ISFO 2023: Peluang Pembiayaan Non Publik untuk Transisi Energi

press release

Jakarta, 18 Oktober 2022- Indonesia membutuhkan pembiayaan yang signifikan untuk mencapai target nir emisi pada 2050 sesuai Persetujuan Paris. Institute for Essential Services Reform (IESR) melalui laporan terbarunya, Indonesia Sustainable Finance 2023 mengkaji bahwa selain mengoptimalisasi pembiayaan publik, pemerintah Indonesia juga perlu segera memobilisasi investasi non-pemerintah dengan menetapkan kebijakan, regulasi, dan ekosistem investasi yang menarik.  

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR pada peluncuran laporan terbaru IESR, Indonesia Sustainable Finance (ISFO) 2023 (17/10) mengungkapkan pemerintah Indonesia perlu melakukan  upaya yang transformatif dan masif untuk  melakukan dekarbonisasi secara menyeluruh pada sistem energi dengan menghimpun dana dengan total sekitar USD 1,2 triliun pada 2050. Berdasarkan kajian IESR & Universitas Maryland, biaya pengakhiran 9,2 GW PLTU pada periode 2022-2030 membutuhkan sekitar USD 4,6 milyar. Selain itu, pensiun dini seluruh PLTU pada 2045 dengan usia rata-rata 20 tahun memerlukan USD 28 miliar untuk kompensasi aset terbengkalai (stranded asset) dan biaya decommissioning (penutupan) pembangkit. 

Menurutnya, upaya pengakhiran masa operasional PLTU harus dibarengi dengan peningkatan penambahan pembangkit energi terbarukan, penguatan jaringan transmisi dan distribusi dan efisiensi energi secara besar-besaran. 

“Pada periode 2022 – 2023 saja dibutuhkan USD 135 miliar untuk pensiun PLTU, penambahan energi terbarukan, pengembangan transmisi dan distribusi, energy storage, dan efisiensi energi,,” jelasnya. 

Sementara, berdasarkan temuan ISFO 2023, porsi anggaran pemerintah hanya akan mampu mengalokasikan 0,83% dari total kebutuhan pembiayaan untuk mencapai target 23% bauran energi terbarukan pada tahun 2025, apabila mengacu pada rata-rata alokasi anggaran mitigasi perubahan iklim Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM pada tahun 2018-2020 sebesar USD 67 juta per-tahun.

Farah Vianda, salah satu Penulis ISFO 2023 mengungkapkan tren yang sama juga berlangsung ke tingkat provinsi. Ia mencontohkan Jawa Tengah sebagai salah satu provinsi yang paling banyak mendukung pengembangan energi terbarukan, namun keterbatasan fiskal membuat Jawa Tengah hanya mengalokasikan lebih rendah dari 0,1% dari total APBD yang tersedia. 

“Hal ini menjadi dorongan bagi pemerintah daerah untuk mencari pembiayaan di luar APBD. Upaya yang sama juga perlu dilakukan oleh Pemerintah Indonesia yakni dengan memperluas sumber pendanaan untuk menarik investasi di sektor energi terbarukan,” tandasnya.

Selain itu, ia juga menjelaskan sejauh ini alokasi APBN masih terkonsentrasi untuk mendukung aktivitas energi fosil, diantaranya dengan membelanjakan 5% dari APBN sepanjang tahun 2021 untuk kebutuhan subsidi energi fosil, dan 20,8% subsidi dari APBN apabila proyeksi Kementerian Keuangan terkait kebutuhan subsidi energi sebesar Rp649 triliun di tahun 2022 terealisasikan. Tidak hanya itu, ketergantungan Indonesia pada batubara akan menjadi salah satu tantangan dalam menerapkan instrumen keuangan campuran (blended finance) Mekanisme Transisi Energi (Energy Transition Mechanism).

“Saat ini Indonesia sedang mengalami kelebihan pasokan listrik yang membuat PLN enggan membangun pembangkit energi terbarukan. Sementara di sisi lain, investor dalam platform ETM ini justru ingin mendorong pengembangan energi terbarukan,” jelas Farah.

Menyoal pembiayaan transisi energi melalui pajak karbon, Ichsan Hafiz Loeksmanto, Penulis Utama ISFO 2023, memaparkan meski sudah merencanakan untuk menerapkan pajak karbon, dan mekanisme cap & trade (batasi dan dagangkan) pada 92 unit PLTU batubara pada 2022, namun penerimaan pajak karbon tersebut bersifat tidak earmarked. Artinya, penggunaan penerimaan pajak karbon belum dikhususkan untuk pembiayaan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.. 

“Pemerintah perlu memastikan alokasi pendapatan pajak karbon untuk mitigasi & adaptasi iklim, dan jaring pengaman sosial. Selain itu, perlu pula transparansi publik mengenai pembayaran pajak karbon dan transaksi karbon,” ujar Ichsan.

Menyoroti dukungan internasional, berdasarkan hitungan IESR dalam ISFO 2023 terdapat potensi pendanaan dari internasional sebesar USD 13,1 miliar atau 35,4% dari total proyeksi kebutuhan pembiayaan sebesar USD 36.95 miliar pada tahun 2025.

“Janji yang disuarakan oleh sembilan negara untuk mendukung transisi energi di Indonesia melalui berbagai instrumen pembiayaan dan dukungan teknis cukup menjadi sinyal positif dari dunia internasional terkait transisi energi di Indonesia,” jelas Ichsan.

Salah satu pembiayaan yang dapat didorong dari sektor swasta adalah dari lembaga keuangan Indonesia, dengan meningkatnya desakan publik untuk mengalihkan pembiayaan ke energi bersih. Namun hingga 2021, lembaga keuangan terutama bank umum domestik di Indonesia hanya membiayai proyek energi terbarukan secara terbatas. ISFO 2023 mencatat pembiayaan energi terbarukan hanya menyumbang 0,9%-5,5% dari total portofolio berkelanjutan empat bank umum domestik dengan total nilai aset tertinggi pada tahun 2021 yakni Bank Mandiri, BNI, BRI, BCA.

“Agar alokasi kredit energi terbarukan dari sektor perbankan dapat meningkat maka pemerintah perlu menyiapkan pedoman yang komprehensif untuk mendorong alokasi kredit untuk energi terbarukan, meningkatkan peluang kredit usaha dari bank (bankability) proyek energi terbarukan, dan meningkatkan kesadaran, dan kepercayaan investor domestik untuk berinvestasi di energi terbarukan,” jelasnya. 

Selain mekanisme pajak karbon, dukungan lembaga keuangan di Indonesia, pembiayaan internasional, ISFO 2023 juga membahas taksonomi hijau, obligasi hijau, dan sukuk hijau sebagai bagian dari peluang menarik pembiayaan transisi energi di Indonesia.

Laporan Indonesia Sustainable Finance 2023 merupakan laporan utama IESR yang diluncurkan perdana pada 2022. Sejak 2018, IESR secara konsisten telah melaporkan perkembangan transisi energi di Indonesia melalui laporan Indonesia Clean Energy Outlook dari 2017 hingga 2019, yang kemudian bertransformasi menjadi Indonesia Energy Transition Outlook pada 2020. Laporan ISFO 2023 dapat diunduh pada s.id/ISFO2023.

 

Peluncuran dan Diskusi Laporan: Indonesia Sustainable Finance Outlook 2023

Siaran Tunda


Laporan IPCC WG1 terbaru menyatakan bahwa kenaikan suhu rata-rata bumi telah mencapai 1,10C. Anggaran karbon untuk membatasi kenaikan suhu di bawah 1,5 0C hanya 500 Gt CO2 (kemungkinan 50%), yang akan habis dalam dekade berikutnya jika tingkat emisi GRK saat ini (sekitar 48,9 Gt CO2 per tahun) dipertahankan. Peningkatan suhu rata-rata bumi akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa mendatang dan dapat menurunkan PDB Indonesia sebesar 17-40% pada tahun 2048 (jika kenaikan suhu rata-rata bumi mencapai 2,00 C dan 3,20 C). Oleh karena itu, upaya dekarbonisasi untuk membatasi peningkatan suhu rata-rata bumi di bawah 1,50C adalah satu-satunya pilihan bagi dunia dan Indonesia untuk memastikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Pendanaan merupakan salah satu masalah yang dihadapi oleh banyak negara berkembang, di mana mereka harus terus berkembang tetapi di sisi lain mereka diminta untuk mengurangi emisinya, tidak terkecuali Indonesia. Indonesia membutuhkan setidaknya Rp 3.779 triliun secara kumulatif dari 2020-2030 atau Rp 343,6 triliun per tahun untuk aksi mitigasi dalam mencapai target NDC pada 2030. Sementara itu, pemerintah hanya mengalokasikan sekitar 4,1% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau sekitar Rp . 112,74 triliun untuk mengatasi perubahan iklim, baik mitigasi, maupun adaptasi. Adanya kendala keuangan dari pemerintah menjadi tantangan bagi Indonesia untuk mencari sumber pendanaan lain yang inovatif untuk mendorong transisi hijau.

Sejalan dengan itu, sektor keuangan, perbankan, dan bisnis Indonesia mulai mempertimbangkan aspek keberlanjutan dalam proses bisnisnya. Untuk mendukung kebijakan keuangan berkelanjutan yang komprehensif, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap II dengan mengarahkan industri jasa keuangan yang menjadi kewenangan OJK dan arahan kepada Kementerian/Lembaga untuk mengembangkan inisiatif pembiayaan dalam proyek-proyek hijau dan berkelanjutan. . Selain itu, meningkatnya kecenderungan investor asing untuk berinvestasi di sektor hijau merupakan peluang bagi Indonesia untuk mengembangkan ekonomi hijau.

Keterlibatan sektor keuangan, sektor swasta, filantropi, dan lembaga multilateral dalam memenuhi target pembiayaan iklim sangat penting dalam mencapai target pembiayaan iklim, misalnya, dengan mengembangkan mekanisme keuangan campuran seperti Platform Negara Mekanisme Transisi Energi Indonesia (ETM) serta mekanisme keuangan campuran yang ada seperti platform SDG Indonesia One. Indonesia telah menerbitkan beberapa instrumen pembiayaan hijau, termasuk obligasi hijau dan sukuk hijau. Selain itu, penetapan kebijakan penetapan harga karbon terdiri dari pajak karbon dan perdagangan karbon sebagai mekanisme untuk memperoleh sumber pendanaan yang dapat disalurkan untuk mendorong upaya di bidang perubahan iklim, serta membantu membentuk kesadaran pelaku usaha. tentang emisi yang mereka hasilkan.

Indonesia menerima mandat untuk pertama kalinya sebagai presidensi G20, sekelompok beberapa negara yang berkontribusi terhadap 80% ekonomi global dan bertanggung jawab atas 70% emisi gas rumah kaca. Keuangan berkelanjutan telah menjadi isu prioritas dalam mengatasi perubahan iklim dan mengatasi risiko transisi rendah karbon di bawah Kelompok Kerja Keuangan Berkelanjutan (SFWG) melalui jalur keuangan. Sebagai pemegang mandat presiden, Indonesia berpeluang untuk meningkatkan dan mendorong praktik keuangan berkelanjutan melalui SFWG untuk mendukung pencapaian Paris Agreement.
Tahun ini Institute for Essential Services Reform (IESR) akan meluncurkan studi, Indonesia Sustainable Finance Outlook (ISFO) 2023, melalui diskusi yang bertujuan untuk mendapatkan pandangan dan persepsi dari pembuat kebijakan dan pelaku usaha tentang tren yang akan terjadi di tahun mendatang secara hijau. proyek. Acara ini akan fokus pada kerangka keuangan berkelanjutan Indonesia dan pembelajaran pada tahun 2022 untuk mengatasi tantangan yang mendorong transisi energi pada tahun 2023.

Pengenalan Indonesia Sustainable Finance Outlook (ISFO)

Indonesia Sustainable Finance Outlook (ISFO) merupakan seri baru sebagai bagian dari laporan unggulan IESR sejak 2018, Indonesia Energy Transition Outlook (IETO), sebelumnya Indonesia Clean Energy Outlook (ICEO), yang membahas secara rinci status keuangan berkelanjutan yang komprehensif. ISFO edisi pertama mengumpulkan berbagai perspektif dari para pemangku kepentingan dan mengkurasinya dengan studi mendalam untuk memberikan analisis strategis tentang bagaimana transisi energi menuju ekonomi hijau di negara ini melalui dukungan pendanaan berkelanjutan. ISFO juga memuat laporan perkembangan isu keuangan berkelanjutan di G20 sebagai salah satu momentum kepresidenan Indonesia saat ini.

Tujuan:
1. Menginformasikan dan memperkenalkan salah satu laporan unggulan IESR terbaru, Indonesia Sustainable Finance Outlook (ISFO);
2. Mengkaji evaluasi dan kesiapan keuangan berkelanjutan di Indonesia, khususnya di sektor energi dan iklim, dengan pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan;
3. Melakukan kajian dan evaluasi terhadap perkembangan kebijakan berkelanjutan di Indonesia selama tahun 2022 dalam rangka dampak kebijakan dan peraturan pemerintah yang diterbitkan terhadap pemangku kepentingan terkait, serta pandangannya untuk tahun 2023;
4. Memperoleh informasi terkait perkembangan keuangan berkelanjutan di tingkat G20 dan global terkait pendanaan di sektor energi bersih dan iklim.


Publikasi Terkait

 

Unduh


Materi Presentasi

Ichsan Hafi – Penulis Utama ISFO 2023, IESR

Presentation-ISFO-2023-Launching

Unduh