Peluncuran dan Diskusi Laporan: Indonesia Sustainable Finance Outlook 2023
Siaran Tunda
Laporan IPCC WG1 terbaru menyatakan bahwa kenaikan suhu rata-rata bumi telah mencapai 1,10C. Anggaran karbon untuk membatasi kenaikan suhu di bawah 1,5 0C hanya 500 Gt CO2 (kemungkinan 50%), yang akan habis dalam dekade berikutnya jika tingkat emisi GRK saat ini (sekitar 48,9 Gt CO2 per tahun) dipertahankan. Peningkatan suhu rata-rata bumi akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa mendatang dan dapat menurunkan PDB Indonesia sebesar 17-40% pada tahun 2048 (jika kenaikan suhu rata-rata bumi mencapai 2,00 C dan 3,20 C). Oleh karena itu, upaya dekarbonisasi untuk membatasi peningkatan suhu rata-rata bumi di bawah 1,50C adalah satu-satunya pilihan bagi dunia dan Indonesia untuk memastikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Pendanaan merupakan salah satu masalah yang dihadapi oleh banyak negara berkembang, di mana mereka harus terus berkembang tetapi di sisi lain mereka diminta untuk mengurangi emisinya, tidak terkecuali Indonesia. Indonesia membutuhkan setidaknya Rp 3.779 triliun secara kumulatif dari 2020-2030 atau Rp 343,6 triliun per tahun untuk aksi mitigasi dalam mencapai target NDC pada 2030. Sementara itu, pemerintah hanya mengalokasikan sekitar 4,1% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau sekitar Rp . 112,74 triliun untuk mengatasi perubahan iklim, baik mitigasi, maupun adaptasi. Adanya kendala keuangan dari pemerintah menjadi tantangan bagi Indonesia untuk mencari sumber pendanaan lain yang inovatif untuk mendorong transisi hijau.
Sejalan dengan itu, sektor keuangan, perbankan, dan bisnis Indonesia mulai mempertimbangkan aspek keberlanjutan dalam proses bisnisnya. Untuk mendukung kebijakan keuangan berkelanjutan yang komprehensif, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap II dengan mengarahkan industri jasa keuangan yang menjadi kewenangan OJK dan arahan kepada Kementerian/Lembaga untuk mengembangkan inisiatif pembiayaan dalam proyek-proyek hijau dan berkelanjutan. . Selain itu, meningkatnya kecenderungan investor asing untuk berinvestasi di sektor hijau merupakan peluang bagi Indonesia untuk mengembangkan ekonomi hijau.
Keterlibatan sektor keuangan, sektor swasta, filantropi, dan lembaga multilateral dalam memenuhi target pembiayaan iklim sangat penting dalam mencapai target pembiayaan iklim, misalnya, dengan mengembangkan mekanisme keuangan campuran seperti Platform Negara Mekanisme Transisi Energi Indonesia (ETM) serta mekanisme keuangan campuran yang ada seperti platform SDG Indonesia One. Indonesia telah menerbitkan beberapa instrumen pembiayaan hijau, termasuk obligasi hijau dan sukuk hijau. Selain itu, penetapan kebijakan penetapan harga karbon terdiri dari pajak karbon dan perdagangan karbon sebagai mekanisme untuk memperoleh sumber pendanaan yang dapat disalurkan untuk mendorong upaya di bidang perubahan iklim, serta membantu membentuk kesadaran pelaku usaha. tentang emisi yang mereka hasilkan.
Indonesia menerima mandat untuk pertama kalinya sebagai presidensi G20, sekelompok beberapa negara yang berkontribusi terhadap 80% ekonomi global dan bertanggung jawab atas 70% emisi gas rumah kaca. Keuangan berkelanjutan telah menjadi isu prioritas dalam mengatasi perubahan iklim dan mengatasi risiko transisi rendah karbon di bawah Kelompok Kerja Keuangan Berkelanjutan (SFWG) melalui jalur keuangan. Sebagai pemegang mandat presiden, Indonesia berpeluang untuk meningkatkan dan mendorong praktik keuangan berkelanjutan melalui SFWG untuk mendukung pencapaian Paris Agreement.
Tahun ini Institute for Essential Services Reform (IESR) akan meluncurkan studi, Indonesia Sustainable Finance Outlook (ISFO) 2023, melalui diskusi yang bertujuan untuk mendapatkan pandangan dan persepsi dari pembuat kebijakan dan pelaku usaha tentang tren yang akan terjadi di tahun mendatang secara hijau. proyek. Acara ini akan fokus pada kerangka keuangan berkelanjutan Indonesia dan pembelajaran pada tahun 2022 untuk mengatasi tantangan yang mendorong transisi energi pada tahun 2023.
Pengenalan Indonesia Sustainable Finance Outlook (ISFO)
Indonesia Sustainable Finance Outlook (ISFO) merupakan seri baru sebagai bagian dari laporan unggulan IESR sejak 2018, Indonesia Energy Transition Outlook (IETO), sebelumnya Indonesia Clean Energy Outlook (ICEO), yang membahas secara rinci status keuangan berkelanjutan yang komprehensif. ISFO edisi pertama mengumpulkan berbagai perspektif dari para pemangku kepentingan dan mengkurasinya dengan studi mendalam untuk memberikan analisis strategis tentang bagaimana transisi energi menuju ekonomi hijau di negara ini melalui dukungan pendanaan berkelanjutan. ISFO juga memuat laporan perkembangan isu keuangan berkelanjutan di G20 sebagai salah satu momentum kepresidenan Indonesia saat ini.
Tujuan:
1. Menginformasikan dan memperkenalkan salah satu laporan unggulan IESR terbaru, Indonesia Sustainable Finance Outlook (ISFO);
2. Mengkaji evaluasi dan kesiapan keuangan berkelanjutan di Indonesia, khususnya di sektor energi dan iklim, dengan pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan;
3. Melakukan kajian dan evaluasi terhadap perkembangan kebijakan berkelanjutan di Indonesia selama tahun 2022 dalam rangka dampak kebijakan dan peraturan pemerintah yang diterbitkan terhadap pemangku kepentingan terkait, serta pandangannya untuk tahun 2023;
4. Memperoleh informasi terkait perkembangan keuangan berkelanjutan di tingkat G20 dan global terkait pendanaan di sektor energi bersih dan iklim.
Publikasi Terkait
Materi Presentasi
Ichsan Hafi – Penulis Utama ISFO 2023, IESR
Presentation-ISFO-2023-Launching
Speakers
-
Climate Policy Initiative (CPI)
-
Ichsan Hafi- ISFO Main Author
-
Jodi Mahardi*- Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi- Kemenkomarves
-
Debrina Widianti*-Kepala Departemen Manajemen Risiko-Bank Indonesia
-
Fransiska Oei -Ketua Bidang Pengembangan Kajian Hukum & Peraturan- Perbanas