Meninjau Kemajuan Industri Baterai Kendaraan Listrik Indonesia

Dalam dekade ini, popularitas kendaraan listrik mengalami peningkatan signifikan terlihat dari penjualan dari tahun ke tahun yang menunjukkan pertumbuhan eksponensial. Menurut laporan Bloomberg New Energy Finance (BNEF), sudah ada hampir 20 juta kendaraan listrik di jalanan hingga akhir tahun 2021. Untuk meningkatkan efisiensi energi, memastikan pengurangan emisi gas buang, dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar minyak, kendaraan listrik telah menjadi pilihan yang menarik bagi pemangku kepentingan dan masyarakat umum. Mempertimbangkan tren yang ada dan beberapa keuntungan tambahan, Indonesia sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar, melalui Perpres 55/2019 tentang program akselerasi KBLBB (Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai), telah mengambil langkah proaktif untuk berpartisipasi dalam industri kendaraan listrik global, khususnya di sektor baterai. Sesuai dengan peraturan tersebut, Kementerian Perindustrian telah menjabarkan peta jalan industri dan persyaratan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) melalui Peraturan Menteri 20/2020.

Mulai tahun 2023, bobot Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) pada industri kendaraan listrik Indonesia telah disesuaikan. Penilaian proses perakitan yang sebelumnya 20% diturunkan menjadi 12%, sisanya 8% dialokasikan kembali ke perhitungan komponen utama, antara lain baterai (35%), motor listrik (12%), dan rangka mobil (11%). Pentingnya TKDN di Indonesia relevan dalam konteks pembelian untuk pengadaan atau proyek pemerintah. Untuk mendukung pertumbuhan industri kendaraan listrik dalam negeri dan menarik investasi, pemerintah Indonesia telah menerapkan berbagai inisiatif, termasuk Instruksi Presiden 7/2022 tentang pengadaan publik dan rencana subsidi untuk pembelian kendaraan listrik yang sesuai dengan TKDN.

Bobot persentase baterai dalam industri kendaraan listrik yang mencapai 35% membuat penggunaan baterai yang diproduksi di dalam negeri  penting untuk meningkatkan TKDN secara keseluruhan. Namun, keadaan industri baterai saat ini menimbulkan tantangan untuk produksi massal. Tim Institute for Essential Services Reform (IESR) berupaya memahami kesenjangan kemampuan teknologi dalam industri baterai dalam negeri. Untuk mencapai tujuan ini, tim melakukan wawancara eksklusif di seluruh sektor industri hulu, tengah, dan hilir. Tujuan dari wawancara ini adalah untuk mengevaluasi kesiapan industri dalam memenuhi target pemerintah dan tuntutan pasar kendaraan listrik. Asesmen komprehensif tersebut bertujuan untuk mendapatkan pemahaman menyeluruh tentang industri baterai dalam negeri.

Alur Produksi Baterai Kendaraan Listrik

 

Industri Sektor Hulu

Sektor hulu di industri kendaraan listrik Indonesia berkembang pesat, siap memenuhi permintaan pasar. Pemerintah telah memperkuat pertumbuhan ini dengan Permen ESDM 11/2019, yang mengatur pertambangan mineral dan batubara serta melarang ekspor bijih nikel. Terlepas dari kontroversi, peraturan tersebut telah mengarah pada pembangunan dua kilang nikel HPAL dan 5 lainnya dalam pengerjaan. Menurut Asosiasi Penambang Nikel Indonesia, ada permintaan tahunan sebesar 50,57 juta ton saprolit dan 1,2 juta ton bijih limonit untuk pabrik HPAL, diperkirakan akan menghasilkan hampir 1 juta MHP/MSP dan 316.000 ton produk turunan termasuk 140.000 ton Cr konsentrat, 136.000 ton Nikel Sulfat, dan 19,5 ton Cobalt Sulfat. Salah satu pengembang bahkan telah memperkenalkan teknologi pemurniannya sendiri, proses Step Temperature Acid Leaching (STAL), yang dirancang untuk memurnikan bijih limonit dengan kandungan nikel kurang dari 1,6%, menghasilkan MHP sebagai produk akhir di pabrik prototipenya.

Industri Sektor Menengah

Sektor baterai berbasis lithium mengalami pertumbuhan yang lambat karena kebutuhan investasi yang tinggi dan pengalaman yang terbatas. Selain tiga rencana investasi besar untuk produksi baterai (IBC-LG, IBC-CBL, dan Indika-Foxconn) yang sedang berlangsung, IESR telah mengumpulkan informasi tentang perusahaan yang ada dan berkembang. Perusahaan-perusahaan tersebut memiliki kapasitas produksi sel baterai berkisar antara 30 hingga 1 ribu sel per hari. Perkembangan yang menarik adalah start-up dari Universitas Sebelas Maret yang menjalin kerjasama dengan startup lain dari universitas yang sama untuk produksi bahan aktif dan prekursor.

Untuk menyelaraskan NCM atau katoda berbasis nikel NCA, proses produksi prekursor baterai sektor hulu perlu dilanjutkan di dalam negeri. Namun, perusahaan baterai lokal menggunakan LFP untuk bisnis mereka karena pertimbangan keselamatan dan siklus hidup yang panjang, meskipun memiliki densitas energi yang lebih rendah dibandingkan opsi berbasis nikel. Akibatnya, produksi nikel kelas 1 di sektor hulu Indonesia belum mencukupi kebutuhan industri katoda atau sel baterai di dalam negeri.

Sektor Hilir

Sebagai salah satu produsen sepeda motor terbesar di dunia, Indonesia tidak memiliki kendala berarti dalam merakit kendaraan listrik. Rangka merupakan komponen yang paling mapan untuk diproduksi di dalam negeri. Sementara itu, beberapa perusahaan telah memproduksi motor listrik (powertrain) dan memasok produksi motor listrik untuk BUMN.

Namun, daur ulang atau penggunaan kembali limbah sel baterai untuk belum sepenuhnya dikembangkan. Para peneliti di Universitas Gadjah Mada baru mengambil inisiatif dengan memulai pengembangan dalam skala laboratorium. Meskipun penggunaan kendaraan listrik masih terbatas di negara ini, sektor ini diharapkan menjanjikan karena potensinya untuk mengekstrak bahan langka seperti litium dan akses mudah ke logam yang diperlukan untuk produksi baterai.

IEVO 2023: Meninjau Ekosistem Kendaraan Listrik Indonesia

Jakarta, 21 Februari 2023 – Sektor transportasi menyumbang hampir seperempat dari emisi sektor energi pada tahun 2021. Emisi sektor transportasi ini sebagian besar datang dari pembakaran bahan bakar yang 52% nya berasal dari impor BBM. Mengingat target pemerintah Indonesia untuk mencapai status net-zero emissions pada 2060 atau lebih cepat, dekarbonisasi sektor transportasi penting untuk dilakukan.

Mengadaptasi pendekatan ASI yaitu Avoid – Shift – Improve, Institute for Essential Services Reform (IESR) menilik salah satu strategi dekarbonisasi sektor transportasi yakni kendaraan listrik. Disampaikan oleh Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam peluncuran laporan Indonesia Electric Vehicle Outlook 2023, bahwa secara jumlah kendaraan listrik di Indonesia terus bertambah dalam 5 tahun terakhir, namun secara pangsa pasar masih rendah.

“Walau demikian, pangsa pasar kendaraan listrik hanya 1% dari penjualan keseluruhan kendaraan di Indonesia per tahunnya. Beberapa faktor masih membuat calon pembeli enggan seperti harga awal yang masih tinggi, dan ekosistem pendukung seperti stasiun pengisian yang masih terbatas jumlahnya,” jelas Fabby.

Sebagai salah satu ekosistem pendukung kendaraan listrik, stasiun pengisian daya baik itu Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) maupun Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU) memiliki peran penting dalam kecepatan adopsi kendaraan listrik. Secara psikologis, jumlah stasiun pengisian ini mempengaruhi keputusan calon konsumen kendaraan listrik.

“Secara angka, jumlah SPKLU terus bertumbuh sebenarnya. Namun saat ini masih terpusat di Jawa dan Bali. Hanya 12% SPKLU yang berada di luar Jawa – Bali,” jelas Faris Adnan, peneliti Sistem Ketenagalistrikan IESR.

Selain jumlah stasiun pengisian daya, Faris mengutarakan sejumlah hal antara lain tipe pengisian daya yang saat ini banyak yang bertipe pengisian lambat (slow charging). Perlu pemetaan lokasi yang komprehensif untuk menentukan tipe pengisian daya yang dipakai. Kawasan perkantoran dan pusat perbelanjaan di mana orang akan beraktivitas di dalamnya dapat menggunakan medium atau slow charging. Namun untuk tempat-tempat seperti pengisian daya di ruas jalan harus memakai tipe pengisian pengisian cepat (fast charging).

Standarisasi porta pengisian daya (port charging) juga menjadi salah satu bahasan dalam laporan ini. Dijelaskan Faris bahwa saat ini terdapat 3 jenis port charging untuk kendaraan listrik roda empat. Hal ini menjadi salah satu kendala bagi calon investor SPKLU karena kewajiban menyediakan tiga jenis porta ini berimbas pada nilai investasi yang harus dikeluarkan. 

“Jika pemerintah berhasil mengatur standarisasi port charging, maka nilai investasi untuk SPKLU akan lebih menarik,” jelas Faris.

Ilham Fahreza Surya, peneliti Kebijakan Lingkungan IESR, yang juga penulis IEVO 2023 menambahkan bahwa wacana pemerintah untuk memberikan insentif harga kendaraan listrik sebaiknya difokuskan pada transportasi umum, kendaraan angkutan logistik, dan kendaraan roda dua.

“Kami merekomendasikan pemerintah untuk mengutamakan kendaraan roda dua untuk mendapatkan insentif pemotongan harga, juga mengkombinasikan rencana insentif ini dengan aturan TKDN. Jadi yang berhak mendapat insentif adalah motor yang berasal dari produsen yang sudah memenuhi aturan TKDN,” jelas Ilham. 

Dari sisi industri, perakitan kendaraan listrik adalah industri yang paling maju dibandingkan dengan industri komponen pendukung kendaraan listrik. Salah satu yang menjadi sorotan adalah rencana Indonesia untuk melakukan hilirisasi nikel hingga menjadi baterai. 

Pintoko Aji, peneliti Energi Terbarukan IESR melihat bahwa rencana pemerintah Indonesia ini dapat dimanfaatkan oleh industri kendaraan listrik yang berniat membuka pabrik di Indonesia.

“Dengan adanya industri baterai dalam negeri, pabrik kendaraan listrik di dalam negeri dapat menggunakan baterai hasil industri dalam negeri pada kendaraannya sebagai strategi pemenuhan komponen TKDN,” jelas Pintoko.

Dalam diskusi panel menyambung pemaparan laporan Indonesia Energy Transition Outlook 2023, Wildan Fujiansah, Koordinator Kelayakan Teknis Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM menjelaskan bahwa untuk menjawab beberapa isu dalam penyediaan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia pemerintah mengeluarkan Permen ESDM No. 1/2023 yang mengatur salah satunya tentang standarisasi port charging, daya dan dimensi baterai.

“Permen No 1/2023 ini juga mengatur tentang investasi SPKLU yang awalnya harus menyediakan 3 port charging, sekarang cukup 1. Salah satu tujuan aturan ini memang untuk mendorong investasi SPKLU,” jelas Wildan.

Riza, Peneliti Senior Infrastruktur Pengisian Kendaraan Listrik, BRIN menyatakan bahwa dari sisi teknis proses pengisian daya kendaraan listrik bukan sekedar perangkat dengan teknologi tertentu.

“Secara perkembangannya, proses pengisian daya harus sesuai dengan karakteristik baterainya sementara kendaraan listrik terus berkembang,” kata Riza.

Dari sisi pengguna, kendaraan listrik roda dua saat ini banyak digunakan oleh perusahaan ride hailing untuk mitra pengemudinya. Namun untuk meningkatkan kepercayaan diri calon pengguna untuk beralih menggunakan kendaraan listrik, infrastruktur pendukung khususnya stasiun penukaran baterai perlu ditambah jumlahnya.

Rivana Mezaya, Direktur Digital and Sustainability Grab Indonesia menekankan bahwa dari sisi industri pengguna kendaraan listrik dapat menjajaki berbagai upaya untuk kepemilikan unit kendaraan listrik, namun perlu dukungan terkait kesediaan infrastruktur pendukung seperti stasiun penukaran baterai. 

“Kolaborasi dengan berbagai pihak ini akan mendorong masyarakat luas untuk dapat ambil bagian dalam transisi energi di Indonesia,” jelas Meza. 

Selain kolaborasi untuk mewujudkan ekosistem pendukung kendaraan listrik baik dari hulu hingga hilir penyebaran informasi yang komprehensif, mudah diakses dan ditemukan menjadi sangat penting untuk mendorong perubahan perilaku masyarakat. Hal ini diutarakan Indira Darmoyono, Ketua Forum Transportasi Lingkungan dan Energi, Masyarakat Transportasi Indonesia. 

“Praktik baik dari penggunaan kendaraan listrik dan informasi-informasi penting seperti di mana bengkel konversi yang bersertifikat, biaya konversi, insentif dalam berbagai bentuk itu harus dipublikasikan secara luas supaya masyarakat memiliki informasi yang cukup dan tergerak untuk beralih ke kendaraan listrik,” tutup Indira.

Laporan Indonesia Electric Vehicle Outlook adalah salah satu dari laporan utama IESR, dan dapat dibaca melalui Indonesia Electric Vehicle Outlook (IEVO) 2023 – IESR

IEVO 2023: Bangun Ekosistem Kendaraan Listrik Indonesia

Jakarta, 21 Februari 2023 – Dekarbonisasi sektor transportasi merupakan strategi krusial dalam mitigasi perubahan iklim untuk mencegah kenaikan temperatur bumi melebihi 1,5 derajat Celsius. Di Indonesia, selain pemanfaatan bahan bakar nabati, elektrifikasi kendaraan dapat memangkas 23% emisi gas rumah kaca (GRK) yang berasal dari sektor transportasi. 

Institute for Essential Services Reform (IESR)  memandang pembangunan ekosistem kendaraan listrik mutlak dilakukan untuk meningkatkan minat masyarakat untuk mengadopsi kendaraan listrik, mempercepat pemerataan infrastruktur dan pengembangan industri kendaraan listrik dalam negeri.

IESR dalam laporan Indonesia Electric Vehicle Outlook (IEVO) 2023 mencatat ketergantungan terhadap  impor bahan bakar telah memicu terjadinya inflasi pada akhir tahun 2022 akibat kenaikan harga BBM bersubsidi. Konsumsi BBM meningkat rata-rata 1,2 juta kiloliter per tahun antara 2015 dan 2020.

“Kenaikan nilai impor BBM menyebabkan devisa tergerus, melemahnya nilai tukar dan memaksa pemerintah untuk melakukan penyesuaian harga BBM, yang berdampak pada inflasi. Karena penyesuaian harga BBM tidak populer secara politik dan berdampak pada daya beli masyarakat, lazimnya pemerintah menjadikan ini sebagai pilihan terakhir dan untuk menutupi selisih harga jual dan biaya pengadaan BBM. Subsidi yang diberikan oleh pemerintah menggerus kapasitas fiskal APBN. Berbagai dampak ini bisa dihindari jika impor BBM dipangkas drastis. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan penggunaan kendaraan listrik dan mensubstitusi kendaraan motor berbahan bakar minyak,” kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

Dibandingkan dengan kendaraan berbahan bakar minyak, kendaraan listrik lebih baik dalam menekan emisi dan rendah biaya operasional. Analisis IESR menunjukkan kendaraan listrik mengeluarkan emisi 7% lebih sedikit dan biaya operasional per km-nya 14% lebih rendah dibandingkan kendaraan berbahan bakar minyak. Hanya saja, karena ketersediaan model kendaraan listrik yang terbatas, infrastruktur yang minim, serta investasi awal yang tinggi, membuat masyarakat enggan beralih ke kendaraan listrik.

“Pemerintah perlu melihat aspek pasokan (supply) dari industri Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) dan tidak hanya permintaan (demand) masyarakat saja. Insentif potongan pajak bagi mobil listrik dan Rp7 juta bagi motor listrik sudah tepat, namun eligibilitas merek (brand) mobil/motor apa saja yang bisa menjadi penerima insentif harus diperhatikan. Pemberian insentif ini harus dikaitkan dengan pengembangan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), hanya brand dengan kandungan TKDN tertentu yang boleh memperoleh insentif tersebut,” ungkap Ilham R F Surya, Peneliti Kebijakan Lingkungan, IESR  yang juga merupakan salah satu penulis IEVO 2023

Lebih lanjut Ilham juga melihat bahwa, konversi motor listrik dapat menjadi alternatif lain elektrifikasi dengan harga yang lebih murah. Selain itu, konversi motor juga menjadi sarana peremajaan motor – motor yang lebih tua.  

Upaya pemerintah untuk memenuhi target pengurangan emisi GRK dalam Nationally Determined Contribution (NDC) melalui total 15 juta kendaraan listrik pada 2030 terlihat dari tersedianya kebijakan fiskal dan nonfiskal. Namun, kebijakan fiskalnya masih berfokus pada sisi permintaan. Peluang adopsi perusahaan transportasi berbasis aplikasi dan logistik yang masif diharapkan dapat memicu berkembangnya industri kendaraan listrik di Indonesia.

“Saat ini industri kendaraan listrik dari hulu ke hilir belum terintegrasi secara penuh. Beberapa proyek hilirisasi seperti produksi baterai baru akan berjalan setidaknya 2025/2026. Saat ini fokus pemerintah sebaiknya diarahkan ke percepatan berjalannya proyek hilirisasi tersebut dan meyakinkan investor untuk melaksanakan komitmen investasi yang sudah banyak,” jelas Pintoko Aji, salah satu penulis IEVO 2023 dan Peneliti Energi Terbarukan, IESR.

Ditinjau dari infrastruktur kendaraan listrik, IESR menilai meski instalasinya meningkat 200% dibandingkan 2021, namun lokasi Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) belum tersebar merata. 88% SPKLU masih terkonsentrasi di Jakarta dan Bali. Selain itu, pemanfaatan Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU) masih belum standar dan hanya berlaku untuk merek tertentu.

“Pemerintah perlu mempermudah investasi SPKLU salah satunya adalah mengubah kewajiban pemasangan 3 jenis port berbeda di tiap unit SPKLU yang tercantum di Permen ESDM No. 13/2020. Kewajiban adanya 3 port membuat biaya investasi membengkak sampai Rp750 juta-1,5 miliar per SPKLU. Padahal tidak semua lokasi memerlukan 3 jenis port sekaligus. Jika tidak ada kewajiban tersebut, maka dengan nilai investasi yang sama, jumlah SPKLU yang dibangun bisa 3-4 kali lebih banyak,” imbuh Ilham.

Ilham menambahkan standarisasi SPBKLU dapat dimulai dari motor listrik berkapasitas baterai 1,2 kWh atau 1,44 kWh yang saat ini menguasai 79% motor listrik di pasaran, sehingga tidak terlalu menyulitkan manufaktur. Selanjutnya, pemerintah perlu juga melakukan standarisasi bentuk dan ukuran baterai hingga konfigurasi elektrik di dalamnya.

Menyoal elektrifikasi transportasi laut dan udara, Pintoko menjelaskan penggunaan baterai pada kapal maupun pesawat memiliki tantangan pada densitas energi baterai yang membuatnya lebih besar dan lebih berat sehingga mengurangi ruang kargo kapal maupun jatah muatan (payload) pesawat. Hal ini membuat elektrifikasi kendaraan udara maupun laut sementara ini praktis digunakan hanya untuk skala kecil dengan jarak tempuh yang dekat. 

IEVO 2023 merekomendasikan kepada pemerintah untuk memperkuat kebijakan dan aturan industri hulu dan hilir untuk mengurangi harga kendaraan listrik, membuat aturan untuk mengantisipasi limbah baterai, meningkatkan minat dari lembaga keuangan untuk pembiayaan kendaraan listrik, serta mempromosikan penggunaan kendaraan listrik.

Mendukung Pengurangan Emisi di Sektor Transportasi

Kendaraan Listrik

Jakarta, 20 Februari 2023 – Dekarbonisasi sektor transportasi menjadi salah satu agenda utama untuk mencapai target emisi nol bersih Indonesia pada tahun 2060. Sektor transportasi merupakan penghasil emisi GRK terbesar kedua (23%), dimana transportasi darat menyumbang 90% emisi sektor ini, dengan total emisi di sektor energi mendekati 600 MtCO2eq pada tahun 2021 (IESR, IEVO 2023).

Dalam skenario rendah karbon yang sesuai dengan target Paris Agreement (LCCP), emisi dari transportasi di Indonesia perlu diturunkan menjadi 100 MtCO2eq pada tahun 2050. Sementara itu, dalam perhitungan IESR seluruh sektor energi, termasuk transportasi, harus mendekati nol emisi pada tahun 2050 agar kenaikan suhu global tetap berada di bawah 1,5 °C. Untuk mencapai hal tersebut, elektrifikasi transportasi dan pemanfaatan bahan bakar berkelanjutan perlu diprioritaskan.

Salah satu cara melakukan dekarbonisasi transportasi darat yakni meningkatkan penggunaan kendaraan listrik. Adanya penggantian komponen mesin pembakar internal (Internal Combustion Engine/ICE) dengan kendaraan listrik tidak hanya menjadi solusi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), tetapi juga menjadi pilihan yang lebih ekonomis. Hal ini lantaran efisiensi energi teknologi kendaraan listrik yang tinggi. Kendaraan listrik diproyeksikan mewakili lebih dari 60% kendaraan yang terjual secara global pada tahun 2030. Untuk itu, perlu dipersiapkan dengan matang infrastruktur pendukung kendaraan listrik di Indonesia, seperti stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU). 

Namun demikian, sebagian masyarakat masih meragukan atau bahkan berpendapat bahwa kendaraan listrik tidak dapat menjadi solusi pengurangan emisi GRK. Pasalnya, sumber listrik untuk pengisian kendaraan listrik masih berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil, khususnya di Indonesia yang sekitar 67% listriknya berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar batubara (PLTU). Selain itu, proses pembuatan baterai kendaraan listrik juga sangat memakan energi dan menghasilkan GRK dalam jumlah tinggi.

Dalam hal ini, dekarbonisasi sektor transportasi perlu dilihat secara optimis dari perspektif jangka panjang. Penggunaan sumber listrik untuk kendaraan memang menjadi tantangan besar untuk meningkatkan utilisasi kendaraan listrik. Untuk itu, rencana pengembangan kendaraan listrik harus diintegrasikan dengan peta jalan dekarbonisasi multisektor karena adopsi kendaraan listrik yang tinggi berpotensi membantu sektor lain, yaitu sektor ketenagalistrikan.

Kondisi Sektor Ketenagalistrikan

Salah satu penyebab lambatnya pengembangan energi terbarukan di Indonesia yakni terjadinya kondisi kelebihan pasokan listrik. Apalagi sistem kelistrikan tersebut memiliki cadangan daya margin cadangan (reserve margin) yang tinggi, diperkirakan mencapai 56% pada tahun 2022, sedangkan margin cadangan tipikal berdasarkan RUPTL PLN berada pada kisaran 15-40%. Kondisi tersebut bisa dikatakan terjadi karena overestimasi permintaan dan efek pandemi global.

Sayangnya, sebagian besar pembangkit baru yang beroperasi yakni PLTU yang tidak dapat beroperasi secara fleksibel karena terkendala kesepakatan take or pay. Sementara itu, beberapa unit PLTU, terutama yang telah berusia lebih tua, memiliki keterbatasan untuk beroperasi secara fleksibel karena kemampuan teknisnya, seperti laju ramp-rate yang lambat, beban minimum yang tinggi, dan waktu start-up yang lama.

Berdasarkan permasalahan tersebut, setidaknya perlu ada peningkatan permintaan listrik atau penghentian pembangkit berbahan bakar fosil, dengan atau tanpa intervensi, untuk memungkinkan penetrasi energi terbarukan yang lebih tinggi. Berkaitan dengan hal tersebut, pengembangan pemanfaatan kendaraan listrik dengan strategi yang tepat dapat digunakan sebagai salah satu upaya meminimalisir permasalahan sistem tenaga listrik.

Di lain sisi, tingkat adopsi kendaraan listrik yang tinggi berpotensi menyerap kelebihan pasokan listrik dari pembangkit listrik yang beroperasi. Dalam laporan Deep Decarbonization of Indonesia’s Energy System yang diterbitkan Institute for Essential Services Reform (IESR), kebutuhan elektrifikasi transportasi akan mencapai 136 TWh pada tahun 2030 (sekitar 28,6% dari total permintaan listrik). Dengan kata lain, elektrifikasi sektor transportasi dapat menjadi pendekatan strategis untuk mengurangi masalah kelebihan pasokan dan memberi ruang bagi lebih banyak energi terbarukan dalam sistem tenaga. Selain itu, elektrifikasi akan secara signifikan mengurangi emisi GRK langsung dan meningkatkan ketahanan energi melalui pengurangan impor bahan bakar.

Nilai Kendaraan Listrik dalam Sistem Tenaga Listrik

Pada dasarnya kendaraan listrik merupakan baterai berkapasitas besar yang terhubung ke motor listrik dan roda. Sederhananya, baterai tersebut menjadi aset penyimpanan energi untuk melakukan mobilitas. Kendaraan listrik saat ini memiliki kapasitas baterai rata-rata sekitar 40 kWh yang dapat dipandang sebagai aset berharga untuk sistem kelistrikan. Kapasitas tersebut cukup besar mengingat unit baterai penyimpanan rumah biasanya memiliki kapasitas tidak lebih dari setengah kendaraan listrik. Oleh karena itu, setiap nilai tambah kendaraan listrik perlu diaktifkan melalui integrasi jaringan dan kendaraan (VGI).

Berbagai skema VGI telah dikembangkan, sebut saja aliran energi satu arah (V1G), aliran energi dua arah (V2G), kendaraan ke bangunan (V2B), dan lainnya. Strategi integrasi yang sesuai dapat memberikan keuntungan, baik kepada pemilik kendaraan listrik maupun operator jaringan listrik. Misalnya, operator jaringan dapat menerapkan tarif pengisian berbeda pada jam pengisian tertentu yang akan mempengaruhi perilaku pengisian daya pemilik EV melalui skema V1G. Operator jaringan dapat menjaga beban puncak, menghindari biaya operasi tambahan atau kebutuhan penambahan kapasitas. Sebagai imbal baliknya, pemilik kendaraan listrik akan mendapatkan insentif tarif pengisian rendah selama waktu beban puncak.

Dalam implementasi lebih lanjut, VGI dapat dipromosikan menjadi V2G. Armada kendaraan listrik secara kolektif dapat bertindak seperti sistem penyimpanan energi stasioner (Energy Storage System/ESS) di mana operator jaringan dapat membeli listrik dari baterai kendaraan listrik untuk dipasok ke jaringan saat dibutuhkan. Namun implementasinya akan membutuhkan regulasi terkait interkoneksi.

Selain regulasi, VGI akan membutuhkan pengembangan infrastruktur pendukung yang relevan dengan peta jalan pengembangan sektor ketenagalistrikan. Mempertimbangkan tingkat penetrasi energi terbarukan, tingkat adopsi kendaraan listrik, dan profil beban saat ini, VGI dapat mulai diimplementasikan melalui insentif tarif rendah pada malam hari sehingga pemilik kendaraan listrik melakukan pengisian daya di rumah sepanjang malam. Namun, begitu sistem tenaga memiliki penetrasi PLTS  yang tinggi (seperti yang direncanakan pemerintah untuk masa depan), akan ada suplai listrik yang tinggi di siang hari. Bukankah kita perlu menyiapkan lebih banyak infrastruktur pengisian publik? Atau ada strategi lain?

IEVO 2023: Elektrifikasi Transportasi Demi Tekan Emisi GRK

19 Februari 2023 – Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan Indonesia Electric Vehicles Outlook 2023 untuk pertama kalinya. Laporan ini membahas status perkembangan kendaraan listrik untuk penumpang dan ekosistem pendukung pengembangan kendaraan listrik di Indonesia. IESR memandang mitigasi perubahan iklim dengan penurunan emisi yang signifikan dari sektor transportasi dapat dilakukan secara partisipatif oleh masyarakat dengan mengadopsi kendaraan listrik. 

Sektor transportasi menjadi salah satu sumber polusi dan penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK). Dari 600 MtCO2-eq emisi GRK Indonesia di sektor energi pada tahun 2021, 23% berasal dari sektor transportasi. Angkutan darat menjadi penyumbang terbesar emisi GRK di sektor transportasi dengan pangsa lebih dari 90%. Emisi dari sektor transportasi diperkirakan akan terus meningkat 53% pada tahun 2030 dibandingkan tahun 2015 dan hampir dua kali lipat antara tahun 2030 dan 2060. Dekarbonisasi sistem transportasi, dengan percepatan adopsi kendaraan listrik yang ramah lingkungan dan beremisi rendah bisa menjadi salah satu solusi, bersamaan dengan transisi ke energi terbarukan di sektor kelistrikan

“Pemerintah telah memasukkan penggunaan kendaraan listrik sebagai salah satu rencana aksi mitigasi yang termuat dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Namun, target yang ditetapkan masih belum sejalan dengan Persetujuan Paris untuk membatasi kenaikan temperatur bumi  1,5 derajat Celcius pada 2050. Menurut studi IESR untuk mencapai bebas emisi pada 2050, jumlah kendaraan roda dua  dan roda empat listrik harus mencapai 110 juta unit di 2030,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR. 

Untuk  mencapai target tersebut perlu upaya  akselerasi adopsi kendaraan listrik melalui dukungan kebijakan fiskal dan non fiskal. Sejak 2019, pemerintah tengah gencar mendorong pengembangan industri dan penggunaan kendaraan listrik tetapi pada saat yang sama sejumlah kebijakan yang pro energi fossil masih diberlakukan yang membuat adopsi kendaraan listrik kurang optimal. Misalnya kebijakan pemerintah tetap mensubsidi bahan bakar minyak (BBM) dan memperpanjang penjualan bahan bakar dengan standar Euro II. Berbagai kebijakan ini membuat daya tarik konsumen mengakuisisi kendaraan listrik menurun dan juga keuntungan ketika beralih ke kendaraan listrik berupa nilai penghematan biaya bahan bakar menjadi berkurang.

“Ketergantungan akan bahan bakar fosil dalam sistem energi kita terutama sektor transportasi membuat sektor energi kita rentan terhadap gejolak  harga. Pemerintah berusaha mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil dalam sektor transportasi melalui kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB). Akan tetapi, masih sulitnya menemukan infrastruktur pengisian listrik, harga pembelian yang mahal, dan performa serta model yang terbatas menjadi halangan utama adopsi KBLBB oleh konsumen. Berbagai halangan ini yang perlu diselesaikan oleh pemerintah,” ungkap Faris Adnan, penulis IEVO yang juga peneliti Sistem Ketenagalistrikan, IESR.

Temuan IESR menunjukan pada 2022, adopsi motor listrik naik lima kali lipat dari 5.748 unit pada 2021 menjadi 25.782 unit. Selain itu, adopsi mobil listrik meningkat hampir empat kali lipat dari 2.012 unit pada 2021 menjadi 7.679 unit pada 2022. Kenaikan ini didorong oleh adanya promosi kendaraan listrik lewat acara G20 yang menjadikan kendaraan listrik sebagai kendaraan resmi delegasi.  

“Meski ada kenaikan, namun  jumlah tersebut masih jauh dari target yang ditetapkan pemerintah. Populasi motor listrik baru 0,2% dari total motor di Indonesia. Sementara mobil listrik baru mencapai 0,4%. Oleh karena itu agar KBLBB dapat lebih menarik dan terjangkau bagi masyarakat, beberapa instrumen kebijakan tambahan yang tepat sasaran diperlukan,” kata Faris. 

Salah satu instrumen kebijakan tersebut adalah kombinasi insentif untuk produsen dan penciptaan pasar untuk mempercepat skala keekonomian kendaraan listrik, khususnya kendaraan listrik roda dua yang punya potensi pasar besar. Untuk itu IESR merekomendasikan pemerintah mendorong implementasi instruksi presiden untuk pembelian kendaraan listrik oleh instansi pemerintah dan BUMN, dan mendorong adopsi oleh bisnis ride hailing (layanan transportasi berbasis aplikasi) dan logistik untuk mempercepat adopsi kendaraan listrik oleh pasar dalam 2-3 tahun ke depan. 

Selain itu, untuk mendapatkan manfaat penurunan emisi GRK dan lingkungan yang lebih besar maka peningkatan bauran  pembangkit energi baru terbarukan di sistem kelistrikan juga diperlukan agar emisi yang dihasilkan KBLBB menjadi lebih rendah daripada emisi dari kendaraan motor bakar.

“Kajian IESR menunjukan bahwa manfaat emisi baru akan didapatkan jika bauran energi terbarukan di sistem kelistrikan PLN di atas 20%,” lanjut Faris  

Sebagai upaya mendorong akselerasi kendaraan listrik di Indonesia dan mempertemukan berbagai pemangku kepentingan terkait dan mempercepat  langkah Indonesia untuk melakukan transisi energi, IESR akan menggelar peluncuran dan diskusi Indonesia Electric Vehicle Outlook (IEVO) 2023, pada 21 Februari 2023, pukul 09:30 – 12:00 WIB secara online melalui Zoom Conference + livestream Youtube (IESR). Acara ini akan dihadiri oleh Ketua Forum Transportasi Lingkungan dan Energi Masyarakat Transportasi Indonesia, Indira Darmoyono, Director of Business Development Strategy & Special Projects Grab Indonesia, Rivana Mezaya, dan lainnya.