stasiun penukaran baterai. 

“Kolaborasi dengan berbagai pihak ini akan mendorong masyarakat luas untuk dapat ambil bagian dalam transisi energi di Indonesia,” jelas Meza. 

Selain kolaborasi untuk mewujudkan ekosistem pendukung kendaraan listrik baik dari hulu hingga hilir penyebaran informasi yang komprehensif, mudah diakses dan ditemukan menjadi sangat penting untuk mendorong perubahan perilaku masyarakat. Hal ini diutarakan Indira Darmoyono, Ketua Forum Transportasi Lingkungan dan Energi, Masyarakat Transportasi Indonesia. 

“Praktik baik dari penggunaan kendaraan listrik dan informasi-informasi penting seperti di mana bengkel konversi yang bersertifikat, biaya konversi, insentif dalam berbagai bentuk itu harus dipublikasikan secara luas supaya masyarakat memiliki informasi yang cukup dan tergerak untuk beralih ke kendaraan listrik,” tutup Indira.

Laporan Indonesia Electric Vehicle Outlook adalah salah satu dari laporan utama IESR, dan dapat dibaca melalui Indonesia Electric Vehicle Outlook (IEVO) 2023 – IESR

IESR: Insentif Kendaraan Listrik Perlu Fokus ke Kendaraan Roda Dua dan Elektrifikasi Transportasi Publik

Jakarta, 20 Desember 2022 – Pemerintah berencana untuk memberikan insentif terhadap kendaraan listrik dengan rincian Rp 80 juta untuk pembelian mobil listrik, Rp 40 juta untuk pembelian mobil listrik berbasis hybrid, Rp 8 juta untuk pembelian sepeda motor listrik yang baru, dan Rp 5 juta untuk motor yang dikonversi menjadi motor listrik. Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang pemberian insentif kendaraan listrik lebih baik difokuskan pada pembelian kendaraan listrik roda dua, konversi kendaraan roda dua menjadi kendaraan listrik roda dua dan elektrifikasi transportasi publik. 

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menilai, saat ini belum tepat untuk menggelontorkan insentif dalam pembelian mobil listrik. Beberapa alasan  ia sebutkan dalam acara Pojok Energi: Insentif Jumbo Kendaraan Listrik yang dilaksanakan oleh IESR (19/12), di antaranya  kapasitas fiskal yang terbatas, serta kebutuhan anggaran yang cukup besar bagi aktivitas lain dalam rangka mendukung transisi energi berkeadilan, seperti mengembangkan energi terbarukan dan memastikan kualitas akses listrik di daerah tertinggal. Fabby menuturkan, dengan pertimbangan tersebut, pemerintah seharusnya lebih fokus memberikan insentif terhadap pembelian kendaraan listrik roda dua sehingga meningkatkan permintaan kendaraan listrik dan mencapai target 13 juta motor listrik di 2030.

“Pemberian insentif untuk motor jauh lebih tepat dibandingkan mobil, kita juga mendukung elektrifikasi transportasi umum seperti bus listrik. Apabila hal ini direalisasikan tidak saja mengurangi konsumsi BBM, tetapi juga mengurangi kemacetan dan penurunan emisi,” terang Fabby. 

Fabby menjelaskan pemberian insentif untuk pembelian motor listrik akan menguntungkan bagi masyarakat menengah ke bawah yang menggunakan motor tidak hanya sebagai sarana transportasi, melainkan juga salah satu sumber mata pencaharian terutama di daerah perkotaan. 

Sementara, insentif terhadap pengadaan bus hingga angkutan kecil di perkotaan berbasis listrik akan mendukung terciptanya transportasi publik rendah emisi. Peneliti Muda Sistem Ketenagalistrikan dan Sumber Daya Energi Terdistribusi IESR, Faris Adnan berpendapat Pemerintah Indonesia dapat berkaca dari pengalaman  India yang memberikan insentif kendaraan listrik melalui skema The Faster Adoption and Manufacturing of Electric Vehicles (FAME). Di dalam skema tersebut, insentif bus lebih besar dibandingkan mobil pribadi.

“Apabila kita membahas mobilitas di perkotaan (urban mobility), terdapat kerangka Avoid (hindari), Shift (alihkan), Improve (tingkatkan). Dengan framework (kerangka) tersebut, selain menggunakan kendaraan listrik untuk kendaraan pribadi, pemerintah dapat membangun transit oriented city (kota yang ramah pejalan kaki dan transportasi publik) dan menggunakan transportasi umum berbasis listrik. Dari pengalaman yang sudah ada, dengan hanya menggunakan framework avoid dan shift tersebut bisa menurunkan emisi antara 40-60%. Untuk itu, transportasi umum perlu disubsidi,” ujar Faris. 

Selain itu, IESR mendukung pemerintah apabila penyaluran insentif dilakukan untuk proses konversi dari motor konvensional menjadi motor listrik. Proses konversi terutama perlu dilakukan pada kendaraan berusia 6-7 tahun dengan kondisi badan motor yang bagus sehingga yang perlu diganti hanya mesinnya dan pemasangan baterai. Dengan asumsi motor yang dikonversi adalah yang sudah melewati usia 10 tahun, diperkirakan ada 6 juta motor per tahun yang siap di konversi.

Berdasarkan survei yang dilakukan IESR, kata Faris, tarif konversi kendaraan listrik roda dua termurah ada di angka Rp10 juta dan termahal Rp30 juta dengan kisaran rata-rata di rentang Rp15 juta-Rp23 juta. Survei IESR juga menunjukkan keinginan untuk membayar (willingness to pay) masyarakat Indonesia untuk mengonversi kendaraan konvensional menjadi motor listrik ada di kisaran Rp5 juta- Rp8 juta per unit. Untuk itu, pemerintah harus memikirkan skema tambahan untuk membuat konversi motor listrik menjadi lebih murah.

“Dengan adanya insentif, anggaplah kita bisa memangkas Rp5 juta sehingga harga rata-rata konversi kendaraan listrik dari Rp15 juta-23 juta menjadi di rentang Rp 10 juta-Rp 18 juta untuk motor listrik tanpa menggunakan sistem penggantian baterai. Jika pada sistem dengan baterai maka harganya dapat dikurangi lagi sebesar Rp 6 juta -R p8 juta. Dengan begitu, harga konversi motor listrik dengan sistem baterai bisa menjadi Rp4 juta-Rp10 juta yang berarti sudah masuk dalam angka willingnes to pay masyarakat, ” tegas Faris.***