Pentingnya Pengakhiran Operasional PLTU Batubara untuk Mengejar Target Penurunan Emisi

press release

Jakarta, 20 Juni 2023 –  Institute for Essential Services Reform (IESR) mendesak pemerintah Indonesia melakukan transformasi sektor ketenagalistrikan untuk mencapai emisi puncak di 2030 dan netral karbon di 2050. Hal ini sejalan dengan komitmen Presiden Joko Widodo untuk mencapai net-zero emission 2060 atau lebih awal sebagai bentuk tanggung jawab Indonesia mengurangi ancaman pemanasan global. 

Berdasarkan data Climate Watch, sektor energi menjadi penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca. Secara global, sektor tersebut menghasilkan 36,44 gigaton karbon dioksida ekuivalen (Gt CO2e) atau 71,5% dari total emisi. Sementara itu, berdasarkan laporan Ember Climate Indonesia menempati urutan ke-9 penghasil emisi CO2 terbesar dari sektor ketenagalistrikan di dunia, mencapai 193 juta ton CO2 pada 2021. Untuk itu,  pemerintah harus mengejar penurunan emisi yang signifikan di sektor energi, khususnya terhadap sektor ketenagalistrikan. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menyatakan sebagai salah satu negara ekonomi terbesar sekaligus pengemisi terbesar di dunia, Indonesia diharapkan menunjukan kepemimpinan dan komitmen melakukan dekarbonisasi sektor energinya lewat kebijakan dan rencana transisi energi. Komitmen politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus diterjemahkan ke dalam serangkaian kebijakan, regulasi dan rencana yang selaras, satu dengan lainnya.

“Ada indikasi bahwa komitmen politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) coba untuk dimentahkan dan didegradasi oleh sejumlah pihak yang enggan melakukan transisi energi, dan  ujung-ujungnya ingin mempertahankan status quo, yaitu tidak mengurangi konsumsi batubara dalam penyediaan listrik. Untuk itu, Presiden harus mengamati dengan lebih rinci bahwa ada pihak-pihak yang enggan melakukan transisi energi dengan cepat dan mencoba menurunkan derajat ambisi pemerintah dan melakukan buying time hingga mereka dapat mengubah keputusan politik tersebut,” imbuh Fabby. 

Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi menegaskan, IESR memandang penghentian PLTU batubara di Indonesia menjadi hal yang penting. Sebagai salah satu penerima komitmen pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP), Indonesia berkomitmen untuk mencapai puncak emisi sebesar 290 juta ton CO2 pada 2030, dan menaikkan bauran energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan menjadi 34% pada 2030,” ujar Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi. 

“Target yang tercanang di komitmen JETP lebih tinggi dibandingkan kebijakan dan perencanaan yang sudah ditetapkan saat ini. Misalnya saja, target emisi mencakup sektor ketenagalistrikan secara keseluruhan dan juga  bauran energi terbarukan yang 10% lebih tinggi dibandingkan dengan RUPTL 2021-2030 milik PLN. Artinya, untuk mencapai target tersebut dalam kurun waktu kurang lebih 7 tahun, perlu transformasi tidak hanya di perencanaan sistem kelistrikan seperti penghentian operasi PLTU batubara,” papar Deon. 

Dengan asumsi semua pembangkit, termasuk PLTU batubara, yang direncanakan di dalam RUPTL 2021-2030 terbangun, IESR menghitung untuk mengejar target JETP setidaknya sebanyak 8,6 GW PLTU batubara harus dipensiunkan sebelum 2030 diikuti dengan pengakhiran operasi 7,6 GW PLTU sebelum 2040.  Dari sisi kebijakan, akselerasi pengembangan energi terbarukan dan disinsentif ke investasi untuk pembangkit energi fosil juga perlu untuk terus didorong. 

Berdasarkan laporan Delivering Power Sector Transition, IESR menemukan bahwa dari 13,8 GW PLTU yang direncanakan pembangunannya dalam RUPTL 2021-2030 sebanyak 2,9 GW dapat dibatalkan,  10,6 GW perlu diakhiri operasinya secara dini, dan 220 MW  dipertimbangkan untuk diganti dengan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan seperti biomassa. Pembatalan 2,9 GW PLTU merupakan opsi termurah untuk menghindarkan emisi GRK di sektor ketenagalistrikan.

“Dari analisis yang kami lakukan di laporan ini, pembatalan pembangunan PLTU batubara yang dibarengi dengan pensiun dini bagi PLTU dapat membantu mencapai target puncak emisi yang disepakati dalam JETP. Kami memperkirakan ada 5,6 GW PLTU yang harus dipensiunkan sebelum 2030 jika 2,9 GW PLTU dapat dibatalkan pembangunannya,” ujar Akbar Bagaskara, Peneliti Sistem Ketenagalistrikan.

Berdasarkan kajian IESR yang berjudul Financing Indonesia’s coal phase out: A just and accelerated retirement pathway to net-zero menemukan, penghentian operasi PLTU batubara bermanfaat dari segi ekonomi dan sosial seperti terhindarnya biaya subsidi listrik yang diproduksi dari PLTU batubara dan biaya kesehatan yang masing-masing berjumlah $34,8 dan $61,3 miliar—2 kali sampai 4 kali lebih besar—dari biaya aset terbengkalai (stranded asset), penghentian pembangkit (decommissioning), transisi pekerjaan, dan kerugian penerimaan negara dari batubara.

“Hingga tahun 2050, diperkirakan akan diperlukan biaya investasi untuk pengembangan energi terbarukan dan infrastruktur pendukung, sebagai pengganti dari PLTU batubara yang dipensiunkan, sebesar $1,2 triliun. Dukungan pendanaan internasional tentunya akan dibutuhkan untuk mewujudkan hal ini. Namun, dengan melakukan pensiun dini PLTU dan mengakselerasi pengembangan energi terbarukan di Indonesia diperkirakan akan ada 168,000 kematian yang bisa dihindarkan hingga tahun 2050”, ujar Raditya Wiranegara, Peneliti Senior IESR.

Menanti Implementasi JETP di Indonesia

Raden Raditya Yudha Wiranegara

Pakistan, 31 Mei 2023 – Transisi energi menjadi pembahasan di banyak negara, termasuk di Pakistan. Beberapa tantangan yang dihadapi oleh Pakistan dalam mengadopsi energi terbarukan di antaranya adalah infrastruktur ketenagalistrikan dan integrasi jaringan yang belum mumpuni. Mirip dengan Pakistan, Indonesia pun menghadapi tantangan yang serupa namun gerak cepat pemerintah diperlukan untuk mengurangi penggunaan energi fosil sebagai langkah nyata penurunan emisi gas rumah kaca.

Raden Raditya Yudha Wiranegara, Peneliti Senior Institute for Essential Services Reform (IESR) memaparkan,   sektor ketenagalistrikan menyumbang sekitar 40 %  dari emisi gas rumah kaca di Indonesia berdasarkan laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2023. Demi selaras dengan ambisi 1,5°C dan mencapai net zero emission 2060 atau lebih cepat, Raditya menuturkan, perlu dilakukan transisi di seluruh pasokan energi. Salah satunya dengan  mengubah sektor ketenagalistrikan dengan menurunkan bahan bakar fosil (fossil fuel) pada PLTU secara bertahap. Menurut Raditya, PLTU batubara perlu segera dikurangi ataupun dipensiunkan dini secara bertahap hingga tahun 2045 untuk selaras dengan ambisi 1,5°C.

“Fase pertama dilakukan dengan menutup 18 PLTU batubara dengan total kapasitas 9,2 GW hingga 2030, lalu 39 PLTU batubara dengan total kapasitas 21,7 GW, dan 15 PLTU batubara dengan total kapasitas 12,5 GW,” terang Raditya dalam acara Symposium on “Accelerating the Just Energy Transition in Pakistan” yang diselenggarakan oleh Sustainable Development Policy Institute (SDPI) pada Rabu (31/5/2023).

Dalam memenuhi ambisi 1,5°C, keberadaan Kemitraan Transisi Energi yang Adil (Just Energy Transition Partnership/JETP) di Indonesia menjadi salah satu pendorongnya.  Raditya memaparkan, kemitraan tersebut mencakup target puncak emisi pada 2030 untuk sektor listrik Indonesia, termasuk dari sistem pembangkit listrik on-grid, off-grid, dan captive, menggeser proyeksi puncak emisi sekitar tujuh tahun lebih awal. Selain fokus pada pengurangan emisi yang signifikan, JETP  juga pada mendorong pembangunan berkelanjutan dan pertumbuhan ekonomi, serta melindungi mata pencaharian masyarakat dan pekerja di sektor yang terkena dampak.

Untuk mengimplementasikan target tersebut, lanjut Raditya, saat ini Sekretariat JETP Indonesia sedang mengembangkan  rencana investasi komprehensif (comprehensive investment plan/CIP) untuk program pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP). Meski demikian, Raditya menegaskan, Sekretariat JETP Indonesia hanya memiliki waktu terbatas untuk menyelesaikannya mengingat dokumen tersebut perlu dipublikasikan pada Agustus 2023. Berkaitan dengan pengerjaan dokumen rencana investasi komprehensi, Raditya menegaskan, diharapkan hasil analisis yang dilakukan dalam kelompok kerja bisa dimasukkan ke dalamnya pada Juli 2023. Adapun kelompok kerja dalam JETP Indonesia terdiri dari 4 kelompok kerja yang mewakili berbagai pihak termasuk pemerintah Indonesia, lembaga nasional dan internasional serta unsur masyarakat sipil yang memiliki kepakaran pada bidang masing-masing. Kelompok kerja tersebut membidangi: Teknis, Kebijakan, Pendanaan serta Transisi Berkeadilan.

“Berkaca dari kondisi tersebut, transparansi dan ketersediaan data menjadi sebuah masalah tersendiri di dalam kelompok kerja. Hal ini perlu menjadi perhatian mengingat kondisi tersebut bisa menghambat setiap individu dalam kelompok untuk melaksanakan tugas yang diberikan,” ujar Raditya. 

Dokumen CIP akan memuat informasi teknis, pendanaan, kebijakan serta sosio ekonomi mengenai investasi transisi energi di sektor ketenagalistrikan sampai dengan tahun 2030 yang akan melandasi implementasi kemitraan USD 20 miliar di bawah JETP Indonesia. Berdasarkan Joint Statement JETP Indonesia, mobilisasi pendanaan ditargetkan terjadi di tahun ke 3 sampai tahun ke 5 setelah kemitraan pendanaan JETP Indonesia disepakati. Selain itu, area investasi yang sudah disepakati dalam CIPP terdiri atas pengembangan jaringan transmisi dan distribusi, pemensiunan dini PLTU batubara, percepatan pemanfaatan energi terbarukan tipe baseload, percepatan pemanfaatan energi terbarukan tipe variable,membangun rantai pasok energi terbarukan

 

Kajian Baru Temukan Pembatalan Proyek PLTU Batubara Menjadi Cara Hemat Biaya untuk Pangkas Emisi Global

Mencegah pembangunan sembilan pembangkit listrik tenaga batubara yang direncanakan di Indonesia akan membendung hampir 300 juta ton emisi dengan harga kurang dari 80 sen per ton CO2, berdasarkan analisis IESR yang didukung oleh The Rockefeller Foundation

 

JAKARTA, INDONESIA, 30 Mei 2023 ―Institute for Essential Services Reform (IESR), lembaga think tank  terkemuka di bidang energi dan lingkungan yang  berbasis di Jakarta, Indonesia, merilis sebuah analisis yang pertama kalinya di Indonesia mengenai  pengurangan pembangunan PLTU batubara, didukung oleh The Rockefeller Foundation.  Laporan Delivering Indonesia’s Power Sector Transition menemukan bahwa sembilan PLTU batubara  di Indonesia dapat dibatalkan dengan dampak yang minimal terhadap stabilitas dan keterjangkauan pasokan dan jaringan listrik, serta dapat menghindari sekitar 295 juta ton emisi CO2. Studi ini merekomendasikan pengurangan pembangunan PLTU batubara melalui pembatalan pembangkit listrik yang telah direncanakan, yang telah disepakati atau  kesepakatan awal  sebagai salah satu pendekatan yang paling hemat biaya dan berdampak positif terhadap lingkungan untuk mempercepat transisi energi yang berkeadilan di Indonesia.

“Kami mengembangkan pendekatan yang baru untuk melakukan analisis ini. Kami melihat satu demi satu dari setiap PLTU batubara  yang direncanakan di Indonesia. Berdasarkan sistem penilaian multi-kriteria, kami mengidentifikasi pembangkit listrik yang dapat dibatalkan, dan kemudian menilai implikasi hukum, keuangan, ketahanan sistem, keamanan energi, dan emisi karbon dari intervensi ini. Tim kami menggunakan citra satelit untuk melacak perkembangan pembangunan pembangkit listrik dari waktu ke waktu,” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

“Terdapat sekitar  950 PLTU batubara yang direncanakan atau sedang dalam tahap pembangunan di seluruh dunia, yang jika dibangun, diprediksi akan menghasilkan emisi sekitar 78 miliar ton CO2 ke atmosfer selama siklus hidupnya,” ujar Joseph Curtin, Managing Director for Power and Climate, Rockefeller Foundation. “Analisis yang pertama kali dilakukan ini menggambarkan bahwa, dalam banyak kasus, terdapat pilihan yang lebih baik yang tersedia bagi para pembuat kebijakan, perusahaan utilitas, regulator, dan perencana sistem yang dapat mempercepat transisi dari bahan bakar fosil. Analisis ini juga dapat direplikasi di negara-negara lain yang memiliki jaringan pipa batu bara yang besar.”

Jika dibangun, kesembilan PLTU batubara, yang sebagian besar masih dalam tahap pembiayaan, akan menyumbang hampir 3.000 megawatt (MW) kapasitas batubara, atau sekitar 20% dari total penambahan yang direncanakan di Indonesia. Analisis sistem tenaga listrik dilakukan dengan menggunakan tujuh model terpisah, yang mewakili tiap bagian dari jaringan listrik yang tersedia di Indonesia, untuk memeriksa keandalan sistem ketenagalistrikan dan keekonomian apabila pembatalan dilakukan. Analisis IESR menemukan pembatalan sembilan pembangkit listrik akan:

  • Mencegah 295 juta ton emisi CO2. Dengan USD 238 juta yang telah diinvestasikan hingga saat ini untuk sembilan pembangkit listrik tersebut, diperkirakan harga pengurangan karbon akan kurang dari 80 sen per ton emisi CO2  yang dapat dihindari.
  • Tidak mengorbankan stabilitas sistem, dan sebagian besar daya akan digantikan oleh pembangkit listrik yang sudah ada yang beroperasi dengan kapasitas yang lebih besar. Namun, skenario ini kemungkinan akan berpotensi  munculnya biaya tambahan dari operasi sistem tenaga listrik sebesar USD 2,5 miliar per tahun hingga tahun 2050. Perlu juga dicatat bahwa analisis IESR tidak memasukkan penambahan energi terbarukan ke dalam bauran energi, yang akan membantu mengurangi biaya pembangkitan rata-rata lebih lanjut.
  • Perlu memasukkan risiko hukum yang terkait dengan pembatalan sepihak dari setiap proyek Indonesia dan PLN sebagai perusahaan listrik Indonesia, yang telah diidentifikasi dalam studi ini. Produsen Listrik Swasta (Independent Power Producer, IPP) menikmati kontrak pembelian listrik jangka panjang dengan PLN dengan persyaratan yang menguntungkan, dan negosiasi akan diperlukan dalam setiap kasus untuk memastikan bahwa pembatalan tidak menyalahi perjanjian yang sudah ada. Dalam beberapa kasus,  menawarkan pengembang proyek opsi untuk mengganti tenaga listrik dengan energi terbarukan menjadi opsi yang dapat dipertimbangkan. 
  • Tidak akan cukup untuk memenuhi target Indonesia’s Just Energy Transition Partnership (JETP).

Lebih dari dua pertiga listrik Indonesia saat ini berasal dari pembakaran batubara, dan dengan prediksi PLN akan adanya tambahan kapasitas sebesar 13.822 MW PLTU batubara pada tahun 2030, Indonesia menjadi negara dengan perencanaan pembangunan PLTU batubara yang terbesar ketiga di dunia, setelah Cina dan India. Pada saat yang sama, melalui JETP,  Indonesia juga menargetkan untuk mencapai puncak emisi dari sektor energi sebesar 295 juta metrik ton CO2 per tahun pada tahun 2030 dan mencapai net zero emission di sektor energi pada tahun 2050. Untuk mencapai tujuan tersebut, Indonesia dan International Partnership Group (IPG) menandatangani kesepakatan JETP pada tahun 2022, dan pada Maret 2023, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menandatangani Nota Kesepahaman dengan Global Energy Alliance for People and Planet (GEAPP) yang didanai oleh The Rockefeller Foundation, IKEA Foundation, dan Bezos Earth Fund. 

Laporan ini juga mencakup serangkaian rekomendasi lebih lanjut yang menguraikan pendekatan sistematis untuk mencapai net-zero emissions pada tahun 2050 atau lebih awal.

Mempersiapkan Sumber Daya Manusia untuk Transisi Energi

Jakarta, Mei 2023 – Dunia bergerak ke ekonomi rendah karbon. Akibatnya, pasokan energi untuk perekonomian juga bergeser dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan. Tahun lalu, untuk pertama kalinya, investasi global dalam teknologi energi rendah karbon (termasuk teknologi produksi non-energi seperti transportasi listrik, panas yang dialiri listrik, dan material berkelanjutan) melampaui USD 1 triliun dan menyamai tingkat investasi bahan bakar fosil. Peningkatan investasi dalam teknologi rendah karbon menghasilkan peningkatan lapangan kerja di lapangan. Secara global, lapangan kerja dalam produksi energi terbarukan terus meningkat dari 7,3 juta pada tahun 2012 menjadi 12,7 juta pada tahun 2021.

Meski terlihat lebih lambat dari kecepatan global, Indonesia tidak terkecuali dalam tren ini. Khususnya selama setahun terakhir, Indonesia telah menunjukkan komitmen transisi energi yang semakin baik. Presiden mengeluarkan peraturan yang menempatkan moratorium pembangkit listrik tenaga batu bara (dengan beberapa pengecualian) dan merombak peraturan penetapan harga yang tidak menarik yang menghambat investasi energi terbarukan sejak 2017. Dua bulan kemudian, tonggak penting dalam perjalanan transisi energi Indonesia diumumkan dalam bentuk Just Energy Transition Partnership (JETP) selama KTT G20 di Bali. Komitmen JETP tidak cukup untuk menjaga kenaikan suhu global di bawah 1,5°C, tetapi komitmen ini jauh lebih ambisius daripada NDC. JETP berkomitmen untuk memobilisasi investasi senilai USD 20 miliar selama 3-5 tahun ke depan untuk mempercepat transisi energi di Indonesia.

Semua investasi yang dilakukan untuk transisi energi akan diterjemahkan menjadi kebutuhan sumber daya manusia. Hal ini terutama berlaku untuk investasi energi terbarukan yang umumnya lebih padat karya daripada industri fosil. IESR memperkirakan bahwa investasi untuk mencapai emisi net-zero pada tahun 2050 akan menghasilkan sekitar 800.000 pekerjaan baru pada tahun 2030 hanya di sektor ketenagalistrikan (tidak termasuk pekerjaan di kendaraan listrik, material berkelanjutan, dll.). Lapangan kerja akan meningkat menjadi 3,2 juta lapangan kerja pada tahun 2050. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan lapangan kerja saat ini di sektor ketenagalistrikan yang berjumlah 270.000.Namun, Indonesia tampaknya agak tidak siap menghadapi transisi angkatan kerja. Pemerintah tidak memiliki strategi yang jelas untuk mengembangkan kapasitas tenaga kerja yang dibutuhkan dan penelitian tentang energi terbarukan cenderung menurun. Instansi pemerintah yang bertanggung jawab atas perencanaan tenaga kerja, seperti Kementerian Ketenagakerjaan, sejauh ini tidak disertakan dalam pembahasan transisi energi. Ketidaksiapan ini bahkan lebih krusial bagi ratusan ribu orang yang saat ini bekerja di industri pasokan bahan bakar fosil. Tidak semua dari mereka memiliki keterampilan yang dapat dialihkan yang dapat digunakan di sektor energi terbarukan, misalnya operator alat berat yang sebagian besar menyerap tenaga kerja di industri fosil. Suatu perangkat kebijakan yang lebih komprehensif dan koordinasi yang lebih baik di antara para pembuat kebijakan, terutama untuk melibatkan badan-badan yang bertanggung jawab atas pengembangan tenaga kerja, sangat diperlukan. Jika tidak, Indonesia mungkin kehilangan manfaat ekonomi (tenaga kerja) dari transisi energi.

Penerjemah: Regina Felicia Larasati

Foto milik Verhalenhuys di Unsplash

Peran Energi Surya dalam Mendukung Pencapaian NZE dan JETP

Jakarta, 10 Maret 2023 – Dukungan yang jelas dan serius dari pemerintah terhadap pengembangan energi surya perlu ditunjukkan, terutama dalam mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat dan target bauran energi terbarukan pada Just Energy Transition Partnership (JETP) sebesar 34% pada 2030.

“Diskusi JETP sejauh ini masih berfokus pada pensiun dini PLTU saja, belum terlihat elemen akselerasi energi terbarukannya. Hal ini perlu menjadi catatan, khususnya untuk mengakselerasi pengembangan energi surya yang diproyeksikan menjadi salah satu tulang punggung pembangkitan listrik dalam pencapaian NZE, mengingat potensinya yang besar di Indonesia, keekonomiannya yang semakin kompetitif dan konstruksinya yang relatif singkat,” ujar Daniel Kurniawan, Peneliti, Spesialis Teknologi Fotovoltaik dan Material, Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam acara Bincang Energi Surya: Teknologi, Kebijakan dan Tantangan Energi Surya dalam Mendukung  Just Energy Transition Partnership (JETP) dan Net Zero Emission (NZE) pada Kamis (9/3/2023).

Menurutnya, saat ini merupakan waktu yang tepat bagi pemerintah untuk melibatkan partisipasi masyarakat dengan mengejar berbagai target tersebut dengan kebijakan yang mendukung akselerasi energi surya dan pemanfaatan PLTS atap baik skala komersial & industri maupun residential. Ia menyayangkan ketika public hearing yang dilakukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait revisi Peraturan Menteri ESDM No. 26/2021, pemerintah justru ingin meniadakan skema net metering untuk sektor residensial, yang akan menurunkan keekonomian dan ketertarikan pelanggan untuk memasang PLTS atap.

“Pemerintah seharusnya tidak menghapus dukungan kebijakan untuk masyarakat dalam mengadopsi  PLTS atap, khususnya untuk sektor rumah tangga dan sektor usaha kecil, di tahap adopsi yang masih sangat awal ini. Sebaliknya, dukungan kebijakan harus ditingkatkan untuk mendorong adopsi hingga ke tahap pasar yang matang,”tegasnya lagi.

Pada kesempatan yang sama, Widya Adi Nugroho, Sub Koordinator Pengawasan Usaha Aneka Energi Baru Terbarukan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan, Indonesia memiliki target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada 2025. Namun hingga 2022 baru mencapai sekitar 12,3%. Ia mengatakan pemanfaatan pembangkit listrik energi baru terbarukan diutamakan sesuai perencanaan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). 

“Berdasarkan RUPTL 2021-2030, energi surya akan bertambah 4,6 GW di 2030. Surya akan menjadi tulang punggung ketenagalistrikan Indonesia mencapai 461 GW pada 2060. Selain itu, tren harga PLTS semakin turun dan kompetitif. Begitu juga komponen pendukungnya seperti baterai sehingga peluang pengembangannya semakin terbuka. Namun demikian, terdapat tantangan pengembangan PLTS, salah satunya ruangan pembangkitan listrik masih penuh sehingga memerlukan partisipasi masyarakat sebagai konsumen dan produsen untuk memanfaatkan energi terbarukan, melalui energi surya. Selain itu, kondisi intermitensi yang perlu dijaga oleh sistem, baik itu dengan pembangkit cadangan yang bisa mengkompensasi PLTS serta juga berkaitan dengan tingkat komponen dalam negeri (TKDN),” terang Widya Adi Nugroho.

Anindita Satria Surya, Vice President Transisi Energi dan Perubahan Iklim, Perusahaan Listrik Negara (PLN) memaparkan, pihaknya terus menerapkan inisiatif transisi energi untuk mencapai net zero emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat. Untuk itu, diperlukan peningkatan kapabilitas internal dan teknologi yang didukung oleh inovasi, kebijakan dan keuangan. Anindita memperkirakan kebutuhan investasi untuk mencapai NZE pada tahun 2060 sekitar USD 700 miliar. Selain itu, Anindita menegaskan, pelaksanaan program dedieselisasi atau konversi pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) menjadi strategi peningkatan bauran energi, khususnya energi surya dalam sistem kelistrikan. 

“Terdapat beberapa strategi PLN untuk melakukan integrasi energi terbarukan, di antaranya dalam jangka pendek mencapai RUPTL (2021-2030) dengan sekitar 4,7 GW atau 22% berasal dari PLTS,”  ujar Anindita.

Dalam pemaparannya, energi terbarukan lainnya yang akan dikembangkan untuk mencapai RUPTL di antaranya adalah PLTA (44%) dan PLTP (16%). Selain itu, pihaknya akan melakukan, dedieselisasi, pensiun dini batubara, co-firing biomassa. Kemudian, dalam jangka panjang untuk mencapai NZE (2031-2060), langkah yang akan dilakukan diantaranya mendorong penyimpanan listrik berbasis baterai dan interkoneksi, serta co-firing hidrogen. Di sisi pengembangan teknologi dan ekosistem, PLN akan berfokus untuk di antaranya PLTS, dan kendaraan listrik.

“Sebagai gambaran, di awal kita membangun sistem yang kuat yakni pembangkit baseload, membangun transmisi yang kuat serta dibarengi dengan penguatan penggunaan energi terbarukan, termasuk PLTS. Di akhir periode 2035, PLTS sebagian besar sudah masuk ke sistem kita,” ujarnya. 

Anindita menekankan, PLTS bisa menjadi salah satu solusi untuk menambah bauran energi, namun harus dilihat pula kesiapan infrastruktur, terutama baterai untuk mengurangi sifat intermiten. Misalnya saja, belum ada baterai untuk mendukung adanya PLTS di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Tidak hanya PLTS atap, PLN juga berupaya untuk memanfaatkan potensi PLTS terapung. Sebagai bagian dari dukungan pelaksanaan kegiatan G20 Presidensi Indonesia, terdapat 100 kWp PLTS terapung yang telah dibangun di Waduk Muara, Nusa Dua, Bali.

Sementara itu, Rosyid Jazuli, Peneliti Paramadina Public Policy Institute menjelaskan, Indonesia memiliki potensi surya yang sangat besar. Sayangnya, saat ini lebih dari 60% listrik di Indonesia masih berasal dari batubara. Hal ini terjadi karena beberapa tantangan penerapan energi surya untuk mendukung implementasi Just Energy Transition Partnership (JETP) seperti rencana yang belum jelas, tumpang tindih aturan, dan potensi dana dalam bentuk pinjaman. Rosyid menyarankan agar terdapat koordinasi antar kementerian dan lembaga dalam mendukung penerapan JETP, mengingat isu ini merupakan hal yang kompleks. 

“Di sisi lain, potensi pendanaan hijau yang mencapai USD 20 miliar ini juga sebaiknya dioptimalkan, apalagi tren dunia saat ini mengarah ke pembangunan berkelanjutan. Pembiayaan tentunya juga diperlukan untuk riset dan pengembangan energi surya serta potensi menarik investasi di tenaga surya,” ujar Rosyid. 

Bincang Energi Surya merupakan serangkaian acara diseminasi publik seputar energi surya yang diselenggarakan secara kolektif oleh enam institusi; Institute for Essential Services Reform (IESR), Solar Scholars Indonesia (SSI), Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Australia, Asosiasi Peneliti Indonesia Korea (APIK), Institut Energi Surya Generasi Baru (Insygnia), dan Solarin. Diseminasi tematik energi surya akan diselenggarakan secara regular, setiap dua minggu hingga Juni 2023 mendatang, yang mencakup topik; lanskap energi surya Indonesia, kebijakan terkini, teknologi, industri, sosio-ekonomi dan kesiapan sumber daya manusia dalam mendukung Just Energy Transition Partnership (JETP) dan target Net Zero Emission (NZE).***