Peluncuran dan Diskusi Laporan Mewujudkan Transisi Sektor Ketenagalistrikan di Indonesia: Opsi dan Implikasi dari Intervensi terhadap Rencana Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Batubara 13,8 GW dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) di Indonesia

Latar Belakang

Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Paris melalui UU No. 16/2016. Dengan demikian, Indonesia terikat secara hukum untuk berkontribusi dalam perjuangan global melawan perubahan iklim melalui upaya dan tindakan ambisius dalam mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan membatasi kenaikan suhu global di bawah 1,5°C. Dalam salah satu hasil model iklim IPCC jalur 1,5°C yang kompatibel, emisi Gas Rumah Kaca (GRK) global harus turun 45% pada tahun 2030 dibandingkan tahun 2010 dan mencapai net zero emission pada tahun 2050. Saat ini, Indonesia termasuk dalam 10 besar penghasil emisi gas rumah kaca (GRK) dan masih diproyeksikan akan terus meningkatkan emisinya, dengan sektor energi sebagai penyumbang GRK tertinggi pada tahun 2030.

Dengan pangsa pembangkit listrik sebesar 66% di tahun 2021, pembangkit listrik tenaga batu bara menjadi kontributor utama emisi sektor energi (sekitar 40%), bahkan 90% dari emisi sektor listrik. RUPTL PLN terbaru (RUPTL hijau) masih mempertimbangkan penambahan 13,8 GW pembangkit listrik batubara dalam satu dekade ke depan. Porsi energi terbarukan hanya akan meningkat menjadi sekitar 24% pada tahun 2030 menurut rencana yang sama, yang mengakibatkan peningkatan emisi sektor listrik (dan sektor energi) secara keseluruhan. Dengan demikian, hal ini jelas bertentangan dengan mandat Persetujuan Paris.

Studi Institute for Essential Services Reform (IESR) dan University of Maryland (2022) menemukan bahwa 9,2 GW batu bara harus dihapuskan dari jaringan listrik PLN sebelum tahun 2030 dan semua pembangkit listrik batu bara yang tidak berkelanjutan harus dihapuskan paling lambat tahun 2045, agar Indonesia dapat mencapai target suhu global Persetujuan Paris 1,5°C. Studi ini juga menyimpulkan bahwa emisi batu bara harus mulai menurun sebelum akhir dekade ini. Ada beberapa inisiatif dan langkah-langkah untuk mendukung dan mewujudkan pemensiunan dini PLTU Batubara di Indonesia. Selain Mekanisme Transisi Energi (Energy Transition Mechanism/ETM) yang diluncurkan pada COP-26, pada saat KTT G20, Indonesia dan International Partnership Group (IPG) juga telah menandatangani Kemitraan Transisi Energi yang Adil (Just Energy Transition Partnership/JETP), yang bertujuan untuk mencapai target emisi puncak sektor listrik sebesar 290 juta metrik ton CO2 pada tahun 2030, mencapai bauran energi terbarukan sebesar 34% pada tahun 2030, dan membuat sektor listrik menjadi nol pada tahun 2050. 

Meskipun target JETP belum selaras dengan tujuan Persetujuan Paris, namun ini merupakan kesempatan penting bagi Indonesia untuk mempercepat transisi energi dan membuka peluang untuk melakukan penonaktifan pembangkit listrik tenaga batu bara secara dini.  Menurut kajian IESR, dengan kondisi sistem tenaga listrik saat ini, untuk mencapai target JETP, perlu dilakukan pengurangan kapasitas pembangkit listrik tenaga batubara sebesar 8,6 GW di jaringan listrik PLN pada tahun 2030, lebih rendah daripada kapasitas yang dibutuhkan untuk mencapai target 1,5°C.  

Oleh karena itu, studi ini mengeksplorasi potensi untuk mengintervensi beberapa jaringan listrik tenaga batu bara di Indonesia dan menilai aspek hukum, keuangan, ketahanan sistem, keamanan energi, dan pengurangan emisi karbon dari intervensi ini. Pemikiran di balik penilaian ini adalah, mengingat usia rata-rata pembangkit listrik tenaga batubara di Indonesia, termasuk yang saat ini sedang dalam tahap pengembangan, operasi mereka akan melampaui target tahun 2045 atau 2050. Sementara itu, pemensiunan dini pembangkit listrik yang sudah beroperasi akan sangat mahal mengingat kontrak jangka panjang dan sifat dari ketentuan-ketentuan dalam PJBL. Oleh karena itu, intervensi terhadap pembangkit listrik yang sedang dibangun, bahkan pembatalan proyek-proyek yang sudah berjalan jika memungkinkan, dapat menghasilkan pengurangan emisi karbon dengan biaya yang lebih rendah dan dapat berkontribusi dalam mencapai target untuk mencapai puncak emisi pada tahun 2030 dan mencapai emisi nol pada tahun 2050. Jenis intervensi yang dipertimbangkan dalam studi ini termasuk pembatalan rencana pembangunan PLTU Batubara, pengalihfungsian, dan penghentian lebih awal.

IESR akan mengadakan seminar gabungan untuk meluncurkan laporan penelitian yang berjudul “Mewujudkan Transisi Sektor Ketenagalistrikan di Indonesia: Biaya dan Manfaat serta Implikasi Intervensi terhadap Rencana Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Batubara 13,8 GW dari Perusahaan Listrik Negara”, dan mengundang para pemangku kepentingan terkait untuk berdiskusi dan menyusun rekomendasi untuk dekarbonisasi sistem ketenagalistrikan.

Objectives

  1. Untuk menyebarluaskan analisis berbasis penelitian mengenai strategi intervensi pengurangan emisi karbon di sektor ketenagalistrikan untuk mencapai target JETP dan bahkan target suhu global Persetujuan Paris 1,5°C dalam jangka panjang, khususnya untuk proyek  PLTU Batubara yang sudah dalam pipeline.
  2. Mengidentifikasi biaya, manfaat dan implikasi dari intervensi terhadap PLTU Batubara pipeline.
  3. Mendiskusikan peluang dan potensi hambatan untuk mengatasi tantangan pembatalan, pengalihan fungsi dan/atau penghentian dini PLTU batubara.

Bincang Energi Surya: Teknologi, Kebijakan dan Tantangan Energi Surya dalam Mendukung Just Energy Transition Partnership (JETP) dan Net Zero Emission (NZE)

Bincang Energi Surya merupakan serangkaian acara diseminasi publik seputar energi surya yang diselenggarakan secara kolektif oleh enam institusi; Institute for Essential Services Reform (IESR), Solar Scholars Indonesia (SSI), Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Australia, Asosiasi Peneliti Indonesia Korea (APIK), Institut Energi Surya Generasi Baru (Insygnia), dan Solarin (@solarin.id). Diseminasi tematik energi surya akan diselenggarakan secara regular, setiap dua minggu hingga Juni 2023 mendatang, yang mencakup topik; lanskap energi surya Indonesia, kebijakan terkini, teknologi, industri, sosio-ekonomi dan kesiapan sumber daya manusia dalam mendukung Just Energy Transition Partnership (JETP) dan target Net Zero Emission (NZE) .

Latar Belakang

Sebagai negara yang meratifikasi Paris Agreement dan penegasan komitmen di Pakta Iklim Glasgow , Indonesia berkomitmen untuk berkontribusi dalam membatasi kenaikan temperatur global. Dalam salah satu model IPCC, untuk membatasi kenaikan temperatur global di bawah 1.5oC maka emisi GRK harus dikurangi sebesar 45% pada tahun 2030 dibandingkan level emisi GRK di tahun 2010, dan mencapai net zero pada tahun 2050 (IPCC). Dalam komitmen tersebut, pemerintah Indonesia telah menyampaikan aspirasi mencapai net-zero pada tahun 2060 atau lebih cepat. Selain itu, sebagai tindak lanjut pendanaan transisi energi yang disepakati pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 tahun 2022 lalu, Just Energy Transition Partnership (JETP) sekretariat telah diluncurkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) yang salah satu agenda utamanya adalah transisi energi melalui pengembangan energi terbarukan termasuk energi surya. 

Sebagai langkah strategi dalam mencapai target tersebut, kapasitas terpasang energi terbarukan perlu ditingkatkan dengan cepat dan masif. Dengan potensi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, modular (dapat dipasang dengan berbagai skala), proses pemasangan yang relatif singkat, dan mampu menyerap tenaga kerja terampil setempat – energi surya (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) mampu menjadi tulang punggung pencapaian target energi terbarukan, penurunan emisi gas rumah kaca, dan mendukung agenda target NZE Indonesia sebelum 2060, sekaligus mendukung agenda JETP. 

Pemenuhan target energi terbarukan 23% pada 2025 sesuai Perpres No. 22/2017 dapat dipenuhi dengan PLTS sebesar 18 GW (BloombergNEF dan IESR, 2021). Untuk mencapai NZE sebelum 2060, pemerintah juga dalam grand strategy energi nasional menetapkan target 38 GW energi terbarukan hingga 2035 dan memprioritaskan PLTS. Indonesia menargetkan bauran energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025 yang tertuang dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Data capaian Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukan bahwa bauran energi terbarukan pada tahun 2022 mencapai 14,5%. Dalam kurun waktu singkat, Indonesia harus mengejar ketertinggalan pembangunan energi terbarukan secara khusus dalam sektor kelistrikan. Kebijakan, strategi perencanaan, dan implementasi program yang mendukung serta sejalan dengan agenda transisi energi berkeadilan (JETP) dan target NZE melalui pemanfaatan energi surya perlu untuk terus didorong. Diseminasi publik tematik energi surya melalui seri “Bincang Energi Surya: Bincang Energi Surya: Teknologi, Kebijakan dan Tantangan Energi Surya dalam Mendukung Just Energy Transition Partnership (JETP) dan Net Zero Emission (NZE)” akan menjadi wadah diskusi dan penggalian informasi bagaimana energi surya dapat mendukung komitmen iklim Indonesia.

Tujuan

  1. Mendiskusikan peran energi surya dalam mendukung Just Energy Transition Partnership (JET-P) dan target Net Zero Emission (NZE) Indonesia
  2. Mendiskusikan kebijakan serta  implementasi kebijakan energi surya sebagai upaya akselerasi transisi energi
  3. Membahas roadmap transisi energi, secara khusus energi surya, dalam mendukung target JETP dan NZE 

Tim Kerja JETP Terbentuk, Pemerintah Perlu Singkirkan Hambatan Pengembangan Energi Terbarukan

Jakarta, 17 Februari 2023 – Pemerintah Indonesia telah membentuk sekretariat tim kerja Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (Just Energy Transition Partnership (JETP) yang akan bekerja mulai hari ini. Beberapa hasil kerja yang ditargetkan akan tercapai dalam kurun waktu 6 bulan ke depan antara lain:  tersedianya peta jalan pensiun dini pembangkit listrik tenaga batubara, dan rampungnya rencana investasi yang komprehensif (Comprehensive Investment Plan (CIP) yang juga akan merefleksikan dukungan terhadap masyarakat terdampak proses transisi energi. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) mengapresiasi kemajuan yang dicapai oleh pemerintah dan IPG untuk melaksanakan kesepakatan  JETP. IESR mendorong agar tim kerja JETP tidak hanya menyusun peta jalan pensiun dini PLTU batubara yang sekedar demi mencapai target penurunan emisi GRK di JETP, namun lebih ambisius dengan menyelaraskan target tersebut  dengan Persetujuan Paris.

“JETP adalah kesempatan untuk mengakselerasi transisi energi dan menurunkan emisi GRK. Kepentingan Indonesia justru harus lebih jauh lagi yakni mendorong pertumbuhan ekonomi hijau dan memperkuat industri energi terbarukan. Indonesia jangan ragu-ragu mengakselerasi transisi energi karena dengan ini kita dapat membuat ekonomi kita tumbuh lebih tinggi,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

IESR menghitung untuk mencapai puncak emisi sektor listrik di 2030 maka perlu dilakukan pengakhiran PLTU dan penambahan  kapasitas pembangkit energi terbarukan pada kurun waktu yang sama.

“Dalam analisis IESR, untuk mencapai target bauran energi terbarukan pada sistem kelistrikan sebesar 34% pada 2030 sesuai target JETP, maka selain 20,9 GW proyek energi terbarukan yang sudah direncanakan di RUPTL 2021-2030, akan dibutuhkan tambahan minimal 5,4 GW kapasitas energi terbarukan. Penambahan energi terbarukan ini perlu direncanakan seiring dengan pemensiunan PLTU hingga 8,6 GW, sehingga keandalan sistem kelistrikan bisa terjaga,” jelas Deon Arinaldo, Program Manager Transformasi Energi IESR.

Berkaca dari pencapaian bauran energi terbarukan Indonesia di energi primer yang hanya mencapai 12,3%, pemerintah harus mampu mengatasi hambatan-hambatan pengembangan energi terbarukan seperti dengan memberikan dukungan kepada produsen dan industri lokal untuk memenuhi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), memperbaiki prosedur pengadaan atau lelang energi terbarukan dan mengalihkan subsidi fosil untuk sektor energi terbarukan dan meniadakan kebijakan DMO. 

“Dalam lima tahun terakhir, investasi energi terbarukan selalu di bawah target dan kapasitas terpasang energi terbarukan hanya tumbuh 300-500 MW per tahunnya. Sedangkan kebutuhan penambahan pembangkit energi terbarukan mencapai 26 GW lebih dalam 8 tahun ke depan atau sekitar 3-4 GW per tahun. Komitmen pendanaan yang besar dari JETP yang akan dituangkan dalam rencana investasi ini, hanya bisa direalisasikan jika hambatan investasi energi terbarukan seperti prosedur pengadaan di PLN, aturan TKDN untuk PLTS yang tidak sesuai dengan perkembangan industri dan subsidi harga batubara lewat kebijakan harga DMO dapat segera  diselesaikan pada tahun ini,” kata Fabby.

Seiring dengan akan berakhirnya pengoperasian PLTU batubara, pemerintah pun harus mulai mempersiapkan pengelolaan yang tepat terhadap infrastruktur kelistrikan seperti jaringan dan penyimpan energi (storage), merencanakan  diversifikasi ekonomi di daerah penghasil batubara, dan memberikan pelatihan maupun insentif kepada para pekerja dan masyarakat yang terdampak dari penutupan PLTU. 

“Perencanaan transisi energi perlu memberikan arah yang jelas secara jangka panjang, sehingga dampak negatif dari transisi energi, misalnya kepada para pekerja di PLTU & rantai pasok (supply chain) batubara, pengurangan penerimaan daerah dan nasional dari batubara, dan lainnya sudah bisa teridentifikasi dengan jelas. Dari sinilah dapat disusun strategi dalam melakukan transformasi sosial dan ekonomi, seperti penyiapan lapangan pekerjaan baru, dan pelatihan skill yang sesuai untuk pekerja,” ungkap Deon.

Kenaikan Target Penurunan Emisi di NDC Indonesia Masih Jauh untuk Mencegah Krisis Iklim

Jakarta, 6 Desember 2022- Indonesia telah menyampaikan dokumen Enhanced Nationally Determined Contributions (NDCs) dengan meningkatkan  target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) hanya sekitar 2%. Institute for Essential Services Reform (IESR) yang merupakan anggota dari  Climate Action Tracker (CAT), konsorsium tiga think tank yang melakukan pemantauan dan penilaian terhadap kebijakan perubahan iklim di 39 negara dan Uni Eropa, menemukan bahwa kenaikan tipis target NDC Indonesia tersebut masih  tidak mencukupi untuk mencegah  kenaikan suhu global 1,5°C. 

Pada Enhanced NDC, target penurunan emisi dengan upaya sendiri  (unconditional) meningkat dari 29% di dokumen Updated NDC menjadi 31,89% pada 2030, dan dengan bantuan internasional (conditional) naik dari 41% menjadi 43,2%. IESR dan CAT memandang seharusnya Indonesia dapat menetapkan target lebih ambisius lagi, terutama setelah dirilisnya Peraturan Presiden (Perpres) No 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyedian Tenaga Listrik.

“Indonesia masih ragu-ragu menetapkan target penurunan emisi yang ambisius dan bermain di zona aman. Target penurunan yang ditetapkan dalam Enhanced NDC (E-NDC) sangat mudah dicapai karena referensinya adalah proyeksi peningkatan emisi business as usual di 2030. Target penurunan emisi seharusnya berdasarkan tingkat emisi absolut berdasarkan tahun tertentu. Untuk selaras dengan ambisi 1,5°C, emisi dari sektor energi di 2030 harus setara dengan tingkat emisi dari sektor energi 2010,”  kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR pada peluncuran hasil penilaian CAT terhadap aksi dan kebijakan iklim Indonesia.

Agar mencapai penurunan emisi yang signifikan, Indonesia perlu melakukan mitigasi yang lebih ambisius pada sektor yang penghasil emisi dominan yakni sektor energi, dan sektor hutan dan lahan. Mempunyai potensi energi terbarukan yang melimpah, bahkan hingga lebih dari 7 TW, Indonesia dapat memanfaatkannya menjadi sumber energi yang minim emisi.

Namun, hingga 2021, bauran energi terbarukan pada sistem energi di Indonesia masih 11,5%. IESR memandang dengan beberapa perkembangan dukungan internasional dan komitmen pemerintah terhadap pensiun dini PLTU batubara akan memberikan ruang yang leluasa bagi pengembangan energi terbarukan sehingga dapat mencapai target 23% energi terbarukan pada 2025, bahkan mencapai 40% di 2030. Dalam kajian Deep Decarbonization of Indonesia Energy System (2021), IESR menyimpulkan pada 2050,  pemanfaatan 100% energi terbarukan dalam sistem energi  Indonesia layak secara teknis dan ekonomis. 

“Status aksi iklim Indonesia dapat ditingkatkan dengan memastikan kebijakan iklim pada dekade ini diimplementasikan untuk memenuhi kontribusi yang adil berdasarkan upaya global (fairshare). Target NDC dengan bantuan internasional juga harus konsisten, setidaknya dengan  jalur optimal dengan biaya terendah untuk ambisi 1,5°C (global least cost pathways),”  jelas Delima Ramadhani, Koordinator Climate Action Tracker, IESR.

Menurutnya, dominasi PLTU batubara yang saat ini sekitar 61% di sistem energi Indonesia, perlu dikurangi secara signifikan  menjadi  hanya 10% PLTU batubara yang tidak menggunakan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (unabated coal-fired power plan)  pada 2030 dan diakhiri operasinya secara bertahap hingga berhenti seluruhnya pada 2040.  Untuk itu, Indonesia harus meningkatkan komitmen iklimnya, dan bantuan internasional berperan besar untuk implementasi penghentian batubara yang sesuai dengan Persetujuan Paris.

Beberapa mekanisme pendanaan pengakhiran operasi batubara juga telah dibahas dan disepakati oleh Indonesia seperti dalam skema Energy Transition Mechanism, dan  Just Energy Transition Partnerships (JETP). IESR menganggap, walaupun masih belum selaras dengan target 1,5°C, kesepakatan JETP merupakan langkah maju dalam transisi energi di Indonesia. Komitmen pendanaan USD 20 miliar belum cukup untuk mencapai dekarbonisasi sektor energi yang setidaknya membutuhkan total investasi sebesar USD 135 miliar pada 2030.

“Porsi dana hibah dalam pendanaan JETP perlu diperbesar, yang dapat dipakai untuk mempercepat penguatan ekosistem transisi energi dan penyiapan proyek. Selain itu, langkah selanjutnya setelah JETP disepakati adalah penyusunan rencana investasi yang dilakukan secara transparan serta mengarusutamakan prinsip berkeadilan dalam bertransisi energi dengan melibatkan partisipasi masyarakat, pemerintah daerah dan kelompok terdampak,” tutup Fabby. 

Climate Action Tracker adalah sebuah inisiatif yang melakukan analisis ilmiah independen yang melacak aksi iklim negara dan mengukurnya terhadap tujuan Paris Agreement yang disepakati secara global untuk menahan pemanasan jauh di bawah 2°C, dan mengejar upaya untuk membatasi pemanasan hingga 1,5°C. CAT telah memberikan analisis independen terhadap sekitar 40 negara sejak 2009. Anggota CAT terdiri dari Climate Analytics, New Climate Institute, dan Institute for Essential Services Reform (IESR) yang bergabung sebagai mitra sejak 2022.  

Peluncuran & Diskusi Laporan Perencanaan Sistem Tenaga Listrik yang Selaras dengan Persetujuan Paris

Siaran Tunda


Pendahuluan 

Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris melalui UU No. 16/2016. Sebagai hasilnya, Indonesia terikat secara hukum untuk berkontribusi dalam perjuangan global perubahan iklim melalui upaya dan tindakan yang ambisius dalam memitigasi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan membatasi peningkatan suhu global rata-rata di bawah 1,5 derajat C. Dalam salah satu hasil model iklim IPCC untuk jalur yang kompatibel dengan 1,5 derajat C, emisi Gas Rumah Kaca (GRK) global harus turun 45% pada tahun 2030 dibandingkan dengan tahun 2010 dan mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050. Saat ini, Indonesia termasuk dalam 10 besar penghasil emisi gas rumah kaca (GRK) dan masih diproyeksikan untuk meningkatkan emisinya, dengan sektor energi sebagai penyumbang GRK tertinggi pada tahun 2030. 

Dengan pangsa pembangkit listrik sebesar 66% pada tahun 2021, pembangkit listrik tenaga batubara telah menjadi penyumbang utama emisi sektor energi (sekitar 40%), dan bahkan 90% dari emisi sektor listrik. RUPTL PLN terbaru (RUPTL hijau) masih mempertimbangkan penambahan 13,8 GW PLTU Batubara dalam satu dekade ke depan. Porsi energi terbarukan hanya akan meningkat menjadi sekitar 24% pada tahun 2030 menurut rencana yang sama, yang mengakibatkan peningkatan emisi sektor listrik (dan sektor energi) secara keseluruhan. Dengan demikian, hal ini jelas bertentangan dengan mandat Perjanjian Paris. 

Menurut studi Institute for Essential Services Reform (IESR), secara teknis dan ekonomis, emisi sektor energi di Indonesia layak secara teknis dan ekonomis agar sesuai dengan Persetujuan Paris dan mencapai emisi nol pada tahun 2050. Salah satu tonggak penting adalah bahwa pangsa energi terbarukan dalam pembangkit listrik harus mencapai hampir setengahnya pada tahun 2030. Pada saat yang sama, elektrifikasi sektor transportasi dan industri juga akan meningkatkan pertumbuhan permintaan listrik total dan menciptakan ruang serta fleksibilitas yang diperlukan untuk integrasi energi terbarukan (variabel) yang tinggi. Dengan pertumbuhan permintaan listrik yang tinggi, kapasitas energi terbarukan dan pengembangan jaringan serta interkoneksi harus dikerahkan dalam kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, mencapai 140 GW pada tahun 2030 (peningkatan empat belas kali lipat dari kapasitas saat ini). 

Namun, integrasi energi terbarukan yang tinggi dalam sistem jaringan listrik berbasis kepulauan di Indonesia dianggap menantang. Perencanaan sistem tenaga listrik saat ini masih melihat sebagian kecil energi terbarukan, terutama energi terbarukan variabel (surya dan angin), yang akan beroperasi dalam sepuluh tahun ke depan. Selain itu, PLN sebagai operator jaringan listrik memiliki pengalaman yang terbatas dalam mengoperasikan jaringan listrik dengan porsi energi terbarukan yang tinggi. Studi dan pemodelan yang menunjukkan analisis tekno-ekonomi yang terperinci tentang pengoperasian energi terbarukan dengan porsi yang tinggi dalam sistem jaringan listrik nasional juga masih terbatas. 

Masih banyak tantangan lain yang perlu dihadapi. Hal ini menunjukkan pentingnya analisis komparatif perencanaan sistem tenaga listrik saat ini dengan perencanaan yang selaras dengan jalur 1,5 derajat C. Memahami perbedaan dalam hal biaya, tantangan teknis, pengurangan emisi, dan kelayakan dapat memperluas pilihan dalam perencanaan sistem tenaga listrik di masa depan di negara ini. Lebih jauh lagi, sebagaimana studi IESR Dekarbonisasi Mendalam Sistem Energi Indonesia menunjukkan, Indonesia dapat memperoleh manfaat tambahan seperti harga yang lebih kompetitif serta manfaat sosial-ekonomi lainnya (pekerjaan ramah lingkungan), sambil mengatasi krisis iklim secara bersamaan. 

Dengan latar belakang ini, IESR telah menyelesaikan analisis perencanaan sistem tenaga listrik, rencana perluasan kapasitas, dan uji keandalan sistem tenaga listrik dengan menggunakan PLEXOS dan DIgSILENT yang bertujuan untuk mengintegrasikan energi terbarukan untuk mengurangi emisi GRK secara keseluruhan dari sektor ini. IESR akan mengadakan webinar untuk meluncurkan laporan tersebut berjudul “Enabling high share of renewable energy in Indonesia’s power system by 2030: Alternative electricity development plan compatible with the Paris Agreement”, dan mengundang para pemangku kepentingan terkait untuk berdiskusi dan menyusun rekomendasi untuk dekarbonisasi sistem tenaga listrik. 

 

Tujuan

Tujuan dari peluncuran laporan dan webinar diskusi adalah sebagai berikut: 

  1. Untuk memberikan alternatif perencanaan sistem tenaga listrik berbasis penelitian yang dapat mendorong kemajuan Indonesia dalam upaya pengurangan emisi sektor energi kepada pemangku kepentingan yang lebih luas. 
  2. Untuk memberikan masukan bagi perencanaan sistem tenaga listrik yang diperbarui (RUPTL 2023-2032), yang diharapkan akan berjalan pada awal tahun 2023 
  3. Untuk mendiskusikan potensi tantangan dan peluang untuk mengatasi tantangan dalam mengintegrasikan pangsa energi terbarukan yang tinggi dalam sistem tenaga listrik. 

Materi Presentasi

Akbar Bagaskara – Penulis Studi, Peneliti Sistem Ketenagalistrikan, IESR

Enabling High Share of RE in Indonesia Power System

221124-Alternative-RUPTL-1

Unduh

Dadan Kusdiana – Plt Dirjen Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM

Enabling High Share of RE in Indonesia Power System

221124-0016-PPT-Keynote-Speech-IESR-1

Unduh