Peran Penting Energi Terbarukan demi Membangun Masa Depan Terang

Jakarta, 24 Juni 2023 – Raditya Yudha Wiranegara, Peneliti Senior Institute for Essential Services Reform (IESR) memaparkan, beberapa tantangan dalam melakukan pensiun PLTU dan bagaimana energi terbarukan berperan dalam membentuk masa depan. Hal tersebut dibahas dalam acara Energy Talk yang diadakan oleh Society of Renewable Energy (SRE) Universitas Hasanuddin.

Radit, sapaan akrab Raditya, membuka sesi diskusi tersebut dengan menjelaskan bahwa kegiatan manusia terutama dalam bidang energi menjadi kontributor utama dari kenaikan suhu bumi. Sumbernya masih didominasi oleh batubara dan diikuti dengan konsumsi bahan bakar minyak (BBM). Radit menilai, hal tersebut menjadi pekerjaan rumah bagi masyarakat Indonesia, untuk mulai membuat rencana menurunkan ketergantungan pada pembangkit listrik berbasis batubara.

Lebih lanjut, Radit menjelaskan bahwa Perpres 112/2022 mengatur didorongnya perkembangan energi terbarukan, dan pasal ketiga memuat mandat bagi ESDM untuk mulai membuat skenario percepatan pensiun PLTU batubara. Terdapat pula restriksi untuk tidak membangun PLTU setelah perpres ini disahkan, terkecuali yang saat ini tengah direncanakan, dan yang termasuk dalam proyek strategis nasional. 

“PLTU yang ada juga harus mulai menurunkan emisi mereka, hingga semua dipensiunkan pada tahun 2045. Namun, perencanaan ini masih dalam pembicaraan yang dinamis, pihak Perusahaan Listrik Negara (PLN) berencana  melakukan pensiun PLTU di 2030,” terang Radit.

Radit memaparkan,  keuntungan dari pensiun dini PLTU yakni 2-4 kali biaya dapat dihemat, hal ini berdasarkan studi IESR dengan Universitas Maryland. Radit menekankan, keuntungan tersebut termasuk keuntungan biaya kesehatan atas kualitas udara dan berkurangnya subsidi listrik yang harus dikeluarkan mengingat listrik kita sekarang disubsidi. Namun demikian, dalam melakukan pensiun PLTU batubara terdapat beberapa tantangan, di antaranya perlu biaya di depan yang cukup besar, sekitar USD 4.6 miliar sampai tahun 2030 dan USD 27.5 miliar sampai tahun 2050, yang memerlukan dukungan internasional yang besar untuk mencapainya. Kedua, diperlukan USD 1.2 triliun untuk menggantikan pembangkitan listrik PLTU dengan energi terbarukan. Ketiga, aspek legalitas. Radit menilai, baik PLN dan produsen listrik swasta (IPP) memiliki beberapa skenario yang harus dipenuhi dalam memensiunkan pembangkitnya. Misalnya saja PLN perlu diinvestigasi oleh badan audit jika terjadi kerugian negara akibat berkurangnya PLTU, dan IPP dapat mengajukan gugatan akan kerugiannya.

“Dari hasil studi yang kami lakukan, kami menemukan bahwa dalam hal biaya mitigasi, membatalkan proyek PLTU adalah opsi paling terjangkau dalam mengurangi emisi karbon. Membatalkan juga akan menghindari biaya besar yang akan terjadi ketika kelak harus dipensiunkan,” ujar Radit.

Radit menekankan dengan adanya momentum Just Energy Transition Partnership (JETP), Indonesia harus bisa mengkatalisis lebih banyak lagi investasi dan membangun iklim pasar yang menarik di Indonesia bagi investor asing. JETP merupakan kemitraan pendanaan perubahan iklim dan transisi energi dari negara G7 plus Norwegia dan Denmark untuk pengembangan kendaraan listrik, teknologi, dan penghentian dini pembangkit listrik berbasis fosil di Indonesia. Partnership ini juga mendorong transisi energi yang berkeadilan yang mempertimbangkan kehidupan dan penghidupan masyarakat terdampak di setiap tingkatan perjalanan transisi energi, sehingga tidak ada satu pun pihak yang tertinggal. Indonesia mendapatkan alokasi pemanfaatan dana sebesar USD 20 miliar untuk mendukung transisi energi di Indonesia melalui kerangka JETP

Pentingnya Pengakhiran Operasional PLTU Batubara untuk Mengejar Target Penurunan Emisi

press release

Jakarta, 20 Juni 2023 –  Institute for Essential Services Reform (IESR) mendesak pemerintah Indonesia melakukan transformasi sektor ketenagalistrikan untuk mencapai emisi puncak di 2030 dan netral karbon di 2050. Hal ini sejalan dengan komitmen Presiden Joko Widodo untuk mencapai net-zero emission 2060 atau lebih awal sebagai bentuk tanggung jawab Indonesia mengurangi ancaman pemanasan global. 

Berdasarkan data Climate Watch, sektor energi menjadi penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca. Secara global, sektor tersebut menghasilkan 36,44 gigaton karbon dioksida ekuivalen (Gt CO2e) atau 71,5% dari total emisi. Sementara itu, berdasarkan laporan Ember Climate Indonesia menempati urutan ke-9 penghasil emisi CO2 terbesar dari sektor ketenagalistrikan di dunia, mencapai 193 juta ton CO2 pada 2021. Untuk itu,  pemerintah harus mengejar penurunan emisi yang signifikan di sektor energi, khususnya terhadap sektor ketenagalistrikan. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menyatakan sebagai salah satu negara ekonomi terbesar sekaligus pengemisi terbesar di dunia, Indonesia diharapkan menunjukan kepemimpinan dan komitmen melakukan dekarbonisasi sektor energinya lewat kebijakan dan rencana transisi energi. Komitmen politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus diterjemahkan ke dalam serangkaian kebijakan, regulasi dan rencana yang selaras, satu dengan lainnya.

“Ada indikasi bahwa komitmen politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) coba untuk dimentahkan dan didegradasi oleh sejumlah pihak yang enggan melakukan transisi energi, dan  ujung-ujungnya ingin mempertahankan status quo, yaitu tidak mengurangi konsumsi batubara dalam penyediaan listrik. Untuk itu, Presiden harus mengamati dengan lebih rinci bahwa ada pihak-pihak yang enggan melakukan transisi energi dengan cepat dan mencoba menurunkan derajat ambisi pemerintah dan melakukan buying time hingga mereka dapat mengubah keputusan politik tersebut,” imbuh Fabby. 

Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi menegaskan, IESR memandang penghentian PLTU batubara di Indonesia menjadi hal yang penting. Sebagai salah satu penerima komitmen pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP), Indonesia berkomitmen untuk mencapai puncak emisi sebesar 290 juta ton CO2 pada 2030, dan menaikkan bauran energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan menjadi 34% pada 2030,” ujar Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi. 

“Target yang tercanang di komitmen JETP lebih tinggi dibandingkan kebijakan dan perencanaan yang sudah ditetapkan saat ini. Misalnya saja, target emisi mencakup sektor ketenagalistrikan secara keseluruhan dan juga  bauran energi terbarukan yang 10% lebih tinggi dibandingkan dengan RUPTL 2021-2030 milik PLN. Artinya, untuk mencapai target tersebut dalam kurun waktu kurang lebih 7 tahun, perlu transformasi tidak hanya di perencanaan sistem kelistrikan seperti penghentian operasi PLTU batubara,” papar Deon. 

Dengan asumsi semua pembangkit, termasuk PLTU batubara, yang direncanakan di dalam RUPTL 2021-2030 terbangun, IESR menghitung untuk mengejar target JETP setidaknya sebanyak 8,6 GW PLTU batubara harus dipensiunkan sebelum 2030 diikuti dengan pengakhiran operasi 7,6 GW PLTU sebelum 2040.  Dari sisi kebijakan, akselerasi pengembangan energi terbarukan dan disinsentif ke investasi untuk pembangkit energi fosil juga perlu untuk terus didorong. 

Berdasarkan laporan Delivering Power Sector Transition, IESR menemukan bahwa dari 13,8 GW PLTU yang direncanakan pembangunannya dalam RUPTL 2021-2030 sebanyak 2,9 GW dapat dibatalkan,  10,6 GW perlu diakhiri operasinya secara dini, dan 220 MW  dipertimbangkan untuk diganti dengan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan seperti biomassa. Pembatalan 2,9 GW PLTU merupakan opsi termurah untuk menghindarkan emisi GRK di sektor ketenagalistrikan.

“Dari analisis yang kami lakukan di laporan ini, pembatalan pembangunan PLTU batubara yang dibarengi dengan pensiun dini bagi PLTU dapat membantu mencapai target puncak emisi yang disepakati dalam JETP. Kami memperkirakan ada 5,6 GW PLTU yang harus dipensiunkan sebelum 2030 jika 2,9 GW PLTU dapat dibatalkan pembangunannya,” ujar Akbar Bagaskara, Peneliti Sistem Ketenagalistrikan.

Berdasarkan kajian IESR yang berjudul Financing Indonesia’s coal phase out: A just and accelerated retirement pathway to net-zero menemukan, penghentian operasi PLTU batubara bermanfaat dari segi ekonomi dan sosial seperti terhindarnya biaya subsidi listrik yang diproduksi dari PLTU batubara dan biaya kesehatan yang masing-masing berjumlah $34,8 dan $61,3 miliar—2 kali sampai 4 kali lebih besar—dari biaya aset terbengkalai (stranded asset), penghentian pembangkit (decommissioning), transisi pekerjaan, dan kerugian penerimaan negara dari batubara.

“Hingga tahun 2050, diperkirakan akan diperlukan biaya investasi untuk pengembangan energi terbarukan dan infrastruktur pendukung, sebagai pengganti dari PLTU batubara yang dipensiunkan, sebesar $1,2 triliun. Dukungan pendanaan internasional tentunya akan dibutuhkan untuk mewujudkan hal ini. Namun, dengan melakukan pensiun dini PLTU dan mengakselerasi pengembangan energi terbarukan di Indonesia diperkirakan akan ada 168,000 kematian yang bisa dihindarkan hingga tahun 2050”, ujar Raditya Wiranegara, Peneliti Senior IESR.

Tim Kerja JETP Terbentuk, Pemerintah Perlu Singkirkan Hambatan Pengembangan Energi Terbarukan

Jakarta, 17 Februari 2023 – Pemerintah Indonesia telah membentuk sekretariat tim kerja Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (Just Energy Transition Partnership (JETP) yang akan bekerja mulai hari ini. Beberapa hasil kerja yang ditargetkan akan tercapai dalam kurun waktu 6 bulan ke depan antara lain:  tersedianya peta jalan pensiun dini pembangkit listrik tenaga batubara, dan rampungnya rencana investasi yang komprehensif (Comprehensive Investment Plan (CIP) yang juga akan merefleksikan dukungan terhadap masyarakat terdampak proses transisi energi. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) mengapresiasi kemajuan yang dicapai oleh pemerintah dan IPG untuk melaksanakan kesepakatan  JETP. IESR mendorong agar tim kerja JETP tidak hanya menyusun peta jalan pensiun dini PLTU batubara yang sekedar demi mencapai target penurunan emisi GRK di JETP, namun lebih ambisius dengan menyelaraskan target tersebut  dengan Persetujuan Paris.

“JETP adalah kesempatan untuk mengakselerasi transisi energi dan menurunkan emisi GRK. Kepentingan Indonesia justru harus lebih jauh lagi yakni mendorong pertumbuhan ekonomi hijau dan memperkuat industri energi terbarukan. Indonesia jangan ragu-ragu mengakselerasi transisi energi karena dengan ini kita dapat membuat ekonomi kita tumbuh lebih tinggi,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

IESR menghitung untuk mencapai puncak emisi sektor listrik di 2030 maka perlu dilakukan pengakhiran PLTU dan penambahan  kapasitas pembangkit energi terbarukan pada kurun waktu yang sama.

“Dalam analisis IESR, untuk mencapai target bauran energi terbarukan pada sistem kelistrikan sebesar 34% pada 2030 sesuai target JETP, maka selain 20,9 GW proyek energi terbarukan yang sudah direncanakan di RUPTL 2021-2030, akan dibutuhkan tambahan minimal 5,4 GW kapasitas energi terbarukan. Penambahan energi terbarukan ini perlu direncanakan seiring dengan pemensiunan PLTU hingga 8,6 GW, sehingga keandalan sistem kelistrikan bisa terjaga,” jelas Deon Arinaldo, Program Manager Transformasi Energi IESR.

Berkaca dari pencapaian bauran energi terbarukan Indonesia di energi primer yang hanya mencapai 12,3%, pemerintah harus mampu mengatasi hambatan-hambatan pengembangan energi terbarukan seperti dengan memberikan dukungan kepada produsen dan industri lokal untuk memenuhi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), memperbaiki prosedur pengadaan atau lelang energi terbarukan dan mengalihkan subsidi fosil untuk sektor energi terbarukan dan meniadakan kebijakan DMO. 

“Dalam lima tahun terakhir, investasi energi terbarukan selalu di bawah target dan kapasitas terpasang energi terbarukan hanya tumbuh 300-500 MW per tahunnya. Sedangkan kebutuhan penambahan pembangkit energi terbarukan mencapai 26 GW lebih dalam 8 tahun ke depan atau sekitar 3-4 GW per tahun. Komitmen pendanaan yang besar dari JETP yang akan dituangkan dalam rencana investasi ini, hanya bisa direalisasikan jika hambatan investasi energi terbarukan seperti prosedur pengadaan di PLN, aturan TKDN untuk PLTS yang tidak sesuai dengan perkembangan industri dan subsidi harga batubara lewat kebijakan harga DMO dapat segera  diselesaikan pada tahun ini,” kata Fabby.

Seiring dengan akan berakhirnya pengoperasian PLTU batubara, pemerintah pun harus mulai mempersiapkan pengelolaan yang tepat terhadap infrastruktur kelistrikan seperti jaringan dan penyimpan energi (storage), merencanakan  diversifikasi ekonomi di daerah penghasil batubara, dan memberikan pelatihan maupun insentif kepada para pekerja dan masyarakat yang terdampak dari penutupan PLTU. 

“Perencanaan transisi energi perlu memberikan arah yang jelas secara jangka panjang, sehingga dampak negatif dari transisi energi, misalnya kepada para pekerja di PLTU & rantai pasok (supply chain) batubara, pengurangan penerimaan daerah dan nasional dari batubara, dan lainnya sudah bisa teridentifikasi dengan jelas. Dari sinilah dapat disusun strategi dalam melakukan transformasi sosial dan ekonomi, seperti penyiapan lapangan pekerjaan baru, dan pelatihan skill yang sesuai untuk pekerja,” ungkap Deon.